Share

Perjanjian Menikah Selama Enam Bulan
Perjanjian Menikah Selama Enam Bulan
Author: Emylia Arkana Putra

Bab 1

Setiap mata kini memandangku. Gunjingan demi gunjingan dari para tamu undangan yang datang dalam resepsi pernikahanku dengan Pak Yogi terdengar begitu jelas di telinga.

Bagaimana tidak, Kanaya yang hanya seorang office girl tiba-tiba menjadi istri direktur dari perusahaan besar. 

Semua tak seindah yang kalian bayangkan. Karena aku dan Pak Yogi memiliki perjanjian. Bahwa pernikahan ini hanya akan berlangsung selama enam bulan. Dan setelah itu aku harus siap diceraikan.

Pernikahan macam apa ini?

Aku terpaksa menerima tawaran dari Pak Yogi hanya demi mendapatkan uang. Bukan karena aku perempuan matre, tapi semua itu aku lakukan agar bisa membayar hutang orang tuaku dari rentenir. 

Aku sudah bingung harus mencari pinjaman pada siapa lagi. Gajiku sebagai office girl hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Sedangkan Pak Yogi sendiri melakukan pernikahan ini agar bisa mendapatkan harta warisan dari kakeknya. Karena menikah adalah syarat untuk memperoleh warisan tersebut.

Pak Yogi dimataku adalah laki-laki yang sangat acuh dengan perempuan. Entah karena pernah sakit hati. Atau memang tidak tertarik dengan wanita. Pertanyaan yang sampai saat ini belum mendapatkan jawaban.

Dan yang masih menjadi misteri. Kenapa Pak Yogi tiba-tiba menawarkan perjanjian tersebut padaku? Kenapa bisa begitu pas dengan kondisiku yang memang benar-benar sedang membutuhkan uang.

…………………

Kini ekor mataku melirik pada sosok laki-laki tampan dengan postur tubuh tinggi dan berkulit bersih yang sudah sah menjadi suamiku. Meski kami berdua memiliki perjanjian di dalam pernikahan. Tapi pernikahan kami bukan pernikahan pura-pura.

"Sampai kapan kamu akan berdiri di sana?" tanya Pak Yogi yang duduk ditepi ranjang.

Seketika mataku membulat sempurna dan sesekali menelan salvia.

"Te - terus, saya harus ngapain, Pak?"

"Kamu masih belum sadar? Kalau kita sudah di dalam kamar," jawab Pak Yogi dengan menatapku.

Aku segera menutup dadaku dengan kedua tangan yang menyilang. Bagaimana ini? Masa' iya, aku dan Pak Yogi tetap melakukan malam pertama? Tidak ... aku tidak mau. Enak saja. 

Tapi, dalam perjanjian itu hanya tertulis tentang pernikahan yang akan berlangsung selama enam bulan saja. Selebihnya tidak ada perjanjian lain.

Berarti ... Pak Yogi berhak atas diriku sebagai seorang istri?

"Jangan berpikir macam-macam! Kamu bukan perempuan typeku!" terangnya dengan menaruh selimut tebal, bantal dan sebuah guling di tanganku. "Kamu tidur di sofa!" terangnya lagi dengan menunjuk sofa mewah dan lebar. Mungkin lebih lebar dari tempat tidurku di rumah.

Hah ... aku pun bernapas dengan lega.

Segera kulangkahkan kaki menuju sofa yang berada persis disamping ranjang Pak Yogi.

"Kamu tidak ganti baju dulu? Memangnya mau tidur pakai gaun pengantin seperti itu?"

Oh iya, aku baru sadar kalau masih mengenakan gaun pengantin. Tapi ... masa' aku ganti baju di depan Pak Yogi?

"Itu pintu ke kamar mandi. Kamu ganti di sana!" jelasnya dengan menunjuk sebuah pintu berwarna putih.

Segera kuambil daster kesayangan yang biasa kupakai untuk tidur dari dalam tas.

Ini beneran kamar mandi? Semewah ini? Bersih dan wangi lagi. Hah ... tidur di sini pun aku betah, ucapku sendiri setelah berada di dalam kamar mandi.

Selesai melepas gaun, aku langsung ganti memakai daster dan ke luar dari kamar mandi.

Untung saja gaunnya simple, jadi bisa dengan mudah aku melepas tanpa harus meminta bantuan. Ngga ngebayangin kalau harus minta bantuan Pak Yogi, hi hi hi, ucapku pelan dengan pikiran yang sedikit ngelantur.

Tiba-tiba Pak Yogi menatapku tanpa berkedip. Raut wajahnya menunjukkan seakan-akan ada yang salah dengan penampilanku.

Aku pun menatap diriku sendiri dari ujung kaki sampai ke atas dada. Tidak ada yang salah. Terus ngapain Pak Yogi menatapku seperti itu?

Dengan cepat aku langsung lari ke arah sofa dan membalut tubuhku dengan selimut.

Pak Yogi terlihat berdiri dan mengambil sesuatu di dalam lemarinya yang begitu besar.

"Ganti!" seru dia dengan memberikan sebuah piyama.

Aku pun mendongakkan wajah ke arah Pak Yogi dengan sedikit bingung.

"Kenapa saya harus ganti, Pak? Daster saya bersih kok. Ngga bau juga," terangku dengan berkali-kali mencium dasterku sendiri.

"Buruan!" terangnya dengan nada lebih tegas.

Aku pun segera mengambil piyama yang ada di tangan Pak Yogi.

"Itu piyama baru, belum pernah saya pakai."

 

Hah ... belum apa-apa sudah banyak aturan. Memangnya salah? Kalau aku pakai daster.

Dengan cepat aku balik lagi ke kamar mandi untuk ganti baju. Kini piyama milik Pak Yogi sudah kupakai. 

Beneran mirip orang-orangan sawah. Apa Pak Yogi tidak mikir? Kalau bajunya pasti kebesaran di badanku. Dasar orang kaya, mentang-mentang banyak duit, apa yang diinginkan harus dituruti. Menyebalkan, ucapku dengan berdiri di depan cermin besar yang ada di dalam kamar mandi.

"Nah, 'kan lebih enak diliatnya."

Apanya yang enak diliat? Kedodoran begini, gumamku dalam hati dengan menghembuskan napas kasar dari mulut.

***

Suasana yang begitu hening di dalam kamar. Pak Yogi dari tadi hanya sibuk dengan laptopnya. Sedangkan aku sendiri belum bisa memejamkan mata. 

Malam pertama yang aneh. 

"Pak ... Pak Yogi," panggilku dengan suara pelan.

"Sudah malam. Jangan berisik! Banyak kerjaan yang harus saya selesaikan," jawabnya ketus.

"Sa - saya boleh tidak, Pak, nonton tivi yang besar itu?" tanyaku dengan menunjuk tivi besar yang menempel di tembok.

Sesaat Pak Yogi menatapku sebelum akhirnya memberikan sebuat remote tivi.

Segera kutekan tombol on untuk menghidupkannya. Kupilih chanel favorit dengan acara lagu dangdut.

Baru sedikit saja terhibur dengan lagu dangdut, tiba-tiba Pak Yogi mengecilkan volumenya. 

"Pak, besarin dikit! Saya ngga denger," rengekku.

Tapi Pak Yogi tetap diam dan mengabaikan ucapanku.

Kurebahkan tubuhku di sofa dengan mata yang masih belum bisa terpejam.

"Pak, kenapa Bapak memilih saya untuk pernikahan enam bulan ini? Kenapa tidak perempuan lain? Atau karyawan di kantor Bapak yang cantik-cantik dan juga pintar," tanyaku dengan menatap langi-langit kamar yang begitu indah.

"Justru karena kamu tidak cantik dan tidak pintar, makanya saya pilih. Biar saat perceraian nanti, orang-orang bisa memahami kenapa saya menceraikan kamu," jawabnya sembari menutup laptopnya.

Kini aku berpikir keras mencoba memahami ucapan dari Pak Yogi. 

"Mak - maksudnya. Kalau perempuan tidak cantik dan tidak pintar seperti saya, bisa diperlakukan semena-mena? Dianggap perempuan bo*oh?"

"Setidaknya kamu tidak rugi dengan pernikahan ini. Jadi cukup ikuti saja sampai tiba waktunya kita bercerai!" terangnya dengan merebahkan tubuh di atas ranjang.

Ya sudahlah, ngapain juga aku harus mempermasalahkan hal ini. Lagian dari awal 'kan memang sudah ada perjanjian sebelum menikah. Yang terpenting hutang-hutang orang tuaku bisa lunas.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status