LOGINAku memilih mati dengan cara paling tragis setelah tahu lima kali keguguranku bukan karena tubuhku lemah, melainkan ulah suamiku yang menolak memberiku anaknya. Bangkit dari kematian, aku bersumpah: aku akan pergi darinya — namun ternyata dia masih menghantuiku dengan janin miliknya yang tumbuh didalam diriku .
View More"Nyonya!" "Nyonya!"
Teriakan terdengar dari bawah. Semua orang melihat ke arah menara tertinggi kastil, tempat seorang wanita dengan gaun putih penuh darah berdiri di tepi.
Selene Moreau Leventis.
Duchess Leventis. Wanita yang biasanya tenang dan penurut itu kini berdiri di tempat yang paling berbahaya. Para penjaga di belakangnya bergerak hati-hati, takut salah langkah akan membuatnya benar-benar melompat.
Tangisnya pecah, jelas dan memilukan. Selene memegang perutnya yang sakit. Ia baru saja keguguran untuk kelima kalinya. Kali ini ia tahu kebenarannya: semua itu bukan karena penyakit atau kelemahan tubuhnya, tapi karena ulah suaminya sendiri yang tidak menginginkan dia melahirkan keturunan.
"Selene!" suara berat memanggil dari belakang. Dirian, sang Duke, suaminya.
Selene mendengar tapi enggan menoleh. Kecewa sudah terlalu dalam.
"Apa ini trik lain untuk menarik perhatianku?" tanya Dirian dingin. Ia memang tidak suka dibuat repot. Selene tahu, pria itu datang hanya karena tidak tahan mendengar bisik-bisik orang soal istrinya yang berdiri di puncak menara.
Selene tersenyum miris. Suaranya serak saat ia menjawab, "Bukankah kau seharusnya meminta maaf?" Pandangannya jatuh pada seorang wanita cantik yang berdiri di antara para pelayan. Wanita yang rapi, berbeda jauh dari dirinya yang berantakan. Wanita itu dicintai Dirian, wanita yang bahkan tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan dirinya dimata Dirian
"Apa kau gila?" Dirian membalas, nadanya meremehkan.
Selene berbalik menatapnya. Mata suaminya merah, tapi tetap dingin.
"Ya, aku memang gila! Aku gila karena mencintaimu, padahal kaulah yang membunuh lima anakmu sendiri!" teriak Selene.
Semua pengawal terkejut. Dirian pun terdiam sesaat.
"Selene, jangan bicara omong kosong," ucapnya, mencoba menahan kendali.
Selene tertawa getir. Darah terus merembes membasahi gaunnya.
"Pernahkah kau mencintaiku?" tanyanya dengan tatapan penuh harap.
Dirian diam. Lalu ia mengalihkan pandangan
"Tidak pernah " Selene menjawab sendiri karena reaksi Dirian
Kata dari mulutnya sendiri menghantam Selene. Ia menarik napas gemetar.
"Hentikan semua ini dan turun. Kau butuh istirahat," kata Dirian.
"Jangan pura-pura peduli!" bentak Selene. Air matanya jatuh. "Mengapa tidak membunuhku saja, daripada membunuh semua janin yang tidak berdosa itu?"
"Selene, berhenti! Turun sekarang!" Dirian berteriak memberi perintah.
"Aku akan melompat dan mati lalu bertemu dengan anak-anakku untuk meminta maaf karena tidak mampu melindungi mereka dari ayah mereka sendiri!" balas Selene lagi.
"Jangan gila, Selene! Kau tidak boleh mati!" seru Dirian, gelisah. Langkah mundur Selene membuatnya semakin rentan di tepi menara.
Selene justru tersenyum. "Demi anak-anakku yang kau bunuh, aku bersumpah! Kau akan membayar semuanya! Aku akan menghantuimu seumur hidup dengan penyesalan dan penderitaan tanpa akhir!"
Ia lalu melompat.
"Selene!" Dirian menjerit, berlari ke tepi menara bersama para pengawal. Tapi mereka terlambat. Tubuh Selene meluncur cepat dan menghantam tanah.
Brak
Suara seluruh tulang yang dihancurkan dan darah yang menggenang disana .
Matanya masih terbuka, sempat melihat wajah Dirian yang kacau melihat tubuhnya di bawah.
Teriakan pelayan dan orang-orang pecah memenuhi udara malam. Langit gelap tanpa bintang malam itu menjadi saksi tragedi yang menimpa Duchess Leventis.
.
.
"Selene!"
Selene tersentak, matanya terbuka lebar. Napasnya pendek, seperti orang yang baru saja diselamatkan dari tenggelam. Di depannya berdiri Dirian Leventis, suaminya. Wajahnya tenang, dingin, matanya tajam. Di belakangnya ada dokter dan pelayan, bau obat memenuhi ruangan. Semua terasa nyata, seperti panggung yang sama ketika hidupnya berakhir dulu.
Dia menoleh ke samping. Jam di meja kecil berdetak. Hari dan tahun yang tertera menunjukkan dua tahun sebelum ia mati. Angin malam masuk lewat jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma yang sama dengan saat ia terjatuh dari menara. Ingatan itu kembali: tubuhnya menghantam tanah, sakit yang luar biasa, lalu gelap. Ia meraba perutnya, mencari bekas luka. Tangannya berbalut kasa, hangat, berdarah. Ia bingung — pernah mati, tapi sekarang hidup lagi.
"Nyonya Duchess, tangan anda berdarah. Saya akan memasang infus," kata dokter cepat. Selene menatap gerakannya dengan kaku, masih tidak percaya.
Dirian berkata, suaranya terdengar jengkel. "Jangan mempersulit dokter."
Selene menarik napas panjang. Kepalanya penuh dengan bayangan jasadnya, jeritan orang-orang, dan terutama lima janin yang tidak pernah lahir. Semua itu menghantam dirinya sekaligus.
Ia menoleh pada Dirian. Suaranya pelan tapi jelas.
"Dirian."
Suaminya menatap. "Apa?"
Selene menatap lurus ke matanya.
"Ayo bercerai."
Selene menatapnya kaget. Pandangannya mencari mata Dirian, tapi yang ia temukan hanyalah tatapan gelap campuran antara kecemasan dan sesuatu yang lebih dalam.“Apa maksudmu?” tanya Selene pelan, suaranya mengandung kegelisahan.“Aku hanya khawatir,” jawab Dirian datar. “Sepertinya akhir-akhir ini kau jarang menolak dengan alasan datang bulan.”Selene terdiam. Wajahnya tetap tenang, tapi hatinya mencelos. Pertanyaan itu tidak pernah dia bayangkan akan keluar dari mulut suaminya sendiri.“Kenapa kau penasaran?” ujarnya, berusaha terdengar ringan.Dirian menatapnya lama. “Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu padamu.”Selene menelan ludah, lalu bertanya dengan nada datar, “Apa kau takut aku
“Apa yang ingin kau tahu?” tanya Selene, nada suaranya tenang namun matanya menatap lurus ke arah Dirian.“Jika aku mengatakannya sekarang,” balas Dirian pelan, bibirnya terangkat samar, “aku yakin kau tidak akan menjawabnya dengan jujur.”Selene tersenyum tipis. “Benarkah? Aku jadi penasaran… apa sebenarnya yang ingin Tuan Duke ketahui dariku?”Tatapan Dirian turun perlahan, mengikuti garis wajah Selene hingga berhenti pada bibirnya. Ada sesuatu yang berbahaya dalam sorot matanya bukan amarah, tapi sesuatu yang lebih lembut dan tak terucap.Selene tetap diam, seolah tak menyadari bahwa tatapannya membuat udara di antara mereka menegang.Dirian akhirnya menarik napas dalam dan menjauh sed
“Bukan Duke yang pertama?”Viviene menatap Rafael sebentar, lalu mengalihkan pandangannya dan mengangguk pelan.Rafael memejamkan mata; ada sesuatu yang ia pikirkan, sesuatu yang Viviene tak tahu. Wajahnya sulit ditebak dulu lembut, kini dipenuhi ketegangan. Ia melangkah maju satu langkah, tetapi Viviene tetap terpaku, tak bergerak. Pasalnya saat pertama dengan Viviene, Rafael sangat tahu jika Viviene tidak perawan.“Keberatan?” bisik Viviene, suaranya setajam kaca.Rafael menatapnya lama, berusaha membaca wanita yang pernah ia kenal. “Tidak,” jawabnya akhirnya. “Jadi, apa rencanamu?” Suaranya pelan, dikendalikan seolah menahan amarah yang bisa meledak jika nada berubah sedikit. “Kau bicara soal menyingkirkan Selene… kau seriu
“Menyingkirkan nona?” tanya Rafael dengan nada ragu, matanya menatap Viviene seolah ingin memastikan ia tak salah dengar.Viviene hanya mengangguk pelan, namun sorot matanya tak gentar sedikit pun.Rafael menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. “Kalau kau tahu siapa yang menjaganya, kau bahkan mungkin tak akan berani menyentuhnya, Vivi.”“Apa karena orang yang kau maksud itu?” tanya Viviene, mengingat cerita Rafael sebelumnya bahwa Selene memiliki seseorang yang selalu melindunginya dari bayang-bayang.Rafael mengangguk pelan. “Apalagi jika Duke ikut campur. Jika kau gegabah, bukan hanya rencanamu yang gagal, tapi kau juga bisa kehilangan segalanya.”Viviene m
Ucapan itu membuat Selene terdiam. Wajahnya sedikit menegang, meski ia berusaha tampak tenang. Pandangan mereka bertemu, dan untuk sesaat udara di antara mereka seperti membeku.Dirian akhirnya tersenyum kecil, tapi bukan senyum yang benar-benar hangat. Diapun bangkit dan menghampiri Selene lalu menepuk pundaknya pelan.“Kalau tidak ada, ya sudah. Tak apa,”Sebelum pergi Dirian mencium kepala Selene, dan setelahnya Selene hanya menatap punggung Dirian yang berbalik, langkahnya mantap menuju pintu.Hening yang tertinggal terasa berat. Entah karena kata-kata Dirian tadi, atau karena ada sesuatu dalam dirinya yang memang tidak siap untuk diungkapkan malam itu.Kata-kata Dirian malam itu m
Viviene menangis histeris di dalam kamarnya, bahunya bergetar hebat. Setelah Selene pergi, Countess segera menariknya masuk ke kamar, menutup pintu rapat-rapat agar tak seorang pun mendengar.“Bagaimana maksudmu?” tanya Countess tajam, matanya menelisik wajah putrinya. “Kau tidak mungkin bertemu dengannya lagi, bukan?”“Ibu, aku…”Countess menghela napas panjang, lalu menepuk jidatnya keras seolah sudah tahu isi kepala Viviene bahkan sebelum gadis itu mengucapkannya.“Viviene… apa kau benar-benar bodoh? Bagaimana bisa-”“Ibu, aku tidak bisa kehilangannya!” potong Viviene putus asa, tangannya mencengkeram tangan ibunya er
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments