Setiap mata kini memandangku. Gunjingan demi gunjingan dari para tamu undangan yang datang dalam resepsi pernikahanku dengan Pak Yogi terdengar begitu jelas di telinga.
Bagaimana tidak, Kanaya yang hanya seorang office girl tiba-tiba menjadi istri direktur dari perusahaan besar.
Semua tak seindah yang kalian bayangkan. Karena aku dan Pak Yogi memiliki perjanjian. Bahwa pernikahan ini hanya akan berlangsung selama enam bulan. Dan setelah itu aku harus siap diceraikan.
Pernikahan macam apa ini?
Aku terpaksa menerima tawaran dari Pak Yogi hanya demi mendapatkan uang. Bukan karena aku perempuan matre, tapi semua itu aku lakukan agar bisa membayar hutang orang tuaku dari rentenir.
Aku sudah bingung harus mencari pinjaman pada siapa lagi. Gajiku sebagai office girl hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan Pak Yogi sendiri melakukan pernikahan ini agar bisa mendapatkan harta warisan dari kakeknya. Karena menikah adalah syarat untuk memperoleh warisan tersebut.
Pak Yogi dimataku adalah laki-laki yang sangat acuh dengan perempuan. Entah karena pernah sakit hati. Atau memang tidak tertarik dengan wanita. Pertanyaan yang sampai saat ini belum mendapatkan jawaban.
Dan yang masih menjadi misteri. Kenapa Pak Yogi tiba-tiba menawarkan perjanjian tersebut padaku? Kenapa bisa begitu pas dengan kondisiku yang memang benar-benar sedang membutuhkan uang.
…………………
Kini ekor mataku melirik pada sosok laki-laki tampan dengan postur tubuh tinggi dan berkulit bersih yang sudah sah menjadi suamiku. Meski kami berdua memiliki perjanjian di dalam pernikahan. Tapi pernikahan kami bukan pernikahan pura-pura.
"Sampai kapan kamu akan berdiri di sana?" tanya Pak Yogi yang duduk ditepi ranjang.
Seketika mataku membulat sempurna dan sesekali menelan salvia.
"Te - terus, saya harus ngapain, Pak?"
"Kamu masih belum sadar? Kalau kita sudah di dalam kamar," jawab Pak Yogi dengan menatapku.
Aku segera menutup dadaku dengan kedua tangan yang menyilang. Bagaimana ini? Masa' iya, aku dan Pak Yogi tetap melakukan malam pertama? Tidak ... aku tidak mau. Enak saja.
Tapi, dalam perjanjian itu hanya tertulis tentang pernikahan yang akan berlangsung selama enam bulan saja. Selebihnya tidak ada perjanjian lain.
Berarti ... Pak Yogi berhak atas diriku sebagai seorang istri?
"Jangan berpikir macam-macam! Kamu bukan perempuan typeku!" terangnya dengan menaruh selimut tebal, bantal dan sebuah guling di tanganku. "Kamu tidur di sofa!" terangnya lagi dengan menunjuk sofa mewah dan lebar. Mungkin lebih lebar dari tempat tidurku di rumah.
Hah ... aku pun bernapas dengan lega.
Segera kulangkahkan kaki menuju sofa yang berada persis disamping ranjang Pak Yogi.
"Kamu tidak ganti baju dulu? Memangnya mau tidur pakai gaun pengantin seperti itu?"
Oh iya, aku baru sadar kalau masih mengenakan gaun pengantin. Tapi ... masa' aku ganti baju di depan Pak Yogi?
"Itu pintu ke kamar mandi. Kamu ganti di sana!" jelasnya dengan menunjuk sebuah pintu berwarna putih.
Segera kuambil daster kesayangan yang biasa kupakai untuk tidur dari dalam tas.
Ini beneran kamar mandi? Semewah ini? Bersih dan wangi lagi. Hah ... tidur di sini pun aku betah, ucapku sendiri setelah berada di dalam kamar mandi.
Selesai melepas gaun, aku langsung ganti memakai daster dan ke luar dari kamar mandi.
Untung saja gaunnya simple, jadi bisa dengan mudah aku melepas tanpa harus meminta bantuan. Ngga ngebayangin kalau harus minta bantuan Pak Yogi, hi hi hi, ucapku pelan dengan pikiran yang sedikit ngelantur.
Tiba-tiba Pak Yogi menatapku tanpa berkedip. Raut wajahnya menunjukkan seakan-akan ada yang salah dengan penampilanku.
Aku pun menatap diriku sendiri dari ujung kaki sampai ke atas dada. Tidak ada yang salah. Terus ngapain Pak Yogi menatapku seperti itu?
Dengan cepat aku langsung lari ke arah sofa dan membalut tubuhku dengan selimut.
Pak Yogi terlihat berdiri dan mengambil sesuatu di dalam lemarinya yang begitu besar.
"Ganti!" seru dia dengan memberikan sebuah piyama.
Aku pun mendongakkan wajah ke arah Pak Yogi dengan sedikit bingung.
"Kenapa saya harus ganti, Pak? Daster saya bersih kok. Ngga bau juga," terangku dengan berkali-kali mencium dasterku sendiri.
"Buruan!" terangnya dengan nada lebih tegas.
Aku pun segera mengambil piyama yang ada di tangan Pak Yogi.
"Itu piyama baru, belum pernah saya pakai."
Hah ... belum apa-apa sudah banyak aturan. Memangnya salah? Kalau aku pakai daster.Dengan cepat aku balik lagi ke kamar mandi untuk ganti baju. Kini piyama milik Pak Yogi sudah kupakai.
Beneran mirip orang-orangan sawah. Apa Pak Yogi tidak mikir? Kalau bajunya pasti kebesaran di badanku. Dasar orang kaya, mentang-mentang banyak duit, apa yang diinginkan harus dituruti. Menyebalkan, ucapku dengan berdiri di depan cermin besar yang ada di dalam kamar mandi.
"Nah, 'kan lebih enak diliatnya."
Apanya yang enak diliat? Kedodoran begini, gumamku dalam hati dengan menghembuskan napas kasar dari mulut.
***
Suasana yang begitu hening di dalam kamar. Pak Yogi dari tadi hanya sibuk dengan laptopnya. Sedangkan aku sendiri belum bisa memejamkan mata.
Malam pertama yang aneh.
"Pak ... Pak Yogi," panggilku dengan suara pelan.
"Sudah malam. Jangan berisik! Banyak kerjaan yang harus saya selesaikan," jawabnya ketus.
"Sa - saya boleh tidak, Pak, nonton tivi yang besar itu?" tanyaku dengan menunjuk tivi besar yang menempel di tembok.
Sesaat Pak Yogi menatapku sebelum akhirnya memberikan sebuat remote tivi.
Segera kutekan tombol on untuk menghidupkannya. Kupilih chanel favorit dengan acara lagu dangdut.
Baru sedikit saja terhibur dengan lagu dangdut, tiba-tiba Pak Yogi mengecilkan volumenya.
"Pak, besarin dikit! Saya ngga denger," rengekku.
Tapi Pak Yogi tetap diam dan mengabaikan ucapanku.
Kurebahkan tubuhku di sofa dengan mata yang masih belum bisa terpejam.
"Pak, kenapa Bapak memilih saya untuk pernikahan enam bulan ini? Kenapa tidak perempuan lain? Atau karyawan di kantor Bapak yang cantik-cantik dan juga pintar," tanyaku dengan menatap langi-langit kamar yang begitu indah.
"Justru karena kamu tidak cantik dan tidak pintar, makanya saya pilih. Biar saat perceraian nanti, orang-orang bisa memahami kenapa saya menceraikan kamu," jawabnya sembari menutup laptopnya.
Kini aku berpikir keras mencoba memahami ucapan dari Pak Yogi.
"Mak - maksudnya. Kalau perempuan tidak cantik dan tidak pintar seperti saya, bisa diperlakukan semena-mena? Dianggap perempuan bo*oh?"
"Setidaknya kamu tidak rugi dengan pernikahan ini. Jadi cukup ikuti saja sampai tiba waktunya kita bercerai!" terangnya dengan merebahkan tubuh di atas ranjang.
Ya sudahlah, ngapain juga aku harus mempermasalahkan hal ini. Lagian dari awal 'kan memang sudah ada perjanjian sebelum menikah. Yang terpenting hutang-hutang orang tuaku bisa lunas.
Bersambung
Sudah sore, tapi Yogi belum pulang dari kantor. Dia masih sibuk menyelesaikan masalah yang terjadi di perusahaan selama dipegang oleh Zein.Kanaya yang sudah selesai membantu Dina memasak. Dia langsung mandi dan dandan begitu cantik. Malam ini Kanaya ingin menyambut kepulangan Yogi dengan penampilan spesial. Tidak berapa lama, terdengar suara mobil Yogi. Kanaya merasa senang sekali. Akhirnya yang dia tunggu pulang juga.Yogi pun langsung masuk ke dalam kamar. Dia meletakkan tas kerja dan langsung merenggangkan dasi."Ekhem ...." Kanaya berdehem kecil.Yogi hanya diam. Dia sama sekali tidak menanggapi Kanaya. "Mas, kamu capek, ya?" tanya Kanaya dengan mendekatkan wajahnya agar Yogi melihat dia yang sudah dandan cantik.Lagi-lagi Yogi mengabaikan Kanaya.'Ini orang kenapa, sih? Apa karena masalah di kantor? Ya ... percuma dong aku dandan cantik begini. Kalau Mas Yogi saja cuek,' Kanaya pun duduk di sampingnya."Kamu kenapa, Mas? Apa karena masalah kantor yang kemarin?" Kanaya ingin me
Pagi yang sangat indah. Kanaya terlihat enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Semalam, Yogi memeluk erat dirinya. Meskipun sampai saat ini, mereka belum melakukan malam pertama sebagai suami istri.Kanaya belum tersadar kalau sebelahnya sudah tidak ada Yogi. Melainkan guling yang ditutup selimut."Mbak Naya. Mbak ...," panggil ART sembari mengetuk pintu."Ya ... sebentar!"Kanaya segera beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu."Ini, Mbak, sarapannya. Tadi Mas Yogi yang meminta saya untuk mengantar sarapan buat Mbak Naya.""Mas Yogi? Lha. Mas Yogi 'kan masih tidur."ART yang mengantar sarapan tersenyum. "Mas Yogi sudah berangkat ke kantor dari tadi, Mbak Naya.""Terima kasih ya, Mbak." Kanaya segera mengambil nampan dari tangan Mbak Minah dan meletakkan di atas meja. Lalu balik lagi ke tempat tidur dan menyibak selimut. "Guling? Aku pikir Mas Yogi masih tidur." Drrttt drrrttt drrtttPonsel di atas nakas bergetar. Kanaya pun langsung mengambilnya."Mas Yogi, VC? Tumben."K
Teriakan amarah terdengar dari kamar Zein. Semua barang-barang dia lempar sampai berserakan. Dia sangat kecewa dan kesal dengan keputusan Kakek yang menurutnya tidak adil. Sangat tidak adil. "Zein. Kamu tidak boleh menyerah begitu saja!" ucap Dina yang langsung masuk ke kamar anaknya. "Rayu Kakek kamu, Zein!" Menoleh dengan wajah yang memerah. "Mama pikir, Kakek mau mendengar ucapan Zein? Tidak, Ma." "Semua ini gara-gara Yogi. Dia selalu mendapat apa yang Kakek punya. Mama juga kecewa dengan keputusan kakekmu." Dina tak kalah kesal. "Mama jangan salahkan Yogi! Tadi kalian dengar sendiri 'kan? Sebenarnya Yogi juga berat menerima keputusan tersebut." Dina yang tadi duduk di tepi tempat tidur langsung beranjak mendekati suaminya dengan tatapan penuh amarah. "Apa Papa tidak lihat? Zein begitu terpukul dengan keputusan kakeknya. Dan sekarang, Papa justru membela Yogi. Apa karena dia anak kandung Papa? Iya?" Rudi menghembuskan napas berat. Dia berjalan menuju arah jendela. Berdiri d
Sampai juga Yogi dan Kanaya di rumah Kakek. Rumah yang telah menumbuhkan benih-benih cinta pada mereka. Yogi hanya terdiam. Ketika Pak Didik sudah memarkirkan mobil di depan rumah. Pandangan lurus ke depan seakan Yogi masih ragu untuk keluar. Kanaya pun memandang laki-laki tampan yang telah memikat hatinya tersebut. Tangannya dikibaskan di depan wajah Yogi. "Mas ... Mas Yogi."Seketika Yogi menoleh ke arah Kanaya."Sudah sampai, Mas. Kenapa diam saja? Ayo turun!" Dengan langsung membuka pintu mobil. Kanaya turun lebih dulu.Dia segera membukakan pintu mobil untuk Yogi. "Ayo turun! Kalau ngga mau turun, ngapain tadi ke sini?" Kanaya menarik tangan Yogi.Yogi akhirnya menerima ajakan Kanaya untuk keluar dari mobil. Netranya langsung terarah pada mobil milik papanya. Yogi hanya diam dan berdiri di depan rumah. Lagi-lagi Kanaya harus sedikit memaksa agar Yogi mau masuk ke dalam."Assalamu'alaikum. Kakek ...," ucap Kanaya. Sikapnya masih sama seperti dulu. "Wa - Wa'alaikumsalam." Terden
"Ka - Kakek," ucap Kanaya begitu terkejut melihat Kakek Jaya yang tiba-tiba datang."Zein. Pulang!" titah Kakek dengan menatap tajam Zein. Sesaat Kakek memandang Yogi dan Kanaya. Lalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Tanpa ada sepatah katapun yang terucap untuk Yogi dan Kanaya.Zein segera mengikuti langkah kakeknya tersebut. Yang berjalan keluar dari restaurant."Kakek tunggu di rumah!" Zein pun hanya menjawab dengan anggukan. Kakek Jaya langsung masuk ke dalam mobil meninggalkan Zein yang masih berdiri di halaman restaurant.Dengan cepat, Zein pun langsung menuju mobilnya untuk segera pulang ke rumah.---"Duduk!" titah Kakek sesaat setelah Zein sampai di rumah.Zein pun duduk berhadapan dengan kakeknya. "Ada apa, Kek? Kenapa menyuruh Zein pulang? 'Kan masih jam kerja kantor.""Kakek tidak suka dengan sikapmu tadi. Memalukan.""Memalukan? Maksud Kakek?" Zein benar-benar tidak tahu diri. Dia masih bersikap seolah-olah tidak melakukan hal yang salah. Dia selalu merasa benar
Hari begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah hampir satu bulan Yogi tinggal di rumah orang tua Kanaya. Yogi masih terus menekuni pekerjaannya sebagai tukang becak menggantikan Heru—mertuanya.Sebenarnya, bisa saja Yogi mencari pekerjaan di kantor. Apalagi dengan kemampuannya yang sudah tidak diragukan lagi sebagai mantan seorang direktur. Tapi dia merasa mendapat kenyamanan tersendiri sebagai tukang becak. Untung saja kedua mertuanya tidak pernah memandang Yogi dari segi materi. Meskipun sekarang dia tidak memiliki kemewahan seperti dulu, tapi Tari dan Heru tetap menerimanya sebagai suami dari putri semata wayang mereka. Justru dengan kejadian ini. Orang tua Kanaya merasa bersyukur. Karena pada akhirnya bisa menyatukan Yogi dan Kanaya dalam sebuah pernikahan sebenarnya. Bukan pernikahan dengan perjanjian.Hubungan Yogi dan Kanaya sendiri sebagai suami istri masih tetap sama. Mereka belum pernah melakukan hal yang sebenarnya sudah halal dalam pernikahan. Meskipun demikian, semakin har
Senyum mengembang membingkai bibir Zein. Dia begitu senang karena akhirnya Kakek memberi kesempatan padanya untuk menggantikan posisi Yogi di kantor.Zein berdiri di depan cermin dan menatap bangga dirinya sendiri."Aku memang lebih pantas menjadi direktur. Harusnya dari dulu Kakek mengambil keputusan seperti ini." Senyum jahat Zein mengembang."Kenapa Kakek mengusir Yogi? Harusnya office girl itu saja yang Kakek usir! Yogi menikah dengan perjanjian karena dia tidak mencintai perempuan itu. Semua juga gara-gara Kakek yang memaksa Yogi untuk segera menikah." Suara lantang Siska membuat Zein keluar dari kamarnya.Kakek tidak menghiraukan ucapan Siska. Beliau hanya diam saja."Siska. Jaga bicara kamu!" tegur Zein mencari muka di depan kakeknya. Dia langsung menarik tangan Siska dan mengajaknya keluar."Lepas! Apa-apaan sih kamu, Zein?"'Perempuan ini bisa bahaya juga untukku. Dia pasti berharap Yogi kembali dan menjadi direktur lagi di p
BrakkkZein menggebrak meja. 'Seenaknya saja Yogi memukulku seperti tadi,' batinnya dengan menahan kesal.Kakek Jaya yang baru saja pulang. Beliau memandang ke arah Zein dan mendekatinya. "Kamu kenapa, Zein?""Kakek mau tau kenapa? Lihat ini, Kek!" ucap Zein sembari menunjuk wajahnya yang lebam. "Semua ini karena Yogi.""Yogi? Memangnya kenapa dia sampai melakukan hal seperti itu?"'Saya tau. Yogi bukan orang yang ringan tangan. Pasti ada sebab, kenapa dia sampai menyakiti Zein,' batin kakek."Zein hanya bilang jangan mempermalukan keluarga Adijaya. Hanya itu saja. Tapi Yogi tiba-tiba emosi."Zein tidak mengakui kesalahannya di depan Kakek. Padahal sudah jelas, Yogi memukul dia karena telah merendahkan Kanaya."Bikin malu?" Kakek terlihat penasaran dengan ucapan Zein."Iya, Kek. Kakek tau, sekarang Yogi menjadi tukang becak. Memalukan sekali 'kan Kek?"'Yogi menjadi tukang becak? Apa dia bisa mel
Heru mengajak menantunya mangkal di pertigaan tak begitu jauh dari rumahnya."Kita mangkal di sini saja, Nak Yogi! Yang dekat-dekat dulu.""Baik, Pak."Yogi dan Heru duduk di samping becak sembari menunggu penumpang datang."Nak Yogi apa tidak malu menarik becak seperti ini?" tanya Heru membuka obrolan."Apa Bapak malu menjadi tukang becak?" Sebuah pertanyaan kembali dibalikkan Yogi pada mertuanya."Tidak, Nak Yogi. Kenapa harus malu? Kalau kita kerja dengan cara halal.""Itu juga jawaban dari saya, Pak.""Tapi Nak Yogi 'kan beda dengan Bapak. Nak Yogi orang kaya. Selalu mendapatkan apa yang diinginkan dengan mudah. Tanpa harus bersusah payah."Yogi memandang ke arah jalan. Dia tersenyum mendengar ucapan mertuanya tersebut."Sekarang saya bukan orang kaya lagi, Pak. Dan Bapak salah kalau menganggap semua yang saya inginkan bisa didapat dengan mudah. Sejak kecil, saya tidak pernah mendapat kasih sayang