Dari balik jendela dapur, Kirana berdiri diam, tangan masih memegang mangkuk adonan. Tatapannya menusuk ke arah sekelompok gadis muda yang berseru pelan sambil menyembunyikan wajah di balik kain selendang. Seorang di antaranya bahkan menunjuk ke arah Rajendra dan menggigit bibirnya sambil terkikik pelan.“Iishh!” desis Kirana, kembali mengaduk adonan dengan tenaga berlebih. “Lihat suami orang sampai seperti itu…”Ranjani, yang sedang menumbuk rempah, melirik sekilas. “Sudahlah, Kirana. Mereka cuma anak-anak…”“Anak-anak yang matanya seperti mau menelan mentah-mentah suamiku,” geram Kirana, walau tetap tak keluar dari dapur. Ia tahu, sebagai istri pangeran, seharusnya ia tak cemburu karena hal sepele. Tapi darahnya mendidih melihat perempuan-perempuan itu menatap Rajendra seperti pahlawan dalam cerita rakyat.Sementara itu, Rajendra menuruni tangga dengan tenang. Surapati segera menghampirinya, wajahnya berseri-seri.“Paman, sejak kapan mereka berkumpul?” tanya Rajendra.“Mereka datan
Sebenarnya, aroma asam yang menguar dari mangkuk itu tidaklah terlalu menyengat. Hanya saja, hidung Kirana memang lebih sensitif terhadap bau-bau yang kurang sedap. Ia terbiasa dengan aroma rempah segar dan bunga-bunga yang selalu menghiasi kediaman mereka.Bau ragi itu, meskipun samar, cukup untuk membuatnya merasa tidak nyaman.“Yang Mulia bilang ini akan membuat roti menjadi nikmat?” tanya Kirana dengan nada skeptis, sedikit menjauh dari mangkuk. “saya akan percaya kalau sudah mencobanya nanti.”Ranjani, yang baru saja selesai memotong beberapa bahan masakan, menghampiri mereka karena penasaran dengan percakapan itu.Mata Ranjani meneliti isi mangkuk dengan seksama. Alih-alih merasa jijik, ekspresinya justru menunjukkan ketertarikan.Aroma asam itu seolah tidak mengganggunya sama sekali, mungkin karena ia lebih terbiasa dengan proses pembuatan makanan tradisional yang melibatkan fermentasi.“Oh, ini toh rahasianya,” gumam Ranjani sambil mengangguk-anggukkan kepala, seolah menemukan
Setelah berbincang-bincang , para warga warga yang antusias mengikuti latihan bela diri telah membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing dengan tubuh yang lelah namun hati yang bersemangat. Namun, di tengah lapangan yang mulai lengang, tampak dua sosok remaja yang masih enggan beranjak.Yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Aji. Tubuhnya tergolong kurus, namun tampak memiliki struktur tulang yang kokoh dan gerakan yang lincah saat tadi mencoba menirukan gerakan bela diri. Di samping Aji, berdiri Danu, seorang remaja dengan tubuh tambun dan pipi bulat kemerahan. Meskipun terlihat sedikit kesulitan mengikuti beberapa gerakan, semangatnya tampak tak kalah membara dari Aji. Mereka berdua seolah terpaku di tempat itu, betah berlama-lama di area yang baru saja menjadi saksi bisu semangat persatuan warga desa.Dengan ragu-ragu, Aji memberanikan diri menghampiri Rajendra yang sedang mengawasi beberapa prajurit merapikan peralatan latihan.“Kak Rajendra,” panggilnya dengan
Kedatangan kepala desa ini terasa sangat tepat waktu. Ia baru saja berhasil membuat roti yang tidak terlalu mengecewakan, jadi dia akan menyuguhkan roti itu kepada Arwan.Hal itu bisa menjadi kesempatan yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemimpin desa..“Jati,” panggil Rajendra kepada pelayan yang sedang membereskan sisa-sisa bahan masakan. “apakah kamu memperhatikan bagaimana aku membuat roti tadi?”“Ya, Yang Mulia. Saya melihat semuanya dengan saksama,” jawab Jati dengan anggukan mantap. “saya pikir saya bisa melakukannya.”“Bagus sekali!” seru Rajendra dengan nada gembira. “tolong buatkan roti seperti ini dan bawa ke depan. Berikan satu untuk dicicipi oleh Kepala Desa Arwan, dan dua lagi untuk istriku, Kirana dan Ranjani. Sisanya, bagikan saja untuk kalian semua.”“Siap, Yang Mulia!” jawab Jati dengan semangat, segera mengambil sisa adonan dan mulai membentuknya menjadi dua buah roti pipih.Setelah memberikan instruksi kepada Jati, Rajendra segera bergegas ke
Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu. Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu. “Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…” Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat. Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak. “Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra. Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buata
Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem
Melihat nada bicara dan tatapan mata Suryakusuma yang merendahkan, Surapati yang berdiri di belakang Rajendra tidak bisa tinggal diam.Insting seorang prajuritnya kembali muncul. Ia khawatir jika Pangeran Rajendra yang menanggapi langsung, emosi masa lalunya bisa saja kembali menguasai. Lebih baik ia yang maju dan menghadapi orang sombong ini.Dengan langkah mantap, Surapati mendekat ke arah Suryakusuma. Matanya menatap dengan tajam.“Maafkan kelancangan saya, Tuan,” ucap Surapati dengan nada sopan namun tegas. “kami datang ke desa ini tidak dengan niat mengganggu. Sebaliknya, kami justru ingin memberikan kontribusi yang baik bagi kemajuan dan keamanan desa ini.”Suryakusuma menoleh dengan tatapan merendahkan ke arah Surapati.“Siapa kau berani bicara denganku? Apa kau salah satu anak buah orang asing ini?” tanya Suryakusuma dengan mata melotot sambil menunjuk wajah Rajendra dengan jari telunjuknya.“Benar, Tuan. Saya adalah salah satu pengikut Tuan Rajendra. Dan saya bertanggung jawa
Pertanyaan Rajendra menggantung di udara, menciptakan keheningan yang mencekam di antara mereka.Ranjani dan Kirana saling pandang, raut wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan dan keprihatinan. Mereka tahu, ingatan Pangeran mereka perlahan mulai kembali, membawa serta luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.“Apakah aku … punya empat istri?” tanya Rajendra sekali lagi, nadanya penuh harap namun juga tersirat ketakutan akan jawaban yang mungkin ia terima. “aku baru saja mengingat kilasan masa lalu di mana ada 4 wanita di sampingku.”Ranjani menghela napas pelan sebelum menjawab dengan suara lirih, “Iya, Yang Mulia memiliki empat orang istri.”“Di mana … di mana yang dua lagi?” tanya Rajendra dengan wajah yang kini dipenuhi kepanikan.Bayangan samar-samar tentang kejadian mengerikan di malam kudeta mulai berputar lagi di benaknya.Tiba-tiba, air mata Kirana mengalir deras membasahi pipinya. Ia terisak pelan, mengingat kedua sahabatnya yang kini tidak lagi bersama mereka. Kenangan akan ma
Suryakusuma yang mendengar nada bicara Kepala Desa Arwan yang penuh keramahan, mencoba meluruskan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Ia tidak ingin dianggap tidak menghargai pemimpin desanya.Namun, alasan sebenarnya di balik penolakannya untuk berkenalan dengan Rajendra adalah prasangka buruk yang sudah mengakar di benaknya.“Bukan begitu maksud saya, Kepala Desa,” kata Suryakusuma dengan nada dibuat-buat menyesal. “saya sangat menghormatimu. Hanya saja, saya sudah terlalu sering bertemu dengan orang-orang seperti dia, orang asing yang datang dengan wajah polos namun menyimpan niat tersembunyi.”Kepala Desa Arwan mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan ucapan Suryakusuma.“Memangnya apa yang salah dengan Rajendra, Juragan? Saya melihatnya sebagai orang yang sopan dan memiliki niat baik untuk membantu desa kita,” tanya Arwan.“Mereka itu penuh dengan kemunafikan, Kepala Desa,” balas Suryakusuma dengan nada sinis. “mereka berpura-pura baik dan peduli pada awalnya, tapi pada akhir
Pertanyaan Rajendra menggantung di udara, menciptakan keheningan yang mencekam di antara mereka.Ranjani dan Kirana saling pandang, raut wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan dan keprihatinan. Mereka tahu, ingatan Pangeran mereka perlahan mulai kembali, membawa serta luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.“Apakah aku … punya empat istri?” tanya Rajendra sekali lagi, nadanya penuh harap namun juga tersirat ketakutan akan jawaban yang mungkin ia terima. “aku baru saja mengingat kilasan masa lalu di mana ada 4 wanita di sampingku.”Ranjani menghela napas pelan sebelum menjawab dengan suara lirih, “Iya, Yang Mulia memiliki empat orang istri.”“Di mana … di mana yang dua lagi?” tanya Rajendra dengan wajah yang kini dipenuhi kepanikan.Bayangan samar-samar tentang kejadian mengerikan di malam kudeta mulai berputar lagi di benaknya.Tiba-tiba, air mata Kirana mengalir deras membasahi pipinya. Ia terisak pelan, mengingat kedua sahabatnya yang kini tidak lagi bersama mereka. Kenangan akan ma
Melihat nada bicara dan tatapan mata Suryakusuma yang merendahkan, Surapati yang berdiri di belakang Rajendra tidak bisa tinggal diam.Insting seorang prajuritnya kembali muncul. Ia khawatir jika Pangeran Rajendra yang menanggapi langsung, emosi masa lalunya bisa saja kembali menguasai. Lebih baik ia yang maju dan menghadapi orang sombong ini.Dengan langkah mantap, Surapati mendekat ke arah Suryakusuma. Matanya menatap dengan tajam.“Maafkan kelancangan saya, Tuan,” ucap Surapati dengan nada sopan namun tegas. “kami datang ke desa ini tidak dengan niat mengganggu. Sebaliknya, kami justru ingin memberikan kontribusi yang baik bagi kemajuan dan keamanan desa ini.”Suryakusuma menoleh dengan tatapan merendahkan ke arah Surapati.“Siapa kau berani bicara denganku? Apa kau salah satu anak buah orang asing ini?” tanya Suryakusuma dengan mata melotot sambil menunjuk wajah Rajendra dengan jari telunjuknya.“Benar, Tuan. Saya adalah salah satu pengikut Tuan Rajendra. Dan saya bertanggung jawa
Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem
Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu. Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu. “Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…” Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat. Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak. “Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra. Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buata
Kedatangan kepala desa ini terasa sangat tepat waktu. Ia baru saja berhasil membuat roti yang tidak terlalu mengecewakan, jadi dia akan menyuguhkan roti itu kepada Arwan.Hal itu bisa menjadi kesempatan yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemimpin desa..“Jati,” panggil Rajendra kepada pelayan yang sedang membereskan sisa-sisa bahan masakan. “apakah kamu memperhatikan bagaimana aku membuat roti tadi?”“Ya, Yang Mulia. Saya melihat semuanya dengan saksama,” jawab Jati dengan anggukan mantap. “saya pikir saya bisa melakukannya.”“Bagus sekali!” seru Rajendra dengan nada gembira. “tolong buatkan roti seperti ini dan bawa ke depan. Berikan satu untuk dicicipi oleh Kepala Desa Arwan, dan dua lagi untuk istriku, Kirana dan Ranjani. Sisanya, bagikan saja untuk kalian semua.”“Siap, Yang Mulia!” jawab Jati dengan semangat, segera mengambil sisa adonan dan mulai membentuknya menjadi dua buah roti pipih.Setelah memberikan instruksi kepada Jati, Rajendra segera bergegas ke
Setelah berbincang-bincang , para warga warga yang antusias mengikuti latihan bela diri telah membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing dengan tubuh yang lelah namun hati yang bersemangat. Namun, di tengah lapangan yang mulai lengang, tampak dua sosok remaja yang masih enggan beranjak.Yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Aji. Tubuhnya tergolong kurus, namun tampak memiliki struktur tulang yang kokoh dan gerakan yang lincah saat tadi mencoba menirukan gerakan bela diri. Di samping Aji, berdiri Danu, seorang remaja dengan tubuh tambun dan pipi bulat kemerahan. Meskipun terlihat sedikit kesulitan mengikuti beberapa gerakan, semangatnya tampak tak kalah membara dari Aji. Mereka berdua seolah terpaku di tempat itu, betah berlama-lama di area yang baru saja menjadi saksi bisu semangat persatuan warga desa.Dengan ragu-ragu, Aji memberanikan diri menghampiri Rajendra yang sedang mengawasi beberapa prajurit merapikan peralatan latihan.“Kak Rajendra,” panggilnya dengan
Sebenarnya, aroma asam yang menguar dari mangkuk itu tidaklah terlalu menyengat. Hanya saja, hidung Kirana memang lebih sensitif terhadap bau-bau yang kurang sedap. Ia terbiasa dengan aroma rempah segar dan bunga-bunga yang selalu menghiasi kediaman mereka.Bau ragi itu, meskipun samar, cukup untuk membuatnya merasa tidak nyaman.“Yang Mulia bilang ini akan membuat roti menjadi nikmat?” tanya Kirana dengan nada skeptis, sedikit menjauh dari mangkuk. “saya akan percaya kalau sudah mencobanya nanti.”Ranjani, yang baru saja selesai memotong beberapa bahan masakan, menghampiri mereka karena penasaran dengan percakapan itu.Mata Ranjani meneliti isi mangkuk dengan seksama. Alih-alih merasa jijik, ekspresinya justru menunjukkan ketertarikan.Aroma asam itu seolah tidak mengganggunya sama sekali, mungkin karena ia lebih terbiasa dengan proses pembuatan makanan tradisional yang melibatkan fermentasi.“Oh, ini toh rahasianya,” gumam Ranjani sambil mengangguk-anggukkan kepala, seolah menemukan
Dari balik jendela dapur, Kirana berdiri diam, tangan masih memegang mangkuk adonan. Tatapannya menusuk ke arah sekelompok gadis muda yang berseru pelan sambil menyembunyikan wajah di balik kain selendang. Seorang di antaranya bahkan menunjuk ke arah Rajendra dan menggigit bibirnya sambil terkikik pelan.“Iishh!” desis Kirana, kembali mengaduk adonan dengan tenaga berlebih. “Lihat suami orang sampai seperti itu…”Ranjani, yang sedang menumbuk rempah, melirik sekilas. “Sudahlah, Kirana. Mereka cuma anak-anak…”“Anak-anak yang matanya seperti mau menelan mentah-mentah suamiku,” geram Kirana, walau tetap tak keluar dari dapur. Ia tahu, sebagai istri pangeran, seharusnya ia tak cemburu karena hal sepele. Tapi darahnya mendidih melihat perempuan-perempuan itu menatap Rajendra seperti pahlawan dalam cerita rakyat.Sementara itu, Rajendra menuruni tangga dengan tenang. Surapati segera menghampirinya, wajahnya berseri-seri.“Paman, sejak kapan mereka berkumpul?” tanya Rajendra.“Mereka datan