“Mbak, kayaknya aku mau resign aja.”
Mbak Tari menatapku terkejut. Dua hari yang lalu Mbak Tari dan suaminya pulang dari luar kota dan baru hari ini datang ke rumah untuk menjemput Raya. Itu juga aku yang memintanya karena tak mau berlama-lama dengan gadis kecil itu. Aku juga tak enak hati karena hampir setiap hari menitip Raya di tempat Aesha. Bukan apa, tapi karena aku masih merasa enggan bertemu dengan Aesha sebelum semuanya jelas. Aku tak salah dengar kalau Jagad bertanya tentang sahabatku itu, tapi bagaimana bisa Aesha mengatakan tak kenal dengan mantan suamiku? “Kenapa sih, Ta? Ada masalah?” tanya Mbak Tari seolah tak suka dengan keputusan yang akan kubuat. Aku mengangguk pelan. “Karena Jagad atasanku.” Mbak Tari tak terlihat terkejut, sejak sebelum dia pergi ke luar kota, aku sudah curiga kalau ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakakku. Padahal, yang kutahu sejak kami bercerai, hubungan Mbak Tari dan Jagad tidak terlalu baik. “Mbak nggak kaget?” Mbak Tari menggeleng pelan. “Nggak. Mas Galih dulu satu kantor dengan dia, terus kemarin cerita kalau dia pindah ke kantor kamu.” “Kok, Mbak nggak cerita?” tanyaku dengan sedikit kesal. Bisa-bisanya Mbak Tari menyembunyikan hal ini dariku. JIka tahu Jagad akan pindah ke tempat kerjaku, sudah kupastikan akan mengundurkan diri sebelum bertemu dengannya sehingga aku tak perlu mengangat kembali masa lalu yang sudah kututup rapat. “Ngapain sih, Ta? Ya ampun, kamu kayak belum move on aja dari dia,” cibir Mbak Tari menyindir. “Nggak, ya!” Aku memalingkan wajah berusaha menghindari tatapan mengejek Mbak Mentari. “Kalau udah ngga cinta, ya udah sih, Ta. Jalanin aja hidup kamu sendiri tanpa harus mandang ke belakang lagi. Kalian sudah menjalani hidup masing-masing dan kamu bisa membuktikan kalau baik-baik aja tanpa Jagad. Apa lagi emangnya yang kamu takutkan?” Mba Mentari mana paham? Aku yang menjalani dan aku yang merasakan perasaan was-was setiap kali bertemu dengan Jagad. Tatapannya yang seolah menguliti, membuatku takut jika dia tahu apa yang sedang kututupi. Meski aku tak menginginkannya, tapi aku juga tidak ingin Jagad mengetahui dan kemudian mengambilnya dariku. Aku melirik gadis kecil yang sedang bermain dengan suami Mbak Tari. Dadaku sesak jika mengingatnya. “Ta?” Aku mengedipkan mata, kemudian menoleh pada Mbak Mentari yang menatapku khawatir. “Kamu takut tentang Raya?” Aku mengangguk pelan. Sejauh apa pun aku menghindar dan sedalam apa pun aku menutupi, suatu saat nanti pasti dia akan tahu. Aku paham itu, tapi tidak sekarang. Aku belum siap untuk menerima kenyataan, apalagi dia mungkin sudah punya calon istri. Aku jadi kepikiran dengan Aesha. Rasa penasaran terus menggerogoti otakku. Harus bertanya pada siapa? “Mbak, Jagad nggak Tau kalau Mas Galih suami, Mbak?” tanyaku penasaran. Mbak Mentari menggeleng. “Kayaknya nggak, deh. Lagian, waktu Mbak nikah dia belum satu kantor sama Mas Galih.” Aku menghela napas lega. Setidaknya Jagad tidak akan kepo pada Mas Galih soal Raya, karena aku mengatakan kalau gadis kecil itu anak dari kakakku. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Raya anak Mbak Mentari dan Mas Galih. "Ta, kamu udah tau kalau Mas Buana mau pulang?" Ah, kakakku yang satu itu ternyata masih ingat jalan pulang. Setelah tersesat di dunia antah berantah, kukira dia sudah lupa dengan keluarganya. Satu-satunya laki-laki dalam keluarga inti setelah Ayah kami. "Nggak. Lagian aku nggak tau nomer telepon dia." "Kebangetan kamu, tuh. Masmu sendiri kamu gituin." Bahuku terangkat tak peduli. Dia salah satu yang paling menentang pernikahanku dengan Jagad, dan yang paling berisik ketika aku memutuskan bercerai sampai aku memblokir semua akses tentangnya. Bukan apa, saat itu mentalku sedang tidak baik-baik saja, dan Mas Buana malah memojokkanku dan mengatai aku dengan kata-kata yang cukup menyakitkan. Meski setelahnya dia menghilang entah ke mana, setidaknya dengan menjauh darinya, kewarasaanku tetap terjaga. Bayangkan, kamu sedang di posisi sakit selepas bercerai, dan kamu malah dimaki-maki. "Btw, Ta. Aku kasih bocoran buat kamu," tutur Mbak Mentari membuatku memicingkan mata padanya penasaran. "Mas Buana nggak pulang sendiri. Dia mau ngenalin seseorang sama kamu." * * Gara-gara Mas Buana yang akan pulang, Mbak Tari memintaku menyiapkan makanan untuk tamu spesial yang katanya akan dikenalkan padaku. Sejujurnya aku tak begitu peduli karena paling hanya calon istri Mas Buana. Tapi demi menghargai permintaan Mbak Mentari yang ingin menyambut kedatangan kakak sulung kami, aku menurut saja. Sepulang kantor aku mampir ke salah satu supermarket yang tak jauh dari tempat kerja, Hanya sepuluh menit jalan kaki, aku sudah sampai di sana bersama Mala yang katanya juga ingin berbelanja. “Kamu udah tau kalau minggu depan ada trainning di kantor pusat?” Kepalaku mengangguk tanpa menoleh pada Mala. Wanita yang usianya di atasku satu tahun itu tidak mau dipanggil ‘mbak’ karena merasa seumuran dengaku. Mala juga punya anak berusia tiga tahun yang dititipkan pada ibunya jika dia bekerja. “Aku denger kamu salah satu kandidatnya, Ta. Pak Jagad sendiri yang acc kamu.” Aku terperanjat. Bisa-bisanya lelaki itu menunjukku sedangkan masih banyak karyawan lain yang ingin ikut trainning. Memang kegiatannya hanya mendengarkan sambil mencatat saja, tapi Jagad juga akan datang ke sana. “Ta, bentar, ya. Aku ke sana dulu. Mau ambil cemilan buat Chica.” Aku menganggukkan kepala. Mala sudah beranjak pergi ke area cemilan, sedangkan aku masih memilih beberapa sayuran. Tak sengaja, tanganku bersentuhan dengan tangan seseorang. Aku tersentak, lalu sedikit menjauh. Menoleh, hendak meminta maaf, tapi lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan sosok yang berada di hadapanku. “Esta? Ini beneran kamu?" Mataku masih membola, dengan tangan sedikit gemetar dan berkeringat dingin, aku mengangguk pelan lalu mengambil tangan wanita paruh baya di depanku dan mencium punggung tangannya takzim. Lidahku kelu, entah apa harus memanggilnya apa karena sama seperti Jagad, hubungan kami sudah tak sama seperti dulu. Aku sampai melirik ke belakang tubuhnya untuk mencari sosok yang sedang kuhindari. Aku berdehem ketika lelaki itu berjalan mendekat sembari mendorong troli. “Mama sama Jagad, kamu ke sini sama siapa, Ta?” Aku tersenyum kaku, sedetik kemudian bibirku kembali mengatup melihat sosok yang menyusul Jagad. “Aesha?”"Semesta, apa yang kamu harapkan untuk masa depan kita?" tanya Jagad sambil menatapku dengan penuh kasih."Aku berharap kita selalu bisa bersama, mendukung satu sama lain, dan membesarkan anak-anak dengan penuh cinta dan kebahagiaan," jawabku dengan yakin.Jagad mengangguk, "Aku juga berharap begitu. Kita telah melalui banyak hal dan aku yakin kita bisa menghadapi apapun yang datang."Kami berdua saling berpandangan dengan penuh harapan dan keyakinan. Anak-anak kami adalah masa depan, dan bersama-sama kami akan menghadapi setiap tantangan dengan kepala tegak.Setelah hari yang panjang, akhirnya kami punya waktu untuk beristirahat. Aku merenung sejenak, bersyukur atas semua berkah yang diberikan. Kehidupan tidak selalu mudah, tetapi dengan cinta dan dukungan dari orang-orang terdekat, semuanya menjadi lebih ringan dan indah."Jagad, aku merasa sangat beruntung memiliki keluarga ini," kataku sambil menatapnya."Kita beruntung memil
Aku, merasakan perasaan campur aduk saat melihat Raya masuk ke kamar VIP bersama Mama Sera. Jagad yang selalu tahu cara memastikan keluarganya nyaman, telah memesan kamar VIP ini sehingga kami bisa menikmati momen-momen berharga tanpa gangguan.Raya tampak begitu antusias saat menyambut kelahiran Alam, anak kedua kami. Ketika Mama Sera menggendong Alam, Raya juga menunjukkan keinginannya untuk menggendong adiknya."Bun, aku mau gendong adik," pinta Raya dengan mata berbinar-binar.Mama Sera tersenyum lembut, "Nanti ya, sayang. Adik Alam masih butuh istirahat sekarang. Kalau nanti sore aja, gimana?"Raya mengangguk dengan semangat. "Oke, nanti sore ya, Bun!"Aku tersenyum melihat interaksi mereka. Hati ini terasa lega dan hangat melihat semangat Raya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, Mama Sera yang dahulu pernah menyuruhku untuk tidak terlalu banyak anak karena takut repot, kini menjadi nenek yang paling antusias."Ma, makasih
Lebih dari setengah jam aku berada di ruang operasi, detik demi detik terasa panjang dan menegangkan. Tubuhku sudah mulai lelah, tapi rasa cemas dan harapan membuatku tetap bertahan.Semua terasa sedikit kabur di tengah rasa sakit yang perlahan mereda. Aku menutup mata, menahan napas, berharap semuanya segera berakhir dengan baik.Kemudian, suara yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar, tangis bayi yang keras, memenuhi ruangan. Tangisan itu menggetarkan hatiku, membuat segala rasa sakit dan lelah hilang begitu saja.“Selamat, Bu. Anak Ibu laki-laki,” ucap dokter sambil tersenyum, mengangkat bayi kecil itu agar aku bisa melihat wajahnya.Aku menatap bayi itu, terharu sekaligus bahagia. "Masya Allah, dia sehat, Dok?"“Alhamdulillah, sehat, Bu. Anak Ibu kuat sekali,” jawab dokter, masih tersenyum sambil membawa bayiku untuk dibersihkan.Beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah-langkah di luar ruangan. Jagad, yang sudah menunggu
Aku merasakan kontraksi luar biasa. Harusnya minggu depan jadwalku melakukan operasi sectio, tapi kontraksi datang satu minggu lebih awal.Rasa nyeri ini tidak seperti yang pernah kurasakan sebelumnya, membuat tanganku gemetar saat meraih ponsel untuk menghubungi Jagad.“Halo, Mas?” suaraku terengah, tertahan oleh rasa sakit yang datang bergelombang.“Ya, Sayang? Ada apa?” Jagad terdengar sedikit panik di ujung sana.“Sepertinya, sepertinya aku akan melahirkan. Kontraksinya kuat sekali,” ucapku sambil sesekali menarik napas panjang, berusaha menahan rasa nyeri yang makin menusuk.“Sekarang? Bukannya jadwal operasi minggu depan?” tanya Jagad kaget.“Iya, tapi kontraksinya tiba-tiba datang dan rasanya sakit sekali,” jawabku sambil melirik ke dalam kelas di mana Raya sedang asyik belajar.Aku memang sengaja menunggui Raya di sekolahnya karena dia tidak mau ditinggal, apalagi di pagi hari tadi moodnya sedikit jelek sehi
Aku dan Aesha duduk di sudut kafe, memilih tempat yang nyaman untuk mengobrol. Sudah lama aku tak bertemu dengannya sejak kehamilanku yang semakin besar. Aesha, sahabatku sejak lama, tersenyum hangat sambil mengelus perutnya yang kini mengandung anak keduanya. Aku sedang menunggu Raya pulang sekolah dan mengisi waktu dengan janjian bersama Aesha. "Kamu kelihatan makin sehat, Ta," kata Aesha sambil mengelus perutnya. "Jadi gimana rasanya hamil lagi setelah sekian lama?" Aku tersenyum, menatap secangkir teh hangat di depanku. "Aneh, campur aduk. Kadang nggak percaya aja, Aes, tapi juga bersyukur banget masih bisa ngerasain jadi ibu lagi. Aku pikir dulu, setelah perpisahan itu, aku nggak akan pernah merasakannya lagi." Aesha mengangguk pelan, seolah memahami perasaanku. "Tuhan kasih kesempatan kedua, Esta. Tentu ada maksudnya." Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Sha. Kadang aku merasa diberi
Tiga tahun telah berlalu sejak pernikahan kami yang kedua. Waktu berjalan begitu cepat, begitu banyak hal yang telah terjadi, dan entah bagaimana, aku merasa semuanya seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan.Di depanku, layar USG menampilkan gambar bayi kecil yang bergerak-gerak pelan. Aku tersenyum sambil menoleh ke arah Jagad, yang memangku Raya di depanku.Matanya berbinar, tak kalah bahagia dariku.“Itu adik Raya?” tanya Raya, matanya terpaku pada layar.Aku mengangguk-anggukkan kepala, kemudian menatap layar di depan sana.“Iya, sayang. Itu adiknya Raya. Nanti Raya bakal punya teman main di rumah, nggak sendirian lagi.”Raya tersenyum lebar, tampak sangat antusias. “Yeay! Adik Raya! Nanti Raya bisa ajak adik main boneka sama masak-masakan!”Aku tertawa mendengar ucapan polosnya. “Tapi nanti jangan rebutan ya, kakak kan harus ngemong adik.”Dia mengangguk mantap. “Iya, Raya janji nggak rebutan sama adi