Sebenarnya aku masih sangat mengantuk. Tapi berusaha membuka mata karena mencium bau parfum yang begitu menyengat di hidung.
Saking nyamannya tidur di sofa empuk, sampai membuatku enggan bangun dari rebahan.
Dengan pandangan masih sedikit samar-samar, aku melihat Pak Yogi sudah berdiri di samping sofa.
"Pak Yogi?" seruku dengan langsung bangun. "Pa - Pak Yogi kenapa berdiri di sini?" tanyaku pada laki-laki yang sudah terlihat rapi dan tampan serta bau wangi parfum yang melekat di tubuhnya.
Tiba-tiba dia memberikan dua amplop cokelat di tanganku.
"Itu uang enam puluh juta dan dua puluh juta," terangnya langsung beranjak pergi begitu saja.
"Tunggu!" Pak Yogi langsung menghentikan langkahnya. "Saya cuma butuh tiga puluh juta. Kenapa Bapak memberikan sebanyak ini?" Aku langsung mendekati Pak Yogi dan mengembalikan yang lima puluh juta padanya.
"Kenapa kamu kembalikan?" tanya Pak Yogi dengan memandangku yang masih acak-acakan dengan rambut terurai tak beraturan.
"Saya tidak mau punya hutang sama Bapak setelah kita bercerai nanti."
Pak Yogi mengembalikan lagi uang tersebut di tanganku. "Yang tiga puluh juta, berikan pada orang tuamu! Masa' anaknya sudah menikah dengan Yogi Adijaya, tapi orang tuanya masih hidup susah," terang Pak Yogi dengan sikap kaku. "Dan yang dua puluh juta untuk kamu. Beli baju yang pantas dipakai! Jangan lupa pergi ke salon! Rubah penampilan kamu!" terangnya lagi dan berlalu begitu saja ke luar dari kamar.
Apa maksudnya baju yang pantas? Memangnya pakaianku tidak pantas? Rubah penampilan kamu! ucapku pelan dengan menirukan gaya bicara Pak Yogi. Memangnya apa yang harus dirubah? tanyaku sembari berkaca di depan cermin.
Tok tok tok
"Mbak Kanaya," terdengar seseorang memanggilku dari depan pintu kamar.
Gegas aku pun langsung membuka pintu.
Seorang perempuan dengan pakaian hitam putih mengulas senyum di depanku.
"I - iya."
"Mbak Kanaya sudah ditunggu Bapak Adijaya dan juga Mas Yogi untuk sarapan."
"Se - sekarang?"
Perempuan itu langsung menganggukkan kepala dengan gerak tangan yang mempersilahkanku untuk mengikutinya.
Dengan masih memakai piyama milik Pak Yogi, aku pun melangkahkan kaki menuju ruang makan.
Kini semua pandangan terarah padaku. Pak Yogi dan kakeknya menatapku tanpa berkedip.
Aku hanya bisa terdiam bak patung dengan kepala yang menunduk. Rasanya benar-benar gugup.
"Ayo duduk, Kanaya! Kenapa malah berdiri saja?" pinta kakeknya Pak Yogi.
Dengan langkah pelan aku berjalan menuju meja makan dan langsung menggeser kursi untuk duduk.
"Kenapa harus jauh-jauhan duduknya?" tanya kakeknya Pak Yogi lagi. "Kanaya. Duduk di samping suami kamu!"
Seketika aku langsung membulatkan mata.
"Sa - saya, duduk di sini saja," jawabku dengan perasaan gugup dan canggung. "Saya be - belum mandi soalnya, K - Kek. Eh ... O - Opa."
Aduh, aku harus panggil kakeknya Pak Yogi dengan sebutan apa?
"Panggil saja Kakek Jaya!" terangnya padaku. "Yogi ... kamu tidak bangunin Kanaya, tadi?" tanya Kakek Jaya dengan menatap wajah Pak Yogi.
Pak Yogi hanya menjawab dengan gelengan kepala.
"Ya sudah. Sekarang saatnya kita sarapan! Yogi, kamu pindah di sebelah Kanaya!"
Dengan wajah datar, Pak Yogi pun langsung beranjak dan pindah duduk di sebelahku.
Aku terperanga melihat menu makanan yang begitu lengkap berderet di atas meja.
Ini sarapan apa acara hajatan? Banyak banget makanannya. Sangat disayangkan. Kenapa orang kaya senang sekali menghamburkan makanan?
Oh ... mungkin makanan ini untuk makan malam juga. Duh, pikiranku sudah yang tidak-tidak.
"Kanaya, ayo ambil! Kamu harus makan yang banyak!"
"Iya, Kek," jawabku dengan memberanikan diri mengambil nasi. Kebetulan aku memang lapar sekali.
Tanganku yang sudah mulai mengambil lauk, tiba-tiba terhenti. Kenapa cuma aku saja yang sarapan dengan nasi? Sedangkan Kakek Jaya dan Pak Yogi hanya makan roti.
Masa' iya, semua makanan ini memang sengaja disiapkan untukku?
"Kenapa tidak jadi ambil laukanya? Ambil saja! Semua masakan ini memang sengaja disiapkan untuk kamu," terang Kakek Jaya dengan tersenyum.
Aku sedikit melirik ke arah Pak Yogi yang sudah mulai menyantap satu tangkup roti dengan selai cokelat.
"Yogi ...," seru Kakek Jaya dengan tatapan mengarah padaku. Sepertinya beliau sedang memberi isyarat pada Pak Yogi. Tapi entah apa.
"Kamu makan saja! Aku dan Kakek tidak terbiasa sarapan dengan nasi," ucap Pak Yogi tanpa memandangku.
Ini orang, mau di kantor apa di rumah, sikapnya tetap sama. Angkuh, kaku, sombong. Untung saja kami menikah hanya untuk enam bulan. Habis itu aku bebas.
Astaga ... pikiran macam apa ini? Sebenarnya aku juga tidak ingin main-main dengan pernikahan. Dari dulu, aku selalu berharap bisa menikah dengan laki-laki yang aku cintai. Dan pastinya pernikahan sekali seumur hidup.
Hemh ... tapi semua sudah terjadi.
"Oh ya. Kalian mau bulan madu ke mana?"
Uhuk uhuk uhuk
Seketika makanan yang sudah masuk ke dalam mulutku sedikit menyembur ke luar.
"Ma - maaf, Kek," ucapku pelan dengan membersihkan bibir.
"Pelan-pelan, Kanaya! Apa ada ucapan Kakek yang salah? Sepertinya kamu terlihat kaget."
Gimana ngga kaget. Kakek menyuruh kami bulan madu. Sebenarnya tidak ada yang salah juga dengan ucapan Kakek Jaya. Tapi untuk pernikahanku dengan Pak Yogi, mana mungkin ada bulan madu.
"Yogi dan Kanaya memang sengaja menunda bulan madu, Kek."
"Menunda? Maksud kamu, Gi? Bukannya semua kerjaan di kantor sudah beres?"
"Kami bulan madu di rumah saja, Kek," celetukku membuat Pak Yogi langsung menoleh ke arahku.
Memangnya ada yang salah dengan ucapanku? Aku 'kan cuma bantuin jawab saja.
"Baiklah. Kakek tidak bisa memaksa kalau kalian memang ingin menunda bulan madu. Tapi Kakek minta, kalian tidak menunda untuk memberi Kakek cucu!"
Sontak aku dan Pak Yogi saling berpandangan dengan mata yang terbelalak.
"Cucu, Kek? Yogi dan Kanaya 'kan baru sehari menikah. Masa' Kakek sudah bicara soal cucu," terang Pak Yogi dengan langsung meneguk satu gelas susu sampai habis.
"Apa ada yang salah lagi dengan ucapan Kakek? Tadi Kanaya yang kaget saat Kakek bicara soal bulan madu. Sekarang kalian berdua sama-sama kaget mendengar permintaan Kakek. Padahal dua hal yang Kakek ucapkan tadi adalah wajar. Kalian 'kan sudah menikah."
Seandainya Kakek Jaya tau bahwa dalam pernikahan kami ada perjanjian. Pasti beliau akan marah besar.
Hahh ... kenapa aku jadi merasa takut seperti ini? Harusnya aku menolak pernikahan ini. Kanaya ... bo*oh sekali kamu.
Bersambung
Sudah sore, tapi Yogi belum pulang dari kantor. Dia masih sibuk menyelesaikan masalah yang terjadi di perusahaan selama dipegang oleh Zein.Kanaya yang sudah selesai membantu Dina memasak. Dia langsung mandi dan dandan begitu cantik. Malam ini Kanaya ingin menyambut kepulangan Yogi dengan penampilan spesial. Tidak berapa lama, terdengar suara mobil Yogi. Kanaya merasa senang sekali. Akhirnya yang dia tunggu pulang juga.Yogi pun langsung masuk ke dalam kamar. Dia meletakkan tas kerja dan langsung merenggangkan dasi."Ekhem ...." Kanaya berdehem kecil.Yogi hanya diam. Dia sama sekali tidak menanggapi Kanaya. "Mas, kamu capek, ya?" tanya Kanaya dengan mendekatkan wajahnya agar Yogi melihat dia yang sudah dandan cantik.Lagi-lagi Yogi mengabaikan Kanaya.'Ini orang kenapa, sih? Apa karena masalah di kantor? Ya ... percuma dong aku dandan cantik begini. Kalau Mas Yogi saja cuek,' Kanaya pun duduk di sampingnya."Kamu kenapa, Mas? Apa karena masalah kantor yang kemarin?" Kanaya ingin me
Pagi yang sangat indah. Kanaya terlihat enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Semalam, Yogi memeluk erat dirinya. Meskipun sampai saat ini, mereka belum melakukan malam pertama sebagai suami istri.Kanaya belum tersadar kalau sebelahnya sudah tidak ada Yogi. Melainkan guling yang ditutup selimut."Mbak Naya. Mbak ...," panggil ART sembari mengetuk pintu."Ya ... sebentar!"Kanaya segera beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu."Ini, Mbak, sarapannya. Tadi Mas Yogi yang meminta saya untuk mengantar sarapan buat Mbak Naya.""Mas Yogi? Lha. Mas Yogi 'kan masih tidur."ART yang mengantar sarapan tersenyum. "Mas Yogi sudah berangkat ke kantor dari tadi, Mbak Naya.""Terima kasih ya, Mbak." Kanaya segera mengambil nampan dari tangan Mbak Minah dan meletakkan di atas meja. Lalu balik lagi ke tempat tidur dan menyibak selimut. "Guling? Aku pikir Mas Yogi masih tidur." Drrttt drrrttt drrtttPonsel di atas nakas bergetar. Kanaya pun langsung mengambilnya."Mas Yogi, VC? Tumben."K
Teriakan amarah terdengar dari kamar Zein. Semua barang-barang dia lempar sampai berserakan. Dia sangat kecewa dan kesal dengan keputusan Kakek yang menurutnya tidak adil. Sangat tidak adil. "Zein. Kamu tidak boleh menyerah begitu saja!" ucap Dina yang langsung masuk ke kamar anaknya. "Rayu Kakek kamu, Zein!" Menoleh dengan wajah yang memerah. "Mama pikir, Kakek mau mendengar ucapan Zein? Tidak, Ma." "Semua ini gara-gara Yogi. Dia selalu mendapat apa yang Kakek punya. Mama juga kecewa dengan keputusan kakekmu." Dina tak kalah kesal. "Mama jangan salahkan Yogi! Tadi kalian dengar sendiri 'kan? Sebenarnya Yogi juga berat menerima keputusan tersebut." Dina yang tadi duduk di tepi tempat tidur langsung beranjak mendekati suaminya dengan tatapan penuh amarah. "Apa Papa tidak lihat? Zein begitu terpukul dengan keputusan kakeknya. Dan sekarang, Papa justru membela Yogi. Apa karena dia anak kandung Papa? Iya?" Rudi menghembuskan napas berat. Dia berjalan menuju arah jendela. Berdiri d
Sampai juga Yogi dan Kanaya di rumah Kakek. Rumah yang telah menumbuhkan benih-benih cinta pada mereka. Yogi hanya terdiam. Ketika Pak Didik sudah memarkirkan mobil di depan rumah. Pandangan lurus ke depan seakan Yogi masih ragu untuk keluar. Kanaya pun memandang laki-laki tampan yang telah memikat hatinya tersebut. Tangannya dikibaskan di depan wajah Yogi. "Mas ... Mas Yogi."Seketika Yogi menoleh ke arah Kanaya."Sudah sampai, Mas. Kenapa diam saja? Ayo turun!" Dengan langsung membuka pintu mobil. Kanaya turun lebih dulu.Dia segera membukakan pintu mobil untuk Yogi. "Ayo turun! Kalau ngga mau turun, ngapain tadi ke sini?" Kanaya menarik tangan Yogi.Yogi akhirnya menerima ajakan Kanaya untuk keluar dari mobil. Netranya langsung terarah pada mobil milik papanya. Yogi hanya diam dan berdiri di depan rumah. Lagi-lagi Kanaya harus sedikit memaksa agar Yogi mau masuk ke dalam."Assalamu'alaikum. Kakek ...," ucap Kanaya. Sikapnya masih sama seperti dulu. "Wa - Wa'alaikumsalam." Terden
"Ka - Kakek," ucap Kanaya begitu terkejut melihat Kakek Jaya yang tiba-tiba datang."Zein. Pulang!" titah Kakek dengan menatap tajam Zein. Sesaat Kakek memandang Yogi dan Kanaya. Lalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Tanpa ada sepatah katapun yang terucap untuk Yogi dan Kanaya.Zein segera mengikuti langkah kakeknya tersebut. Yang berjalan keluar dari restaurant."Kakek tunggu di rumah!" Zein pun hanya menjawab dengan anggukan. Kakek Jaya langsung masuk ke dalam mobil meninggalkan Zein yang masih berdiri di halaman restaurant.Dengan cepat, Zein pun langsung menuju mobilnya untuk segera pulang ke rumah.---"Duduk!" titah Kakek sesaat setelah Zein sampai di rumah.Zein pun duduk berhadapan dengan kakeknya. "Ada apa, Kek? Kenapa menyuruh Zein pulang? 'Kan masih jam kerja kantor.""Kakek tidak suka dengan sikapmu tadi. Memalukan.""Memalukan? Maksud Kakek?" Zein benar-benar tidak tahu diri. Dia masih bersikap seolah-olah tidak melakukan hal yang salah. Dia selalu merasa benar
Hari begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah hampir satu bulan Yogi tinggal di rumah orang tua Kanaya. Yogi masih terus menekuni pekerjaannya sebagai tukang becak menggantikan Heru—mertuanya.Sebenarnya, bisa saja Yogi mencari pekerjaan di kantor. Apalagi dengan kemampuannya yang sudah tidak diragukan lagi sebagai mantan seorang direktur. Tapi dia merasa mendapat kenyamanan tersendiri sebagai tukang becak. Untung saja kedua mertuanya tidak pernah memandang Yogi dari segi materi. Meskipun sekarang dia tidak memiliki kemewahan seperti dulu, tapi Tari dan Heru tetap menerimanya sebagai suami dari putri semata wayang mereka. Justru dengan kejadian ini. Orang tua Kanaya merasa bersyukur. Karena pada akhirnya bisa menyatukan Yogi dan Kanaya dalam sebuah pernikahan sebenarnya. Bukan pernikahan dengan perjanjian.Hubungan Yogi dan Kanaya sendiri sebagai suami istri masih tetap sama. Mereka belum pernah melakukan hal yang sebenarnya sudah halal dalam pernikahan. Meskipun demikian, semakin har
Senyum mengembang membingkai bibir Zein. Dia begitu senang karena akhirnya Kakek memberi kesempatan padanya untuk menggantikan posisi Yogi di kantor.Zein berdiri di depan cermin dan menatap bangga dirinya sendiri."Aku memang lebih pantas menjadi direktur. Harusnya dari dulu Kakek mengambil keputusan seperti ini." Senyum jahat Zein mengembang."Kenapa Kakek mengusir Yogi? Harusnya office girl itu saja yang Kakek usir! Yogi menikah dengan perjanjian karena dia tidak mencintai perempuan itu. Semua juga gara-gara Kakek yang memaksa Yogi untuk segera menikah." Suara lantang Siska membuat Zein keluar dari kamarnya.Kakek tidak menghiraukan ucapan Siska. Beliau hanya diam saja."Siska. Jaga bicara kamu!" tegur Zein mencari muka di depan kakeknya. Dia langsung menarik tangan Siska dan mengajaknya keluar."Lepas! Apa-apaan sih kamu, Zein?"'Perempuan ini bisa bahaya juga untukku. Dia pasti berharap Yogi kembali dan menjadi direktur lagi di p
BrakkkZein menggebrak meja. 'Seenaknya saja Yogi memukulku seperti tadi,' batinnya dengan menahan kesal.Kakek Jaya yang baru saja pulang. Beliau memandang ke arah Zein dan mendekatinya. "Kamu kenapa, Zein?""Kakek mau tau kenapa? Lihat ini, Kek!" ucap Zein sembari menunjuk wajahnya yang lebam. "Semua ini karena Yogi.""Yogi? Memangnya kenapa dia sampai melakukan hal seperti itu?"'Saya tau. Yogi bukan orang yang ringan tangan. Pasti ada sebab, kenapa dia sampai menyakiti Zein,' batin kakek."Zein hanya bilang jangan mempermalukan keluarga Adijaya. Hanya itu saja. Tapi Yogi tiba-tiba emosi."Zein tidak mengakui kesalahannya di depan Kakek. Padahal sudah jelas, Yogi memukul dia karena telah merendahkan Kanaya."Bikin malu?" Kakek terlihat penasaran dengan ucapan Zein."Iya, Kek. Kakek tau, sekarang Yogi menjadi tukang becak. Memalukan sekali 'kan Kek?"'Yogi menjadi tukang becak? Apa dia bisa mel
Heru mengajak menantunya mangkal di pertigaan tak begitu jauh dari rumahnya."Kita mangkal di sini saja, Nak Yogi! Yang dekat-dekat dulu.""Baik, Pak."Yogi dan Heru duduk di samping becak sembari menunggu penumpang datang."Nak Yogi apa tidak malu menarik becak seperti ini?" tanya Heru membuka obrolan."Apa Bapak malu menjadi tukang becak?" Sebuah pertanyaan kembali dibalikkan Yogi pada mertuanya."Tidak, Nak Yogi. Kenapa harus malu? Kalau kita kerja dengan cara halal.""Itu juga jawaban dari saya, Pak.""Tapi Nak Yogi 'kan beda dengan Bapak. Nak Yogi orang kaya. Selalu mendapatkan apa yang diinginkan dengan mudah. Tanpa harus bersusah payah."Yogi memandang ke arah jalan. Dia tersenyum mendengar ucapan mertuanya tersebut."Sekarang saya bukan orang kaya lagi, Pak. Dan Bapak salah kalau menganggap semua yang saya inginkan bisa didapat dengan mudah. Sejak kecil, saya tidak pernah mendapat kasih sayang