Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Hari pengumuman akuisisi Atmaja Televisi oleh Mahatma Entertainment. Sejak pagi, apartemen Gerald terasa dipenuhi aura ketegangan yang elektrik. Elena menghabiskan sebagian besar waktu di kamarnya, melakukan panggilan terakhir, memeriksa presentasi, dan mencoba menenangkan diri dari gejolak batin yang tak henti-hentinya. Gaun deep emerald green yang Gerald pilihkan tergantung rapi di lemari, menanti untuk dikenakan.Elena sedang memoles sentuhan terakhir pada riasannya. Matanya tampak lebih dalam dan misterius dengan sentuhan smokey eye tipis, bibirnya dipulas warna nude lembut. Rambutnya sudah ditata rapi dalam sanggul tinggi, menunjukkan leher jenjangnya yang anggun. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, sebuah sosok yang asing namun familiar. Ini adalah Elena versi publik, versi sempurna yang dibutuhkan Gerald.Ia mengambil gaun zamrud itu dari gantungan. Kain satin dingin meluncur mulus di kulitnya saat ia mengenakannya. Seketika, ia merasa gaun it
Malam itu, setelah Gerald mengantar Elena kembali ke kantornya, apartemen mewah di puncak gedung pencakar langit itu terasa sepi, namun tidak lagi kosong. Gerald memarkir mobilnya di basement, lalu naik lift dengan langkah-langkah yang, entah mengapa, terasa lebih berat dari biasanya. Ia seharusnya bisa langsung menuju kamarnya, bersantai, membaca laporan, dan mempersiapkan mental untuk hari besar esok. Itulah rutinitasnya. Itulah yang selalu ia lakukan.Namun, malam ini berbeda. Pikiran Gerald terus-menerus kembali pada Elena. Pada gaun zamrud itu, bagaimana gaun itu meluncur anggun di tubuh Elena, bagaimana warna itu menghidupkan matanya, dan bagaimana ia sendiri—Gerald Aiden Mahatma—merasa terpukau. Ia membenci perasaan tidak terkendali ini. Ia membenci fakta bahwa Elena, yang seharusnya hanya menjadi bagian dari kontrak bisnisnya, kini begitu kuat menguasai benaknya.Ia masuk ke apartemen. Lampu di ruang tamu utama masih mati. Keheningan menyambutnya. Gerald bisa saja langsung ke
Ketika Elena kembali ke area showroom, Gerald sudah berdiri di meja kasir, kartu kreditnya berada di tangan. Ia tidak bertanya harga. Ia tidak ragu. Ia hanya membeli."Sudah?" Gerald bertanya begitu Elena mendekat, nadanya kembali datar. Ia sudah berdiri di meja kasir, kartu kreditnya baru saja ditarik dari mesin, seolah ia tak sabar untuk meninggalkan tempat itu. "Kita bisa pergi."Gerald tidak menunggu jawaban Elena. Ia hanya berbalik dan berjalan menuju pintu butik. Elena, masih sedikit limbung oleh intensitas momen yang baru saja berlalu, mengikuti di belakangnya. Gerald membuka pintu penumpang untuk Elena, sebuah isyarat yang tidak biasa dari pria itu. Gerald menutup pintu dengan suara pelan, lalu berputar dan masuk ke kursi pengemudi. Mesin mobil menyala, meraung pelan, sebelum melaju mulus membelah jalanan Jakarta yang mulai ramai.Mobil bergerak perlahan di tengah kemacetan kota. Gerald menatap jalanan dengan serius, namun, matanya sesekali mencuri pandang ke arah Elena, yang
Siang harinya, setelah perdebatan dengan Leo beserta banyaknya dokumen yang perlu ia tinjau sebelum pengumuman akuisisi besok malam, Elena masih berada di ruangannya dengan segelas kopi yang masih dingin. Berulang kali dia memegang pelipisnya, sedikit pusing dengan banyaknya dokumen yang perlu ia tangani.Ditengah itu semua, telepon di meja Elena berdering. Itu adalah nomor pribadi Gerald. Elena mengangkatnya dengan sedikit bingung. Tidak biasanya pria itu menghubunginya lebih dulu."Elena," suara Gerald terdengar tegas di ujung sana. "Pastikan jadwalmu kosong siang ini pukul dua."Elena mengernyitkan dahinya. "Ada apa, Gerald? Aku ada jadwal rapat dengan tim promosi sore ini.""Batalkan," Gerald membalas tanpa basa-basi. "Aku ingin kamu ikut ke butik."Elena terdiam? Ia selalu mengelola penampilannya sendiri, memilih busana untuk setiap acara, disesuaikan dengan peran dan citra yang ingin ia sampaikan. Gerald tidak pernah mencampuri urusan ini. "Untuk apa?" tanyanya, nada suaranya se
Pagi hari terasa seperti fajar yang membawa beban ganda bagi Elena. Secara profesional, ia merasa bersemangat untuk pekan yang akan datang—pengumuman akuisisi Atmaja Pictures oleh Mahatma Entertainment adalah puncak kariernya yang gemilang. Namun, secara pribadi, jiwanya terasa tercabik. Bayangan wajah terluka Leo di pelataran gereja, kontras dengan khotbah Pastor yang menusuk tentang hati yang terpecah, terus menghantuinya. Dan, anehnya, pujian tak terduga dari Gerald di hadapan orang tuanya telah menambahkan lapisan kerumitan baru pada ikatan palsu mereka.Ia duduk di kursi kerjanya yang ergonomis di kantornya yang mewah di pusat kota Jakarta, menatap layar monitor yang menampilkan detail-detail terakhir untuk acara hari Selasa. Jemarinya menari di atas keyboard, mengetik email dengan cekatan.Ponsel di mejanya tiba-tiba bergetar, menampilkan nama yang seketika membuat jantungnya berdesir tak nyaman, namun juga membawa sedikit rasa rindu yang terlarang: Leo. Elena menatap nama itu s
Mereka duduk mengelilingi meja makan bundar berukir, yang dilapisi taplak brokat mewah. Aroma hidangan modern yang dimasak oleh Isabella memenuhi ruang makan, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan ketegangan tak terlihat antara Gerald dan Elena. Percakapan mengalir santai tentang topik umum, seperti cuaca dan rencana liburan keluarga yang belum terealisasi, sampai akhirnya Darius mengarahkan pembicaraan ke wilayah yang lebih familiar bagi Gerald.“Gerald,” Darius memulai, menyesap teh melatinya sambil menatap Gerald. "Dengar-dengar proyek film barumu akan segera masuk pra-produksi penuh, Gerald?" Darius kini menoleh, mengalihkan topik ke hal yang lebih 'aman'. "Liam Alexander adalah aktor yang hebat. Mama dan Papa sudah tidak sabar menunggu hasilnya."Gerald merasa lega. Ini adalah wilayahnya. "Iya, Pa. Kami akan mulai bekerja keras minggu depan. Liam memang aset yang luar biasa." Ia tidak menyebutkan masalah kampanye promosi yang sempat membuatnya pusing, atau bagaimana ide E