Kakek berselempang putih ternyata sungguh-sungguh dengan ucapannya. Kantong minuman dan buntalan bekal tetap kosong saat Jaka bangun di pagi hari. Ia harus menunggu si kakek buang air besar dan buang air kecil kalau semua itu ingin kembali! Siapa sudi! Perutnya terasa lapar. Kambing saja tidak berselera makan tanaman di pagi buta begini. Masa ia harus memecahkan rekor? Kuda meringkik kehausan habis makan rumput yang tumbuh subur di sekitar."Aku saja belum ngisi perut," omel Jaka. "Kau minta minum. Dasar gemblung...! Oh iya, nama kamu kan Gemblung."Jaka beranjak bangkit untuk mengambil tabung bambu di rumpun pisang. Ia lihat isinya hampir penuh, cukup untuk persediaan satu hari. Ia lepas bumbung dari lubang batang pisang.Kemudian ia menuangkan air bumbung ke dalam panci kecil sampai penuh. Dalam sekejap ludes diminum kuda."Haus sekali kau," kata Jaka sambil mengisi lagi panci itu, dan ludes lagi. "Sudah cukup."Kuda meringkik keras seakan protes. Jaka jadi jengkel. Ia tuangkan air
Si Sanggul Miring, Bidadari Penabur Cinta, dan Kupu-kupu Madu berlari dengan cepat di udara. Mereka menjadikan daun rimbun sebagai titian."Aku mencium bau manusia...," kata si Sanggul Miring. "Jaka Slebor kayaknya ada di sekitar sini.""Beruntung sekali kita," ujar Kupu-kupu Madu. "Baru sampai di Hutan Gerimis langsung bertemu dengan orang yang kita cari."Di kejauhan terlihat Jaka memacu kuda sekencang-kencangnya di antara pepohonan. "Nah, itu orangnya...!" seru si Sanggul Miring. "Ayo kita kejar...!"Mereka mempercepat larinya memburu kuda yang berlari kencang melewati pepohonan. Jarak mereka semakin dekat. Jaka merasa tidak ada kesempatan untuk kabur, ia berkata, "Berhenti, Gemblung...! Percuma kau keluarkan seluruh tenaga, mereka mampu mengejar."Kuda berhenti berlari. "Lalu bagaimana nasib Yang Mulia?""Jangan panggil aku Jaka Slebor kalau tertangkap oleh perempuan."Si Sanggul Miring dan komplotannya mendarat dengan ringan di tanah. Jaka duduk dengan tenang di atas punggung ku
Jaka jadi bisa mengetahui bahaya sejak dini dengan adanya perubahan secara drastis pada kemampuan panca inderanya, sehingga perjalanan hari itu aman dari gangguan. Jika ada suara mendekat, ia segera menjauh.Jaka beristirahat di bawah pohon besar saat matahari tenggelam di ufuk barat. Ia duduk di antara dua akar pipih sehingga cukup tersembunyi dari penglihatan para pendekar yang memburunya."Kau sembunyi di rumpun tanaman perdu, Gemblung," kata Jaka sambil meneguk air mata bidadari. "Jadi tidak gampang ketahuan oleh mereka." "Aku takut, Yang Mulia.""Takut apa?""Biasanya tengah malam sering muncul suara-suara seram.""Masa kamu takut sama suara seram? Suaramu jauh mengerikan!""Jangan menghinaku, Yang Mulia.""I'm sorry if those words offended you.""Bahasa apa itu, Yang Mulia?""Bahasa pemersatu dunia.""Pasti tidak termasuk duniaku."Jaka tidak banyak bercakap lagi. Rasa kantuk menyergap matanya. Ia tertidur sampai kemudian terbangun tengah malam karena mendengar suara perempuan m
Kakek berselempang putih memeluk Jaka ketika sepasang suami istri melompat turun dari pucuk daun dan mendarat dengan sempurna di tanah berumput di sekitar mereka."Kek...," bisik Jaka kaget. "Jangan begini.... Aku suka perempuan...!""Aku juga. Perempuan di depan kita sangat cantik dan seksi, bagaimana menurutmu?""Aku setuju. Jadi tolong lepaskan pelukanmu.""Aku suka geregetan ingin memeluk kalau lihat perempuan cantik.""Iya...tapi jangan lampiaskan ke aku.""Terus sama siapa?""Di sampingmu ada yang lebih menggairahkan.""Memeluk kuda maksudmu? Sialan kau, anak muda!"Jaka kenal dengan sepasang suami istri itu. Mereka pernah bertemu di Puri Mentari saat menonton pertunjukan Nyai Penghasut Birahi. "Sepasang Gagak Putih....!" seru Jaka tercekat. "Mereka juga turun tangan untuk mencariku...!" "Rupanya kau sudah tahu siapa pendekar yang mencarimu. Mereka adalah tokoh terpandang dalam dunia perkelahian di seantero kerajaan. Ilmunya sangat tinggi.""Dan ilmu kakek sangat rendah, berani
"Aku sudah katakan tidak ada pintu keluar selain empat gerbang gaib," kata Ki Gendeng Sejagat. "Semua penduduk yang ingin bepergian ke duniamu pasti menghindari gerbang gaib kalau ada pintu yang lebih gampang.""Menurut Iblis Cinta, satu-satunya penduduk yang bisa keluar masuk seenaknya adalah kau." "Iblis Cinta terlalu berlebihan. Gerbang gaib adalah pintu keimigrasian di bangsamu. Hanya warga yang memenuhi syarat yang bisa keluar masuk.""Jadi kau tidak mau menolongku?""Tentu saja aku mau menolongmu. Tapi....""Tapi apa, Kek? Bayarannya mahal? Aku punya uang emas dan perak masing-masing delapan puluh keping....""Kaya sekali kau, anak muda.""Uang itu pemberian Iblis Cinta.""Ia bangsawan Asir yang paling dermawan." "Apa uang itu cukup untuk bayaran?""Buat apa uang sebanyak itu bagiku? Aku sudah terlalu tua untuk bercanda dengan kehidupan.""Kau masih gagah, Kek.""Giliran ada maunya kau puji aku!""Aku bilang sudah peot kayak tomat busuk nanti marah.""Sialan kau, anak muda!""B
"Kita sudah sampai, anak muda," kata Ki Gendeng sejagat ketika mereka tiba di dekat pohon cemara kecil.Jaka heran melihat pohon cemara itu tumbuh terpencil di padang rumput. Di sekitar tidak ada pohon lain. Padang rumput itu berada di pinggir jurang yang sangat dalam dan berkabut.Mereka turun dari kuda."Kau tahu berapa usia pohon cemara ini?" tanya Ki Gendeng sejagat dengan air muka berawan, seakan ada kisah yang terpendam."Lima sampai sepuluh tahun," jawab Jaka. Pohon cemara itu cuma setinggi mereka."Empat ratus tahun."Jaka kaget. Ia memandang kakek berselempang putih dengan tak percaya. "Kok tidak tumbuh besar?""Pohon cemara ini saat pertama kali tumbuh sudah sebesar ini, bersamaan dengan munculnya roh Laraswati di Hutan Gerimis."Jaka tertegun. Nama itu tidak asing di telinganya. Abah sering bercerita tentang perjanjian leluhur dari masa ke masa dan nama itu pernah disebutnya."Aku pernah dengar nama itu dalam babad perjanjian leluhur. Laraswati adalah calon istri Wiraswara,
Selesai nyekar, mereka naik kuda dan meninggalkan tempat itu."Aku sudah berikrar untuk mewariskan semua ilmu kepada generasi kedelapan yang menemukan air mata bidadari," kata Ki Gendeng Sejagat. "Aku senang calon muridku sesuai dengan keinginanku." "Aku tidak mata keranjang, Kek.""Alah, kau sering lihat pantat kerbau betina!""Bagaimana tidak sering lihat, ia tidak pernah pakai baju!"Kuda berjalan menelusuri padang rumput yang berkabut. Malam jadi semakin gelap karena sinar rembulan sulit menembus kepekatan kabut."Aku tidak mau jadi muridmu, Kek," kata Jaka. "Takut ketularan mata keranjang.""Aku juga tidak mau jadi gurumu," dengus si kakek. "Takut ketularan slebor. Tapi kau harus mempelajari semua ilmu yang aku miliki untuk dapat menembus gerbang gaib.""Tidak ada diskon, Kek?""Maksudmu?""Aku ingin belajar ilmu Salin Raga saja.""Ilmu Salin Raga adalah ilmu paling tinggi yang ada di muka bumi, di bangsaku dan di bangsamu. Jadi kau tidak bisa menguasai ilmu itu sebelum mempelaja
Ruangan di dalam gua tampak rapi dan bersih. Dinding terbuat dari granit hitam. Meja pendek juga terbuat dari granit. Di atasnya terdapat pizza dan pai, minumnya air berwarna kehijauan dalam guci kecil seukuran sloki.Ilmu Cipta Saji Ki Gendeng Sejagat sudah taraf sempurna sehingga ia mampu menciptakan makanan bukan cuma dari bangsa astral, tapi dari berbagai negara di dunia. Makanan dan minuman di atas meja adalah pesanan Jaka. Makanan favorit Nabila, pacarnya, betapa sedihnya ia saat ini. Abah dan Ambu juga.Mereka duduk lesehan di lantai. Udara cukup hangat padahal tidak ada perapian."Kau sudah punya bekal yang sangat bagus untuk belajar," kata Ki Gendeng Sejagat. "Kau sudah minum air mata bidadari dan air kehidupan. Khasiat dari air mustika itu bukan cuma membuat kau awet muda dan menambah kepekaan panca indera, namun juga membuat kau hanya butuh beberapa bulan untuk menguasai ilmu kanuragan."Jaka terpaksa minum air kehidupan karena khasiatnya bisa mempercepat bangkitnya energi i