Senter di tanganku meredup. Aku menutup mata sejenak, dan ketika kubuka, sosok itu sudah tidak ada. Hanya masih ada jejak air di anak tangga pertama sampai ketiga, menghilang di tangga keempat seakan ditelan kayu.
Aku mundur ke meja kerja, mengais tas ransel, mencari korek dan lilin kecil yang selalu kubawa. Satu percikan, sumbu menyala, dan ruangan berubah: cahaya lilin membikin bayangan bergerak lebih hidup, lebih licik. Aku meletakkan lilin di dekat amplop surat, lalu menatap lagi potret kakek. Gelap di matanya kini tampak seperti lubang yang dalam, satu lubang bagiku untuk jatuh.
“Kau menulis jangan menjawab panggilan dari lorong timur,” kataku, pura-pura berani. “Kalau ada yang memanggil dari sana, apa yang terjadi kalau kujawab?”
Rumah bertenang. Lalu, seolah menjawab ucapanku, dari lorong sebelah kanan—lorong timur—ada sesuatu yang menyeret pelan di lantai, seperti karung berisi pasir. Tidak keras. Tidak kasar. Nyaris lembut. Tetapi cukup untuk menggurat kulit hatiku dengan kuku-kuku kecil.
“Rakaa…”
Aku membeku. Itu bukan angin. Itu bukan tikus. Itu… namaku, dipanggil dengan nada yang sangat mengenal. Nada ibu ketika menjemputku pulang sekolah. Nada yang hanya dimiliki mereka yang pernah menunggu di teras dengan cemas.
“Raka… ayo pulang.”
Aku menggigit bibir hingga kupikir darahku sendiri akan membangunkan dinding-dinding. Surat kakek bergema lagi: jangan menjawab jika ada yang memanggil namamu dari lorong timur. Aku menutup mulut dengan punggung tangan. Lorong itu gelap seperti sumur. Dari gelapnya, hawa dingin merangkak ke kakiku.
“Ayo pulang…” Suara itu lebih dekat. Tercekik, tapi lembut. “Ibu kangen…”
Ibu sudah lama meninggal. Di rumah sakit, bukan di lorong mana pun. Akal sehatku berteriak. Tapi suara itu—suara itu menyalin kenangan dengan sempurna. Aku hampir lupa menahan diri ketika lidahku bergerak sendiri.
“A—” huruf pertama naik dari kerongkongan. Aku menghantam dadaku satu kali. Jangan. Jangan. Jangan. Lilin meliuk oleh napasku yang memburu.
“Raka…”
Aku mengangkat senter dan menyorot sepanjang lorong. Dinding-dinding lembab berkeringat. Di ujung lorong, pintu kayu retak terbuka sedikit, menampakkan kegelapan yang lebih pekat, kegelapan yang seperti bukan hanya tidak ada cahaya, tetapi juga menolak cahaya. Dari sanalah suara itu datang.
Aku mundur. Satu langkah. Dua langkah. Sampai punggungku menyentuh tepi meja. Kunci-kunci di dalam kaleng beradu, berdenting lirih. Di antara denting itu, jam dinding kembali berdetak sekali. 02.17. Aku melihat jarumnya bergerak—sedikit, sangat sedikit—lalu kembali berhenti.
“Baik,” kataku pada rumah—atau pada diriku sendiri. “Kalian ingin aku membuka sesuatu. Tapi bukan malam ini.” Aku meraih kaleng kunci, mengambil yang bertanda benang merah, dan—entah kenapa—mengikatkannya ke pergelangan tangan seperti gelang, agar aku tak lupa, agar aku ingat perintah yang justru mengundang.
Aku menuju kamar paling dekat ruang tamu. Pintu kamar itu tak terkunci. Di dalamnya, ranjang besi tua, kasur tipis, dan lemari dengan kaca yang retak di sudut. Aku menutup pintu dan menyelotnya dari dalam—selotnya berkarat, tapi masih mau bekerja. Ketika kupadamkan senter, ruangan nyaris gelap kecuali cahaya lilin di luar yang meneteskan remang di ambang.
Kulepaskan sepatu. Aku tak berbaring. Aku duduk di lantai, bersandar pada ranjang, mendengarkan rumah bernapas pelan: desah kayu, keluhan pipa, bisik yang bukan kata-kata. Di luar jendela, kabut turun lebih rendah, menyelimuti pagar. Segalanya menjadi putih keabu-abuan, seperti perban raksasa membalut luka yang tak pernah kering.
Sebelum memejam, aku mengangkat kepala. Entah sejak kapan, di ambang pintu kamar, ada sesuatu yang diselipkan dari luar: selembar kertas kecil, dilipat. Aku merangkak pelan, menariknya. Di kertas itu, tulisan yang terburu-buru, tinta meleber:
Purnama tinggal tiga malam.
Jangan terlambat.
Di bawahnya, ada satu goresan kecil: angka yang kubaca seperti 301—sama seperti koin-koin di dapur. Atau mungkin 10.3. Atau… tanggal perjanjian. Aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah satu: malam ini baru permulaan, dan rumah tua ini tak lagi sekadar bangunan warisan. Ia seperti mulut yang lama menahan lapar, dan kedatanganku telah menciumkan aroma makan malam di udara.
Di luar, suara langkah kecil kembali berlari di atas plafon. Sekali. Dua kali. Lalu berhenti tepat di atas kepalaku.
Aku memejam. Dan pada saat itu, di telinga yang seharusnya dibungkam rumah, ada bisik yang begitu dekat hingga terasa seperti lahir dari dalam tengkorakku sendiri:
“Warisan harus dibayar, Raka.”
Pagi datang tanpa matahari. Kabut masih menggantung rendah, membuat pepohonan jati di sekitar rumah tampak seperti bayangan yang gagal dibersihkan malam. Aku terbangun bukan karena alarm, melainkan karena bunyi ketukan halus dari arah lemari. Tiga kali. Teratur. Seperti ada seseorang di dalamnya yang meminta izin keluar.
Aku tidak membukanya. Hanya duduk, menatap pintu lemari yang retak kacanya, sambil menahan napas. Ketukan itu berhenti sendiri, seakan sadar bahwa aku sudah mendengarnya. Baru setelah beberapa menit, aku berani bangkit, mengambil air minum, dan keluar kamar.
Rumah itu tetap diam, tapi diam yang terlalu penuh. Aku memutuskan keluar untuk mencari udara segar. Gerbang berkarat masih terkunci dari luar, jadi aku melompati pagar rendah ke arah jalan desa. Beberapa warga yang lewat menatapku sejenak, lalu buru-buru menunduk.
“Pagi, Pak,” sapaku pada seorang bapak tua dengan cangkul di bahu.
Ia berhenti sesaat, menatapku, lalu hanya menggumam, “Kamu cucunya Pak Surya, ya?”
Aku mengangguk. “Betul. Saya Raka. Lagi beres-beres rumah.”
Bapak itu seperti ingin bicara sesuatu, tapi akhirnya hanya meludah ke tanah dan berjalan pergi. Seolah kata-kata yang akan keluar terlalu berat untuk ditanggung.
Di warung kopi dekat perempatan, aku bertemu dengan Bu Murni lagi. Ia tampak terkejut melihatku keluar dari rumah tua itu.
“Mas Raka, semalaman… tidak apa-apa?” tanyanya sambil menyuguhkan segelas kopi hitam.
Aku terdiam sebentar. “Ada suara… seperti orang memanggil nama saya.”
Wajahnya memucat. Ia menoleh kiri-kanan, memastikan tak ada yang mendengar. Lalu suaranya mengecil. “Lorong timur, ya?”
Aku menatapnya kaget. “Iya… dari situ. Bagaimana Ibu tahu?”
Bu Murni meremas tangannya sendiri. “Itu lorong yang dulu dipakai Mbah Surya untuk… memanggil.”
“Memanggil siapa?”
Ia tak menjawab. Hanya menatap meja kayu, lalu menyebut pelan, “Tumbal.”
Aku tercekat.
Siang itu, aku kembali ke rumah. Aku memutuskan memeriksa halaman belakang. Ada sebuah sumur tua di sana, ditutupi papan kayu setengah lapuk. Tali timba masih tergantung, berlumut hijau.
Saat aku mendekat, hawa dingin naik dari lubang sumur. Anehnya, papan penutup itu bergetar pelan, seperti ada yang mengetuk-ngetuk dari dalam. Aku jongkok, mendekatkan telinga.
“Rakaaa…” suara itu lirih, seperti berasal dari dasar air yang dalam.
Aku tersentak mundur. Itu suara yang sama dengan semalam—suara ibu.
Aku ingin lari, tapi langkahku justru membawaku mendekat lagi. Aku menyingkap papan, menyorotkan senter ke dalam. Air di dasar sumur tenang, tapi di permukaannya ada tiga koin kuningan yang sama dengan yang kutemukan di dapur. Nomornya jelas: 3, 0, 1.
Aku merinding. Koin itu tidak mungkin berpindah sendiri ke sana.
Tiba-tiba, tali timba bergerak. Perlahan naik, seperti ada yang menarik dari bawah. Aku menunggu dengan napas tercekat. Dari kegelapan, ujung tali muncul, basah. Dan tergantung di sana—sebuah boneka kain lusuh, kepalanya sobek, matanya hanya satu, terbuat dari kancing hitam.
Boneka itu meneteskan air. Dan ketika aku menunduk lebih dekat, aku melihat bibir kainnya bergerak. Bukan karena angin. Bukan karena air. Melainkan seolah benar-benar berusaha bicara.
Suaranya bergetar, pelan, tapi jelas:
“Bayar, Raka… bayarlah warisan darahmu.”
Aku terhuyung mundur, hampir jatuh. Boneka itu masih tergantung, meneteskan air, matanya yang satu menatapku seperti lubang hitam kecil.
Sore menjelang, aku duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Tapi kemudian aku sadar: potret kakek di dinding tidak lagi sama. Senyumnya yang dulu dingin kini melebar sedikit, sangat tipis, hampir tak terlihat kecuali kalau kau memperhatikan dengan saksama.
Aku berdiri, menatap potret itu lama-lama. Dan aku tahu—rumah ini sedang mengujiku.
Surat kakek kembali terngiang: “Jangan menyalakan lampu di ruang bawah. Jangan mencermin setelah tengah malam. Jangan menjawab panggilan dari lorong timur.”
Tiga larangan. Dan baru satu yang hampir kulanggar.
Aku tahu malam nanti, ujian berikutnya akan datang.
Dan rumah tua ini tidak pernah lupa menagih.
Aku masih berlutut di depan sumur, napasku tersengal. Udara malam menusuk tulang, tapi tubuhku dipenuhi keringat dingin. Boneka kain itu kini duduk di bibir sumur, kepalanya miring ke samping seperti anak kecil yang sedang bermain. Matanya yang terbuat dari kancing hitam menatapku tanpa berkedip, sementara senyum sobeknya semakin lebar.“Andi…” suaraku parau. “Apa yang mereka lakukan padamu…”Namun aku tahu, itu bukan lagi Andi. Tidak ada yang bisa mengembalikan sahabatku. Yang tersisa hanyalah tubuh kosong yang dikendalikan kutukan rumah ini.Dari arah rumah, pintu depan terbuka pelan. Engselnya berdecit panjang, diikuti suara langkah menyeret yang semakin mendekat. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu—Andi, atau sosok yang menyerupainya, sedang datang ke arahku.Aku bangkit tergesa, berlari ke arah kebun belakang. Pohon-pohon bambu bergoyang keras meski angin tidak berhembus. Suara bisikan mengikuti setiap langkahku.“Rakha… jangan lari… giliranmu…”Aku menutup telinga, tapi bisikan i
Aku terduduk lemas di tanah berumput basah, tubuh gemetar tanpa bisa kukendalikan. Nafasku memburu, bercampur dengan isak yang kutahan di tenggorokan. Mataku tak lepas dari sumur tua di hadapanku—airnya yang gelap sudah kembali tenang, seakan tak pernah menyeret Andi ke dalam. Namun, di permukaan, boneka kain itu masih terapung. Mulut sobeknya membentuk senyum dingin yang menusuk.“Andi…” bisikku lirih, serak. “Kenapa harus kamu…”Aku ingin menjerit, tapi tak ada suara keluar. Hanya dada yang sesak dan tubuhku yang semakin lemah. Suasana malam makin mencekam. Angin dingin berembus, membawa bau amis yang menusuk hidung. Gamelan samar terdengar lagi dari arah belakang rumah—pelog sumbang, seperti dimainkan oleh tangan-tangan yang patah.Aku berusaha berdiri, tapi lututku goyah. Dalam kepalaku, bayangan wajah Andi saat ditarik ke sumur terus terputar. Tangannya meraih, suaranya memanggil, dan aku… gagal menyelamatkannya. Rasa bersalah mencengkram dadaku, lebih berat daripada ketakutan it
Andi menatap sekeliling rumah dengan mata berbinar, seolah-olah sedang berkunjung ke museum tua, bukan ke sarang kutukan. Ia menepuk bahuku dengan tawa lepas.“Rak, gila. Rumah kakekmu keren banget! Kayak rumah di film-film horor. Pantes kamu kelihatan pucat, pasti tiap malam kebayang pocong, ya?”Aku hanya menelan ludah. Ingin sekali aku berteriak padanya untuk pergi, tapi entah kenapa lidahku kelu. Seolah rumah ini tidak mengizinkan kata “keluar” terucap dari mulutku.“Andi, dengar aku,” kataku pelan. “Kamu tidak boleh bermalam di sini. Ada sesuatu—”“Yaelah,” potongnya. “Gue udah booking penginapan di desa, kok. Tenang aja. Cuma mampir sebentar. Paling sejam dua jam.”Aku ingin lega, tapi rumah ini seakan tahu. Dari arah lorong timur, terdengar suara kriiit… kriiit… kayu yang bergeser. Jejak kaki basah muncul lagi di lantai, merayap pelan mendekat.Andi memicingkan mata. “Eh, ini apaan? Kamu sengaja bikin efek biar gue takut, ya?”Aku memegang lengannya. “Bukan aku. Itu… bukan aku.
Kabut belum juga hilang meski pagi sudah lama datang. Dari jendela kamar, aku hanya melihat warna abu-abu yang menutup kebun belakang. Udara di dalam rumah pengap, berbau tanah basah bercampur anyir besi. Seolah-olah rumah ini menghirup darah malam dan menghembuskannya kembali di pagi hari.Aku duduk di lantai, punggung bersandar ke ranjang. Seluruh tubuh masih lemas setelah kejadian semalam. Sosok Pak Lurah yang wajahnya berubah rata terus menghantui pikiranku. Apakah benar dia yang asli sempat datang? Ataukah sejak awal hanya jelmaan rumah ini?Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca surat kakek sekali lagi. Tulisan tangannya, kasar dan bergetar, seperti ditulis dalam keadaan tergesa. “Jangan menjawab… jangan membuka… jangan bercermin…” Tiga larangan. Dan entah kenapa, makin aku membacanya, makin terasa seperti undangan.Aku harus keluar, pikirku. Kalau tidak, aku akan gila.Di warung kopi, beberapa warga menatapku dengan cara yang sama: cepat, waspada, lalu menunduk. Seolah-ol
Malam turun dengan cara yang aneh. Langit di luar seharusnya masih menyisakan cahaya jingga, tapi rumah ini menelannya lebih cepat. Jam dinding di ruang tamu masih terhenti di pukul 19.45, padahal ponselku jelas menunjukkan lewat pukul delapan. Seakan-akan, waktu di dalam rumah ini berjalan dengan aturan sendiri, dan aku hanyalah tamu yang tersesat di dalamnya.Aku sedang duduk di kursi jati tua, berusaha membaca surat kakek sekali lagi, ketika suara ketukan keras terdengar dari pintu depan. Duk! Duk! Duk! Tiga kali, cepat, mendesak.Aku merinding. Ketukan itu terdengar seperti seseorang yang panik, bukan sekadar tamu yang ingin berkunjung.Aku berdiri perlahan. “Siapa?” tanyaku dengan suara yang kupaksakan tegas.Tidak ada jawaban.Ketukan berhenti sejenak, lalu sebuah suara berat menyusul dari luar. Suara seorang pria tua, serak, tapi jelas:“Buka, Nak. Ini Pak Lurah. Ada hal penting yang harus kau tahu.”Aku tertegun. Pak Lurah. Nama itu sempat disebut Bu Murni siang tadi. Katanya,
Senter di tanganku meredup. Aku menutup mata sejenak, dan ketika kubuka, sosok itu sudah tidak ada. Hanya masih ada jejak air di anak tangga pertama sampai ketiga, menghilang di tangga keempat seakan ditelan kayu.Aku mundur ke meja kerja, mengais tas ransel, mencari korek dan lilin kecil yang selalu kubawa. Satu percikan, sumbu menyala, dan ruangan berubah: cahaya lilin membikin bayangan bergerak lebih hidup, lebih licik. Aku meletakkan lilin di dekat amplop surat, lalu menatap lagi potret kakek. Gelap di matanya kini tampak seperti lubang yang dalam, satu lubang bagiku untuk jatuh.“Kau menulis jangan menjawab panggilan dari lorong timur,” kataku, pura-pura berani. “Kalau ada yang memanggil dari sana, apa yang terjadi kalau kujawab?”Rumah bertenang. Lalu, seolah menjawab ucapanku, dari lorong sebelah kanan—lorong timur—ada sesuatu yang menyeret pelan di lantai, seperti karung berisi pasir. Tidak keras. Tidak kasar. Nyaris lembut. Tetapi cukup untuk menggurat kulit hatiku dengan kuk