Share

Tujuh

Author: Mumtaza wafa
last update Last Updated: 2025-03-20 06:16:43

“Mbak, kayaknya aku mau resign aja.”

Mbak Tari menatapku terkejut. Dua hari yang lalu Mbak Tari dan suaminya pulang dari luar kota dan baru hari ini datang ke rumah untuk menjemput Raya. Itu juga aku yang memintanya karena tak mau berlama-lama dengan gadis kecil itu.

Aku juga tak enak hati karena hampir setiap hari menitip Raya di tempat Aesha. Bukan apa, tapi karena aku masih merasa enggan bertemu dengan Aesha sebelum semuanya jelas. Aku tak salah dengar kalau Jagad bertanya tentang sahabatku itu, tapi bagaimana bisa Aesha mengatakan tak kenal dengan mantan suamiku?

“Kenapa sih, Ta? Ada masalah?” tanya Mbak Tari seolah tak suka dengan keputusan yang akan kubuat.

Aku mengangguk pelan. “Karena Jagad atasanku.”

Mbak Tari tak terlihat terkejut, sejak sebelum dia pergi ke luar kota, aku sudah curiga kalau ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakakku. Padahal, yang kutahu sejak kami bercerai, hubungan Mbak Tari dan Jagad tidak terlalu baik.

“Mbak nggak kaget?”

Mbak Tari menggeleng pelan. “Nggak. Mas Galih dulu satu kantor dengan dia, terus kemarin cerita kalau dia pindah ke kantor kamu.”

“Kok, Mbak nggak cerita?” tanyaku dengan sedikit kesal.

Bisa-bisanya Mbak Tari menyembunyikan hal ini dariku. JIka tahu Jagad akan pindah ke tempat kerjaku, sudah kupastikan akan mengundurkan diri sebelum bertemu dengannya sehingga aku tak perlu mengangat kembali masa lalu yang sudah kututup rapat.

“Ngapain sih, Ta? Ya ampun, kamu kayak belum move on aja dari dia,” cibir Mbak Tari menyindir.

“Nggak, ya!” Aku memalingkan wajah berusaha menghindari tatapan mengejek Mbak Mentari.

“Kalau udah ngga cinta, ya udah sih, Ta. Jalanin aja hidup kamu sendiri tanpa harus mandang ke belakang lagi. Kalian sudah menjalani hidup masing-masing dan kamu bisa membuktikan kalau baik-baik aja tanpa Jagad. Apa lagi emangnya yang kamu takutkan?”

Mba Mentari mana paham? Aku yang menjalani dan aku yang merasakan perasaan was-was setiap kali bertemu dengan Jagad. Tatapannya yang seolah menguliti, membuatku takut jika dia tahu apa yang sedang kututupi. Meski aku tak menginginkannya, tapi aku juga tidak ingin Jagad mengetahui dan kemudian mengambilnya dariku.

Aku melirik gadis kecil yang sedang bermain dengan suami Mbak Tari. Dadaku sesak jika mengingatnya.

“Ta?”

Aku mengedipkan mata, kemudian menoleh pada Mbak Mentari yang menatapku khawatir. “Kamu takut tentang Raya?”

Aku mengangguk pelan. Sejauh apa pun aku menghindar dan sedalam apa pun aku menutupi, suatu saat nanti pasti dia akan tahu. Aku paham itu, tapi tidak sekarang. Aku belum siap untuk menerima kenyataan, apalagi dia mungkin sudah punya calon istri.

Aku jadi kepikiran dengan Aesha. Rasa penasaran terus menggerogoti otakku. Harus bertanya pada siapa?

“Mbak, Jagad nggak Tau kalau Mas Galih suami, Mbak?” tanyaku penasaran.

Mbak Mentari menggeleng. “Kayaknya nggak, deh. Lagian, waktu Mbak nikah dia belum satu kantor sama Mas Galih.”

Aku menghela napas lega. Setidaknya Jagad tidak akan kepo pada Mas Galih soal Raya, karena aku mengatakan kalau gadis kecil itu anak dari kakakku. Tapi kenyataannya memang seperti itu.

Raya anak Mbak Mentari dan Mas Galih.

"Ta, kamu udah tau kalau Mas Buana mau pulang?"

Ah, kakakku yang satu itu ternyata masih ingat jalan pulang. Setelah tersesat di dunia antah berantah, kukira dia sudah lupa dengan keluarganya. Satu-satunya laki-laki dalam keluarga inti setelah Ayah kami.

"Nggak. Lagian aku nggak tau nomer telepon dia."

"Kebangetan kamu, tuh. Masmu sendiri kamu gituin."

Bahuku terangkat tak peduli. Dia salah satu yang paling menentang pernikahanku dengan Jagad, dan yang paling berisik ketika aku memutuskan bercerai sampai aku memblokir semua akses tentangnya. Bukan apa, saat itu mentalku sedang tidak baik-baik saja, dan Mas Buana malah memojokkanku dan mengatai aku dengan kata-kata yang cukup menyakitkan.

Meski setelahnya dia menghilang entah ke mana, setidaknya dengan menjauh darinya, kewarasaanku tetap terjaga. Bayangkan, kamu sedang di posisi sakit selepas bercerai, dan kamu malah dimaki-maki.

"Btw, Ta. Aku kasih bocoran buat kamu," tutur Mbak Mentari membuatku memicingkan mata padanya penasaran. "Mas Buana nggak pulang sendiri. Dia mau ngenalin seseorang sama kamu."

*

*

Gara-gara Mas Buana yang akan pulang, Mbak Tari memintaku menyiapkan makanan untuk tamu spesial yang katanya akan dikenalkan padaku. Sejujurnya aku tak begitu peduli karena paling hanya calon istri Mas Buana. Tapi demi menghargai permintaan Mbak Mentari yang ingin menyambut kedatangan kakak sulung kami, aku menurut saja.

Sepulang kantor aku mampir ke salah satu supermarket yang tak jauh dari tempat kerja, Hanya sepuluh menit jalan kaki, aku sudah sampai di sana bersama Mala yang katanya juga ingin berbelanja.

“Kamu udah tau kalau minggu depan ada trainning di kantor pusat?”

Kepalaku mengangguk tanpa menoleh pada Mala. Wanita yang usianya di atasku satu tahun itu tidak mau dipanggil ‘mbak’ karena merasa seumuran dengaku. Mala juga punya anak berusia tiga tahun yang dititipkan pada ibunya jika dia bekerja.

“Aku denger kamu salah satu kandidatnya, Ta. Pak Jagad sendiri yang acc kamu.”

Aku terperanjat. Bisa-bisanya lelaki itu menunjukku sedangkan masih banyak karyawan lain yang ingin ikut trainning. Memang kegiatannya hanya mendengarkan sambil mencatat saja, tapi Jagad juga akan datang ke sana.

“Ta, bentar, ya. Aku ke sana dulu. Mau ambil cemilan buat Chica.”

Aku menganggukkan kepala. Mala sudah beranjak pergi ke area cemilan, sedangkan aku masih memilih beberapa sayuran. Tak sengaja, tanganku bersentuhan dengan tangan seseorang. Aku tersentak, lalu sedikit menjauh.

Menoleh, hendak meminta maaf, tapi lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan sosok yang berada di hadapanku.

“Esta? Ini beneran kamu?"

Mataku masih membola, dengan tangan sedikit gemetar dan berkeringat dingin, aku mengangguk pelan lalu mengambil tangan wanita paruh baya di depanku dan mencium punggung tangannya takzim.

Lidahku kelu, entah apa harus memanggilnya apa karena sama seperti Jagad, hubungan kami sudah tak sama seperti dulu. Aku sampai melirik ke belakang tubuhnya untuk mencari sosok yang sedang kuhindari. Aku berdehem ketika lelaki itu berjalan mendekat sembari mendorong troli.

“Mama sama Jagad, kamu ke sini sama siapa, Ta?”

Aku tersenyum kaku, sedetik kemudian bibirku kembali mengatup melihat sosok yang menyusul Jagad.

“Aesha?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh sembilan

    “Hubungan kamu, itu yang akan menjalani kamu sendiri, Ta. Mbak nggak akan ikut campur, kalau kamu belum yakin, minta waktu lagi. Jangan sampai apa yang dulu udah terjadi, keulang lagi dan bikin kamu makin trauma.” Nasehat Mbak Mentari bisa kuterima dengan baik. Tak seperti biasanya yang menghakimi, kali ini benar-benar menyerahkan sepenuhnya padaku. Mas Auriga tentu saja sudah minta maaf berkali-kali padaku tentang sikap mamanya dan aku tak akan mempermasalahkannya lagi. Toh, itu mungkin hanya ketakutan seorang ibu saja. Selain sikapnya yang membahas masa laluku, mama Mas Auriga cukup baik, dia bahkan memberikan uang untuk Raya. Beliau juga cukup mengenal baik Mas Buana dan tahu kalau aku adiknya. Untuk urusanku dengan Jagad … kesalahpahaman kami mungkin sudah selesai, tapi belum jika soal Raya. Aku hanya butuh waktu sedikit lagi untuk mengatakan soal keberadaan Raya. Iya, aku butuh persiapan dan mental kalau-kalau nanti dia akan menolak

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh delapan

    Aku yakin jika Mama Sera melihat Raya, mungkin dia akan menyadari kalau Raya adalah cucunya, tapi aku akan berusaha untuk tidak mempertemukan mereka. Aku tidak ingin kemungkinan-kemungkinan buruk akan terjadi, misal, mereka menyalahkan aku karena menyembunyikan Raya. “Ta?” “Iya, Mas?” "Kamu nggak enak badan? Apa kita mampir makan dulu?" “Nggak, Mas. Aku nggak apa-apa, kok.” “Beneran? Kamu keliatan diem aja dari tadi. Kalau nggak enak badan kita tunda aja ketemu sama Mamanya, ya?” Aku menggeleng. Mas Auriga sudah effort sekali menjemputku dan Raya, dia bahkan masih memakai setelan kerjanya. Yang kutahu dari Mbak Mentari, Mas Auriga bekerja sebagai seorang engineer yang bekerja di salah satu perusahaan asing. Terkadang dia pergi ke luar kota untuk bekerja. “Aku baik-baik aja, Mas. Mungkin karena gugup jadi begini.” Mas Auriga tersenyum, lalu kembali m

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh tujuh

    Jadi bukan Jagad?Aku menatap undangan di tangan dengan perasaan tak menentu. Lalu, yang aku lihat beberapa kejadian yang melibatkan Aesha dan Jagad itu apa? Aku benar-benar pusing dibuatnya.“Esta?”Aku menoleh dengan pelan ke arah Aesha yang menatapku penuh tanya. Tentu saja dia penasaran dengan ekspresiku yang menunjukkan keterkejutan. Aku harus bicara dengan Aesha nanti, tapi tidak di depan Liana dan Raisa.“Ta? Muka kamu kayak orang syok gitu, sih? Kamu nggak apa-apa?” tanya Liana yang melihatku dengan penuh menyelidik.Aku mengangguk pelan. Aku kembali melirik Aesha yang sedang digoda oleh teman-temanku. Jadi selama ini Aesha benar-benar tidak berbohong?Tarikan napas panjang lalu embusan napas yang ku keluarkan, nyatanya tak membuat dadaku lega. Banyak sekali pertanyaan yang seolah sedang menari-nari di dalam kepalaku.Tentang pernikahan Aesha, juga tentang Jagad. Kenapa Aesha tidak mengatakan padaku kalau dia men

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh enam

    Aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar kata-katanya. Ada perasaan hangat yang merambat di dadaku, tapi juga sedikit rasa ragu. Jagad. Sosok yang selalu menghantuiku setiap kali aku berpikir tentang masa lalu dan masa depan Raya. Pikiran tentang Jagad muncul begitu saja. Aku jadi teringat kata-katanya waktu itu, bahwa mungkin dia nggak akan pernah bisa menerima Raya. Kalau benar begitu, apa aku harus terus berharap? Apa benar aku harus melupakan masa lalu dan menerima kehadiran orang lain dalam hidupku?Aku melirik Mas Auriga, yang sekarang tengah sibuk memperhatikan Raya. Dia selalu ada, selalu hadir untukku dan Raya. Tapi kenapa, sampai sekarang, aku masih merasa ada tembok yang menghalangiku untuk melangkah lebih jauh?“Ta?” suara Mas Auriga membuyarkan pikiranku.“Iya, Mas?”“Tawaranku masih belum berubah. Aku masih menunggu jawaban kamu.”Aku terdiam sejenak. Mas Buana benar, Mas Auriga adalah sosok yang baik, isianya yang

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh Lima

    Dia berdiri di sana, menatapku dengan wajah datar tanpa ekspresi. Seolah semua yang terjadi antara kami selama ini tidak meninggalkan bekas apa pun baginya. Hanya tatapan kosong, yang membuatku entah merasa lega atau malah semakin sesak. Senyum di wajahku perlahan menghilang, digantikan oleh helaan napas panjang yang keluar tanpa bisa kutahan.Jagad tidak bergerak mendekat, tidak mengatakan apa pun. Dia hanya berdiri di sana, seperti bayang-bayang masa lalu yang menolak hilang meski aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk melupakannya. Rasanya ... perih. Aku mencoba menatap ke arah lain, memalingkan pandangan dari mantan suamiku itu. Tapi rasa itu tetap ada. Perasaan tentang betapa salahnya semuanya, betapa aku tidak pernah benar-benar bisa menghapusnya dari hidupku.Mala, yang mungkin menyadari perubahan di wajahku, langsung merangkulku lagi. "Kamu nggak apa-apa, Ta?"Aku hanya mengangguk kecil. "Iya, aku baik-baik aja."Tapi dalam hati,

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh Empat

    Jadi bukan Jagad yang akan menikahi Aesha? Tapi kalau bukan Jagad, kenapa aku selama ini merasa semuanya kebetulan?Di daycare, juga Jagad yang bertanya aku kenal Aesha atau tidak. Lalu, nama depan Jagad yang katanya sempat Aesha sebut dan menurut Raisha calon suami Aesha. Lalu saat kami bertemu di supermarket beberapa waktu yang lalu ketika kepulangan Mas Buana. Harusnya aku bertanya langsung saja dengan Aesha. Tetapi sejak selesai kajian beberapa waktu lalu, hubungan kami tidak terlalu bagus. Aesha jadi jarang me nimbrung di grup, mungkin juga sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya. Aku terus memikirkan ini bahkan saat motorku berhenti di depan rumah. Pikiranku terpecah antara apa yang baru saja kudengar dan kenangan masa lalu yang masih terus membayangiku. Aku mematikan mesin dan berdiri sejenak, membiarkan embusan angin sore mengusap wajahku. Lalu, suara tawa kecil terdengar dari halaman depan.Aku menoleh dan menemu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status