Eve memejamkan mata. Di bawah sana tubuh Bastian menekan tubuhnya. Bibir pria itu tidak berhenti mencecap bibirnya. “Ah!” Eve membuka bibirnya. Bastian tersenyum samar sebelum memperdalam ciuman mereka. membawa kedua kaki Eve melilit pinggangnnya. Ia mengusap pipi perempuan itu sembari memperdalam ciuman mereka. Bastian mengakses lebih dalam bibir Eve yang begitu manis. Lidah mereka saling berpangut. Eve menyadari—meski ia sedikit kehilangan kesadarannya. Tapi semua ini nyata dan sulit untuk ditolak. Ia membiarkan Bastian menyentuhnya—menciumnya lebih dalam. Tubuhnya pun tidak menolak. bahkan mungkin rindu? Bastian melepaskan ciuman mereka—napas Eve terengah. Bastian tersenyum—menatap bibir Eve yang sudah membengkak. Lalu… Matanya menyipit—terlihat sedikit memincing ketika melihat sebuah tanda yang berada di leher sampai dada Eve. Jemarinya terangkat—menyentuh leher Eve perlahan. “Sejauh mana kau melakukannya dengan dia?” Eve mengangkat kepalanya. tangan
“Astaga…” Bastian menatap Eve yang sudah berenang di bawah sana. Air laut di sini begitu tenang. Untuk berenang tidak masalah meski air lumayan dingin. “Kau balik badan dulu!” mengusir Bastian. “Kau mau apa? jangan aneh—” “Aku akan melepaskan dressku. Aku tidak bisa berenang leluasa dengan dress ini.” “Kau akan telanjang!” “Telanjang apanya? Aku masih menggunakan pakaian!” Eve mengusir Bastian lagi. Akhirnya Bastian berbalik badan. “Jangan berbalik. Awas saja sampai mengintipku!” Eve melepaskan dressnya. Sehingga ia hanya menggunakan tanktop dan celana pendek saja. “Sudah!” Eve menyelam lagi dengan leluasa. Meski sebenarnya gelap. Ia tidak terlalu bisa melihat air di bawah sana. Cahaya dari Yacht tidak bisa menyinari air laut sampai bagian dalam. Tapi meskipun seperti itu, ia masih bisa melihat ikan kecil. Bastian minum anggur sembari duduk di tepi. Melihat Eve, tetap memastikan bahwa wanita itu aman. “Eve kau mabuk?” tanya Bastian. Eve
“Kau bicara apa?” Bastian mengambil tisu. Diusapkan pada sudut bibir Eve. “Makanlah dengan benar baru berbicara.” Eve memejamkan mata. Mengantur napasnya perlahan. Apakah hatinya mulai goyah…. Tidak! Eve menggeleng pelan. Ingat Eve, kau menjalin hubungan dengan Nicholas selama 3 tahun. Selama itu pula Nicholas yang selalu berada di sisimu. Bukan Bastian. “Kau harus ganti pakaian dulu. aku akan mengajakmu ke suatu tempat.” Eve bertopang dagu. Menatap pemandangan luar. Sudah malam—pantainya menjadi gelap. Namun masih cantik dengan penerangan yang ada. “Kenapa tidak sekarang saja?” tanya Eve. “Aku sudah selesai makan.” “Kau kedinginan. Ganti dulu pakaianmu.” “Aku ingin berenang lagi.” Eve tersenyum. “Biarkan aku berenang.” “Kau bisa sakit.” Bastian yang mulai kesal dengan Eve yang selalu membangkang. “Setelah menculikmu, aku harus mengembalikanmu ke rumah dalam keadaan sehat.” Eve tertawa pelan. “Jadi kau sadar kau menculikku?” “Tidak sepenuhnya karena kau
“Tidak—” Eve mengernyit. ia menghela napas pelan. “Aku hanya senang bisa liburan setelah sekian lama.” Eve mengusap air matanya secepat kilat. Ia kemudian berlari—sampai di hadapan air. “Pakaianmu bisa basah,” peringat Bastian yang berada di belakang. “Apa tidak ada pakaian ganti?” tanya Eve sedikit berteriak. “Ada! Tapi kau bisa sakit! Apalagi udaranya dingin!” Eve mengibaskan tangannya. “Tidak masalah!” Ia mendekat—air sudah menyentuh kakinya. “Jangan jauh-jauh Eve!” teriak Bastian. Seperti seorang ibu yang menjaga anak. Bastian tidak mau menyentuh air. Ia berada di sebuah kafe kecil. Di sanalah orang-orangnya menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka berdua. Bastian duduk sembari minum air kelapa yang menyegarkan. Ia tersenyum kecil melihat Eve yang begitu bersemangat. “Ke sinilah!” Eve melambaikan tangannya. Bastian menggeleng. “Tidak usah!” “Kalau begitu aku akan berenang ke tengah!” Eve menceburkan dirinya seperti pohon kaku yang masuk ke dalam ai
Eve menguap dengan panjang.Jam berapa ini…. Tunggu, kenapa nyaman sekali? mengusap sprai yang terasa sangat lembut. Eve membuka mata—menatap sekitar. Ruangan yang nyaman. Ia melotot—langsung bangkit. “Di mana aku?” meraba tubuhnya yang masih lengkap menggunakan pakaian. Dia kebingungan sendiri. sampai…“Di pulauku.” Eve terperanjat kecil. Di sana—di pojok ruangan, Bastian sedang membaca buku. Sebuah kacamata yang menempel di hidung mancung pria itu. “Kenapa aku—” Eve benar-benar kebingungan. “Bagaimana kau—” “Tidak usah banyak berpikir.” Bastian bangkit—melepaskan kacamatanya. Menaruh buku di atas meja. “Kita masih punya waktu untuk bersenang-senang.” Bastian tersenyum miring. “Oh ya aku tidak menghitung waktu tidurmu sebagai waktu kencan kita.” Eve menyipitkan mata. “Dasar!” Bastian mengulurkan tangannya. “Ikut denganku.” Menatap uluran tangan Bastian. Eve melengos—mengacuhkan tangan Bastian dan memilih untuk bangkit sendiri. “Mau ke mana?” Bastian berjalan lebih du
Kencan untuk satu hari. Eve turun dari Apartemennya. Menggunakan dress santai. “Kita harus pergi ke tempat yang jauh, jangan sampai Nicholas tahu.” Eve menatap Bastian. Bastian tersenyum tipis. “Baiklah aku tahu tempat yang bagus. tapi tempatnya sedikit jauh dari sini.” Membuka pintu mobil—Eve masuk ke dalam dengan pelan. Ia tidak bermaksud membohongi Nicholas. Ia berjanji akan menyelesaikan semuanya hari ini. Setelah ini ia tidak akan berurusan dengan Bastian lagi. Eve bilang pada Nicholas ia ada jadwal di rumah sakit dan tidak bisa pergi ke manapun. “Sebenarnya tujuanmu apa?” tanya Eve. “Hanya memastikan perasaan kita.” “Kita?” tanya Eve. “Hm..” Bastian menatap lurus ke depan dengan santai. namun sangat serius mengemudi. Eve berdehem sebentar setelah menoleh. “Mungkin kau saja,” balas Eve. Bastian terkekeh—ia menoleh, tangannya menarik Sun Visor yang ada di di atas Eve. Sebuah papan yang ringan yang dapat melindungi pemedui dan penumpang dari sinar matah