Share

Panggilan Kedua

Author: M. Haz Bey
last update Last Updated: 2025-09-11 15:47:54

Aku masih berlutut di depan sumur, napasku tersengal. Udara malam menusuk tulang, tapi tubuhku dipenuhi keringat dingin. Boneka kain itu kini duduk di bibir sumur, kepalanya miring ke samping seperti anak kecil yang sedang bermain. Matanya yang terbuat dari kancing hitam menatapku tanpa berkedip, sementara senyum sobeknya semakin lebar.

“Andi…” suaraku parau. “Apa yang mereka lakukan padamu…”

Namun aku tahu, itu bukan lagi Andi. Tidak ada yang bisa mengembalikan sahabatku. Yang tersisa hanyalah tubuh kosong yang dikendalikan kutukan rumah ini.

Dari arah rumah, pintu depan terbuka pelan. Engselnya berdecit panjang, diikuti suara langkah menyeret yang semakin mendekat. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu—Andi, atau sosok yang menyerupainya, sedang datang ke arahku.

Aku bangkit tergesa, berlari ke arah kebun belakang. Pohon-pohon bambu bergoyang keras meski angin tidak berhembus. Suara bisikan mengikuti setiap langkahku.

“Rakha… jangan lari… giliranmu…”

Aku menutup telinga, tapi bisikan itu masuk langsung ke kepalaku. Semakin aku berlari, semakin aku merasa dikelilingi. Seakan tanah ini bukan halaman rumah, melainkan penjara yang dipagari ribuan suara arwah.

Di kejauhan, aku melihat gudang tua. Bangunannya reyot, pintunya hampir lepas, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku berlari masuk, menutup pintu di belakangku.

Gelap total. Hanya cahaya bulan yang masuk dari celah atap. Debu beterbangan, bau tanah lembap menusuk hidung. Aku bersandar di dinding, mencoba menenangkan napas.

Namun, tidak butuh waktu lama sebelum aku sadar ada sesuatu di dalam gudang bersamaku.

Di sudut ruangan, aku melihat tumpukan karung goni. Awalnya diam, lalu perlahan bergoyang. Dari dalamnya terdengar suara berdesis, seperti napas tertahan.

Aku terpaku. “Jangan… jangan ada lagi…”

Karung itu jatuh, isinya tumpah. Aku menjerit ngeri. Puluhan kepala ayam tanpa tubuh berhamburan, matanya melotot, paruhnya membuka dan menutup tanpa suara. Sebagian masih meneteskan darah segar, meski jelas-jelas sudah lama mati.

Aku mundur terburu-buru, tapi kakiku menginjak sesuatu. Sebuah tangan pucat mencuat dari lantai tanah, menggenggam pergelangan kakiku. Aku meronta, menendang sekuat tenaga hingga genggaman itu terlepas. Tanah retak, dan dari bawah muncul wajah hitam legam, matanya merah membara, menatapku penuh amarah.

Aku berlari ke arah pintu, tapi tiba-tiba pintu gudang menutup sendiri. Gelap makin pekat. Dari segala arah, suara gamelan kembali terdengar, kali ini cepat, gila, seolah ribuan penabuh memainkan tanpa irama yang jelas.

Aku menjerit. “BERHENTI! BERHENTI SEMUA!”

Tapi justru semakin keras.

Di tengah kekacauan itu, aku mendengar suara Andi lagi. Tepat di belakangku.

“Rakha…”

Aku menoleh. Sosoknya berdiri di pintu gudang, meski aku yakin tadi pintu tertutup rapat. Tubuhnya basah kuyup, wajahnya kosong, tapi kali ini matanya meneteskan darah. Ia melangkah pelan, tangannya terulur.

“Kenapa kamu tinggalkan aku? Kenapa tidak ikut tenggelam?”

Aku terpaku, tubuhku kaku. Sebagian dari diriku ingin meraih tangannya, berharap ia kembali seperti dulu. Tapi aku tahu, itu bukan Andi.

“Aku tidak bisa menyelamatkanmu…” suaraku gemetar. “Tolong… jangan tarik aku juga…”

Ia tersenyum, senyum aneh yang tidak pernah kulihat sebelumnya. “Bukan aku yang menarikmu, Rakha. Mereka.”

Tiba-tiba, dinding gudang retak. Dari celahnya muncul tangan-tangan pucat, ratusan jumlahnya, meraih ke arahku. Mereka mencengkeram bahu, kaki, bahkan leherku. Aku meronta, menjerit, mencoba melepaskan diri, tapi semakin aku melawan semakin kuat tarikan itu.

Aku berhasil meraih sebuah linggis berkarat di lantai dan menghantamkan ke tangan-tangan itu. Beberapa terlepas, tapi lainnya semakin banyak muncul.

“Aku tidak mau mati di sini!” aku berteriak sekuat tenaga.

Tiba-tiba, seluruh tangan itu berhenti. Gudang kembali hening, hanya napasku yang tersengal. Sosok Andi lenyap, seakan tidak pernah ada.

Aku jatuh terduduk, linggis terlepas dari tanganku. Tubuhku basah kuyup oleh keringat, tapi lebih dari itu, pikiranku hampir hancur.

Namun ketenangan itu hanya sebentar. Dari atap gudang, suara berderak terdengar. Aku menengadah, dan melihat tubuh perempuan berbaju putih merayap di langit-langit, rambut panjangnya menjuntai. Wajahnya samar, tapi matanya menatapku tajam.

Ia membuka mulutnya lebar-lebar, lebih lebar dari yang manusia bisa lakukan. Dari mulutnya keluar suara gamelan yang memekakkan telinga. Suara itu bukan hanya terdengar, tapi juga terasa—getarannya menusuk tulang, membuatku hampir pingsan.

Aku berlari ke pintu, mendorong sekuat tenaga hingga akhirnya terbuka. Aku terhempas keluar, jatuh ke tanah berlumpur.

Di luar, halaman kembali sunyi. Rumah tua itu berdiri angkuh, seolah mengawasiku. Gamelan berhenti, digantikan suara jangkrik malam.

Aku mencoba berdiri, tapi kakiku goyah. “Aku harus keluar… aku harus keluar…”

Namun pagar bambu masih menjulang tinggi, mustahil dilompati. Seakan rumah ini benar-benar mengurungku.

Dari kejauhan, aku mendengar suara yang membuat darahku membeku. Suara ibuku.

“Rakha… pulanglah. Sudah malam. Jangan takut, Ibu ada di sini…”

Aku menoleh. Di bawah pohon besar dekat pagar, kulihat sosok perempuan yang sangat kukenal. Wajahnya hangat, penuh senyum, seperti dulu. Aku ingin berlari menghampirinya. Air mataku jatuh deras.

“Ibu…”

Tapi langkahku terhenti. Sesuatu terasa salah. Tubuhnya samar, seperti bayangan yang bergetar. Dan saat aku menyipitkan mata, aku sadar—kakinya tidak menyentuh tanah.

Aku mundur pelan, menahan tangis. “Kau bukan Ibu…”

Senyumnya perlahan berubah. Dari lembut menjadi menyeramkan. Rambutnya jatuh menutupi wajah, tubuhnya memanjang, lalu bergerak ke arahku dengan cepat.

Aku berlari, kali ini menuju ke dalam rumah lagi. Meski ngeri, aku tahu hanya ada satu tempat untuk mencari jawaban: kamar kakek.

Pintu kamar itu terkunci. Aku menendangnya berkali-kali hingga terbuka. Bau dupa menyengat langsung menyambutku. Di dalamnya, ada meja altar penuh sesajen—kepala kambing, bunga layu, dan kemenyan yang masih mengepul. Di dinding tergantung tulisan aksara Jawa kuno, berlumuran darah kering.

Aku ternganga, hatiku mencelos. Semua benar. Kakek memang membuat perjanjian dengan pesugihan. Rumah ini bukan hanya tempat tinggal, melainkan pintu gerbang bagi arwah lapar.

Dan sekarang, aku tahu, giliran mereka menagihku.

Di belakangku, pintu kamar menutup dengan sendirinya. Aku mendengar suara langkah mendekat. Gamelan kembali berbunyi, kali ini pelan, teratur, seperti irama yang menandakan upacara telah dimulai.

Aku berbalik, linggis di tanganku. Wajahku penuh ketakutan, tapi aku tahu satu hal—kalau aku tidak melawan, aku akan jadi tumbal kedua.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Keanehan

    “Aku… atur pintu!”Angin melambat. Suara-suara yang tadi banyak surut ke tepi, seperti air yang menolak menggenang. Boneka kain menoleh padaku—aku bersumpah ia kecewa—lalu ia duduk. Bayangan di tanah menyusut, menyisakan garis tipis pada tepi genteng.Prawira menghela napas. “Bagus. Tahap angin selesai.”Namun sebelum kami sempat turun, pintu rumah depan terbuka. Seorang perempuan muda masuk begitu saja, langkahnya cepat. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya dingin, tapi mata—mata itu—kosong. Ia naik tangga ke atap tanpa memedulikan larangan. Sinta hendak menghalangi, namun perempuan itu menyibakkan tangan Sinta seperti menyibak kain. Aku terpana; ada tenaga dingin di gerakannya, bukan tenaga otot.“Siapa kamu?” tanya Prawira, suaranya tenang lagi, tapi matanya bersiaga.Perempuan itu berdiri di hadapanku, terlalu dekat. Parfum murah bercampur bau lembap. Bibirnya bergerak, tapi yang keluar bukan suaranya. “Kunci,” katanya—kata itu terdengar dari perut, bukan dari tenggorokan. “Ikut.”Ak

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Penyangga

    Malam setelah kami kembali dari makam Ki Jana, aku tidak tidur. Dengung di dada tidak lagi datang sebagai dua ketukan ragu, melainkan langkah-langkah kecil yang mondar-mandir, seperti sesuatu yang gelisah mencari celah. Aku duduk di lantai kamar kos baru—sementara—yang kubooking untuk tiga malam ke depan. Kos lama masih digaris polisi; warga menyalakan dupa, menabur garam, dan berdoa agar “kebakaran” semacam itu tidak terulang. Di koridor kos baru, suara televisi tetangga memutar sinetron, butiran tawa kaleng memantul di dinding tipis.Sinta mengirim pesan: “Besok pagi ada orang yang bisa kita temui. Namanya Pak Prawira. Penyintas. Dulu pernah bantu tetanggaku soal gangguan.”Pagi menjelang, aku bertemu Sinta di gang pasar. Ia membawa termos kecil, menyodorkan padaku. “Wedang jahe. Kau masih pucat.”Aku menghirup hangatnya, mengangguk. “Terima kasih.”Kami berjalan menembus gang yang makin sempit, melewati pintu-pintu kayu yang dicat hijau pudar. Di ujung gang itu ada rumah dengan hal

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Jejak yang Terkubur

    Sehari setelah aku cukup kuat untuk berjalan, aku keluar dari rumah sakit. Sinta yang menemaniku membawa kantong plastik berisi obat, sementara aku berjalan pelan dengan langkah tertatih. Setiap orang yang kami lewati menatapku aneh—mungkin karena perban di dadaku, mungkin karena berita tentang kebakaran kos sudah menyebar. Aku mendengar bisik-bisik lirih: “Itu anak yang selamat…” atau “Katanya ada yang aneh malam itu.”Aku menunduk, tidak peduli. Yang lebih berat dari tatapan mereka adalah dengung rendah yang masih sesekali muncul dari dadaku. Dua ketukan… kadang tiga… seakan-akan ada sesuatu yang mulai belajar berbicara dengan bahasa tulangku sendiri.Sinta menggenggam lenganku. “Kau yakin sudah cukup kuat keluar?”Aku mengangguk. “Kalau aku diam di rumah sakit, aku hanya akan jadi tontonan. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya kakekku lakukan dulu. Semua ini tidak akan berhenti kalau kita tidak tahu asalnya.”Kami berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan. Aku butuh duduk, d

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Kesaksian yang Terbelah

    Aku membuka mata dengan susah payah, cahaya putih menyengat retina. Udara berbau obat antiseptik menusuk hidungku. Mesin di samping ranjang berbunyi ritmis, menandai detak jantungku. Untuk sesaat aku berpikir aku sudah mati dan ini adalah ruang tunggu menuju akhirat.Tapi suara seseorang memanggilku.“Rakha…”Aku menoleh pelan. Sinta duduk di kursi dekat ranjang. Wajahnya lelah, mata sembab, rambut acak-acakan. Begitu ia melihatku sadar, ia langsung berdiri, menatapku penuh lega.“Kau bangun juga,” katanya pelan. Suaranya serak, tapi penuh harapan.Aku mencoba bicara, tapi tenggorokanku kering. “Di… mana… ini?”“Rumah sakit kota,” jawabnya cepat. “Kau pingsan setelah… setelah malam itu.”Aku menutup mata, mencoba menahan ingatan. Malam itu. Bayangan besar, boneka terbakar, darahku, jeritan Wira. Aku gemetar. “Yang lain… selamat?”Wajah Sinta menegang. Ia menunduk, menatap lantai. “Beberapa. Tapi tidak semuanya.”Aku menunggu, hatiku berdegup kencang.“Wira… dia meninggal.” Suaranya pe

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Malam Kos Berdarah

    Malam itu, aku tahu sesuatu akan terjadi. Sejak sore, tanda di dadaku berdenyut lebih kencang dari biasanya, seolah gong dipukul berulang-ulang dari dalam tulang. Nafasku terasa berat, langkahku limbung. Aku duduk di ranjang kamar kos, memandang jendela yang tertutup tirai. Di luar, suara kota terdengar biasa: motor melintas, anak-anak berteriak, radio tetangga memutar lagu dangdut. Tapi di dalam kamar, udara menebal, pekat, seperti ada dinding lain yang menutup rapat.Aku mencoba menggambar lingkaran dengan kapur di lantai, menyiapkan mangkuk air untuk menampung darah. Sudah tiga malam berturut-turut aku melakukan ini, dan selalu berhasil menahan bayangan agar tetap di dalam. Tapi malam ini berbeda. Tanda di dadaku menolak tenang. Setiap kali aku mencoba menggoreskan keris ke kulit untuk meneteskan darah, bilahnya terasa panas, bukan dingin. Seakan-akan benda itu menolak.Jam dinding berdentang dua belas kali.Dinginnya langsung menusuk.Bayangan gelap muncul di pojok ruangan, kali i

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Bayangan Kota

    Kota menyambutku dengan hiruk-pikuk yang asing, tapi anehnya menenangkan. Jalanan ramai, pedagang berteriak, klakson bersahutan, dan aroma gorengan bercampur asap knalpot memenuhi udara. Semua ini mungkin biasa bagi orang lain, tapi bagiku, setelah malam-malam di rumah kakek, keramaian seperti ini terasa seperti pelukan. Aku duduk di bangku terminal, memandang orang-orang berlalu-lalang. Anak kecil berlari mengejar balon, remaja bercanda sambil membawa tas sekolah, ibu-ibu menawar harga sayur. Dunia seakan berkata, “Kau masih hidup, Rakha. Kau masih bagian dari kami.”Namun aku tahu, hidupku tidak akan pernah benar-benar sama. Di dada, tanda hitam samar yang kutulis dengan darahku berdenyut pelan, seolah mengingatkanku: aku membawa sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa kuletakkan begitu saja.Aku mencari tempat untuk tinggal. Tidak mungkin aku kembali ke losmen kecil tempat boneka itu muncul. Aku berjalan ke arah barat kota, ke kawasan yang lebih sepi. Akhirnya kutemukan rumah kos tua, dua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status