Share

Enam

Author: Mumtaza wafa
last update Last Updated: 2025-02-12 20:48:48

‘Kita cerai aja.’

‘Maksud kamu apa, Ta? Jangan karena masalah sepele kayak gini kamu jadi baper terus minta cerai. Dulu kamu yang pengen aku nikahin, malah jadi begini. Jangan kayak anak kecil, deh!'

‘Tapi kamu berubah. Semuanya nggak seperti yang aku bayangin Jagad. Aku pikir nikah sama kamu bakal bikin kita makin deket, bikin hubungan kita makin intim. Nyatanya kita malah kayak orang ngekos yang hidup sendiri dalam satu atap. Kamu sadar nggak, kalau selama kita nikah hubungan kita nggak kayak dulu?'

‘Aku kuliah, juga kerja, Ta. Aku udah capek banget kalau udah sampe rumah. Kamu ngertiin aku dikit bisa nggak?’

‘Kalau aku terus yang kamu suruh ngertiin, kapan kamu ngertiin aku juga Jagad?’

“Esta?”

Aku mengedip beberapa kali setelah panggilan Jagad membawaku kembali dari lamunan. Alih-alih curiga dengan keberadaan Raya denganku saat itu, malah dia bertanya soal Aesha.

“Apa?”

“Kamu nggak denger pertanyaanku tadi?”

“Pertanyaan apa?” Tentu saja aku hanya berpura-pura. Sangat jelas terdengar di telingaku malah pertanyaannya soal Aesha.

Jagad menggeleng pelan sembari menepis tangan di depan wajah. “Lupakan.”

“Kalau nggak ada lagi, saya permisi, Pak.”

Aku membalikkan badan dengan tangan mengepal, berusaha menepis segala pikiran yang terus mengaung di kepalaku.

“Esta.”

Aku menghentikan langkah tanpa menoleh padanya. Satu detik, dua detik, dia tak bersuara. Namun ketika kaki hendak melangkah pergi, lelaki itu mengeluarkan kembali suaranya.

“Anak kecil yang sama kamu semalam … dia siapa?”

Aku menelan ludah susah payah, tangan memilin ujung kemeja yang panjangnya sebatas paha. Dada bergemuruh setelah apa yang aku takutkan keluar juga dari mulutnya. Bukannya harusnya aku senang?

Nyatanya, aku merasa sakit. Bagaimana kalau dia tahu yang sebenarnya?

“Anak Mbak Tari," balasku cepat lalu meninggalkan Jagad tanpa kembali menoleh padanya. Masih bisa aku rasakan kalau lelaki itu masih menatap menghunus ke arahku.

Bukannya kembali ke ruangan, kakiku malah belok ke arah kamar mandi. Kutatap pantulan wajah di cermin, sudah tak semuda dulu, tak ada yang berubah, hanya lebih bersih daripada saat masih bersama dengan Jagad.

Iya, saat menikah dengannya, tumbuh jerawat kecil-kecil di wajahku. Sepertinya efek hormon dan stres. Juga pola makan dan tidur yang tidak teratur. Sekarang, aku malah bisa merawat diri meski tak bisa melakukan hal yang sama pada titipannya.

Kubasuh wajah hingga bedak yang tadi pagi kupoles luntur seketika, helaan napas panjang lolos dari hidung. Jagad dan Aesha? Aku tersenyum miris.

“Apa calon suami Aesha itu Jagad?” Aku bergumam dengan pantulan di cermin.

Jika benar, apa aku masih bisa berteman dengan Aesha jika mereka menikah?

Aku menggeleng pelan, lagi-lagi berusaha menghilangkan pikiran itu dari benakku. Sepertinya tidak mungkin Aesha dengan Jagad, secara Aesha memiliki kriteria lelaki sholeh, sedangkan Jagad?

Atau mantan suamiku itu sudah hijrah sehingga orang tua Aesha menjodohkan mereka? Kami yang dulu berbeda kampus dengan Jagad membuat Aesha hanya mengenal nama saja. Tetapi, dia tak pernah bertemu dengan Jagad secara langsung.

Bukankah Aesha mengenal nama Jagad?

Aku buru-buru mengambil ponsel lalu mengirim pesan pada Aesha.

[Kamu kenal Jagad?]

*

*

"Kamu tau sendiri, Ta, aku cuma bergantung sama Mas Faizal. Walaupun dia begitu, tapi baik."

Aku memutar bola mata malas, lagi-lagi alasan finansial dijadikan alasan. Aku tahu Liana sakit, tapi dia harus bertahan dengan keadaan karena tidak bisa menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya.

Perempuan yang akan selalu menjadi korban. Apalagi Liana terbiasa bergantung pada suaminya, aku jadi curiga kalau Mas Faizal sengaja tidak membolehkan Liana bekerja agar lelaki itu bisa merasa di atas angin dan membuat Liana membutuhkannya seperti sekarang.

Aku beristighfar dalam hati karena sudah suudzon seperti ini. Tapi jelas pikiranku beralasan. Lihat saja badan Liana yang semakin menyusut. Anggap saja aku kompor, tapi ini semua demi sahabatku. Tak berpikirkah dia kalau suaminya nanti terkena penyakit?

Aku bergidik ngeri. Sebelum menjemput Raya di daycare, aku menemui Liana di kafe tempat biasa kami bertemu. Setengah jam tak membuat Raya ngambek.

“Orang tuaku udah nggak ada, Ta. Kakakku udah pada nikah, mereka nggak bakal mau nampung kami kalau aku cerai dari Mas Faizal. Adikku juga masih bergantung sama aku karena dia masih kuliah. Aku nggak bisa kerja karena aku punya anak. Aku cuma bisa pasrah dan berharap Mas Faizal bisa berubah,” tutur Liana dengan wajah sendu. Terlihat jelas tatapan terluka di matanya.

Aku paham dengan perasaan Liana sekarang, begitu juga yang kurasakan dulu ketika memutuskan bercerai. Beruntung Mbak Mentari mau mengurusku sampai aku bisa bekerja sendiri seperti sekarang. Aku juga beruntung memiliki kakak ipar yang ikut peduli padaku meski aku tak tahu bagaimana ketika di belakang.

Tetapi aku yakin, ketika kita percaya kalau rezeki itu datangnya dari Tuhan yang tidak akan berhenti selama kita masih masih bisa bernapas.

“Kamu tau, Ta? Bahkan yang koar-koar di media sosial soal dengkul geter, atasan dikit, dia memilih bertahan. Itu artinya pasangannya mungkin mau berubah dan meminta maaf. Emangnya salah kalau aku kasih dia kesempatan kedua?”

“Dia ada minta maaf sama kamu, Na?”

Liana diam, menunduk. Aku tahu seperti apa Liana, dia bahkan tak berani mengatakan pada suaminya jika dia sudah tahu kenyataan tentang Mas Faizal yang selingkuh. Dan bisa-bisanya sekarang dia mengatakan suaminya akan berubah. Aku tertawa dalam hati.

Jagad memang tak selingkuh, tak melakukan kekerasan, tapi mental setiap orang berbeda-beda dan aku bukan tipe perempuan yang kuat mental seperti Liana yang ikhlas diselingkuhi. Ikhlas berbagi suami dengan dalih Mas Faizal suami dan ayah yang baik untuk anak-anaknya.

Padahal, suami dan ayah yang baik tidak akan berkhianat.

“Udah ya, Ta. Kamu jangan ajak-ajak aku jadi janda, karena aku belum sekuat kamu buat menghidupi anak-anak aku sendiri. Aku memutuskan menutup semuanya dan menjalani kehidupan seperti biasa.”

Aku tertawa miris. “Kamu tau, Na, kenapa aku nggak mau nikah lagi? Karena aku nggak mau jadi bodoh kayak kamu.”

“Sekarang kamu bisa bilang gitu, Ta. Tapi aku yakin kalau kamu udah nemuin laki-laki yang tepat dan bikin kamu jatuh cinta, kamu bakal berubah pikiran.”

Tawaku menyembur mendengar ucapan Liana, sesaat kemudian menatapnya serius. “Nggak akan, Na.”

Getaran ponsel menjeda adu argumenku dengan Liana. Kurogoh slingbag, lalu membuka pesan masuk yang ternyata dari Aesha.

[Jagad mantan suami kamu? Aku nggak kenal, Ta.]

Lalu, kenapa kemarin Jagad di day care Aesha dan sampai datang dua kali?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernah Menyesal Menikah   Empat puluh lima

    Setelah Mas Auriga pamit, aku dan Raya masuk ke dalam rumah. Raya terlihat lelah setelah bermain seharian di halaman, sementara aku masih tenggelam dalam pikiran tentang percakapanku dengan Mas Auriga.Di ruang tengah, Mas Buana duduk di sofa sambil menonton televisi. Begitu aku masuk, dia langsung menoleh, menurunkan volume televisi dan menatapku dengan penuh perhatian.“Auriga udah pulang?” tanya Mas Buana sambil tersenyum, meski aku bisa lihat ada rasa penasaran di matanya.“Udah, barusan, Mas,” jawabku sambil menggandeng tangan Raya yang sudah mulai mengantuk.Mas Buana mengangguk. “Oh, gitu. Terus … gimana? Kamu udah bikin keputusan soal Auriga?”Aku terdiam sebentar, menatap Raya yang sekarang sudah duduk di lantai, asyik bermain dengan boneka-bonekanya. Aku tahu pertanyaan itu akan datang, dan sekarang adalah waktunya aku harus memberi jawaban.“Aku udah ngomong sama Mas Auriga, Mas,” kataku pelan. “Aku bilang kalau aku ng

  • Pernah Menyesal Menikah   Tiga puluh Empat

    Sore itu, aku dan Mas Auriga duduk berdua di teras rumah, mengawasi Raya yang berlarian di halaman. Dia baru saja selesai bermain dengan Mas Auriga, dan sekarang kembali asyik dengan mainan-mainan kecilnya di dekat kami.Udara sore yang sejuk menambah keheningan di antara kami, tapi aku tahu obrolan serius yang akan terjadi tak bisa dihindari lebih lama lagi.Mas Auriga menghela napas, kemudian menoleh ke arahku. "Ta, aku mau bicara soal ... kita. Masa depan kita."Aku mengangguk, meski hatiku sedikit berdebar. Ini adalah saat yang sudah aku pikirkan berhari-hari."Aku tahu, Mas. Aku juga mau bicara soal itu."Dia menatapku dengan penuh perhatian, seolah mencari jawaban dari ekspresi wajahku."Aku serius, Ta. Aku benar-benar ingin melangkah lebih jauh sama kamu. Aku pengen kamu jadi istri aku, jadi ibu buat anak-anak kita nanti."Perkataannya itu membuat hatiku sedikit bergetar, tapi aku harus jujur."Mas, maaf

  • Pernah Menyesal Menikah   Empat puluh Tiga

    Raya cemberut lucu. "Bunda main? Mau main sama Bunda." Raya merengek dengan suara khasnya yang cadel. "Ayah Aya mau sama Bunda."Jagad tertawa pelan, kembali melirikku seolah memintaku untuk merespon Raya."Kalau mainnya sama Ayah aja gimana? Main sama Ayah nggak kalah seru, loh.""Mau sama Bunda." Raya mendongak, menatapku dengan mata berkaca-kaca.Aku menghela napas panjang kemudian hanya bisa mengangguk, meski dalam hati sedikit aneh rasanya mendengar percakapan yang begitu ... keluarga. Seolah-olah kami adalah keluarga yang utuh. Padahal kenyataannya, hubungan kami dengan Jagad sudah berakhir bertahun-tahun lalu.Di tengah perjalanan, Jagad memutar lagu anak-anak di radio. Raya langsung ikut menyanyi, menggerakkan tangannya mengikuti irama.Raya mengikuti dengan semangat walaupun pelafalannya belum begitu jelas, suaranya sedikit fals tapi tetap terdengar lucu. Jagad ikut bernyanyi, sesekali melihat ke arah kami dengan senyum

  • Pernah Menyesal Menikah   Empat puluh Dua

    “Jadi mereka udah sering datang?”Aku menatap Mas Buana sebentar, membuang napas panjang, lalu mengangguk pelan. Mata Mas Buana tak lepas dari Mama Sera dan Jagad yang sedang bermain dengan Raya.“Kamu mau balikan sama dia?” tanya Mas Buana lagi.“Mas, plase.”“Kenapa? Bukannya dia mau nerima Raya? Nggak seperti yang kamu takutkan selama ini. Kamu juga masih cinta sama dia 'kan, Ta?”“Mas ….”“Mas udah nggak bisa jagain kamu lagi, Ta. Tubuh Mas udah nggak sekuat dulu, kalau kamu mau balikan sama dia, Mas nggak akan menghalangi.”Aku mendesah pelan, menoleh pada Jagad dan Mama Sera yang sedang menyuapi Raya makanan. Mas Buana sudah pulang dari rumah sakit sejak seminggu yang lalu, dan selama itu di melihat Jagad yang selalu datang ke rumah setiap kali pulang kerja.Bahkan, minggu kemarin Jagad mengajak Raya dan aku pergi, meski akhirnya aku menolak dan membiarkan Raya pergi dengannya sendiri. Aku masih fokus pada kesembuhan Mas Buana setelah operasinya.Memang, kata dokter tidak ada ko

  • Pernah Menyesal Menikah   Empat puluh Satu

    Hari ini Mas Buana sudah diperbolehkan pulang. Mbak Mentari tadi yang mengabari, aku membereskan rumah dan menyiapkan makanan untuk Mas Buana. Katanya, Mas Buana harus bed rest untuk beberapa hari lagi ke depan. Baru saja aku melangkahkan kaki ke luar rumah untuk membuang sampah, langkahku terhenti ketika melihat Mama Sera yang berada di depan gerbang. Bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman ketika melihatku keluar rumah. “Esta.” Aku tersenyum canggung. Sejak Mama memintaku memberi kesempatan kedua untuk Jagad, aku jadi sedikit segan dengan beliau. Mama yang mengirimi kami makanan selama berada di rumah sakit, bukan hanya untukku dan Jagad, tapi juga untuk Mbak Mentari dan Mas Auriga yang menemani Mas Buana secara bergantian. “Esta, Mama boleh masuk?” tanya Mama Sera menatapku penuh harap. Aku yang sempat melamun sebentar langsung tersadar, lalu mengangguk. Berjalan ke ara

  • Pernah Menyesal Menikah   Empat Puluh

    Diingin Aku sedang duduk di ruang tamu sambil memperhatikan Raya yang tengah asyik bermain dengan mainannya. Ada banyak kekalutan yang bersarang di kepala. Aku belum tahu harus berbuat apa dengan semua yang terjadi belakangan ini. Tiba-tiba, suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju pintu. Ketika kubuka, di sana berdiri Mbak Mentari, tersenyum lembut sambil membawa kotak kecil di tangannya. “Assalamu’alaikum, Esta,” sapanya hangat. “Wa’alaikumussalam, Mbak. Silakan masuk,” jawabku sambil mempersilakannya masuk. Ada sesuatu yang berbeda hari ini, entah mengapa aku merasakan suasana hatinya lebih serius dari biasanya. Setelah Mbak Mentari duduk di sofa, aku segera mengambil minuman untuknya. "Mbak udah nggak mabok? Kangen sama Raya, ya?" tanyaku sambil tersenyum. Mbak Mentari mengangguk sambil melihat ke arah Raya yang sedang bermain. "Iya, Mbak kangen banget sama bocah kecil ini. Tapi sebenarnya, ada hal lain yang ingin Mbak bicara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status