Share

Bab4. Salah tingkah

Setelah mendapatkan cuti dari atasannya, Eira dikejutkan dengan keberadaan Aryan di depan mini market tempatnya bekerja.

"Sedang apa dia di sini?" gumam Eira. Dia langkahkan kakinya menghampiri Aryan yang tengah berdiri bersandar di samping mobil.

Hatinya memang masih gondok akan ucapan kasar lelaki dewasa itu, tetapi dia juga harus bersikap profesional mengingat apa yang sudah dilakukan Aryan pada Gilang.

"Lupakan kesombongannya, Eira. Yang terpenting adalah kesembuhan Kak Gilang," gumamnya di sela langkahnya.

Aryan menegakkan tubuhnya begitu melihat kedatangan Eira.

"Sudah siap?" tanya Aryan.

"Tapi, barang bawaanku masih di kontrakan," jawab Eira yang tahu ke mana arah pertanyaan singkat Aryan.

"Kamu tidak perlu mmebawa apa pun," ujar Aryan sambil berbalik dan segera masuk ke mobil.

"Tapi, Pak-" Eira menghentikan perkataannya dan segera berjalan cepat memutar dan menyusul Aryan.

"Kenakan sabuk pengaman. Kita berangkat sekarang," titah Aryan lalu mulai menginjak pedal gas. Mobil pun melaju menyatu dengan lalu lintas jalanan yang sedikit padat.

Aryan sempat membawa Eira ke sebuah butik terlebih dahulu untuk membawa barang pesananya yang ternyata semua keperluan Eira. Dia juga sempat menunggu cukup lama, saat Aryan harus mengadakan rapat online dadakan. Dia sudah cukup tahu bagaimana sibuknya seorang Aryan.

"Apa ini tidak berlebihan? Kita hanya akan pergi selama dua hari tapi Bapak membelikanku sebanyak ini?" Eira meringis melihat satu koper baju dan segala keperluan perempuan yang disiapkan Aryan untuknya.

"Gak usah banyak protes, lagian ini semua menggunakan uangku, jadi suka-suka saya," jawab Aryan tak acuh.

Eira mendengus kesal lalu kembali duduk tegak, menikmati kepadatan jalan yang entah mengapa seolah tak pernah berkesudahan.

"Sudah petang, sebaiknya kita--" Aryan menoleh kala mendengar suara perut Eira yang keroncongan, dia tatap wajah gadis itu dengan raut seolah tengah bertanya, kamu lapar?

"Bukan aku!" Eira mengelak, dia memang belum makan siang, hingga sejak tadi perutnya sudah sangat kelaparan.

"Sepertinya masih ada waktu untuk menikmati kopi dan kue manis." Aryan menatap kilas jam tangannya, lalu mengalihkan arah mobilnya menuju sebuah kafe yang melayani drive true. Dia memesan kopi untuknya, strowbery smoties dan kue tiramisu untuk Eira.

"Makanlah, saya rasa itu cukup untuk mengganjal rasa laparmu," ujar Aryan sambil mulai mengendarai mobilnya lagi.

Eira mengangguk sambil mulai meminum strawbery semoties miliknya, di tengah rasa malu yang masih membebaninya.

Aryan mengangguk puas lalu menyeruput kopi panasnya di sela menyetir. Sudut bibirnya tampak tertarik tipis, membentuk senyum samar.

***

Tepat menjelang makan malam, mobil yang dikendarai Aryan mulai memasuki pelataran luas sebuah rumah yang amat besar. Eira bahkan sudah dibuat takjub kala melihat pilar-pilar yang berdiri kokoh menopang bangunan benuansa klasik modern yang didominasi dengan warna putih.

"Selamat datang di rumah kami, calon matu," sapa Maheswari yang sejak tadi sudah menunggu kehadiran Anak dan calon mantunya di depan rumah. Dia memeluk lembut Eira yang baru saja turun dari mobil.

"Ayo masuk, ibu sudah masak banyak untuk menyambut kedatangan kalian," sambungnya lagi sambil merangkul pundak Eira.

Namun, saat keduanya mulai memasuki rumah besar itu, Aryan dikejutkan dengan keberadaan neneknya yang baru saja ke luar dari kamar bawah.

"Nenek? Kok ada di sini? Bukannya harusnya kita semua yang datang ke rumah nenek untuk merayakan ulang tahun?" tanya Aryan menatap penuh tanya Maheswari, meminta penjelasan. Sementara kakinya menghampiri wanita tua itu lalu mencium tangannya.

"Mana mungkin aku tidak menghadiri pertunangan cucuku sendiri," jawab Nenek Rosa sambil menepuk pelan lengan Aryan. Sementara matanya kini beralih menatap gadis yang berdiri di samping Maheswari.

"Pertunangan? Siapa yang mau tunangan?" Aryan hampir saja meninggikan suaranya karena terkejut. Begitu juga dengan Eira yang ikut terkejut.

"Jadi itu calon istrimu?" Tak menghiraukan pertanyaan Aryan, nenek Rosa malah menghampiri Eira.

Eira yang dihampiri oleh nenek Rosa tampak menegang. 'Pak Aryan gak pernah bilang kalau mau merayakan ulang tahun neneknya di rumah Bu Maheswari. Apa aku yang salah mengerti?'

Sementara itu, nenek Rosa tampak memperhatian penampilan Eira dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Pakaiannya biasa saja, wajahnya juga gak terlalu cantik." Nenek Rosa mulai berjalan memutari Eira sambil memberikan komentar yang amat pedas. "Bentuk tubuhnya juga ... tidak menarik."

Eira menelan salivanya susah payah. Walau ini hanyalah sebuah sandiwara, tetapi jantungnya bahkan sudah berdebar sangat kencang hingga telapak tangannya menjadi basah. 'Gimana kalau ketemu calon mertua beneran ya? Pura-pura aja udah gugup setengah mati kayak gini.'

Nenek Rosa menggeleng miris lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Aryan. "Lalu apa yang kamu sukai dari bocah seperti ini, Ar?"

"Ekhm!" Aryan berdehem cukup keras sambil mulai menghampiri Eira kemudian merangkul pundaknya tanpa ragu. "Eira adalah gadis yang memiliki hati tulus, tidak mudah menyerah, dan...."

Aryan menjeda ucapannya sejenak, sementara tangannya mengambil dagu Eira agar dapat menatapnya. "Bukankah wajahnya begitu manis?"

Eira tersenyum sipu. Itu tidak pura-pura, pipinya benar-benar memerah karena mulut manis Aryan.

"Apa lagi jika sedang tersenyum seperti ini, lihatlah dia begitu cantik dengan lesung pipinya," sambung Aryan lagi sambil mengalihkan tangannya dan mencubit pelan pipi Eira.

"Haish, gak usah umbar kemesraan di depanku, dasar bocah nakal!" Nenek Rosa langsung memisahkan Aryan dan Eira lalu berdiri di antara keduanya.

Aryan menahan senyumnya. Dia membawa kakinya tiga langkah menjauh, memberikan ruang untuk nenek dan Eira berbincang.

"Sekarang giliran kamu bocah." Nenek Rosa beralih menatap penuh wajah tegang Eira. "Apa yang kamu sukai dari cucu nakalku itu? Aku dengar umur kalian terpaut sangat jauh."

"Eum, itu-" Eira mencoba untuk mencari jawaban yang tepat, sembari meminta petunjuk pada Aryan melalui isyarat mata. Namun, lelaki itu malah terus menghindarinya.

"Aku suka laki-laki yang jauh lebih dewasa." Eira meringis, merasa ada yang salah dengan jawabannya.

"Astaga...." Aryan mendesah pasrah. 'Apa dia tidak bisa memujiku sedikit saja? Kenapa malah memilih kata itu sebagai alasan?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status