Aku masih berlutut di depan sumur, napasku tersengal. Udara malam menusuk tulang, tapi tubuhku dipenuhi keringat dingin. Boneka kain itu kini duduk di bibir sumur, kepalanya miring ke samping seperti anak kecil yang sedang bermain. Matanya yang terbuat dari kancing hitam menatapku tanpa berkedip, sementara senyum sobeknya semakin lebar.
“Andi…” suaraku parau. “Apa yang mereka lakukan padamu…”
Namun aku tahu, itu bukan lagi Andi. Tidak ada yang bisa mengembalikan sahabatku. Yang tersisa hanyalah tubuh kosong yang dikendalikan kutukan rumah ini.
Dari arah rumah, pintu depan terbuka pelan. Engselnya berdecit panjang, diikuti suara langkah menyeret yang semakin mendekat. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu—Andi, atau sosok yang menyerupainya, sedang datang ke arahku.
Aku bangkit tergesa, berlari ke arah kebun belakang. Pohon-pohon bambu bergoyang keras meski angin tidak berhembus. Suara bisikan mengikuti setiap langkahku.
“Rakha… jangan lari… giliranmu…”
Aku menutup telinga, tapi bisikan itu masuk langsung ke kepalaku. Semakin aku berlari, semakin aku merasa dikelilingi. Seakan tanah ini bukan halaman rumah, melainkan penjara yang dipagari ribuan suara arwah.
Di kejauhan, aku melihat gudang tua. Bangunannya reyot, pintunya hampir lepas, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku berlari masuk, menutup pintu di belakangku.
Gelap total. Hanya cahaya bulan yang masuk dari celah atap. Debu beterbangan, bau tanah lembap menusuk hidung. Aku bersandar di dinding, mencoba menenangkan napas.
Namun, tidak butuh waktu lama sebelum aku sadar ada sesuatu di dalam gudang bersamaku.
Di sudut ruangan, aku melihat tumpukan karung goni. Awalnya diam, lalu perlahan bergoyang. Dari dalamnya terdengar suara berdesis, seperti napas tertahan.
Aku terpaku. “Jangan… jangan ada lagi…”
Karung itu jatuh, isinya tumpah. Aku menjerit ngeri. Puluhan kepala ayam tanpa tubuh berhamburan, matanya melotot, paruhnya membuka dan menutup tanpa suara. Sebagian masih meneteskan darah segar, meski jelas-jelas sudah lama mati.
Aku mundur terburu-buru, tapi kakiku menginjak sesuatu. Sebuah tangan pucat mencuat dari lantai tanah, menggenggam pergelangan kakiku. Aku meronta, menendang sekuat tenaga hingga genggaman itu terlepas. Tanah retak, dan dari bawah muncul wajah hitam legam, matanya merah membara, menatapku penuh amarah.
Aku berlari ke arah pintu, tapi tiba-tiba pintu gudang menutup sendiri. Gelap makin pekat. Dari segala arah, suara gamelan kembali terdengar, kali ini cepat, gila, seolah ribuan penabuh memainkan tanpa irama yang jelas.
Aku menjerit. “BERHENTI! BERHENTI SEMUA!”
Tapi justru semakin keras.
Di tengah kekacauan itu, aku mendengar suara Andi lagi. Tepat di belakangku.
“Rakha…”
Aku menoleh. Sosoknya berdiri di pintu gudang, meski aku yakin tadi pintu tertutup rapat. Tubuhnya basah kuyup, wajahnya kosong, tapi kali ini matanya meneteskan darah. Ia melangkah pelan, tangannya terulur.
“Kenapa kamu tinggalkan aku? Kenapa tidak ikut tenggelam?”
Aku terpaku, tubuhku kaku. Sebagian dari diriku ingin meraih tangannya, berharap ia kembali seperti dulu. Tapi aku tahu, itu bukan Andi.
“Aku tidak bisa menyelamatkanmu…” suaraku gemetar. “Tolong… jangan tarik aku juga…”
Ia tersenyum, senyum aneh yang tidak pernah kulihat sebelumnya. “Bukan aku yang menarikmu, Rakha. Mereka.”
Tiba-tiba, dinding gudang retak. Dari celahnya muncul tangan-tangan pucat, ratusan jumlahnya, meraih ke arahku. Mereka mencengkeram bahu, kaki, bahkan leherku. Aku meronta, menjerit, mencoba melepaskan diri, tapi semakin aku melawan semakin kuat tarikan itu.
Aku berhasil meraih sebuah linggis berkarat di lantai dan menghantamkan ke tangan-tangan itu. Beberapa terlepas, tapi lainnya semakin banyak muncul.
“Aku tidak mau mati di sini!” aku berteriak sekuat tenaga.
Tiba-tiba, seluruh tangan itu berhenti. Gudang kembali hening, hanya napasku yang tersengal. Sosok Andi lenyap, seakan tidak pernah ada.
Aku jatuh terduduk, linggis terlepas dari tanganku. Tubuhku basah kuyup oleh keringat, tapi lebih dari itu, pikiranku hampir hancur.
Namun ketenangan itu hanya sebentar. Dari atap gudang, suara berderak terdengar. Aku menengadah, dan melihat tubuh perempuan berbaju putih merayap di langit-langit, rambut panjangnya menjuntai. Wajahnya samar, tapi matanya menatapku tajam.
Ia membuka mulutnya lebar-lebar, lebih lebar dari yang manusia bisa lakukan. Dari mulutnya keluar suara gamelan yang memekakkan telinga. Suara itu bukan hanya terdengar, tapi juga terasa—getarannya menusuk tulang, membuatku hampir pingsan.
Aku berlari ke pintu, mendorong sekuat tenaga hingga akhirnya terbuka. Aku terhempas keluar, jatuh ke tanah berlumpur.
Di luar, halaman kembali sunyi. Rumah tua itu berdiri angkuh, seolah mengawasiku. Gamelan berhenti, digantikan suara jangkrik malam.
Aku mencoba berdiri, tapi kakiku goyah. “Aku harus keluar… aku harus keluar…”
Namun pagar bambu masih menjulang tinggi, mustahil dilompati. Seakan rumah ini benar-benar mengurungku.
Dari kejauhan, aku mendengar suara yang membuat darahku membeku. Suara ibuku.
“Rakha… pulanglah. Sudah malam. Jangan takut, Ibu ada di sini…”
Aku menoleh. Di bawah pohon besar dekat pagar, kulihat sosok perempuan yang sangat kukenal. Wajahnya hangat, penuh senyum, seperti dulu. Aku ingin berlari menghampirinya. Air mataku jatuh deras.
“Ibu…”
Tapi langkahku terhenti. Sesuatu terasa salah. Tubuhnya samar, seperti bayangan yang bergetar. Dan saat aku menyipitkan mata, aku sadar—kakinya tidak menyentuh tanah.
Aku mundur pelan, menahan tangis. “Kau bukan Ibu…”
Senyumnya perlahan berubah. Dari lembut menjadi menyeramkan. Rambutnya jatuh menutupi wajah, tubuhnya memanjang, lalu bergerak ke arahku dengan cepat.
Aku berlari, kali ini menuju ke dalam rumah lagi. Meski ngeri, aku tahu hanya ada satu tempat untuk mencari jawaban: kamar kakek.
Pintu kamar itu terkunci. Aku menendangnya berkali-kali hingga terbuka. Bau dupa menyengat langsung menyambutku. Di dalamnya, ada meja altar penuh sesajen—kepala kambing, bunga layu, dan kemenyan yang masih mengepul. Di dinding tergantung tulisan aksara Jawa kuno, berlumuran darah kering.
Aku ternganga, hatiku mencelos. Semua benar. Kakek memang membuat perjanjian dengan pesugihan. Rumah ini bukan hanya tempat tinggal, melainkan pintu gerbang bagi arwah lapar.
Dan sekarang, aku tahu, giliran mereka menagihku.
Di belakangku, pintu kamar menutup dengan sendirinya. Aku mendengar suara langkah mendekat. Gamelan kembali berbunyi, kali ini pelan, teratur, seperti irama yang menandakan upacara telah dimulai.
Aku berbalik, linggis di tanganku. Wajahku penuh ketakutan, tapi aku tahu satu hal—kalau aku tidak melawan, aku akan jadi tumbal kedua.
Aku masih berlutut di depan sumur, napasku tersengal. Udara malam menusuk tulang, tapi tubuhku dipenuhi keringat dingin. Boneka kain itu kini duduk di bibir sumur, kepalanya miring ke samping seperti anak kecil yang sedang bermain. Matanya yang terbuat dari kancing hitam menatapku tanpa berkedip, sementara senyum sobeknya semakin lebar.“Andi…” suaraku parau. “Apa yang mereka lakukan padamu…”Namun aku tahu, itu bukan lagi Andi. Tidak ada yang bisa mengembalikan sahabatku. Yang tersisa hanyalah tubuh kosong yang dikendalikan kutukan rumah ini.Dari arah rumah, pintu depan terbuka pelan. Engselnya berdecit panjang, diikuti suara langkah menyeret yang semakin mendekat. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu—Andi, atau sosok yang menyerupainya, sedang datang ke arahku.Aku bangkit tergesa, berlari ke arah kebun belakang. Pohon-pohon bambu bergoyang keras meski angin tidak berhembus. Suara bisikan mengikuti setiap langkahku.“Rakha… jangan lari… giliranmu…”Aku menutup telinga, tapi bisikan i
Aku terduduk lemas di tanah berumput basah, tubuh gemetar tanpa bisa kukendalikan. Nafasku memburu, bercampur dengan isak yang kutahan di tenggorokan. Mataku tak lepas dari sumur tua di hadapanku—airnya yang gelap sudah kembali tenang, seakan tak pernah menyeret Andi ke dalam. Namun, di permukaan, boneka kain itu masih terapung. Mulut sobeknya membentuk senyum dingin yang menusuk.“Andi…” bisikku lirih, serak. “Kenapa harus kamu…”Aku ingin menjerit, tapi tak ada suara keluar. Hanya dada yang sesak dan tubuhku yang semakin lemah. Suasana malam makin mencekam. Angin dingin berembus, membawa bau amis yang menusuk hidung. Gamelan samar terdengar lagi dari arah belakang rumah—pelog sumbang, seperti dimainkan oleh tangan-tangan yang patah.Aku berusaha berdiri, tapi lututku goyah. Dalam kepalaku, bayangan wajah Andi saat ditarik ke sumur terus terputar. Tangannya meraih, suaranya memanggil, dan aku… gagal menyelamatkannya. Rasa bersalah mencengkram dadaku, lebih berat daripada ketakutan it
Andi menatap sekeliling rumah dengan mata berbinar, seolah-olah sedang berkunjung ke museum tua, bukan ke sarang kutukan. Ia menepuk bahuku dengan tawa lepas.“Rak, gila. Rumah kakekmu keren banget! Kayak rumah di film-film horor. Pantes kamu kelihatan pucat, pasti tiap malam kebayang pocong, ya?”Aku hanya menelan ludah. Ingin sekali aku berteriak padanya untuk pergi, tapi entah kenapa lidahku kelu. Seolah rumah ini tidak mengizinkan kata “keluar” terucap dari mulutku.“Andi, dengar aku,” kataku pelan. “Kamu tidak boleh bermalam di sini. Ada sesuatu—”“Yaelah,” potongnya. “Gue udah booking penginapan di desa, kok. Tenang aja. Cuma mampir sebentar. Paling sejam dua jam.”Aku ingin lega, tapi rumah ini seakan tahu. Dari arah lorong timur, terdengar suara kriiit… kriiit… kayu yang bergeser. Jejak kaki basah muncul lagi di lantai, merayap pelan mendekat.Andi memicingkan mata. “Eh, ini apaan? Kamu sengaja bikin efek biar gue takut, ya?”Aku memegang lengannya. “Bukan aku. Itu… bukan aku.
Kabut belum juga hilang meski pagi sudah lama datang. Dari jendela kamar, aku hanya melihat warna abu-abu yang menutup kebun belakang. Udara di dalam rumah pengap, berbau tanah basah bercampur anyir besi. Seolah-olah rumah ini menghirup darah malam dan menghembuskannya kembali di pagi hari.Aku duduk di lantai, punggung bersandar ke ranjang. Seluruh tubuh masih lemas setelah kejadian semalam. Sosok Pak Lurah yang wajahnya berubah rata terus menghantui pikiranku. Apakah benar dia yang asli sempat datang? Ataukah sejak awal hanya jelmaan rumah ini?Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca surat kakek sekali lagi. Tulisan tangannya, kasar dan bergetar, seperti ditulis dalam keadaan tergesa. “Jangan menjawab… jangan membuka… jangan bercermin…” Tiga larangan. Dan entah kenapa, makin aku membacanya, makin terasa seperti undangan.Aku harus keluar, pikirku. Kalau tidak, aku akan gila.Di warung kopi, beberapa warga menatapku dengan cara yang sama: cepat, waspada, lalu menunduk. Seolah-ol
Malam turun dengan cara yang aneh. Langit di luar seharusnya masih menyisakan cahaya jingga, tapi rumah ini menelannya lebih cepat. Jam dinding di ruang tamu masih terhenti di pukul 19.45, padahal ponselku jelas menunjukkan lewat pukul delapan. Seakan-akan, waktu di dalam rumah ini berjalan dengan aturan sendiri, dan aku hanyalah tamu yang tersesat di dalamnya.Aku sedang duduk di kursi jati tua, berusaha membaca surat kakek sekali lagi, ketika suara ketukan keras terdengar dari pintu depan. Duk! Duk! Duk! Tiga kali, cepat, mendesak.Aku merinding. Ketukan itu terdengar seperti seseorang yang panik, bukan sekadar tamu yang ingin berkunjung.Aku berdiri perlahan. “Siapa?” tanyaku dengan suara yang kupaksakan tegas.Tidak ada jawaban.Ketukan berhenti sejenak, lalu sebuah suara berat menyusul dari luar. Suara seorang pria tua, serak, tapi jelas:“Buka, Nak. Ini Pak Lurah. Ada hal penting yang harus kau tahu.”Aku tertegun. Pak Lurah. Nama itu sempat disebut Bu Murni siang tadi. Katanya,
Senter di tanganku meredup. Aku menutup mata sejenak, dan ketika kubuka, sosok itu sudah tidak ada. Hanya masih ada jejak air di anak tangga pertama sampai ketiga, menghilang di tangga keempat seakan ditelan kayu.Aku mundur ke meja kerja, mengais tas ransel, mencari korek dan lilin kecil yang selalu kubawa. Satu percikan, sumbu menyala, dan ruangan berubah: cahaya lilin membikin bayangan bergerak lebih hidup, lebih licik. Aku meletakkan lilin di dekat amplop surat, lalu menatap lagi potret kakek. Gelap di matanya kini tampak seperti lubang yang dalam, satu lubang bagiku untuk jatuh.“Kau menulis jangan menjawab panggilan dari lorong timur,” kataku, pura-pura berani. “Kalau ada yang memanggil dari sana, apa yang terjadi kalau kujawab?”Rumah bertenang. Lalu, seolah menjawab ucapanku, dari lorong sebelah kanan—lorong timur—ada sesuatu yang menyeret pelan di lantai, seperti karung berisi pasir. Tidak keras. Tidak kasar. Nyaris lembut. Tetapi cukup untuk menggurat kulit hatiku dengan kuk