'Nikah sama aku. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kamu dan dia.'
‘Jangan gila kamu, Mas!’‘Aku serius, Esta.’“Ta! Kok, malah ngelamun?”Aku mengerjapkan mata begitu mendapat teguran dari Mas Buana. Kutatap lelaki seumuran kakak sulungku yang penampilannya membuatku sedikit pangling. Bulu halus di sekitar rahang dan rambut gondrong, juga kulit yang sedikit menggelap. Mungkin karena terlalu banyak bermain dengan Mas Buana.“Mana calon istri kamu, Mas? Bukannya pulang mau ngenalin seseorang?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatian dari lelaki yang dibawa Mas Buana pulang.“Siapa yang bilang mau bawa calon istri? Ngaco kamu, tuh," elak Mas Buana lalu masuk ke dalam rumah melewatiku begitu saja. Kulirik teman Mas Buana yang masih memanggul tas ransel hitam, wajahnya terlihat lelah karena perjalanan panjang. Kuembuskan napas panjang lalu menyuruhnya masuk.“Kamu mau berdiri di sana terus, Mas?”Seolah tersaSetelah Mas Auriga pamit, aku dan Raya masuk ke dalam rumah. Raya terlihat lelah setelah bermain seharian di halaman, sementara aku masih tenggelam dalam pikiran tentang percakapanku dengan Mas Auriga.Di ruang tengah, Mas Buana duduk di sofa sambil menonton televisi. Begitu aku masuk, dia langsung menoleh, menurunkan volume televisi dan menatapku dengan penuh perhatian.“Auriga udah pulang?” tanya Mas Buana sambil tersenyum, meski aku bisa lihat ada rasa penasaran di matanya.“Udah, barusan, Mas,” jawabku sambil menggandeng tangan Raya yang sudah mulai mengantuk.Mas Buana mengangguk. “Oh, gitu. Terus … gimana? Kamu udah bikin keputusan soal Auriga?”Aku terdiam sebentar, menatap Raya yang sekarang sudah duduk di lantai, asyik bermain dengan boneka-bonekanya. Aku tahu pertanyaan itu akan datang, dan sekarang adalah waktunya aku harus memberi jawaban.“Aku udah ngomong sama Mas Auriga, Mas,” kataku pelan. “Aku bilang kalau aku ng
Sore itu, aku dan Mas Auriga duduk berdua di teras rumah, mengawasi Raya yang berlarian di halaman. Dia baru saja selesai bermain dengan Mas Auriga, dan sekarang kembali asyik dengan mainan-mainan kecilnya di dekat kami.Udara sore yang sejuk menambah keheningan di antara kami, tapi aku tahu obrolan serius yang akan terjadi tak bisa dihindari lebih lama lagi.Mas Auriga menghela napas, kemudian menoleh ke arahku. "Ta, aku mau bicara soal ... kita. Masa depan kita."Aku mengangguk, meski hatiku sedikit berdebar. Ini adalah saat yang sudah aku pikirkan berhari-hari."Aku tahu, Mas. Aku juga mau bicara soal itu."Dia menatapku dengan penuh perhatian, seolah mencari jawaban dari ekspresi wajahku."Aku serius, Ta. Aku benar-benar ingin melangkah lebih jauh sama kamu. Aku pengen kamu jadi istri aku, jadi ibu buat anak-anak kita nanti."Perkataannya itu membuat hatiku sedikit bergetar, tapi aku harus jujur."Mas, maaf
Raya cemberut lucu. "Bunda main? Mau main sama Bunda." Raya merengek dengan suara khasnya yang cadel. "Ayah Aya mau sama Bunda."Jagad tertawa pelan, kembali melirikku seolah memintaku untuk merespon Raya."Kalau mainnya sama Ayah aja gimana? Main sama Ayah nggak kalah seru, loh.""Mau sama Bunda." Raya mendongak, menatapku dengan mata berkaca-kaca.Aku menghela napas panjang kemudian hanya bisa mengangguk, meski dalam hati sedikit aneh rasanya mendengar percakapan yang begitu ... keluarga. Seolah-olah kami adalah keluarga yang utuh. Padahal kenyataannya, hubungan kami dengan Jagad sudah berakhir bertahun-tahun lalu.Di tengah perjalanan, Jagad memutar lagu anak-anak di radio. Raya langsung ikut menyanyi, menggerakkan tangannya mengikuti irama.Raya mengikuti dengan semangat walaupun pelafalannya belum begitu jelas, suaranya sedikit fals tapi tetap terdengar lucu. Jagad ikut bernyanyi, sesekali melihat ke arah kami dengan senyum
“Jadi mereka udah sering datang?”Aku menatap Mas Buana sebentar, membuang napas panjang, lalu mengangguk pelan. Mata Mas Buana tak lepas dari Mama Sera dan Jagad yang sedang bermain dengan Raya.“Kamu mau balikan sama dia?” tanya Mas Buana lagi.“Mas, plase.”“Kenapa? Bukannya dia mau nerima Raya? Nggak seperti yang kamu takutkan selama ini. Kamu juga masih cinta sama dia 'kan, Ta?”“Mas ….”“Mas udah nggak bisa jagain kamu lagi, Ta. Tubuh Mas udah nggak sekuat dulu, kalau kamu mau balikan sama dia, Mas nggak akan menghalangi.”Aku mendesah pelan, menoleh pada Jagad dan Mama Sera yang sedang menyuapi Raya makanan. Mas Buana sudah pulang dari rumah sakit sejak seminggu yang lalu, dan selama itu di melihat Jagad yang selalu datang ke rumah setiap kali pulang kerja.Bahkan, minggu kemarin Jagad mengajak Raya dan aku pergi, meski akhirnya aku menolak dan membiarkan Raya pergi dengannya sendiri. Aku masih fokus pada kesembuhan Mas Buana setelah operasinya.Memang, kata dokter tidak ada ko
Hari ini Mas Buana sudah diperbolehkan pulang. Mbak Mentari tadi yang mengabari, aku membereskan rumah dan menyiapkan makanan untuk Mas Buana. Katanya, Mas Buana harus bed rest untuk beberapa hari lagi ke depan. Baru saja aku melangkahkan kaki ke luar rumah untuk membuang sampah, langkahku terhenti ketika melihat Mama Sera yang berada di depan gerbang. Bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman ketika melihatku keluar rumah. “Esta.” Aku tersenyum canggung. Sejak Mama memintaku memberi kesempatan kedua untuk Jagad, aku jadi sedikit segan dengan beliau. Mama yang mengirimi kami makanan selama berada di rumah sakit, bukan hanya untukku dan Jagad, tapi juga untuk Mbak Mentari dan Mas Auriga yang menemani Mas Buana secara bergantian. “Esta, Mama boleh masuk?” tanya Mama Sera menatapku penuh harap. Aku yang sempat melamun sebentar langsung tersadar, lalu mengangguk. Berjalan ke ara
Diingin Aku sedang duduk di ruang tamu sambil memperhatikan Raya yang tengah asyik bermain dengan mainannya. Ada banyak kekalutan yang bersarang di kepala. Aku belum tahu harus berbuat apa dengan semua yang terjadi belakangan ini. Tiba-tiba, suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju pintu. Ketika kubuka, di sana berdiri Mbak Mentari, tersenyum lembut sambil membawa kotak kecil di tangannya. “Assalamu’alaikum, Esta,” sapanya hangat. “Wa’alaikumussalam, Mbak. Silakan masuk,” jawabku sambil mempersilakannya masuk. Ada sesuatu yang berbeda hari ini, entah mengapa aku merasakan suasana hatinya lebih serius dari biasanya. Setelah Mbak Mentari duduk di sofa, aku segera mengambil minuman untuknya. "Mbak udah nggak mabok? Kangen sama Raya, ya?" tanyaku sambil tersenyum. Mbak Mentari mengangguk sambil melihat ke arah Raya yang sedang bermain. "Iya, Mbak kangen banget sama bocah kecil ini. Tapi sebenarnya, ada hal lain yang ingin Mbak bicara