‘Kita cerai aja.’
‘Maksud kamu apa, Ta? Jangan karena masalah sepele kayak gini kamu jadi baper terus minta cerai. Dulu kamu yang pengen aku nikahin, malah jadi begini. Jangan kayak anak kecil, deh!' ‘Tapi kamu berubah. Semuanya nggak seperti yang aku bayangin Jagad. Aku pikir nikah sama kamu bakal bikin kita makin deket, bikin hubungan kita makin intim. Nyatanya kita malah kayak orang ngekos yang hidup sendiri dalam satu atap. Kamu sadar nggak, kalau selama kita nikah hubungan kita nggak kayak dulu?' ‘Aku kuliah, juga kerja, Ta. Aku udah capek banget kalau udah sampe rumah. Kamu ngertiin aku dikit bisa nggak?’ ‘Kalau aku terus yang kamu suruh ngertiin, kapan kamu ngertiin aku juga Jagad?’ “Esta?” Aku mengedip beberapa kali setelah panggilan Jagad membawaku kembali dari lamunan. Alih-alih curiga dengan keberadaan Raya denganku saat itu, malah dia bertanya soal Aesha. “Apa?” “Kamu nggak denger pertanyaanku tadi?” “Pertanyaan apa?” Tentu saja aku hanya berpura-pura. Sangat jelas terdengar di telingaku malah pertanyaannya soal Aesha. Jagad menggeleng pelan sembari menepis tangan di depan wajah. “Lupakan.” “Kalau nggak ada lagi, saya permisi, Pak.” Aku membalikkan badan dengan tangan mengepal, berusaha menepis segala pikiran yang terus mengaung di kepalaku. “Esta.” Aku menghentikan langkah tanpa menoleh padanya. Satu detik, dua detik, dia tak bersuara. Namun ketika kaki hendak melangkah pergi, lelaki itu mengeluarkan kembali suaranya. “Anak kecil yang sama kamu semalam … dia siapa?” Aku menelan ludah susah payah, tangan memilin ujung kemeja yang panjangnya sebatas paha. Dada bergemuruh setelah apa yang aku takutkan keluar juga dari mulutnya. Bukannya harusnya aku senang? Nyatanya, aku merasa sakit. Bagaimana kalau dia tahu yang sebenarnya? “Anak Mbak Tari," balasku cepat lalu meninggalkan Jagad tanpa kembali menoleh padanya. Masih bisa aku rasakan kalau lelaki itu masih menatap menghunus ke arahku. Bukannya kembali ke ruangan, kakiku malah belok ke arah kamar mandi. Kutatap pantulan wajah di cermin, sudah tak semuda dulu, tak ada yang berubah, hanya lebih bersih daripada saat masih bersama dengan Jagad. Iya, saat menikah dengannya, tumbuh jerawat kecil-kecil di wajahku. Sepertinya efek hormon dan stres. Juga pola makan dan tidur yang tidak teratur. Sekarang, aku malah bisa merawat diri meski tak bisa melakukan hal yang sama pada titipannya. Kubasuh wajah hingga bedak yang tadi pagi kupoles luntur seketika, helaan napas panjang lolos dari hidung. Jagad dan Aesha? Aku tersenyum miris. “Apa calon suami Aesha itu Jagad?” Aku bergumam dengan pantulan di cermin. Jika benar, apa aku masih bisa berteman dengan Aesha jika mereka menikah? Aku menggeleng pelan, lagi-lagi berusaha menghilangkan pikiran itu dari benakku. Sepertinya tidak mungkin Aesha dengan Jagad, secara Aesha memiliki kriteria lelaki sholeh, sedangkan Jagad? Atau mantan suamiku itu sudah hijrah sehingga orang tua Aesha menjodohkan mereka? Kami yang dulu berbeda kampus dengan Jagad membuat Aesha hanya mengenal nama saja. Tetapi, dia tak pernah bertemu dengan Jagad secara langsung. Bukankah Aesha mengenal nama Jagad? Aku buru-buru mengambil ponsel lalu mengirim pesan pada Aesha. [Kamu kenal Jagad?] * * "Kamu tau sendiri, Ta, aku cuma bergantung sama Mas Faizal. Walaupun dia begitu, tapi baik." Aku memutar bola mata malas, lagi-lagi alasan finansial dijadikan alasan. Aku tahu Liana sakit, tapi dia harus bertahan dengan keadaan karena tidak bisa menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya. Perempuan yang akan selalu menjadi korban. Apalagi Liana terbiasa bergantung pada suaminya, aku jadi curiga kalau Mas Faizal sengaja tidak membolehkan Liana bekerja agar lelaki itu bisa merasa di atas angin dan membuat Liana membutuhkannya seperti sekarang. Aku beristighfar dalam hati karena sudah suudzon seperti ini. Tapi jelas pikiranku beralasan. Lihat saja badan Liana yang semakin menyusut. Anggap saja aku kompor, tapi ini semua demi sahabatku. Tak berpikirkah dia kalau suaminya nanti terkena penyakit? Aku bergidik ngeri. Sebelum menjemput Raya di daycare, aku menemui Liana di kafe tempat biasa kami bertemu. Setengah jam tak membuat Raya ngambek. “Orang tuaku udah nggak ada, Ta. Kakakku udah pada nikah, mereka nggak bakal mau nampung kami kalau aku cerai dari Mas Faizal. Adikku juga masih bergantung sama aku karena dia masih kuliah. Aku nggak bisa kerja karena aku punya anak. Aku cuma bisa pasrah dan berharap Mas Faizal bisa berubah,” tutur Liana dengan wajah sendu. Terlihat jelas tatapan terluka di matanya. Aku paham dengan perasaan Liana sekarang, begitu juga yang kurasakan dulu ketika memutuskan bercerai. Beruntung Mbak Mentari mau mengurusku sampai aku bisa bekerja sendiri seperti sekarang. Aku juga beruntung memiliki kakak ipar yang ikut peduli padaku meski aku tak tahu bagaimana ketika di belakang. Tetapi aku yakin, ketika kita percaya kalau rezeki itu datangnya dari Tuhan yang tidak akan berhenti selama kita masih masih bisa bernapas. “Kamu tau, Ta? Bahkan yang koar-koar di media sosial soal dengkul geter, atasan dikit, dia memilih bertahan. Itu artinya pasangannya mungkin mau berubah dan meminta maaf. Emangnya salah kalau aku kasih dia kesempatan kedua?” “Dia ada minta maaf sama kamu, Na?” Liana diam, menunduk. Aku tahu seperti apa Liana, dia bahkan tak berani mengatakan pada suaminya jika dia sudah tahu kenyataan tentang Mas Faizal yang selingkuh. Dan bisa-bisanya sekarang dia mengatakan suaminya akan berubah. Aku tertawa dalam hati. Jagad memang tak selingkuh, tak melakukan kekerasan, tapi mental setiap orang berbeda-beda dan aku bukan tipe perempuan yang kuat mental seperti Liana yang ikhlas diselingkuhi. Ikhlas berbagi suami dengan dalih Mas Faizal suami dan ayah yang baik untuk anak-anaknya. Padahal, suami dan ayah yang baik tidak akan berkhianat. “Udah ya, Ta. Kamu jangan ajak-ajak aku jadi janda, karena aku belum sekuat kamu buat menghidupi anak-anak aku sendiri. Aku memutuskan menutup semuanya dan menjalani kehidupan seperti biasa.” Aku tertawa miris. “Kamu tau, Na, kenapa aku nggak mau nikah lagi? Karena aku nggak mau jadi bodoh kayak kamu.” “Sekarang kamu bisa bilang gitu, Ta. Tapi aku yakin kalau kamu udah nemuin laki-laki yang tepat dan bikin kamu jatuh cinta, kamu bakal berubah pikiran.” Tawaku menyembur mendengar ucapan Liana, sesaat kemudian menatapnya serius. “Nggak akan, Na.” Getaran ponsel menjeda adu argumenku dengan Liana. Kurogoh slingbag, lalu membuka pesan masuk yang ternyata dari Aesha. [Jagad mantan suami kamu? Aku nggak kenal, Ta.] Lalu, kenapa kemarin Jagad di day care Aesha dan sampai datang dua kali?Aku baru saja sampai rumah ketika kulihat Mas Buana berdiri di depan pintu. Wajahnya tampak tegang, dan aku langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres. Hatiku berdebar, perasaanku tidak enak.Sudah pasti dia mau membahas tentang pesan yang dia kirim tadi padaku. Dari sorot matanya, aku bisa menebak ini bukan kunjungan yang menyenangkan.“Matanya biasa aja, Mas. Marah gara-gara aku nggak bales pesan?” Aku mencoba setenang mungkin, meski jantungku berdebar kencang.Mas Buana tidak langsung menjawab. Dia melipat tangannya di dada, matanya menatap tajam ke arahku. "Kamu ada urusan apalagi sama Jagad?" tanyanya dingin penuh tuduhan."Jagad itu atasan aku di kantor. Aku nggak ada hubungan lagi sama dia selain urusan kerja," jawabku sembari melepas sepatu pantofel lalu meletakkan di rak sepatu. "Atasan? Apa itu alasan yang cukup untuk kamu kembali dekat sama dia?" Mas Buana bertanya dengan nada semakin tajam. "Aku tahu gimana Jagad. Aku tahu apa yang sudah dia lakuin ke kamu dulu. Kamu lupa
Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak masuk kerja. Kutarik napas dalam-dalam saat mengetik pesan izin kepada Jagad, memberi alasan bahwa aku masih syok akibat kecelakaan kemarin. Itu tidak sepenuhnya bohong—rasanya pikiranku belum benar-benar stabil. Namun, sebenarnya, ada hal lain yang lebih mendesak yang membuatku memilih untuk tidak bekerja hari ini. Jagad [Iya, Ta. Maaf, harusnya aku bisa menahannya. Semoga kamu segera pulih.] Jika bukan karena izin, kupastikan tidak akan mengirim pesan pada Jagad. Aku tidak mau berlarut-larut memikirkan mantan suamiku itu. Aku sedang memikirkan Liana. Setelah membaca pesan-pesannya tadi malam, aku tahu aku harus datang menemuinya. Aku tidak bisa membiarkan dia menghadapi semua ini sendirian, apalagi sekarang setelah suaminya benar-benar minta cerai. Jadi, di sinilah aku sekarang, berdiri di depan rumah Liana. Rumahnya yang biasanya selalu terlihat rapi
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, hanya berharap dia datang secepat mungkin. Aku tidak tahan lagi berada di sini, apalagi bersama Jagad. Aku butuh seseorang yang bisa membuatku merasa aman, dan untuk saat ini, hanya Mas Auriga yang terlintas di pikiranku.Mobil Jagad rusak parah. Bagian depannya penyok, dan sekarang mogok di tengah jalan tol. Jagad menghela napas panjang, lalu segera menghubungi kantor pusat untuk memberitahu bahwa kami tidak bisa datang, sambil menjelaskan apa yang terjadi. Setelah itu, dia menelepon bengkel, berusaha mencari solusi untuk masalah mobilnya."Astaghfirullah." Aku bergumam sendiri sembari memegang dada yang masih berdebar kencang. Aku tidak bisa lagi duduk di dalam mobil. Rasanya terlalu sempit, terlalu sesak. Jadi, aku keluar, menuju ke bahu jalan. Dengan lutut lemas, aku jongkok di sana, membiarkan tubuhku bergetar karena ketakutan yang masih belum sepenuhnya hilang. Udara siang ini terasa dingin, menusuk, tapi
“Kamu udah siap buat ikut tranning hari ini 'kan, Ta?”Aku mengangguk pasrah. Keputusan sudah dubuat, begitu juga dengan karyawan yang akan ikut ke kantor pusat untuk melakukan trainning. Ada enakm orang, termasuk aku dan juga … Jagad. Tentu sja, lelaki itu yang akan terjun langsung mengawasi kami.“Udah.”Askana melirik jam tangannya. “Bukannya berangkat jam sepuluh ya, Ta? Kok kamu masih santai di sini, sih?” tanya Asakana heran.“Esta mah, emang nggak niat. Padahal jalan sama Pak Jagad. Kapan lagi nebeng bosa ganteng yang suamiable itu,” ucap Mala menggoda.Suamiable? Rasanya aku ingin tertawa terbahak sambil kayang. Kalau saja Jagad seperti itu, kami mungkin tak akan bercerai. Dulu, pikiranku sama seperti Mala, Jagad adalah sosok laki-laki yang sangat suamiable. Baik, perhatian, tapi itu dulu, sebelum kami memutuskan untuk menikah.Iya, semua ekspektasiku tentang menikah dengan Jagad ketinggian. Kupikir akan seperti
“Jadi benar dugaan aku selama ini?”Aku melirik Mas Auriga, lelaki itu juga tampak tak paham dengan ucapan Jagad. Dia berdiri di depan gerbang menatap kami dengan tajam. “Dugaan apa yang kamu maksud, Jagad?” tanyaku penasaran.Lelaki itu malah melirik pada Raya yang berdiri takut-takut seolah paham tengah terjadi sesuatu. Raya berada di sisi Mas Auriga, memeluk kaki laki-laki itu erat. Lihatlah, bahkan baru beberapa hari lalu mereka bertemu, tapi Raya sudah cukup dekat dengannya.Jagad memerhatikan setiap gerak-gerik kami, memicingkan matanya seolah sedang mengulitiku dan Mas Auriga. Aku tak paham kenapa bisa sampai repot sekali mengikutiku seperti ini. Bukannya dia mau menikah dengan Aesha? BIsa-bisanya dia ingin tahu dengan kehidupanku seperti ini.“Malam itu, aku liat kamu sama dia di halte," ucap Jagad pelan dengan mata masih menghunus padaku.Keningku berkerut. “Malam itu?”Kepalanya mengangguk pelan. “Malam di mana kita bertengkar dan kamu pergi dari rumah. Aku nyusulin kamu ka
‘Ada surat buat kamu, Ta.’Aku menatap nanar amplop coklat yang bertuliskan pengadilan agama. Mas Buana sempat ingin menemui Jagad, tapi aku melarangnya karena sudah tahu pertemuan mereka nanti akan seperti apa. Setelah bertanda tangan, aku memutuskan untuk tidak datang selama sidang.Aku hanya ingin memudahkan proses perceraian kami. Selain itu, kondisiku tak cukup baik karena mengalami morning sickess yang cukup parah dan kandunganku cukup lemah. Hingga suatu saat, aku dan Mbak Tari berada di salah satu rumah sakit untuk memeriksakan kandungan.Saat itu yang mengantar Mas Auriga karena Mas Buana dan Mas Galih sedang ada urusan di luar. Kami bertemu dengan Jagad dan Mamanya.‘Esta?’Aku menoleh, begitu juga dengan Mas Auriga yang sedang duduk di sebelahku. Mama Jagad menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan, sedangkan Jagad tampak tanpa ekspresi di sebelahnya.‘Kamu pucet, Ta? Sakit?’ tanya Mama mertuaku perhatian.