Home / Horor / Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan / Kunci di Bawah Genteng

Share

Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan
Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan
Author: M. Haz Bey

Kunci di Bawah Genteng

Author: M. Haz Bey
last update Last Updated: 2025-08-27 23:06:23

“Setiap kekayaan menuntut tumbal.”

Kereta terakhir menurunkanku di stasiun kecil yang nyaris dikubur kabut. Dari sana aku menyewa ojek, menempuh jalan kampung yang berkelok—aspal retak, pepohonan jati menjulur seperti jari yang hendak mencakar langit. Pengendara hanya menoleh sekali ketika aku menyebutkan tujuan: rumah tua di ujung dusun Sabrang. Setelah itu, ia diam. Orang-orang di sini, rupanya, lebih memilih membiarkan banyak hal tak diucap.

Rumah itu berdiri di atas tanah yang lebih tinggi dari halaman sekitar, seperti mengawasi halaman dan jalan dari tatapan yang tak ramah. Dua menara kecil di kiri-kanannya, jendela-jendela besar bermata kaca kusam, dan atap yang melengkung seperti punggung binatang terluka. Waktu kecil, aku pernah datang ke mari sekali—menggenggam tangan ibu dengan kencang, sementara kakek menatapku lama-lama tanpa senyum. Kenangan itu menggeliat ketika aku memijakkan kaki lagi di depan gerbang besinya malam ini.

“Mas Raka?” suara seorang perempuan memecah dingin. Dari balik pohon sawo, seorang ibu berkerudung lusuh melangkah ragu. “Saya Murni. Orang-orang sini… banyak yang bilang jangan datang malam-malam. Rumah itu suka… menelan suara.”

“Menelan suara?”

“Kadang orang berteriak, tapi kita cuma dengar seperti angin lewat.” Ia meremas ujung selendangnya. “Turunannya Pak Surya, ya?”

Pak Surya—kakekku. Aku mengangguk. “Saya hanya datang untuk beres-beres. Beberapa hari saja.”

Bu Murni menunduk, seolah ada sesuatu yang lebih berat dari udara di sekeliling kami. “Kalau begitu, ini.” Ia menyodorkan kaleng biskuit tua yang penyok di sisi. “Dititipkan sama Pak RT. Katanya, ini kunci. Dulu disimpan Mbah Sumi, penjaga rumah. Tapi Mbah Sumi meninggal… mendadak. Kami takut ke sini.” Ia menelan ludah. “Kalau ada apa-apa, panggil saja. Walau… mungkin kami tak dengar.”

Aku berterima kasih dan menunggu sampai langkahnya menjauh. Ketika aku mendorong gerbang, engsel berdecit panjang, suaranya menggulung, pecah, lalu seketika lenyap—benar-benar lenyap—seakan dihisap oleh halaman yang gelap. Tak ada gaung yang kembali. Seperti berteriak ke dalam kain tebal.

Di teras, lampu neon menggantung mati. Aku menyalakan ponsel dan menyenter gagang pintu. Kaleng biskuit itu berat, di dalamnya bergemerincing. Bukan kunci biasa: ada lima, bentuknya tua dan panjang, gigi-giginya bergerigi aneh, seolah dibuat untuk lubang yang tak lazim. Ada pula seutas benang merah diikatkan pada salah satunya. Entah kenapa, yang bersimpul benang itu terasa paling dingin di kulit.

Pintu utama terkunci rapat. Kunci-kunci itu tak cocok. Aku memutar satu per satu, tapi lubang kuncinya keras kepala. Aku memutar yang terakhir—yang bertanda benang merah—dan mendadak ada klik lirih, seperti napas dilepaskan. Pintu bergerak sendiri beberapa milimeter, menyisakan celah gelap yang berbau anyir besi.

Aroma itu—aku kenal. Seperti darah lama yang mengering di pagar kawat. Menempel di hidung, di lidah, di ingatan. Aku menelan rasa mual, lalu mendorong daun pintu sekeras yang kubisa. Engselnya seolah telah menunggu perintah itu: menguap panjang, menyayat, dan kemudian berhenti, menyisakan ruang tamu besar yang terperangkap dalam waktu.

Perabot ukir berdebu, karpet Persia yang warnanya memudar, sebuah jam dinding bundar berhenti di angka 02.17. Di dinding menghadap tangga tergantung sebuah potret besar. Kakek duduk di kursi, tubuhnya tegak, jari-jari menumpu pada kepala tongkat. Matanya, dikerjakan dengan detail oleh seniman masa lalu, punya kilau yang menyebalkan: seperti benar-benar mengikuti gerak siapa pun yang masuk.

“Aku kembali,” kataku samar, entah pada siapa.

Udara di dalam rumah lebih dingin dari malam di luar. Ponselku berkedip-kedip, sinarnya melemah. Aku mengaktifkan senter manual kecil yang kubawa, lalu menyusuri ruang tamu ke meja kerja kayu jati yang menghadap jendela. Ada surat-surat lama bertumpuk di sana, diikat tali rafia yang hampir putus. Di atasnya, sebuah amplop cokelat paling baru, dengan namaku ditulis tangan: Untuk Raka.

Jantungku berdebar perlahan. Tanganku ragu membuka, seperti takut pada kata-kata yang mungkin menjelma mulut. Kertas di dalam menghitam di tepi, namun isi tulisannya masih jelas:

Raka,

Jika surat ini kau baca, berarti rumah itu telah memilihmu sebagai pewaris. Dengarkan ketentuan lamanya: jangan pernah menyalakan lampu di ruang bawah, jangan mencermin setelah tengah malam, dan jangan menjawab jika ada yang memanggil namamu dari lorong timur.

Kunci yang bertanda benang merah gunakan hanya untuk satu pintu: pintu gudang di bawah tangga. Jangan membuka selain itu.

Kau mungkin akan mendengar langkah-langkah di atas plafon. Biarkan. Itu bukan untukmu.

—S.

S: Surya. Tulisan kakek, mirip kuku yang menggores kulit buah mangga terlalu keras. “Rumah itu telah memilihmu,” kalimat itu bergetar di kepalaku, lebih menyerupai mantra daripada peringatan. Aku menoleh ke potret. Sejenak, aku bersumpah: cahaya matanya berkedip.

Aku meletakkan surat itu kembali. “Ini konyol,” gumamku, setengah untuk menenangkan diri. Tetapi dalam tubuhku, ada sesuatu yang berjalan pelan: sebuah ingatan yang lupa, sebuah bau dari masa kecil, sebuah lagu nina bobo yang menyelip di telinga tanpa suara.

Tangga kayu di depan berderit pelan. Bukan karena angin—angin malam tak masuk ke sini—melainkan karena berat sesuatu yang melangkah. Langkah kecil, tergesa, berhenti, lalu mundur. Aku menyapu senter ke anak tangga satu per satu. Debu menari di udara seperti salju gosong. Tak ada siapa pun.

Di bawah tangga, pintu kecil tampak samar dalam bayangan—hampir tertutup karpet, seolah ingin dilupakan. Kunci dengan benang merah terasa semakin dingin di kantongku, seperti es batu yang tak mencair. Aku mundur selangkah. Surat kakek berulang di kepala: gunakan hanya untuk satu pintu: pintu gudang di bawah tangga. Jangan membuka selain itu.

“Tidak malam ini,” kataku pada pintu yang diam.

Aku memilih memeriksa dapur terlebih dahulu. Kompor minyak tua, baskom seng, lemari kaca dengan cangkir-cangkir bunga biru yang kehilangan pasangannya. Di ambang jendela, seekor kupu-kupu malam menempel, sayapnya bergerigi seolah pernah disambar api. Dari luar, terdengar suara kodok dari arah kebun belakang. Suara itu datang, lalu… seperti dipelintir, diredam, menghilang sebelum mencapai telingaku sepenuhnya. Menelan suara. Bu Murni benar.

Aku mengambil napas panjang dan membuka keran. Air mengalir. Jernih pada awalnya, lalu memucat, lalu meninggalkan jejak kecoklatan di bak cuci. Aku menutupnya buru-buru. Di ubin dekat kakiku, ada sesuatu yang tak kupahami: tiga koin kuningan berjejer rapi, menempel seperti dilem. Masing-masing dicoret angka: 3, 0, 1. Bila disusun, 301. Atau… 10.3? Atau tanggal? Aku tidak tahu. Koin-koin itu dingin seperti kunci.

Tiba-tiba, jam di ruang tamu berdetak sekali. Hanya sekali. Bunyi “tek” yang tak punya kenalan “tok”. Aku merasakan tengkukku meremang. Jam yang berhenti di 02.17 tak seharusnya berbunyi. Aku menoleh ke arahnya dan, di saat yang sama, lampu luar rumah menyala sendiri—lampu yang tadi pasti mati. Cahaya menembus kaca jendela, memecah ruangan menjadi sayatan-sayatan tipis.

Di kaca itu, pantulan wajahku tampak pucat. Dan di belakang pantulan itu—di belakangku—ada sesuatu yang berdiri di kaki tangga. Aku tak berani menoleh. Aku hanya bisa memandang pantulan: sosok kecil, setinggi anak usia delapan, rambutnya basah menetes, baju putihnya menempel pada kulit. Wajahnya kabur, seolah paku-paku kecil menahan kulitnya agar tak jatuh. Ia mengangkat tangan, menunjuk lurus pada pintu bawah tangga.

“Jangan,” suaraku patah. “Aku belum—”

Sosok itu mencondongkan kepala. Air menetes lebih deras. Di kaca, aku melihat bibirnya bergerak. Tak ada suara keluar—rumah ini menelan suara—tapi aku membaca gerak bibirnya dengan jelas, terlalu jelas:

“Bayar.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Keanehan

    “Aku… atur pintu!”Angin melambat. Suara-suara yang tadi banyak surut ke tepi, seperti air yang menolak menggenang. Boneka kain menoleh padaku—aku bersumpah ia kecewa—lalu ia duduk. Bayangan di tanah menyusut, menyisakan garis tipis pada tepi genteng.Prawira menghela napas. “Bagus. Tahap angin selesai.”Namun sebelum kami sempat turun, pintu rumah depan terbuka. Seorang perempuan muda masuk begitu saja, langkahnya cepat. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya dingin, tapi mata—mata itu—kosong. Ia naik tangga ke atap tanpa memedulikan larangan. Sinta hendak menghalangi, namun perempuan itu menyibakkan tangan Sinta seperti menyibak kain. Aku terpana; ada tenaga dingin di gerakannya, bukan tenaga otot.“Siapa kamu?” tanya Prawira, suaranya tenang lagi, tapi matanya bersiaga.Perempuan itu berdiri di hadapanku, terlalu dekat. Parfum murah bercampur bau lembap. Bibirnya bergerak, tapi yang keluar bukan suaranya. “Kunci,” katanya—kata itu terdengar dari perut, bukan dari tenggorokan. “Ikut.”Ak

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Penyangga

    Malam setelah kami kembali dari makam Ki Jana, aku tidak tidur. Dengung di dada tidak lagi datang sebagai dua ketukan ragu, melainkan langkah-langkah kecil yang mondar-mandir, seperti sesuatu yang gelisah mencari celah. Aku duduk di lantai kamar kos baru—sementara—yang kubooking untuk tiga malam ke depan. Kos lama masih digaris polisi; warga menyalakan dupa, menabur garam, dan berdoa agar “kebakaran” semacam itu tidak terulang. Di koridor kos baru, suara televisi tetangga memutar sinetron, butiran tawa kaleng memantul di dinding tipis.Sinta mengirim pesan: “Besok pagi ada orang yang bisa kita temui. Namanya Pak Prawira. Penyintas. Dulu pernah bantu tetanggaku soal gangguan.”Pagi menjelang, aku bertemu Sinta di gang pasar. Ia membawa termos kecil, menyodorkan padaku. “Wedang jahe. Kau masih pucat.”Aku menghirup hangatnya, mengangguk. “Terima kasih.”Kami berjalan menembus gang yang makin sempit, melewati pintu-pintu kayu yang dicat hijau pudar. Di ujung gang itu ada rumah dengan hal

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Jejak yang Terkubur

    Sehari setelah aku cukup kuat untuk berjalan, aku keluar dari rumah sakit. Sinta yang menemaniku membawa kantong plastik berisi obat, sementara aku berjalan pelan dengan langkah tertatih. Setiap orang yang kami lewati menatapku aneh—mungkin karena perban di dadaku, mungkin karena berita tentang kebakaran kos sudah menyebar. Aku mendengar bisik-bisik lirih: “Itu anak yang selamat…” atau “Katanya ada yang aneh malam itu.”Aku menunduk, tidak peduli. Yang lebih berat dari tatapan mereka adalah dengung rendah yang masih sesekali muncul dari dadaku. Dua ketukan… kadang tiga… seakan-akan ada sesuatu yang mulai belajar berbicara dengan bahasa tulangku sendiri.Sinta menggenggam lenganku. “Kau yakin sudah cukup kuat keluar?”Aku mengangguk. “Kalau aku diam di rumah sakit, aku hanya akan jadi tontonan. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya kakekku lakukan dulu. Semua ini tidak akan berhenti kalau kita tidak tahu asalnya.”Kami berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan. Aku butuh duduk, d

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Kesaksian yang Terbelah

    Aku membuka mata dengan susah payah, cahaya putih menyengat retina. Udara berbau obat antiseptik menusuk hidungku. Mesin di samping ranjang berbunyi ritmis, menandai detak jantungku. Untuk sesaat aku berpikir aku sudah mati dan ini adalah ruang tunggu menuju akhirat.Tapi suara seseorang memanggilku.“Rakha…”Aku menoleh pelan. Sinta duduk di kursi dekat ranjang. Wajahnya lelah, mata sembab, rambut acak-acakan. Begitu ia melihatku sadar, ia langsung berdiri, menatapku penuh lega.“Kau bangun juga,” katanya pelan. Suaranya serak, tapi penuh harapan.Aku mencoba bicara, tapi tenggorokanku kering. “Di… mana… ini?”“Rumah sakit kota,” jawabnya cepat. “Kau pingsan setelah… setelah malam itu.”Aku menutup mata, mencoba menahan ingatan. Malam itu. Bayangan besar, boneka terbakar, darahku, jeritan Wira. Aku gemetar. “Yang lain… selamat?”Wajah Sinta menegang. Ia menunduk, menatap lantai. “Beberapa. Tapi tidak semuanya.”Aku menunggu, hatiku berdegup kencang.“Wira… dia meninggal.” Suaranya pe

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Malam Kos Berdarah

    Malam itu, aku tahu sesuatu akan terjadi. Sejak sore, tanda di dadaku berdenyut lebih kencang dari biasanya, seolah gong dipukul berulang-ulang dari dalam tulang. Nafasku terasa berat, langkahku limbung. Aku duduk di ranjang kamar kos, memandang jendela yang tertutup tirai. Di luar, suara kota terdengar biasa: motor melintas, anak-anak berteriak, radio tetangga memutar lagu dangdut. Tapi di dalam kamar, udara menebal, pekat, seperti ada dinding lain yang menutup rapat.Aku mencoba menggambar lingkaran dengan kapur di lantai, menyiapkan mangkuk air untuk menampung darah. Sudah tiga malam berturut-turut aku melakukan ini, dan selalu berhasil menahan bayangan agar tetap di dalam. Tapi malam ini berbeda. Tanda di dadaku menolak tenang. Setiap kali aku mencoba menggoreskan keris ke kulit untuk meneteskan darah, bilahnya terasa panas, bukan dingin. Seakan-akan benda itu menolak.Jam dinding berdentang dua belas kali.Dinginnya langsung menusuk.Bayangan gelap muncul di pojok ruangan, kali i

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Bayangan Kota

    Kota menyambutku dengan hiruk-pikuk yang asing, tapi anehnya menenangkan. Jalanan ramai, pedagang berteriak, klakson bersahutan, dan aroma gorengan bercampur asap knalpot memenuhi udara. Semua ini mungkin biasa bagi orang lain, tapi bagiku, setelah malam-malam di rumah kakek, keramaian seperti ini terasa seperti pelukan. Aku duduk di bangku terminal, memandang orang-orang berlalu-lalang. Anak kecil berlari mengejar balon, remaja bercanda sambil membawa tas sekolah, ibu-ibu menawar harga sayur. Dunia seakan berkata, “Kau masih hidup, Rakha. Kau masih bagian dari kami.”Namun aku tahu, hidupku tidak akan pernah benar-benar sama. Di dada, tanda hitam samar yang kutulis dengan darahku berdenyut pelan, seolah mengingatkanku: aku membawa sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa kuletakkan begitu saja.Aku mencari tempat untuk tinggal. Tidak mungkin aku kembali ke losmen kecil tempat boneka itu muncul. Aku berjalan ke arah barat kota, ke kawasan yang lebih sepi. Akhirnya kutemukan rumah kos tua, dua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status