Ternyata, Maheswari telah merencanakan untuk menggantikan acara ulang tahun nenek dengan pertunangan Aryan dan Eira. Bahkan nenek pun sudah mengetahuinya.
"Apa ini tidak terlalu membebani Eira? Walau bagaimana pun, dia belum memberi persetujuan pada sebuah pertunangan," ujar Aryan saat mereka sedang berbicara di ruang kerja sang ayah setelah makan malam. Dia berusaha menghindar dari acara dadakan yang direncanakan oleh kedua orang tuanya."Kalau dia tahu, itu namanya bukan kejutan dong?" jawab Maheswari sigap. "Lagi pulan, apa kamu tidak kasihan pada ibumu ini yang sudah sangat ingin menggendong cucu?"Aryan menghembuskan napas pelan, pundaknya tampak turun kala melihat wajah memelas Maheswari. Tenyata bukan pertunangan yang akan terjadi besaok, tetapi lamaran untuk Eira di tengah acara ulang tahun nenek."Bukankah kalian sudah cocok?" Edrik yang sejak tadi hanya memperhatikan mulai membuka suara.Aryan mengangguk."Kalau begitu, sekarang atau nanti apa bedanya?" tanya Edrik lagi.Aryan kehilangan kata-kata untuk berkelit, Kini dirinya hanya bisa pasrah pada rencana ibu dan ayahnya yang begitu mengejutkan. Dia hanya terdiam sambil memijat pangkal hidungnya yang tiba-tiba saja terasa berdenyut. Ini sama sekali tidak sesuai seperti yang dia bayangkan.***Esok harinya, keluarga besar sudah mulai berdatangan sebagai tamu acara ulang tahun nenek. Tak ada sama sekali yang diberi tahu lebih dulu tentang rencana lamaran Aryan pada EIra.Acara ulang tahun nenek dilaksanakan setelah semua tamu yang merupakan sanak saudara dan keluarga telah hadir. Seiring semakin banyaknya tamu, Eira pun mulai menjadi pusat perhatian, mengingat ini baru pertama kalinya Aryan menggandeng perempuan lagi setelah kejadian dua tahun lalu."Tetap berada di sampingku dan jangan asal bicara," peringat Aryan pada Eira, saat mereka mulai bergabung dengan sanak keluarga.Eira mengangguk sebagai jawaban. Berada di tengah acara keluarga besar seperti ini cukup mengingatkannya akan kehidupannya yang dahulu, ketika kedua orang tuanya masih hidup.Cukup banyak yang menyapa Aryan dan Eira, mereka sempat berbincang beberapa saat sambil menunggu acara puncak berlangsung. Namun, semakin lama Eira berada di tengah keluarga Aryan, semakin dia tahu bagaimana sikap mereka pada laki-laki itu."Aku rasa mereka tidak terlalu menyukai Bapak?" gumam Eira yang sudah tak bisa lagi menahan rasa penasarannya."Saya tidak pernah bilang kalau keluarga ini harmonis," jawab Aryan seperti biasanya.Eira mendengus samar melihat wajah Aryan yang masih saja datar. 'Kalau kayak gini terus mana ada yang percaya kalau kita berdua adalah pasangan.'Beberapa saat kemudian, Eira sudah bersama dengan Maheswari untuk diperkenalkan pada sanak sudara. Namun, kegiatan itu harus terhenti kala seorang wanita paruh baya menghampiri mereka."Wah, siapa ini? Kok aku belum pernah lihat?"Seorang wanita paruh baya menghampiri Eira dan Maheswari dengan gaya berjalan yang sangat elegan dan pakaian bermerekanya. Dia tampak menatap remeh keberadaan Eira."Ini Eira, calon mantuku, Mba" jawab Maheswari sambil tersenyum ramah. Dia mengusap pelan pundak Eira sambil melanjutkan ucapannya. "Perkenalkan, ini Herlita, bibi Aryan.""Halo tante," sapa Eira sambil tersenyum ramah.Herlita hanya mengangguk sebagai jawaban, tanpa mau menjabat tangan Eira. Dia memperhatikan penampilan Eira yang menggunakan gaun berwarna biru laut yang sudah disiapkan oleh Maheswari sebelumnya."Jadi ini calon istrinya Aryan?" Herlita berkata sinis sambil melirik kilas Eira, lalu melanjutkan. "Syukurlah, kalau Aryan sudah bisa melupakan Alderia. Tapi, bagaimana ya, nanti perasaaan Mba Asih, kalau tahu Aryan sudah bahagia setelah kejadian dua tahun lalu?"Kerutan di kening Eira terlihat samar, kala dia melihat raut wajah Maheswari yang tampak tegang, saat mendengar ucapan Herlita. 'Apa yang terjadi dua tahun lalu?'"Apa lagi kalau sampai dia tahu bagaimana penampilan calon istri Aryan ini," sambung Herlita sambil menatap hina penampilan Eira dari ujung rambut sampai ujung kaki."Berbeda jauh banget dari Alderia yang seorang selebgram terkenal--" Herlita terus mencecar Eira dengan berbagai pertanyaan sebagai perbandingan dengan Alderia.Eira mengepalkan tangannya, dia sudah cukup geram mendengar semua perkataan julit dari Herlita. Jika saja ini bukan acara keluarga Aryan, sudah pasti dia akan melawan mulut pedas Herlita.Maheswari yang mengetahui perubahan wajah calon mantunya, mencoba untuk meredam kemarahan dengan cara menggengam tangan Eira. Bergerak satu langkah ke depan sambil menatap lurus wajah Herlita."Sudahlah, Alderia hanyalah masa lalu Aryan. Sepertinya tidak pantas kalau kamu membahasnya di hari bahagia Ibu?""Aku hanya berbicara kenyataan, kenapa Mba sewot begitu? Dia juga baik-baik saja tuh" sinis Herlita.'Sialan nih emak-emak. Kayaknya dia kebanyakan makan pare deh, mulutnya pait banget!' Eira membatin."Lagi pula, apa Mba tidak berfikir, bagaimana berita di luar sana kalau sampai mereka tahu jika Aryan menikahi gadis sederhana seperti ini?" Herlita masih terus mencibir Eira. Dia melanjutkan. "Aku dengar, bahkan kedua orang tuanya sudah meninggal dan sekarang kakaknya juga sedang dirawat di rumah sakit."Eira mengepalkan tangannya, menahan gemuruh amarah di dalam dada. Sungguh, dia tidak bisa lagi menahan kesabarannya.Sementara itu, di sisi lainnya Aryan yang sedang berbincang dengan beberapa orang keluarga tampak mencuri pandang pada Eira. Namun, kerutan di keningnya tampak terlihat kala telinganya samar mendengar percakapan ibu dan bibinya."Saya permisi dulu," pamitnya sambil beranjak berjalan menghampiri Eira."Apa salahnya dengan Eira? Pasanganku adalah pilihanku sendiri, urusanku sendiri. Saya tidak pernah perduli dengan ucapan orang lain." Aryan tiba-tiba datang sambil menarik pinggang Eira ke dalam dekapannya."Lagi pula, saya tidak butuh wanita sempurna. Karena, EIra Zafran sudah cukup untuk menjadi pendamping hidupku." Aryan mengangkat dagu Eira hingga tatapan keduanya bertemu. "Benar kan, Sayang?"Deg! Jantung Eira tiba-tiba berdebar kenang. 'Astaga, kenapa hari ini aku ngerasa Pak Aryan ganteng banget ya?'Eira mengerjap pelan, tatapan hangat Aryan hampir membuatnya kehilangan kendali pada hatinya. Dia menggeleng pelan. 'Sadar, Ra ... ini cuma sandiwara.'Pelukan Aryan yang semakain mengerat hingga kini tubuh keduanya menempel, menyadarkan Eira dari lamunannya. Dia melirik wajah Aryan kilas sebelum mengangguk pasti, membenarkan ucapan Aryan sebelumnya."Saya tahu, Tante yang mengenalkan Alderia padaku. Karena itu saya masih menghargai Tante sampai sekarang. Tapi, jika Tante mengusik kehidupanku dan Eira, saya tidak akan diam lagi," tegas Aryan. Dia berpamitan pada Maheswari lalu mengajak Eira menuju ke depan dan tiba-tiba berlutut di depannya."Maukah kamu menikah denganku?" ujar Arya sambil memegang sebuah cincin di tangannya. Namunm, kegiatan itu terpaksa harus kembali terhenti kala sebuah suara teriakan tiba-tiba terdengar dari pintu masuk. "Tunggu! Aku tidak setuju dengan hubungan mereka!""Tunggu! Aku tidak setuju dengan hubungan kalian!" Seorang wanita dengan lipstik merah menyala berdiri di depan pintu masuk. Napasnya tampak memburu, begitu juga raut wajahnya yang amat sangat marah."Mba Asih?" Maheswari bergumam pelan. Dia terkejut dengan kedatangan wanita paruh baya itu.Begitu juga dengan Aryan yang tampak berdiri mematung dengan tatapan yang rumit. Tak jauh berbeda para sanak saudara yang juga berada di sana.Sementara itu, Eira hanya bisa menatap bingung reaksi semua orang. Dia yang tak tahu apa-apa hanya bisa terdiam dan menyaksikan momen aneh yang sedang terjadi.Plak! Sebuah tamparan yang sangat keras mendarat tepat di pipi Aryan. Namun, laki-laki itu masih tak bereaksi. Walau wajahnya terlihat pucat pasi, dengan mata yang mulai memerah. "Kamu tidak pantas mendapatkan semua ini! Pembunuh sepertimu, harusnya menderita seumur hidup!" teriak Asih tepat di depan wajah Aryan.Deg! 'A-apa maksudnya? Pembunuh?' Eira membolakan matanya, dia tak sanggup lagi menahan
"Kamu?" Bibir tipis itu bergumam pelan. Matanya menatap Eira dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Aryan memutari kursi taman lalu berdiri tepat di depan Eira dan mengambil alih payung."Maaf, Pak. Saya cuma takut bapak sakit karena kehujanan," gumam Eira pelan. Sempat mengerjap beberapa kali sebelum matanya dia arahkan pada sepasang sendal rumahan berwaran merah muda yang sedang dirinya pakai. Sorot tajam dari sepasang iris mata Aryan mampu membuat nyalinya menciut. Seolah kebetulan yang tak selamanya akan datang, pada saat itu juga hujan turun semakin lebat, hingga membuat tubuh keduanya tak terlindungi oleh satu payung yang dibawa Eira, sekaligus menyadarkan keduanya dari tubuh yang terpaku di tempat. "Hujan. Ayo kita masuk," ujar Aryan sambil merangkul pundak Eira, agar tubuh keduanya lebih merapat.Deg! Jantung Eira seolah terpacu hingga berdebar begitu cepat, kala tangan besar dengan rasa dingin itu menempel di lengannya yang tak terhalang oleh baju dan menariknya denga
"M-maaf, aku cuma lewat. Aku gak denger apa-apa kok," ujar Eira cepat. Karena terkejut, dia bahkan tak bisa mengendalikan dirinya hingga suaranya sedikit terbata. Aryan menelisik wajah panik Eira. Bahkan tanpa Eira menyangkal pun, dia tahu betul jika gadis itu sudah mendengar semuanya. Namun, alih-alih menegur, Aryan lebih memilih segera berlalu, meninggalkan Eira begitu saja dengan rasa bersalahnya.'Ish, ngapain sih kamu tuh jadi orang kepo banget, Ira-Ira.' Eira menggeleng lemah sambil terus menyesali perbuatannya yang tak bisa menahan rasa keingin tahuannya.Ya, dia memang tak sengaja mendengar perbincangan Aryan dan kedua orang tuanya ketika berjalan melewati kamar Maheswari dan Dedrik, karena pintu kamar yang sedikit terbuka. Tak kuasa menahan rasa penasaran, Eira malah berhenti dan menguping. Namun, kini dia berasa menyesal karena sudah bersikap lancang. ***Setelah sarapan bersama, Aryan dan Eira berpamitan untuk kembali ke rutinitas masi
"Kamu gak papa?" Aryan segera berjalan menghampiri Eira. Dia mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Asih. Namun, dirinya tak juga menemukannya. "Ra?" Aryan harus sedikit menggoyangkan tubuh Eira agar gadis itu menyadari keberadaannya. "Bapak-" Bibir bergetar Eira bergumam lirih. Matanya perlahan bergulir hingga kini tepat menatap wajah Aryan. "Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" tanya Aryan sambil meneliti tubuh Eira, memastikan jika gadis itu tidak memiliki luka sedikit pun. Namun, kekacauan yang dibuat Asih masih membuatnya khawatir, apa lagi dia tidak tahu di mana wanita itu berada. "Di mana Tante Asih?" Eira hanya menggeleng sebagai jawaban, tetapi matanya kembali mengedar menatap sekitar, lalu bergumam sangat lirih. "Sudah pergi." Aryan menghembuskan napas lega. Walau kini matanya menyipit melihat ada darah di kaki Eira, sepertinya terkena pecahan kaca. "Kamu terluka." Perlahan Aryan memapah tubuh Eira un
Aryan berjalan cepat memasuki retoran tempat Maheswari dan Eira berada, dia langsung bergegas datang setelah menyelesaikan rapatnya. Sungguh, akibat keputusan ibunya yang akan langsung melamar Eira, dia sama sekali tidak bisa fokus dalam mengerjakan pekerjaannya.Semua ini terjadi karena kabar kedatangan Asih ke apartemennya yang telah sampai pada kedua orang tuanya, kini mereka mendesaknya untuk segera menikah. Padahal Aryan sudah berusaha sebaik mungkin menutupi kekacauan yang dibuat Asih. Namun, tampaknya kedua orang tuanya memiliki banyak mata yang mengawasinya di mana pun dia berada.Aryan berdiri di pintu masuk restoran sambil menetralkan napasnya yang terasa memburu. Jantungnya berdebar tak menentu entah karena apa. Pandangannya dia edarkan ke seluruh sudut, mencari keberadaan Maheswari dan Eira. Lalu, meneruskan langkahnya kala matanya telah menemukan dua orang yang dirinya cari."Ibu," sapa Aryan sambil duduk di samping Eira."Nah, kebert
"Bibi," sapa Eira begitu dia berdiri di depan Wati. Diam-diam dia melirik wanita paruh baya yang selalu bersikap arogan di depannya. Walau begitu, Eira masih berharap jika bibinya akan berubah pikiran dan kembali menerima dirinya dan Gilang sebagai keluarga. "Duduk!" titah Wati sambil menunjuk kursi di depannya menggunakan dagu.Eira mengangguk lalu duduk. "Kenapa kita bertemu di sini, Bi? Apa Bibi gak mau lihat Kak Gilang?" Wati tersenyum sinis. "Kamu pikir aku ke sini untuk menjenguk mayat hidup sepertinya? Jangan harap." "Bibi!" Tanpa sadar, Eira meninggikan suaranya. Dia tak terima jika Gilang disebut sebagai mayat hidup. "Kakakku masih hidup dan sebentar lagi dia akan sadar, tolong ingat itu, Bi!""Benarkah? Lihat saja nanti, sampai kapan dia akan bertahan dan kamu bisa mendapatkan uang untuk membiayainya," ejek Wati sambil terkekeh sinis. Eira mengepalkan tangannya, kini dirinya mulai menyesal karena telah menemui wanita jahat itu dan masih mengharapkan kebaikannya. "Kalau Bi
"Bu-bulan madu?" Eira menatap bingung Aryan dan Maheswari secara bergantian. Bukankah ini hanya sebuah pernikahan palsu, tetapi kenapa harus ada bulan madu? Bagaimana dengan pekerjaanya, terlebih dia juga masih harus mengurus Gilang."Iya, sayang. Ini adalah tiket bulan madu selama sebulan."Eira semakin terkejut kala mendengar waktu bulan madu yang sangat panjang. "Ta-tapi, Bu-" Eira semakin merasa prustasi ketika melihat Aryan yang diam saja. Jelas-jelas acara ini tidak ada dalam perjanjian, dia tidak akan mau jika harus meninggalkan Gilang dalam waktu yang lama."Terima kasih untuk hadiahnya, Bu, Papah. Tapi, apa kita bisa membicarakan semua ini nanti saja," pinta Aryan yang akhirnya membuka suara."Baiklah. Tapi, keberangkatan kalian besok pagi, jadi jangan sampai terlambat ya." Maheswari mengelus pelan pundak Eira sambil tersenyum lembut.Eira hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Dia bahkan sudah tidak berselera lagi unt
Aryan berdiri di bawah dinginnya tetes air shower yang terus membasahi tubuhnya. Menyugar rambut basahanya, dia mendongak membiarkan wajahnya langsung terkena air sambil terus mengatur napasnya yang masih memburu. Aryan merutuki dirinya sendiri yang hampir saja terbawa oleh amarah bayangan masa lalu. Untung saja asistennnya tiba-tiba menelepon hingga getar ponsel di sakunya mampu menyadarkannya dan mencegahnya melakukan hal yang terkutuk pada Eira.Inilah salah satu alasan dia tidak lagi mau berhubungan dengan mahluk yang bernama perempuan. Dia bahkan belum dapat melupakan bagaimana sakitnya dikhianti oleh kepolosan dan kelembutan yang ternyata menyembunyikan beribu duri dan racun yang sangat mematikan. Bukan hanya dirinya, tetapi juga keluarganya yang hancur. Cukup lama Aryan berada di sana, berteman dengan dinginnya air dan rasa benci akan ketidakberdayaannya. Lelaki itu baru saja ke luar setelah merasa lebih tenang. Matanya sempat menangkap Eira yang masih terl