Geram. Moreau membekap mulut Abihirt dengan tangan lainnya. “Lebih baik kau diam daripada membicarakan hal yang sama sekali tidak masuk akal,” dan meneruskan, meski mata kelabu itu benar – benar menatap bingung ke arahnya.
“Ini soal Menesis. Pria yang bersamanya—dua kali berusaha menyakitiku, mengaku bernama Tigo. Mereka pasti sudah merencanakan ini dari awal.”Itu yang seharusnya sedari awal Moreau katakan, sambil menarik kembali lengannya agar Abihirt dapat bicara. Bagaimanapun, hasrat ingin memberi Menesis pelajaran tidak dapat dihindari. Wanita tersebut memang pantas dihadiahi sesuatu yang tidak pernah dipikirkan ketika memutuskan untuk bermain api.“Aku tahu. Gabriel sudah ditugaskan untuk melakukan tindakan yang pantas mereka dapatkan.”
Sebelah alis Moreau terangkat tinggi memikirkan apa yang sebenarnya sedang Abihirt rencanakan. Apakah dia harus mengakui bahwa mantan suami Barbara tampak berbahaGeram. Moreau membekap mulut Abihirt dengan tangan lainnya. “Lebih baik kau diam daripada membicarakan hal yang sama sekali tidak masuk akal,” dan meneruskan, meski mata kelabu itu benar – benar menatap bingung ke arahnya.“Ini soal Menesis. Pria yang bersamanya—dua kali berusaha menyakitiku, mengaku bernama Tigo. Mereka pasti sudah merencanakan ini dari awal.”Itu yang seharusnya sedari awal Moreau katakan, sambil menarik kembali lengannya agar Abihirt dapat bicara. Bagaimanapun, hasrat ingin memberi Menesis pelajaran tidak dapat dihindari. Wanita tersebut memang pantas dihadiahi sesuatu yang tidak pernah dipikirkan ketika memutuskan untuk bermain api.“Aku tahu. Gabriel sudah ditugaskan untuk melakukan tindakan yang pantas mereka dapatkan.”Sebelah alis Moreau terangkat tinggi memikirkan apa yang sebenarnya sedang Abihirt rencanakan. Apakah dia harus mengakui bahwa mantan suami Barbara tampak berbaha
Sekarang hanya keheningan, meski Moreau segera menyadari bagaimana mata kelabu di sana melirik ke arahnya, seakan ada sesuatu yang ingin pria itu katakan. Tidak dimungkiri ... Abihirt menunggu beberapa saat supaya terlihat lebih siap.“Tidak apa – apa membiarkan anak – anak pergi bersamanya?” dan satu pertanyaan mengenai Robby segera terungkap ke permukaan.Moreau mengedikkan bahu sebagai reaksi singkat, kemudian berkata, “Robby menyukai anak – anak dan memang sering membelanjakan mereka es krim. Meski itu memang satu – satunya cara untuk membujuk Lore dan Arias supaya setuju ikut bersamanya.”“Kau sering menitipkan mereka kepadanya?”Suara serak dan dalam itu benar – benar sarat nada waspada. Moreau tidak melihat ada kesalahan dari menitipkan anak – anak kepada Robby. Selain, karena mereka sudah saling mengenal. Robby memang sudah bersamanya mereka sejak Lore dan Arias masih bayi. Bukan ma
Jika kedatangan Robby semalam merupakan bagian dari suatu kebetulan tak terduga, Moreau masih bisa memahaminya. Hanya saja, kali ini, dia tidak mengerti bagaimana pria itu tetap memutuskan untuk melangkahkan kaki lebih dekat, ketika Abihirt dalam keadaan sadar dan anak – anak yang masih sibuk terhadap kegiatan mereka—bermain dengan tangan kosong—yang terpenting adalah berdua.Ganjil membayangkan bahwa Abihirt tidak pernah menyukai pria itu, tetapi Robby masih diliputi kebutuhan yang sama. Sekarang, posisi mereka nyaris tak berjarak. Robby menjulang tinggi di hadapannya dan Moreau harus paling tidak ... memberi sambutan ramah. Hal yang jelas sangat bertolak belakang dari Abihirt yang masih berbaring. Sebaliknya, wajah mantan suami Barbara berpaling—menatap tepat lurus ke arah jendela.Moreau tidak bisa menghadapi situasi canggung secara berlebihan. Barangkali keberadaan Robby bisa dijadikan prospek agar dia dan Abihirt bisa bicara berdua, tanpa harus
“Mommy bilang ... kau adalah daddy kami yang asli. Apakah itu benar?”Wajah Arias melongok melewati tubuh Lore, seolah memang dibutuhkan kepastian dari kedua belah pihak. Moreau tidak tahu apa yang bisa dia katakan. Abihirt jelas terkejut, mengingat kesepakatan yang telah mereka buat. Sebaiknya pria itu tidak benar – benar berpikir dia akan mengatakan hal ini kepada anak – anak. Sekarang ... menatap ke arahnya cukup lama, seakan – akan Abihirt juga perlu mempertimbangkan kebenaran secara langsung.“Aku memberi tahu mereka,” itu yang Moreau katakan sembari memberi senyum kepada anak – anak.Tidak tahu akan diperlukan waktu berapa lama bagi Abihirt untuk benar – benar mencerna apa yang sudah telanjur terjadi. Masih belum ada jawaban, meski perlahan ... pria itu mengerjap dan melirik anak – anak skeptis.“Apa Mommy benar, Daddy?”Giliran Lore mengambil alih. Abihirt tidak akan bisa membuat
“Mommy, kenapa kita ada di sini? Apa aku akan disuntik lagi?”Arias yang malang. Selalu merasa ketakutan ketika mereka menginjakkan kaki ke rumah sakit. Terkadang, suasana seperti ini sangat meremas perasaannya, tetapi Moreau selalu ingin bocah lelaki itu tegar menghadapi situasi—yang memang, sering kali sangat sulit untuk dipahami.“Tidak, Sayang. Kau tidak akan disuntik. Bukankah Mommy bilang kalau kita akan bertemu Daddy?”“Apa Daddy sakit?”“Ya, Daddy harus dirawat sementara waktu di sini.”Moreau tersenyum tipis ketika akhirnya harus memutuskan kontak mata bersama Arias. Mereka masih berjalan tentatif menuju ruang rawat. Belum ada informasi tambahan. Lagi pula, dia belum sempat menukar nomor telepon—ntah itu dari ponsel Gabriel atau milik Abihirt langsung. Mungkin nanti. Saat situasi mulai terkendali.Mereka sudah benar – benar dekat, kebetulan. Moreau hanya perlu mengulu
“Bagaimana kabar Tuan Abi? Apa dia baik – baik saja?” Demikian yang Caroline tanyakan ketika kali pertama Moreau menginjakkan kaki di rumah. Dia sudah menunggu sepanjang malam. Berharap akan ada saat – saat di mana Abihirt membuka mata, tetapi tidak, sehingga memutuskan untuk kembali—pulang sesaat demi mencari sedikit ketenangan dari anak – anak. Hanya mereka yang paling tidak ... bisa membuat Moreau merasa lebih baik. Biasanya, di waktu seperti ini Lore dan Arias sedang bermain. Mungkin tidak apa – apa, dia rasa, menatap Caroline skeptis sambil melangkahkan kaki. Wanita paruh baya itu dapat dipastikan membuntuti ke mana dia akan pergi. Tidak mungkin membiarkan pertanyaan yang diajukan beberapa saat lalu, dibiarkan menggantung di antara mereka—terlalu lama. Sambil menghela napas kasar. Moreau segera berkata, “Dia belum siuman, Caroline. Aku tidak tahu apa yang membuatnya butuh waktu lebih lama.” Itu sudah cukup menjelaskan bagaimana situasi di antara mereka