Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
“Dok! Bagaimana keadaan kakak saya?!” Eira, seorang perempuan cantik dengan rambut yang terurai tengah histeris. Pasalnya, Kakaknya yang merupakan keluarga satu-satunya yang tersisa kini tengah kritis.Sebuah kecelakaan merengut kesadaran Gilang, kakak Eira, ketika sedang membawa motor. Sayangnya, penabraknya itu pergi tanpa bertanggung jawab sama sekali.Namun, seorang laki-laki yang tak Eira kenal membawa kakaknya ke rumah sakit. Awalnya, Eira menuduh laki-laki itulah orang yang menabrak kakaknya. Namun ternyata justru laki-laki itu yang menyelamatkan kakaknya.Eira yang merasa bersalah karena sempat menuduh laki-laki itu berniat meminta maaf. Sayangnya, ia telah lebih dulu pergi tanpa pamit sama sekali.“Kakak kamu masih dalam kondisi kritis. Tapi tenang, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkannya. Kamu bisa ke bagian administrasi untuk menyelesaikan berkas-berkas pengobatan Kakakmu,” ucap dokter tersebut seraya berlalu melewati Eira masih tampak sembab.Seraya me
Setelah berbicang sebentar, Aryan meminta izin untuk mengantarkan Eira pulang mengingat malam sudah semakin larut.“Sebenarnya Bapak tidak usah mengantarkan saya seperti ini,” ujar Eira ketika keduanya sudah berada di dalam lift.Aryan menatap wajah gadis yang berdiri di sampingnya, kakinya melangkah semakin mendekat hingga memojokkan Eira. Mata tajamnya masih tak berpaling walau jelas gadis itu sudah tampak ketakutan. Hatinya masih kesal akan semua masalah yang berawal dari keteledoran Eira.“Memang semua ini karena siapa? Bukankah kamu yang lebih dulu melanggar peraturan kerja di rumahku?” tanya Aryan dengan nada suara menekan. Eira sampai merinding mendengar pertanyaan memojokan dari Aryan, dia sempat melirik wajah tegas dan dewasa dengan rambut yang sedikit berantakan di depannya sebelum kembali berpaling, menghindari beradu tatap. “Eum ... i-itu.” Bola mata Eira tampak bergerak tak menentu, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Aryan karena semua itu memang kenyataan. Namun, dia
"Kak, bertahanlah, aku mohon....” Eira terus bergumam diiringi tetes air mata yang terus mengalir membanjiri pipinya. Dia berjalan mondar-mandir di depan koridor rumah sakit, menunggu dokter yang sedang memeriksa keadaan Gilang.Suara derit pintu terbuka mengalihkan perhatian Eira, jantungnya semakin berpacu kala melihat wajah lelah dan tak berdaya dokter jaga yang masih berdiri di depan pintu.“Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?” tanya Eira lirih. Dalam hati dia berharap agar tak mendapat kabar buruk. Namun, kadang kenyataan memang tak sesuai dengan harapan. “Kondisi pasien semakin buruk, kita harus melakukan operasi secepatnya,” jawab dokter dengan nada hati-hati. Dia cukup tahu bagaimana selama ini Eira selalu berjuang untuk mendapatkan keringanan dari rumah sakit.Eira kembali masuk ke ruang rawat setelah mendapat beberapa penjelasan dari dokter tentang kondisi Gilang saat ini. Dia tatap wajah yang masih tertidur tenang walau baru saja menyebabkan banyak kepanikan.“Apa Kakak sed
Setelah mendapatkan cuti dari atasannya, Eira dikejutkan dengan keberadaan Aryan di depan mini market tempatnya bekerja. "Sedang apa dia di sini?" gumam Eira. Dia langkahkan kakinya menghampiri Aryan yang tengah berdiri bersandar di samping mobil.Hatinya memang masih gondok akan ucapan kasar lelaki dewasa itu, tetapi dia juga harus bersikap profesional mengingat apa yang sudah dilakukan Aryan pada Gilang."Lupakan kesombongannya, Eira. Yang terpenting adalah kesembuhan Kak Gilang," gumamnya di sela langkahnya.Aryan menegakkan tubuhnya begitu melihat kedatangan Eira. "Sudah siap?" tanya Aryan."Tapi, barang bawaanku masih di kontrakan," jawab Eira yang tahu ke mana arah pertanyaan singkat Aryan."Kamu tidak perlu mmebawa apa pun," ujar Aryan sambil berbalik dan segera masuk ke mobil."Tapi, Pak-" Eira menghentikan perkataannya dan segera berjalan cepat memutar dan menyusul Aryan."Kenakan sabuk pengaman. Kita berangkat sekarang," titah Aryan lalu mulai menginjak pedal gas. Mobil pu