Honey Clarkson yang ingin melakukan audisi menyanyi di Boston, dijebak oleh temannya sendiri dengan mencampurkan obat di minumannya sehingga ia malah terlambat audisi dan tidur dengan pria asing. Pria asing tersebut ternyata adalah Rei Harristian alias The Midas Rei, produser sekaligus pemilik label rekaman Skylar yang menyelenggarakan audisi tersebut. Saat melihat Honey yang mabuk dibawa ke kamarnya, Rei berniat membantu. Sayangnya, Honey mengira sudah terjadi sesuai padanya. Gagal menjadi penyanyi, Honey bertekad menyelesaikan kuliahnya dengan magang di Skylar. Honey sampai menyamar menjadi adiknya, Axel agar bisa lulus program tersebut, sampai ia menyadari jika yang menjadi bosnya adalah The Midas Rei.
View More“Mengapa kita di sini?”
Honey menarik pelan tangan Charlotte yang membawanya ke klub malam dekat hotel yang mereka tempati di Boston.
Charlotte hanya tersenyum dan menarik kembali tangan Honey agar ikut masuk ke dalam. “Sudah ikut saja!”
Lampu neon bar berkilauan, menyorot wajah-wajah riuh yang bersenandung bersama dentuman musik. Honey menunduk sembari menyesal. Seharusnya dia tetap berada di kamar hotel untuk beristirahat. Besok adalah audisi terakhir bagi Honey untuk mewujudkan impiannya sebagai penyanyi.
Tapi ia ada di sini saat Charlotte malah memintanya menemani. Padahal Charlotte adalah salah satu saingan Honey pada audisi itu.
“Ini minumanmu!” Charlotte menyodorkan segelas besar bir. Senyum Charlotte tampak manis, tapi tatapannya penuh tekanan.
Honey membesarkan mata menatap gelas. “Aku tidak bisa, Char. Besok kita harus audisi dan itu sangan penting banget buatku.”
Charlotte menyandarkan dagu di telapak tangan, pura-pura kecewa. “Kamu selalu terlalu serius. Hanya satu gelas. Kamu butuh relax biar bisa tampil maksimal. Aku janji, habis ini kita langsung kembali ke hotel.”
Honey menggigit bibir bawahnya. Di satu sisi, ia ingin menolak tegas. Di sisi lain, Charlotte juga temannya dan ia berharap Honey mau menemaninya. Honey yang polos mengira Charlotte terlalu gugup sehingga mengajaknya minum. Akhirnya, Honey mengangguk pelan lalu menyesap minumannya. Rasanya manis di awal, tapi getir di akhir.
Charlotte menatapnya puas, meski bibirnya tetap tersenyum lembut.
Lima belas menit kemudian, Honey mulai merasa aneh. Pandangannya berkunang-kunang, napasnya terasa berat. Ia berdiri dengan susah payah.
“Charlotte, kenapa rasanya panas sekali?” gumamnya mendesah pelan.
Charlotte pura-pura terkejut. “Apa kamu baik-baik aja? Apa kita pulang saja?”
Honey mengangguk setuju dan mencoba berjalan, tapi lututnya gemetar. Charlotte menahan tubuhnya, memapah dengan cepat ke arah lift hotel yang berada di atas klub itu.
Di lorong sepi, Charlotte berhenti. Keringat dingin menetes dari pelipis Honey. “Aku mau ke toilet,” bisik Honey lemah.
Charlotte menatapnya sekilas. “Maaf, Honey. Aku juga tidak punya pilihan.”
Ia tidak menuntun ke toilet. Sebaliknya, Charlotte menekan tombol lift menuju lantai atas. Saat pintu terbuka, ia menggiring Honey ke koridor yang lebih sunyi.
Rencananya sederhana, ia harus mencegah Honey tidak kembali ke audisi esok hari. Biar hanya dirinya yang lolos. Charlotte tahu kemampuannya akan mudah dikalahkan oleh Honey sedangkan hanya ada satu orang yang lolos mewakili Pennsylvania.
Namun, sebelum Charlotte sempat pergi, seorang pria berjas hitam melintas. “Permisi, kamu butuh bantuan?” Pria itu sedikit menunduk melihat Honey yang sudah terduduk tak sadarkan diri di lantai.
Charlotte berpikir cepat. Kalau ia terlihat panik, ia akan dicurigai. Jadi ia tersenyum sopan. “Ya, benar. Temanku seharusnya bertemu seseorang di sini, tapi aku harus harus pergi.”
Pria itu mengalihkan pandangan dari Honey ke Charlotte. “Oh, aku mengerti maksudmu. Biar kuantarkan dia.”
Charlotte pun meninggalkan Honey begitu saja. Saat langkahnya menghilang di ujung lorong, Honey hanya bisa merintih, tubuhnya semakin lemas.
Pandangan Honey sudah kabur, kepalanya terasa berat seakan dunia berputar saat pria berjas itu membawanya ke sebuah pintu. Pria itu memencet bel kamar sekali dan tak lama pintu terbuka. Samar-samar Honey melihat sosok pria muda berdiri di depannya. Tubuhnya tegap, hanya mengenakan celana panjang tapi wajahnya kabur oleh pusing yang berdenyut di kepala Honey.
“Aku tidak memesan siapa pun.” Suara berat pria itu terdengar.
“Tapi dia mengaku kenalan dan ingin menemuimu.”
Honey masih bisa mendengar dan ingin protes tapi ia tak punya cukup tenaga untuk bicara. “Tolong ... aku tidak kenal dia,” batin Honey terus bicara.
Setelah itu hanya ada rasa gamang dan Honey terhuyung. Ia tak mampu menangkap kata-katanya, hanya gaung samar di telinganya. Tubuhnya seakan jatuh, namun sebuah tangan kuat menahan tubuh mungilnya.
Honey mengerjap lemah. Aroma asing memenuhi hidungnya—cedar dan sisa alkohol. Dadanya berdebar menarik lebih banyak oksigen agar kembali sadar. “Siapa … kamu?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Tubuhnya digiring ke dalam ruangan. Kaki Honey masih bisa sekilas merasakan dinginnya lantai sebelum melayang. Di tengah deru napas tersengal, punggungnya menyentuh permukaan ranjang yang empuk. Kelopak matanya semakin berat, wajahnya memanas, dan nafasnya terengah.
Dalam kabut kesadarannya, Honey meraih lengan yang melingkar memapahnya. Suaranya pecah, lirih dan putus asa. “Tolong … jangan tinggalkan aku.”
Tidak ada jawaban, hanya ia bisa merasakan selimut hangat menutupi dirinya hingga bahu. Honey mencoba membuka mata sekali lagi, namun pandangan langsung menghitam hingga ia akhirnya terlelap.
Keesokan harinya, Honey terbangun dengan kepala berdenyut hebat. Ia melihat sekeliling dan perlahan menyadari jika itu bukan kamar sewaannya.
Di mana aku? Apa yang terjadi semalam?
Selimut masih melingkupinya. Ia menoleh dan terkejut melihat seorang pria asing tertidur di sebelahnya.
Dengan jantung berdegup kencang, Honey buru-buru meraih pakaiannya di kursi, lalu mengenakannya dengan tangan gemetar. Air mata membasahi pipinya. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi satu hal pasti. Honey sudah tidur dengan pria asing.
Dengan langkah limbung, ia berlari keluar kamar, menekan tombol lift sambil menahan isak.
“Ya Tuhan … jangan sampai aku terlambat. Kumohon,” bisiknya berulang-ulang di dalam lift.
Honey berlari mencari taksi hingga ia tiba di tempat audisi yaitu tempat hotelnya menginap. Di lobi hotel, kerumunan orang sudah ramai. Begitu sampai di lobi hotel, Honey mendapati kerumunan orang sudah ramai. Banner besar bertuliskan Final Audition: New Skylar Rising Star terpampang di pintu masuk ballroom. Suara riuh, tawa, dan obrolan bercampur dari para peserta yang sudah selesai tampil.
Honey berdiri di sana dengan wajah pucat, masih menggenggam tasnya yang sedikit lusuh.
Langkahnya berhenti. Terlambat sudah. Jam di ballroom menunjukkan pukul 01.13 siang. Audisi sudah selesai tadi pagi. “Aku terlambat ....” bisiknya dengan suara patah. Impian yang ia bawa jauh-jauh dari Pennsylvania hancur hanya dalam satu malam.
Rei mengangguk saja saat pria yang menjadi asistennya menyebutkan namanya. Ia kembali pada pekerjaannya dan Honey melakukan yang diminta oleh bosnya. Ia menyusun kertas-kertas yang ia minta urutkan.Rasa penasaran mulai menarik Rei untuk tetap melirik pada Honey yang masih menyamar sebagai Axel. Ia tak sadar tengah dipandangi oleh bosnya. Tak hanya rasa penasaran akan mengapa jantungnya berdetak lebih kencang saat Axel memandang matanya, tapi juga rasa kasihan. Axel adalah mahasiswa magang yang mungkin sedang kesulitan. Ia jadi merasa bersalah telah memarahinya dari pagi tadi.Honey yang sedang asyik menyusun kertas tiba-tiba merasa mual. Entah mengapa perutnya seperti melintir. Ia berusaha mengindahkan rasa mual itu sampai akhirnya ia mengeluarkan suara seperti hendak muntah. Rei langsung menoleh lalu mengernyit.“Ueekk!” Honey spontan menutup mulut dengan sebelah tangannya. Matanya membesar dan ia langsung berdiri. Tapi karena gerakannya tiba-tiba dari posisi duduk ke posisi berdiri
“Maksudmu dia pernah ... membunuh?” Honey menebak sembari berbisik. Ia takut suaranya terdengar.Scott semakin mendesah pelan dan serius. “Tidak hanya itu. Aku dengar dia juga menyukai pria.”Honey terperangah tak percaya. “Apa itu mungkin?” tanya Honey masih dengan mulut separuh terbuka karena terkejut. Scott masih mengunyah burito miliknya dan mengangguk mengiyakan.“Memangnya kamu tidak tahu gosipnya?”Honey menggelengkan pelan pada Scott.“Jika dia gay, lalu mengapa ia bisa malah tidur denganku?” gumam Honey dengan suara begitu kecil.“Hhmm … apa katamu?” tanya Scott mencoba memastikan. Honey yang sadar langsung menyengir dan menggelengkan kepalanya dengan cepat.“Tidak ada!”Scott dan Honey yang masih berpakaian sebagai Axel kembali ke Skylar setelah waktu makan siang. Begitu kembali, mereka sama-sama naik ke lantai tempat mereka bekerja dan berpisah saat keluar lift.Honey harus kembali ke ruangan mixing setidaknya untuk memastikan jika bosnya The Midas telah selesai makan siang
Dengan langkah tergesa, Honey menutup telepon terakhir setelah memastikan pesanan makan siang untuk bosnya akan segera tiba. Ia sudah menghubungi tiga restoran berbeda demi menebak selera bos barunya, Rei Harristian. Untungnya, manajer Mills berbaik hati memberi petunjuk mengenai menu favorit The Midas Rei, sehingga Honey bisa memilih dengan lebih percaya diri.Waktu yang tersisa hanya lima belas menit ketika ia menerima beberapa paper bag dari resepsionis lobi bawah. Petugas pengantar makanan tidak diizinkan naik ke lantai eksekutif, jadi Honey yang sedang berperan sebagai Axel harus gesit membawa semuanya sendiri. Dengan napas terengah, ia hampir berlari ke atas.Sesampainya di ruang makan kecil yang menempel dengan studio pribadi The Midas, Honey mulai bekerja cepat. Kotak-kotak makanan dibuka, ditata di piring porselen, lalu ia menambahkan serbet dan sendok garpu dengan rapi. Meski terburu-buru, jemarinya terampil. Honey bersyukur ia memiliki kebiasaan yang ia dapat dari sering m
Honey berdiri tegak di depan meja kerja Rei, nyaris sepuluh menit tanpa bergerak. Keringat dingin merayap di pelipisnya meski pendingin ruangan cukup dingin. Ia merasa seperti siswa yang dihukum guru karena kesalahan kecil, hanya saja di depannya ini adalah seorang produser musik dengan reputasi paling tinggi saat ini.“Pak, bolehkah aku duduk sebentar? Kakiku mulai pegal.” Honey yang sedang menyamar sebagai Axel akhirnya memberanikan diri membuka suara.Rei mendongak dari balik kacamata tipisnya. Tatapannya tajam dan menusuk. “Belum apa-apa sudah minta duduk? Asisten yang baik tidak mengeluh sebelum bekerja.” Nada suaranya datar, namun cukup membuat Honey kembali menunduk.Ia menggigit bibir, berusaha tetap diam. Perannya harus meyakinkan sebagai Axel Clarkson. Meski sesungguhnya, Honey sedang berpikir apa yang harus ia lakukan untuk memenuhi perannya sebagai asisten. Tidak ada instruksi yang jelas.Beberapa menit kembali berlalu. Rei masih fokus pada tumpukan kertas-kertas dan beber
Setelah rapi dan beres, Honey tersenyum dan kembali ke ruang HRD. Ternyata manajer yang dimaksud sudah datang. Honey pun melaporkan diri sebagai Axel Clarkson.“Tunggu dulu Anda bilang aku akan menjadi asisten?” pekik Honey kaget.“Benar, kamu akan bertugas sebagai asisten pribadi The Midas. Ayo ikut aku!”Begitu mereka mendekat, terdengar suara ribut di dalam ruangan The Midas. Manajer itu sempat menoleh pada Honey dan mengernyit. Honey yang polos diam saja dan tak mengerti.“Maaf Tuan, ada apa ini?”The Midas benar-benar mengamuk karena kertas-kertas pekerjaannya kini menghilang. “Sekarang pecat dia. Dasar tidak becus!” tunjuk The Midas semena-mena pada staf kebersihan yang ia tuduh menghilangkan miliknya.“Sungguh Pak, bukan aku yang membuang kertas itu.” Staf itu kembali menangis.“Tuan, biar dicari dahulu. Mungkin kertas itu jatuh atau tersimpan di tempat lain,” ujar manajer HR menyela.“Apa yang dimaksud adalah kertas pekerjaan di atas meja?” sahut Honey memotong.“Maaf, tadi ak
Honey duduk termenung di depan banner besar audisi. Kepalanya masih berdenyut, tubuhnya lemah. Semua terasa hancur. Audisi yang ia perjuangkan jauh-jauh dari Pennsylvania lenyap begitu saja.“HONEY!” suara lantang memecah lamunannya.Honey mendongak. Angelica, sahabatnya yang ikut datang ke Boston berlari dari seberang jalan. Begitu sampai, ia langsung memeluk Honey erat.“Apa yang terjadi semalam? Aku mencarimu di kamar dan kamu tidak ada!” Angelica mencecar cemas setelah mereka duduk di sebuah kafe waffle.Honey menunduk, jemarinya menggenggam cangkir teh hangat. “Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, Angelica. Aku terbangun di kamar hotel lain … dengan seorang pria asing. Entah apa yang sudah terjadi, aku tidak mengerti bagaimana aku bisa ada di sana.” Honey berbisik pelan dengan raut kebingungan serta sedih.Air matanya menetes perlahan dan ia menunduk. Angelica tertegun, lalu meraih tangannya. “Apa kamu tidak bertanya pada pria itu?”“Aku takut. Kalau Ayahku tahu, dia akan kecew
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments