Share

Bab 2

Sebenarnya aku masih sangat mengantuk. Tapi berusaha membuka mata karena mencium bau parfum yang begitu menyengat di hidung. 

Saking nyamannya tidur di sofa empuk, sampai membuatku enggan bangun dari rebahan. 

Dengan pandangan masih sedikit samar-samar, aku melihat Pak Yogi sudah berdiri di samping sofa.

"Pak Yogi?" seruku dengan langsung bangun. "Pa - Pak Yogi kenapa berdiri di sini?" tanyaku pada laki-laki yang sudah terlihat rapi dan tampan serta bau wangi parfum yang melekat di tubuhnya.

Tiba-tiba dia memberikan dua amplop cokelat di tanganku.

"Itu uang enam puluh juta dan dua puluh juta," terangnya langsung beranjak pergi begitu saja.

"Tunggu!" Pak Yogi langsung menghentikan langkahnya. "Saya cuma butuh tiga puluh juta. Kenapa Bapak memberikan sebanyak ini?" Aku langsung mendekati Pak Yogi dan mengembalikan yang lima puluh juta padanya.

"Kenapa kamu kembalikan?" tanya Pak Yogi dengan memandangku yang masih acak-acakan dengan rambut terurai tak beraturan.

"Saya tidak mau punya hutang sama Bapak setelah kita bercerai nanti."

Pak Yogi mengembalikan lagi uang tersebut di tanganku. "Yang tiga puluh juta, berikan pada orang tuamu! Masa' anaknya sudah menikah dengan Yogi Adijaya, tapi orang tuanya masih hidup susah," terang Pak Yogi dengan sikap kaku. "Dan yang dua puluh juta untuk kamu. Beli baju yang pantas dipakai! Jangan lupa pergi ke salon! Rubah penampilan kamu!" terangnya lagi dan berlalu begitu saja ke luar dari kamar.

Apa maksudnya baju yang pantas? Memangnya pakaianku tidak pantas? Rubah penampilan kamu! ucapku pelan dengan menirukan gaya bicara Pak Yogi. Memangnya apa yang harus dirubah? tanyaku sembari berkaca di depan cermin.

 Tok tok tok

"Mbak Kanaya," terdengar seseorang memanggilku dari depan pintu kamar.

Gegas aku pun langsung membuka pintu. 

Seorang perempuan dengan pakaian hitam putih mengulas senyum di depanku.

"I - iya."

"Mbak Kanaya sudah ditunggu Bapak Adijaya dan juga Mas Yogi untuk sarapan."

"Se - sekarang?"

Perempuan itu langsung menganggukkan kepala dengan gerak tangan yang mempersilahkanku untuk mengikutinya.

Dengan masih memakai piyama milik Pak Yogi, aku pun melangkahkan kaki menuju ruang makan.

Kini semua pandangan terarah padaku.  Pak Yogi dan kakeknya menatapku tanpa berkedip. 

Aku hanya bisa terdiam bak patung dengan kepala yang menunduk. Rasanya benar-benar gugup.

"Ayo duduk, Kanaya! Kenapa malah berdiri saja?" pinta kakeknya Pak Yogi.

Dengan langkah pelan aku berjalan menuju meja makan dan langsung menggeser kursi untuk duduk.

"Kenapa harus jauh-jauhan duduknya?" tanya kakeknya Pak Yogi lagi. "Kanaya. Duduk di samping suami kamu!"

Seketika aku langsung membulatkan mata.

"Sa - saya, duduk di sini saja," jawabku dengan perasaan gugup dan canggung. "Saya be - belum mandi soalnya, K - Kek. Eh ... O - Opa."

Aduh, aku harus panggil kakeknya Pak Yogi dengan sebutan apa?

"Panggil saja Kakek Jaya!" terangnya padaku. "Yogi ... kamu tidak bangunin Kanaya, tadi?" tanya Kakek Jaya dengan menatap wajah Pak Yogi.

Pak Yogi hanya menjawab dengan gelengan kepala.

"Ya sudah. Sekarang saatnya kita sarapan! Yogi, kamu pindah di sebelah Kanaya!"

Dengan wajah datar, Pak Yogi pun langsung beranjak dan pindah duduk di sebelahku.

Aku terperanga melihat menu makanan yang begitu lengkap berderet di atas meja. 

Ini sarapan apa acara hajatan? Banyak banget makanannya. Sangat disayangkan. Kenapa orang kaya senang sekali menghamburkan makanan? 

Oh ... mungkin makanan ini untuk makan malam juga. Duh, pikiranku sudah yang tidak-tidak.

"Kanaya, ayo ambil! Kamu harus makan yang banyak!" 

"Iya, Kek," jawabku dengan memberanikan diri mengambil nasi. Kebetulan aku memang lapar sekali.

Tanganku yang sudah mulai mengambil lauk, tiba-tiba terhenti. Kenapa cuma aku saja yang sarapan dengan nasi? Sedangkan Kakek Jaya dan Pak Yogi hanya makan roti.

Masa' iya, semua makanan ini memang sengaja disiapkan untukku?

"Kenapa tidak jadi ambil laukanya? Ambil saja! Semua masakan ini memang sengaja disiapkan untuk kamu," terang Kakek Jaya dengan tersenyum. 

Aku sedikit melirik ke arah Pak Yogi yang sudah mulai menyantap satu tangkup roti dengan selai cokelat. 

"Yogi ...," seru Kakek Jaya dengan tatapan mengarah padaku. Sepertinya beliau sedang memberi isyarat pada Pak Yogi. Tapi entah apa.

"Kamu makan saja! Aku dan Kakek tidak terbiasa sarapan dengan nasi," ucap Pak Yogi tanpa memandangku.

Ini orang, mau di kantor apa di rumah, sikapnya tetap sama. Angkuh, kaku, sombong. Untung saja kami menikah hanya untuk enam bulan. Habis itu aku bebas.

Astaga ... pikiran macam apa ini? Sebenarnya aku juga tidak ingin main-main dengan pernikahan. Dari dulu, aku selalu berharap bisa menikah dengan laki-laki yang aku cintai. Dan pastinya pernikahan sekali seumur hidup.

Hemh ... tapi semua sudah terjadi.

"Oh ya. Kalian mau bulan madu ke mana?"

Uhuk uhuk uhuk

Seketika makanan yang sudah masuk ke dalam mulutku sedikit menyembur ke luar. 

"Ma - maaf, Kek," ucapku pelan dengan membersihkan bibir.

"Pelan-pelan, Kanaya! Apa ada ucapan Kakek yang salah? Sepertinya kamu terlihat kaget." 

Gimana ngga kaget. Kakek menyuruh kami bulan madu. Sebenarnya tidak ada yang salah juga dengan ucapan Kakek Jaya. Tapi untuk pernikahanku dengan Pak Yogi, mana mungkin ada bulan madu.

"Yogi dan Kanaya memang sengaja menunda bulan madu, Kek."

"Menunda? Maksud kamu, Gi? Bukannya semua kerjaan di kantor sudah beres?"

"Kami bulan madu di rumah saja, Kek," celetukku membuat Pak Yogi langsung menoleh ke arahku. 

Memangnya ada yang salah dengan ucapanku? Aku 'kan cuma bantuin jawab saja.

"Baiklah. Kakek tidak bisa memaksa kalau kalian memang ingin menunda bulan madu. Tapi Kakek minta, kalian tidak menunda untuk memberi Kakek cucu!"

Sontak aku dan Pak Yogi saling berpandangan dengan mata yang terbelalak. 

"Cucu, Kek? Yogi dan Kanaya 'kan baru sehari menikah. Masa' Kakek sudah bicara soal cucu," terang Pak Yogi dengan langsung meneguk satu gelas susu sampai habis.

"Apa ada yang salah lagi dengan ucapan Kakek? Tadi Kanaya yang kaget saat Kakek bicara soal bulan madu. Sekarang kalian berdua sama-sama kaget mendengar permintaan Kakek. Padahal dua hal yang Kakek ucapkan tadi adalah wajar. Kalian 'kan sudah menikah."

Seandainya Kakek Jaya tau bahwa dalam pernikahan kami ada perjanjian. Pasti beliau akan marah besar. 

Hahh ... kenapa aku jadi merasa takut seperti ini? Harusnya aku menolak pernikahan ini. Kanaya ... bo*oh sekali kamu.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ahmad dae Rhobi
nanti juga yogi bucin sama km kanaya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status