:-0
Luis meletakkan cangkir kopinya perlahan, lalu menatap Shakira di seberang meja. Tatapan itu tajam tapi terkendali, seperti seseorang yang sudah menyiapkan naskah panjang sebelum berbicara.“Mulai hari ini, aku akan lebih sering terlihat bersama Nadine,” ucapnya datar. “Media udah mulai berhenti nulis gosip tentang kita, tapi aku mau semuanya benar-benar bersih. Aku nggak mau ada satu pun berita yang mengaitkan namaku sama kamu.”Ia berhenti sejenak, kemudian menatap Shakira lebih dalam.“Dan satu hal penting, Shakira, nggak boleh ada siapa pun yang tahu soal pernikahan diam-diam kita. Termasuk Nadine. Di mata publik, kamu bukan siapa-siapa bagiku. Cuma staf yang kebetulan kerja di perusahaan Hartadi. Bukan juga mantan istrinya Ben Danardjanto.”“Maksudnya, aku harus menepis omongan orang kalau aku mantan istrinya Ben?”“Bingo! Hubunganku sama Nadine udah mulai diliput media. Otomatis figur tentang kamu akan mulai ditinggalkan. Dan itu akan jadi kesempatanmu buat bilang ke siapa aja ka
Musik lembut dari band akustik mengalun di sudut ruangan.Cahaya lampu kristal memantul di permukaan gelas-gelas champagne, menciptakan suasana malam yang sempurna untuk pesta pernikahan mewah itu.Setelah memberi klarifikasi singkat pada media, di antara kerumunan itu, Luis dan Nadine berjalan bersisian dan menjadi pusat perhatian. Luis tampak gagah dengan jas yang dikenakan, menonjolkan bahunya yang bidang. Sedang Nadine berjalan anggun di sisinya.Tangan Luis bertengger di pinggang Nadine, mantap dan penuh penguasaan. Itu adalah pernyataan diam bahwa perempuan di sisinya adalah miliknya. Nadine menoleh sedikit, tersenyum lembut dengan pipi yang merona.Tatapan mereka bertemu sesaat. Kemudian Luis menunduk sedikit dan berbisik di dekat telinganya.“Semua orang memperhatikan kita malam ini, Nad. Jangan takut. Anggap aja dunia lagi nonton awal dari sesuatu yang indah.”Nadine sedikit menoleh dengan jantung berdebar cepat“Awal dari sesuatu yang indah?” Ulangnya dengan nada penuh tanya.
Luis menggenggam tangan Nadine yang berada di atas meja dan menatapnya lekat.“Aku butuh bantuanmu, Nad. Aku gerah dituduh nggak benar kayak gitu. Bunda sama Ayah juga risih. Aku juga mau semua orang tahu kalau aku dekatnya sama kamu, bukan sama yang lain.”Nadine terdiam sejenak. Pipinya bersemu bahagia karena Luis mengutarakan isi hatinya. Ditambah Luis tidak hanya menggenggam tangan Nadine, melainkan juga memberinya usapan penuh makna.“Den Mas, kamu yakin mau bilang kayak gitu ke publik?”Luis mengangguk yakin dengan menatap Nadine.“Aku nggak mau biarin gosip ini ngatur arah hidupku. Apalagi sampai bikin kamu ragu sama keseriusanku. Lagipula, nggak ada yang salah, kan, kalau aku dekat sama kamu? Lalu aku menunjukkannya ke publik.”Kata-kata itu membuat senyum Nadine kembali merekah. Dan akhirnya, ia mengangguk pelan dengan senyum tersipu malu.“Kalau itu maumu, aku ikut, Den Mas.”Luis mengangguk pelan, senyumnya tipis tapi penuh perhitungan dengan tangan menggenggam tangan Nadine
Shakira mengetuk pelan pintu ruang kerja sebelum masuk. Pikirannya tidak tenang ketika seorang asisten rumah tangga menghampirinya di taman dan berkata Luis ingin dia menemuinya di ruang kerja.Karena Shakira tahu ini pasti ada hubungannya dengan ia tidak masuk kerja hari ini. Atau … saat dia tidak sengaja melihat Luis dan perempuan itu makan siang.Setelah membuka pintu itu, Shakira melihat Luis duduk di balik meja besar dari kayu mahoni, jas kerjanya sudah ditanggalkan di punggung kursi. Dan ekspresinya selalu saja dingin seperti biasa.Tanpa menatap langsung, Luis berkata pelan namun tajam,“Duduk.”Shakira menurut. Ia duduk di kursi seberang, menunduk sopan dan mermas tangannya sendiri. Keheningan menekan ruangan untuk beberapa detik sebelum Luis akhirnya angkat bicara.“Kenapa kamu nggak masuk kerja hari ini?” tanyanya datar.Shakira membenarkan dugaannya namun matanya tidak berani menatap Luis. Ia menjawab namun dengan menatap lantai.“Maaf, aku nggak sekuat itu untuk disinisi sa
Luis baru saja meneguk minuman ketika ponselnya bergetar pelan di atas meja. Ia melirik sekilas layar dan mendapati nama David muncul di sana. Sambil tetap mempertahankan ekspresi tenang di depan Nadine, ia menjawab dengan suara serendah mungkin.“Ya, Vid?” Suaranya nyaris berbisik.“Pak, maaf mengganggu. Tapi Nona Shakira tidak ada di kantor.”“Apa?!” Tanya Luis pelan namun kedua alisnya menukik tajam. “Lalu dimana dia?!”“Saya coba cek GPS ponselnya, dan lokasinya sekarang ada di restoran tempat Bapak makan siang dengan Nona Nadine.”Luis refleks menegakkan tubuh, pandangannya berubah tajam seketika.“Apa?” Gumamnya lirih, nyaris tidak terdengar.Nadine yang duduk di seberang meja sempat mengangkat alis, menyadari perubahan ekspresi Luis.“Ada apa, Den Mas?”Luis cepat menenangkan diri dan tersenyum menutupi kegelisahan.“Ah, nggak ada, Nad, cuma masalah kecil di kantor. Udah diselesaikan David.”Luis berusaha membuat nada suaranya ringan, padahal detak jantungnya masih berpacu cepat
“Pak, kita harus bergerak lebih jauh. Saya sarankan agar Anda segera menghubungi Nona Nadine secepatnya. Mungkin Anda bisa mendekatinya lebih dulu. Jika ia sudah berada di pihak Anda, skandal ini bisa ditahan atau dikendalikan lewat dia.”Luis menatap ke titik tertentu, pikirannya bekerja cepat usai mendengar saran David.“Nona Nadine adalah kunci. Ia bisa menjadi tameng yang efektif untuk melawan skandal ini, Pak.”Kata-kata David tentang ‘tameng yang efektif’ terus terulang dalam benaknya.Luis tahu jika David benar. Asisten pribadinya itu tidak akan memberikan saran yang menghancurkannya.Saat ini, waktu tidak berpihak padanya. Setiap jam, berita tentang skandalnya terus bergulir, dan lebih mengerikan lagi bahwa setiap menit publik akhirnya mengetahui dan memberi penilaian.Apa yang Luis paling khawatirkan bukan hanya reputasinya sendiri, melainkan masa depan Hartadi Group.Baginya, reputasi mungkin bisa dibangun kembali, tapi Hartadi Group jauh lebih dari sekadar nama. Disanalah ri