Moreau ingin tahu. Sungguh, benar - benar ingin tahu. Bisakah Abihirt berkata jika pria itu menyukainya? Apakah salah jika dia berharap suami Barbara mencintainya?
“Tidak ada yang sedang kurasakan.” Apa maksudnya itu? Kelopak mata Moreau menyipit, berusaha keras memahami hal – hal terasa sangat ambigu. Mungkinkah Abihirt memahami pertanyaan darinya? Apakah pria itu benar – benar mengerti sesuatu yang seharusnya tidak dibicarakan? Moreau harap mereka sedang menghadapi kesalahapahaman, sehingga rasa sakitnya tidak akan terlalu parah ketika mengetahui kalau memang tidak ada perasaan apa pun di balik sikap Abihirt yang terkadang begitu peduli dan berusaha sabar menghadapi tindakan buruk yang dia lakukan. “Kau tidak mungkin mengajakku ke tempat seperti ini, jika memang tidak ada yang kau inginkan, kan?” tanyanya sekadar memastikan semua sampai pada taraf seharusnya. Abihirt segera meninggalkan pandangan pria itu lurus ke depan; lurus menerawang; begitu banyak pertimbSamar – samar … sesuatu yang menyentuh lembut di sekitar tulang rahang membuat kelopak mata Abihirt mengerjap. Butuh usaha keras sekadar merangkak ke permukaan. Semalam, dia sengaja membiarkan badai hujan menguyur tubuhnya hingga membasah lembab dan sekarang … mulai merasakan dampak fatal setelah ego melarang untuk melangkah pergi. Moreau jelas tidak akan berubah pikiran. Dia sudah coba mengerti jika akan dibutuhkan waktu lebih lama untuk menggangap kesalahan di masa lalu telah menemukan harga yang pantas. Secepatnya, Abihirt berharap. Secepatnya Moreau akan bersedia memberinya kesempatan sekadar menebus kesalahpahaman yang dia miliki—dulu sekali. Atau bahkan, berharap … saat ini, sentuhan – sentuhan tangan—masih merambat lembut di rahangnnya, adalah jari – jemari yang sering dia genggam sebelum lima tahun terasa seperti neraka. Tubuh Abihirt menegang ketika ternyata … dia menemukan seseorang yang berbeda. Senyum yang begitu mengagumkan di sana. Gadis keci
“Lepaskan aku.” Suara Moreau tegas mengingatkan. Sekuat tenaga mendorong tubuh Abihirt hingga dekapan pria itu terlepas. Langit malam terlihat berbeda. Gumpalan awan pekat dan sulur – sulur suara petir bergemuruh seakan mengingatkan bahwa sebentar lagi akan terjadi badai hujan. “Sebaiknya kau pergi sebelum basah di sini.” Hanya itu. Moreau segera mengambil tongkat baseball, lalu kembali ke dalam rumah. Dia tidak mengatakan apa – apa saat mendapati Caroline sedang menunggu di ruang tamu dengan tegang. Tidak tahu apa yang sedang wanita itu pikirkan. Moreau segera mengunci pintu, lalu melangkah lebih dekat. “Dia sudah pergi?” tanya wanita paruh baya itu dengan nada khawatir tersirat begitu kental. Sesuatu yang membuat Moreau tidak bisa menunggu lebih lama, selain menggeleng samar. Mungkin perlu menduga – duga bahwa di dalam diri Caroline … masih tersirat rasa peduli yang berusaha wanita itu sembunyikan. “Aku tidak tahu apakah Abi akan pergi atau tidak. Bi
“Bohong. Kau tak pernah merasa bersalah. Kau hanya menginginkanku melayani seks konyolmu itu, dan dengan menemukanku; keinginanmu terasa semakin besar,” ucap Moreau diliputi napas menggebu – gebu. Dia begitu marah, hanya ... belum secara utuh bisa meluapkan hal yang menggantung di lehernya. Abihirt tampak menggeleng samar, seolah pria itu ingin memberi tahu betapa penilaiannya adalah kesalahan besar. Mantan suami Barbara bahkan telah mengendurkan sentuhan di pergelangan tangan Moreau. Memberi sedikit—setidaknya sebuah kebebasan singkat, karena bagaimanapun … dia tidak memiliki kesiapan ketika Abihirt memeluknya erat. Tiba – tiba saja. Tongkat di tangan Moreau terlepas. Suara benda terjatuh sudah sampai di telinga, tetapi dia membeku di tempat; bertanya – tanya apa yang sebaiknya dilakukan saat aroma maskulin pria itu—masih sama—masih selalu memabukkan; menyergap hingga yang tersisa adalah sesuatu begitu sesak dan menyakitkan. “Aku sangat merindukanmu, Moreau. Jan
“Aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk. Kau tenanglah. Ini tidak akan lama. Aku hanya akan mengusir Abi pergi. Dia harus pergi atau jika tidak, Lore dan Arias akan bertemu ayah mereka. Itu hal yang tak bisa dibiarkan terjadi.” Tanpa berusaha memikirkan apa pun lagi. Moreau membuka pintu rumah, kemudian melangkah cepat mendatangi Abihirt di sana. Pria itu tampak bingung melihatnya memegang tongkat baseball. Dia tidak main – main; terserah jika akan ada penilaian konyol. Moreau tak merasa perlu menjaga harga diri saat sementara ada sesuatu yang lebih mahal untuk dipertahankan. “Kau membuntuti-ku, kan?” tanyanya, merasa nyaris tak bisa menunggu dengan sabar. Belum ada reaksi signifikan. Moreau tak yakin jika tiba – tiba mantan ayah sambungnya akan mengatakan jawaban. Bagaimanapun, mata kelabu di sana menatap penuh antisipasi yang bersarang hebat. Apakah sungguh Abihirt sedang membayangkan, kalau – kalau dia akan melakukan sesuatu di luar dugaan? Moreau h
Akhirnya, dengan sisa kewarasan mulai terangkat kembali. Moreau segera menatap wajah Caroline kemudian berkata, “Kau benar. Abi ada di kota ini. Kami bertemu di bar. Dia membuat kekacauan di tempat kerjaku, hanya agar aku memaafkan kesalahannya lima tahun lalu.” Moreau bisa mendengar sendiri betapa dia ketakutan. Hampir tak berdaya, tetapi tidak ada pilihan. Sulit menenangkan ketegangan di tubuhnya. “Apa yang dia lakukan memangnya?” Kali ini suara Caroline penuh pertimbangkan ketika mengajukan pertanyaan. Itu mendesak Moreau supaya bercerita. Dia mengusap wajah kasar. Masih berharap ini hanya sebuah mimpi buruk. “Abi memukul seorang pelanggan. Memancing kemarahannya, lalu diam begitu saja ketika dia dihajar habis – habisan. Seperti memang sengaja untuk menarik perhatianku. Aku berharap tidak peduli kepadanya lagi, tapi aku tak bisa.” Sekarang, Moreau sedikit gemetar setelah meneruskan hal yang dirasa cukup menyakitkan. “Yang sangat membuatku takut. Dia
Moreau mengeluarkan kunci mobil untuk melakukan perjalanan menuju rumah. Pernyataan kepada Abihirt tentang Robby yang akan datang menjemput memang kebohongan besar. Dia sengaja mengatakan itu kepada mantan ayah sambungnya, supaya Abihirt menyerah. “Kau bilang Robby menjemputmu di jam pulang.” Sayangnya tidak. Dia bahkan terkejut saat tiba – tiba mendapati Abihirt menjulang tinggi tidak jauh dari arahnya. Pria itu sengaja menunggu hingga nyaris tengah malam supaya mereka kembali bertemu. Penampilan Abihirt tidak jauh berbeda dari terakhir kali. Masih cukup berantakan. Bagian lebam tampak mencolok di tulang pipi yang terlihat tegas. Moreau segera berjalan ke arah mobil supaya bisa menghindari pria itu dalam waktu singkat. “Dia sedang berhalangan datang,” ucapnya masih dengan kebohongan serupa. “Berhalangan, tapi kau sejak awal datang membawa mobil.” “Karena biasanya kami memang pulang bersama dengan mobil kami masing – masing.” Moreau harap itu adal