LOGINKamar kakek dipenuhi aroma dupa yang menusuk, bercampur bau amis sesajen yang sudah membusuk. Cahaya rembulan masuk lewat jendela kecil, membuat bayangan altar tampak lebih menyeramkan. Di hadapanku, kepala kambing dengan mata melotot seakan masih hidup, lidahnya menjulur, darah kering menetes ke lantai.
Aku menelan ludah. “Astaga, Kek… apa yang kau lakukan di sini?”
Di meja, selain sesajen, ada benda-benda lain: keris berkarat, mangkuk tanah liat berisi abu, dan kitab usang bertuliskan aksara Jawa kuno. Tulisan merah di dinding tampak seperti peringatan atau mantra. Tanganku gemetar saat menyentuh kitab itu. Halamannya rapuh, beberapa sobek, tapi aku bisa membaca sedikit terjemahannya:
"Siapa pun pewaris rumah ini, akan menanggung perjanjian. Jika tumbal tidak tercukupi, darah keturunanlah yang akan ditagih."
Dadaku sesak. Jadi benar. Kakek membuat pesugihan, dan sekarang akulah yang jadi sasaran. Bukan hanya Andi—kutukan ini ingin aku juga.
Tiba-tiba pintu kamar bergetar keras. Duk! Duk! Duk! Suara itu seperti dentuman gong, menggema sampai kepalaku sakit. Bisikan kembali terdengar, kali ini lebih banyak, bertumpuk-tumpuk seperti ratusan mulut berbicara serentak.
“Rakha… waktumu tiba… buka pintu…”
Aku meraih keris berkarat itu. Genggamannya dingin, membuat bulu kudukku meremang. Meski ragu, hanya ini satu-satunya senjata yang bisa kupakai.
Pintu berhenti bergetar, digantikan suara langkah kaki yang menyeret. Dari celah bawah pintu, cairan hitam merembes masuk, menyebar di lantai. Cairan itu berbau amis, lalu membentuk tulisan: BAYAR.
Aku mundur, hampir tersandung altar. Kitab di meja tiba-tiba terbuka sendiri, halamannya terbolak-balik cepat hingga berhenti pada satu halaman. Tulisan aksara menyala merah, dan dari antara huruf itu muncul suara berat:
“Bayar dengan darah… atau rumah ini menelanmu.”
Aku terisak. “Tidak… aku tidak mau mati di sini…”
Angin kencang tiba-tiba berhembus, memadamkan dupa. Kamar gelap total, hanya mata kerbau kering di altar yang entah kenapa berpendar merah samar. Aku merasa ada yang berdiri tepat di belakangku. Nafas berat, dingin, menyentuh tengkukku.
Dengan panik, aku membalikkan badan sambil menghunus keris.
“JANGAN DEKAT-DEKAT!”
Tidak ada siapa-siapa. Hanya kegelapan.
Tapi saat aku menunduk, di lantai terlihat bayangan hitam, padahal di ruangan ini hanya ada aku. Bayangan itu bergerak sendiri, menjulur panjang, lalu meraih kakiku. Aku menjerit, menusukkan keris ke lantai. Bayangan itu melengking, lalu lenyap.
Namun dari jendela, aku mendengar suara lain. Suara gamelan kembali berdentum, kali ini disertai nyanyian lirih perempuan. Nada-nadanya memanggil, seolah mengundangku keluar.
Dengan hati-hati aku membuka jendela. Halaman belakang tampak berbeda. Pohon-pohon melengkung, membentuk lingkaran. Di tengahnya, lilin-lilin besar menyala sendiri, mengitari sumur tua. Di sekeliling lingkaran, puluhan bayangan hitam berdiri kaku, tubuh mereka samar seperti asap.
Dan di depan sumur, seseorang sedang duduk bersila. Rambut panjang, wajah pucat, mata kosong. Itu Andi.
“Andi!” aku menjerit, air mata kembali jatuh.
Ia menoleh perlahan. Senyum aneh menghiasi bibirnya. “Rakha… akhirnya kau datang.”
Aku melompat keluar jendela, keris tergenggam erat. Kakiku berdarah karena pecahan kaca, tapi aku tidak peduli. Aku berlari mendekat, meski tubuhku gemetar hebat.
“Andi, bangun! Kita harus pergi dari sini!”
Tapi ia menggeleng pelan. “Aku sudah jadi milik mereka. Sekarang, kau juga harus ikut.”
Dari dalam sumur, boneka kain itu muncul lagi. Tapi kali ini ukurannya lebih besar, seukuran anak kecil. Tubuhnya meneteskan air hitam, matanya berkilau merah. Ia tertawa lirih, suara seperti boneka rusak:
“Bayar… bayar…”
Aku mengangkat keris, menantang meski suaraku bergetar. “Aku tidak akan jadi tumbal berikutnya!”
Boneka itu melompat keluar sumur, mendarat di tanah. Tangan-tangan pucat kembali muncul dari lingkaran lilin, meraih ke arahku. Aku menebas dengan keris, satu demi satu tangan lenyap jadi asap, tapi semakin banyak yang muncul.
Andi berdiri, wajahnya kini retak seperti topeng pecah. Dari celah-celah kulitnya keluar asap hitam. “Rakha… jangan melawan. Semakin kau melawan, semakin mereka lapar.”
“Aku tidak peduli! Aku akan hancurkan rumah ini!”
Aku berlari menuju altar sumur. Keris di tanganku terasa semakin berat, tapi entah dari mana muncul kekuatan. Aku menancapkan keris itu ke tanah tepat di samping sumur. Cahaya merah meledak, membuat bayangan-bayangan menjerit dan mundur.
Namun boneka kain itu tidak lenyap. Ia malah tumbuh semakin besar, tubuhnya menjulang setinggi manusia dewasa. Senyum sobeknya semakin lebar, hingga hampir membelah wajahnya. Ia melompat ke arahku, kuku-kuku panjangnya berkilat.
Aku berguling ke samping, lalu menebasnya dengan keris. Tubuh boneka itu terbelah, tapi segera menyatu kembali. Tawa anehnya menggema di seluruh halaman.
“Aku tidak bisa dikalahkan dengan itu, Rakha…”
Aku mundur, panik. Lilin-lilin di sekeliling sumur padam satu per satu, meninggalkan kegelapan pekat. Suara gamelan semakin keras, semakin liar.
Tiba-tiba aku teringat kitab di kamar kakek. Ada satu halaman yang menyebut cara menghentikan kutukan: membakar akar perjanjian. Tapi di mana?
Aku menoleh ke sumur. Dari celah batu-batunya, terlihat akar pohon besar menjalar masuk. Itulah sumbernya!
Dengan sisa tenaga, aku berlari ke sumur. Boneka raksasa itu mengejarku, mulutnya menganga lebar. Aku meraih obor kecil yang entah sejak kapan menyala di tanah, lalu menyalakannya dengan percikan keris. Api berkobar, kecil tapi cukup.
Aku menyulut akar-akar itu. Api merambat cepat, menyebar ke seluruh lingkaran. Jeritan menggema, bayangan-bayangan meleleh seperti lilin. Andi menjerit paling keras, tubuhnya runtuh jadi abu.
Boneka kain itu melompat ke arahku terakhir kali, tapi api menyambar tubuhnya. Ia terbakar, menjerit dengan suara melengking hingga gendang telingaku hampir pecah. Lalu—BOOM!—tubuhnya meledak jadi abu hitam.
Halaman hening. Gamelan berhenti. Hanya suara nafasku yang tersisa.
Aku terjatuh, tubuhku lemas, hampir pingsan. Api masih menyala di sumur, membakar akar-akar kutukan. Aku menangis, tidak tahu apakah ini akhir atau hanya awal dari sesuatu yang lebih buruk.
Namun untuk pertama kalinya sejak malam itu, aku merasa rumah ini… diam. Tidak ada bisikan, tidak ada suara.
Aku menatap langit, air mata bercampur darah. “Andi… maafkan aku…”
Lalu, gelap menyelimuti.
“Aku… atur pintu!”Angin melambat. Suara-suara yang tadi banyak surut ke tepi, seperti air yang menolak menggenang. Boneka kain menoleh padaku—aku bersumpah ia kecewa—lalu ia duduk. Bayangan di tanah menyusut, menyisakan garis tipis pada tepi genteng.Prawira menghela napas. “Bagus. Tahap angin selesai.”Namun sebelum kami sempat turun, pintu rumah depan terbuka. Seorang perempuan muda masuk begitu saja, langkahnya cepat. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya dingin, tapi mata—mata itu—kosong. Ia naik tangga ke atap tanpa memedulikan larangan. Sinta hendak menghalangi, namun perempuan itu menyibakkan tangan Sinta seperti menyibak kain. Aku terpana; ada tenaga dingin di gerakannya, bukan tenaga otot.“Siapa kamu?” tanya Prawira, suaranya tenang lagi, tapi matanya bersiaga.Perempuan itu berdiri di hadapanku, terlalu dekat. Parfum murah bercampur bau lembap. Bibirnya bergerak, tapi yang keluar bukan suaranya. “Kunci,” katanya—kata itu terdengar dari perut, bukan dari tenggorokan. “Ikut.”Ak
Malam setelah kami kembali dari makam Ki Jana, aku tidak tidur. Dengung di dada tidak lagi datang sebagai dua ketukan ragu, melainkan langkah-langkah kecil yang mondar-mandir, seperti sesuatu yang gelisah mencari celah. Aku duduk di lantai kamar kos baru—sementara—yang kubooking untuk tiga malam ke depan. Kos lama masih digaris polisi; warga menyalakan dupa, menabur garam, dan berdoa agar “kebakaran” semacam itu tidak terulang. Di koridor kos baru, suara televisi tetangga memutar sinetron, butiran tawa kaleng memantul di dinding tipis.Sinta mengirim pesan: “Besok pagi ada orang yang bisa kita temui. Namanya Pak Prawira. Penyintas. Dulu pernah bantu tetanggaku soal gangguan.”Pagi menjelang, aku bertemu Sinta di gang pasar. Ia membawa termos kecil, menyodorkan padaku. “Wedang jahe. Kau masih pucat.”Aku menghirup hangatnya, mengangguk. “Terima kasih.”Kami berjalan menembus gang yang makin sempit, melewati pintu-pintu kayu yang dicat hijau pudar. Di ujung gang itu ada rumah dengan hal
Sehari setelah aku cukup kuat untuk berjalan, aku keluar dari rumah sakit. Sinta yang menemaniku membawa kantong plastik berisi obat, sementara aku berjalan pelan dengan langkah tertatih. Setiap orang yang kami lewati menatapku aneh—mungkin karena perban di dadaku, mungkin karena berita tentang kebakaran kos sudah menyebar. Aku mendengar bisik-bisik lirih: “Itu anak yang selamat…” atau “Katanya ada yang aneh malam itu.”Aku menunduk, tidak peduli. Yang lebih berat dari tatapan mereka adalah dengung rendah yang masih sesekali muncul dari dadaku. Dua ketukan… kadang tiga… seakan-akan ada sesuatu yang mulai belajar berbicara dengan bahasa tulangku sendiri.Sinta menggenggam lenganku. “Kau yakin sudah cukup kuat keluar?”Aku mengangguk. “Kalau aku diam di rumah sakit, aku hanya akan jadi tontonan. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya kakekku lakukan dulu. Semua ini tidak akan berhenti kalau kita tidak tahu asalnya.”Kami berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan. Aku butuh duduk, d
Aku membuka mata dengan susah payah, cahaya putih menyengat retina. Udara berbau obat antiseptik menusuk hidungku. Mesin di samping ranjang berbunyi ritmis, menandai detak jantungku. Untuk sesaat aku berpikir aku sudah mati dan ini adalah ruang tunggu menuju akhirat.Tapi suara seseorang memanggilku.“Rakha…”Aku menoleh pelan. Sinta duduk di kursi dekat ranjang. Wajahnya lelah, mata sembab, rambut acak-acakan. Begitu ia melihatku sadar, ia langsung berdiri, menatapku penuh lega.“Kau bangun juga,” katanya pelan. Suaranya serak, tapi penuh harapan.Aku mencoba bicara, tapi tenggorokanku kering. “Di… mana… ini?”“Rumah sakit kota,” jawabnya cepat. “Kau pingsan setelah… setelah malam itu.”Aku menutup mata, mencoba menahan ingatan. Malam itu. Bayangan besar, boneka terbakar, darahku, jeritan Wira. Aku gemetar. “Yang lain… selamat?”Wajah Sinta menegang. Ia menunduk, menatap lantai. “Beberapa. Tapi tidak semuanya.”Aku menunggu, hatiku berdegup kencang.“Wira… dia meninggal.” Suaranya pe
Malam itu, aku tahu sesuatu akan terjadi. Sejak sore, tanda di dadaku berdenyut lebih kencang dari biasanya, seolah gong dipukul berulang-ulang dari dalam tulang. Nafasku terasa berat, langkahku limbung. Aku duduk di ranjang kamar kos, memandang jendela yang tertutup tirai. Di luar, suara kota terdengar biasa: motor melintas, anak-anak berteriak, radio tetangga memutar lagu dangdut. Tapi di dalam kamar, udara menebal, pekat, seperti ada dinding lain yang menutup rapat.Aku mencoba menggambar lingkaran dengan kapur di lantai, menyiapkan mangkuk air untuk menampung darah. Sudah tiga malam berturut-turut aku melakukan ini, dan selalu berhasil menahan bayangan agar tetap di dalam. Tapi malam ini berbeda. Tanda di dadaku menolak tenang. Setiap kali aku mencoba menggoreskan keris ke kulit untuk meneteskan darah, bilahnya terasa panas, bukan dingin. Seakan-akan benda itu menolak.Jam dinding berdentang dua belas kali.Dinginnya langsung menusuk.Bayangan gelap muncul di pojok ruangan, kali i
Kota menyambutku dengan hiruk-pikuk yang asing, tapi anehnya menenangkan. Jalanan ramai, pedagang berteriak, klakson bersahutan, dan aroma gorengan bercampur asap knalpot memenuhi udara. Semua ini mungkin biasa bagi orang lain, tapi bagiku, setelah malam-malam di rumah kakek, keramaian seperti ini terasa seperti pelukan. Aku duduk di bangku terminal, memandang orang-orang berlalu-lalang. Anak kecil berlari mengejar balon, remaja bercanda sambil membawa tas sekolah, ibu-ibu menawar harga sayur. Dunia seakan berkata, “Kau masih hidup, Rakha. Kau masih bagian dari kami.”Namun aku tahu, hidupku tidak akan pernah benar-benar sama. Di dada, tanda hitam samar yang kutulis dengan darahku berdenyut pelan, seolah mengingatkanku: aku membawa sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa kuletakkan begitu saja.Aku mencari tempat untuk tinggal. Tidak mungkin aku kembali ke losmen kecil tempat boneka itu muncul. Aku berjalan ke arah barat kota, ke kawasan yang lebih sepi. Akhirnya kutemukan rumah kos tua, dua







