Alvan kembali ke sisi Aulya setelah meninggalkan istrinya beberapa saat. “Bagaimana kabar kamu sekarang?” Pelukannya mendarat di belakang tubuh Aulya.
“Membaik, tapi ... kalau bisa malam ini biasa saja ya.” Aulya memohon, memasang wajah cemas. “Iya, Sayang.” Alvan mengecup leher sebelah kanan Aulya sangat sensual. Semalam adalah pengalaman paling memuaskan maka sulit dilupakan dan selalu ingin mengulang lagi dan lagi. Malam ini adegan itu masih terjadi tapi situasinya sangat berbeda dari malam sebelumnya, jadi Alvan mencari tahu lewat internet hingga akhirnya menemukan obat perangsang. “Pasti saya dijahili teman-teman. Dasar,” rutuk kecilnya. Aulya sudah terlelap. Seperti niatnya, Alvan masih ingin menggali tentang Aulya. Maka, mencoba mencari akun yang memiliki gambar wajah istrinya dirasa salah satu cara. Dirinya asal memasukan nama karena entah siapa nama asli Aulya, menikah pun hanya bisa secara agama karena surat-surat resmi si gadis tidak diketahui. Memang sangat kecil kemungkinan menemukan orang yang entah siapa, maka dua jam berlalu, tetapi Alvan tidak menemukan hasil apapun. Esok tiba, Alvan kembali ke kampus untuk berlatih basket bersama kawan-kawannya. Lalu, handphonenya berdering kala dia mengambil rehat sejenak. “Assalamualaikum, Abi?” “Wa'alaikumussalam. Al, tiga hari lagi ada jadwal ceramah di acara syukuran, kamu bisa gantikan Abi?” “Tiga hari lagi Al ada pertandingan, Abi. Al tidak janji. Memangnya kapan ceramahnya dan kenapa Abi tidak bisa?” “Abi sudah punya janji ceramah di luar kota. Abi sudah menolak, cuma kasihan sekali karena keluarga yang mengundang Abi ini rekan Abi sendiri, mantan teman kuliah, Abi mencoba merekomendasikan kamu, tapi Abi belum berjanji pada beliau. Acaranya setelah isya.” “Insyaallah Al bisa karena pertandingan cuma berlangsung pagi sampai siang saja.” “Alhamdulillah terimakasih ya, Nak. Oh iya, malam ini Abi akan pergi ke luar kota sampai empat hari kemudian, kamu jaga Umi dan Aul baik-baik ya.” “Siap, Abi.” Tiga hari kemudian, team basket pergi ke pertandingan. Alvan mengajak serta Aulya. “Kamu duduk di bangku cadangan saja ya, biar saya tidak sulit mencari. Oh iya, syukur-syukur di sini ada yang mengenali kamu jadi kamu bisa tahu masa lalu kamu bagaimana," ucap lembut Alvan sebelum meninggalkan Aulya. “Jadi tujuan kamu bawa saya kesini biar dapat kemungkinan itu?” “Hm ..., itu salah satu alasannya, Sayang,” kekeh Alvan. Maka, dirinya segera berlari ke tengah lapangan setelah yakin Aulya baik-baik saja. Namun, harapan Alvan tidak terhujud karena dari awal pertandingan hingga akhir, dirinya maupun Aulya tidak mendapatkan informasi apapun karena seolah tidak ada yang mengenali gadis itu. Pada malam harinya Alvan menghadiri undangan ceramah bersama Aulya dan Aisyah. Lagi, tujuannya membawa Aulya untuk mencari kemungkinan seseorang mengenalinya. Aulya dibuat tersenyum bahagia saat mendengarkan ceramah yang disampaikan suaminya. Apalagi Aisyah karena dirinya yang melahirkan Alvan dan akhirnya berhasil membentuk Alvan yang sekarang. Ini bukan pertama kalinya Alvan mengisi acara, dia sering menghadiri acara seperti ini saat mendampingi ayahnya menyampaikan ceramah dan ikut ambil bagian dalam penyampaian ceramah. Esoknya, Ibrahim kembali dari tugasnya menyampaikan ceramah, tepatnya pada pukul enam pagi. Maka Alvan maupun Aulya belum keluar dari dalam kamar. “Abi sangat merindukan anak-anak,” kekeh pria bersorban putih ini. “Tunggu sebentar ..., Umi akan panggil Al dan Aul ....” Aisyah sudah menyajikan air putih dan juga teh hangat untuk suaminya. Hendak dirinya pergi Ibrahim mencegah. “Jangan, biarkan saja. Mungkin anak-anak sedang menikmati masa-masa mereka sebagai pengantin,” kekeh bahagia Ibrahim. Maka, suami dan istri yang sudah menikah sekitar dua puluh tiga tahun ini tetap duduk manis di ruang tamu saat menunggu Alvan dan Aulya menghampiri. Sementara, jauh di luar dugaan Ibrahim dan Aisyah karena ternyata Alvan dan Aulya sedang mengalami sedikit perdebatan. “Sayang, kalau kepala kamu pusing dan sakit periksa saja ke dokter,” khawatir Alvan. Aulya memijat lembut kedua sisi dahinya. “Tidak usah. Mungkin saya butuh istirahat lagi.” “Sayang ....” Alvan sudah menawarkan pemeriksaan sebanyak tiga kali, tetapi Aulya masih menolak. “Kamu kuliah saja. Saya baik-baik saja.” Senyuman kecil Aulya. Maka, Alvan menghampiri orangtuanya seorang diri, tentu saja Ibrahim dan Aisyah menanyakan menantu mereka. Pemuda ini hanya mengatakan jika Aulya kembali tidur karena kepalanya sakit. Jadi, tidak ada yang tega mengganggu si gadis. Di dalam kamar, Aulya sudah kembali mendapatkan beberapa bagian penting hidupnya. “Nama saya Venus bukan Aulya. Zayden adalah tunangan saya, tapi dia meninggalkan saya di daerah ini saat kita baru saja mengalami kecelakaan karena balapan liar. Saya pingsan di pangkuan Zayden, tapi saat bangun saya tidak ingat apapun. Sepertinya kecelakaan itu membuat kepala saya terbentur yang mengakibatkan hilang ingatan dan hilang kesadaran secara perhalan!" Venus duduk di depan cermin, memandangi dirinya yang sudah menggunakan hijab sangat rapi. “Saya adalah Venus, tunangannya Zayden. Saya bukan gadis sebaik ini, bahkan saya tidak pernah memakai hijab sebelumnya.” Kain penutup rambut itu dibuka, “saya sangat mencintai Zayden, tapi ... sekarang saya sudah menikah sama Alvan, saya bisa apa!” bingung dan sendu bercampur, kemudian dirinya meraung, “Ma, Pa, Venus kangen ....” Maka saat siang tiba, sekitar pukul sembilan, Aulya atau Venus pergi tanpa sepengetahuan Aisyah yang sedang bersiap-siap menuju pengajian RT. Bersambung ....Zayden dan Alvan bertemu di lapangan basket. Keduanya saling memandang dengan sengit. “Saya yang akan menang!” ucap Zayden dengan memasang wajah angkuh.Alvan menyahut datar, tetapi tatapannya penuh ambisi dan keyakinan. “Mungkin saya masih bisa mengalah dalam permainan, tapi kalau tentang pernikahan, saya akan memperjuangkan Aul sampai akhir!”Tatapan Zayden semakin mengiris, tetapi suaranya tenang. “Perjuangkan saja Aulya sampai kamu menyerah karena Aulya tetap Venus, punya saya.” Seringainya berkibar.Penat, itu yang dirasakan Alvan. Maka, dia memulai permainan tunggal ini. Pertandingan satu lawan satu hanya dirinya dan Zayden.Kedua lelaki yang memperebutkan skor adalah idol kampus, jadi dengan cepat mengundang penonton kaum hawa maupun kaum adam, begitupun dengan Aulya.“Al!” cemas mengambang di hati dan pikiran Aulya. “Al, kenapa harus main basket, kenapa juga harus lawan Zayden. Gimana kondisi kamu ..., saya takut Zayden menyerang kelemahan kamu ....”‘Mata’ itu adalah kelemaha
Hari berikutnya tiba, maka hari ini Aulya mendapatkan telepon dari Niana. Nada suaranya menekan. “Sayang, kamu ini bagaimana. Mama sama Papa sudah bilang, jangan lupa misi kamu di sana, tapi kenapa sekarang Abinya Alvan jadi tahu dan mengundang kami datang!”“Jangan salahkan Venus ...,” rengeknya.“Mama bukan menyalahkan kamu. Tapi sekarang masalah ini jadi melebar. Mama sama Papa tidak ingin masalah ini berkepanjangan.”“Yang namanya perceraian pasti melibatkan orangtua kan, jadi wajar dong, Ma. Tapi ....” Aulya ragu mengatakan keputusannya.Namun, Niana tidak peduli pada kata setelah ‘Tapi.’ Dia hanya peduli pada perceraian Aulya dan Alvan. “Iya, tapi rencana Mama sama Papa jadi berantakan karena orangtua Alvan tahu lebih awal. Tadinya kami akan datang dan langsung menyelesaikan perceraian. Bukan bicara panjang lebar untuk mempertahankan pernikahan.”Suara Aulya diliputi kekhawatiran, tetapi juga bahagia karena keputusanya mempertahan pernikahan mendapat dukungan dari mertua serta s
Hari ini berbeda dari biasanya karena terjadi pertemuan penting antara Ibrahim dan Aisyah bersama Alvan dan Aulya.Suara Ibrahim menjadi yang pertama mengisi ruangan dan terdengar menggema di telinga Alvan dan Aulya. “Kenapa kalian baru pulang?”Alvan menatap ayahnya saat menjawab walaupun sebelumnya wajahnya sedikit menunduk, “Kami minta maaf, Abi. Kemarin kita pergi mendadak dan mendadak tidak pulang. Kemarin kami menginap.”“Kenapa harus menginap?”Lagi, atmosfer ruangan terasa sangat aneh, dingin. Walaupun saat ini Alvan dan Aulya belum mengetahui maksud Ibrahim mengundang mereka ke ruangan ini. Apa karena kemarin mereka tidak pulang? Tapi harusnya ini sudah bukan hal baru.Lagi, Alvan yang menjawab, “Kalau pulang mungkin akan terlalu malam.”“Terlalu malam atau kalian sengaja menghindari kami, orangtua kalian!” Volume suara Ibrahim bertambah, termasuk ketegasannya hingga membuat Alvan dan Aulya yakin jika saat ini terdapat sesuatu yang belum mereka ketahui.Alvan menyahut santun
“Zayden, kita harus bicara!” ucap tegas Aulya tanpa senyuman, justru raut wajahnya sangat dingin.Zayden menyahut dengan suara lembut disertai senyuman hangat, “Bicara apa?”“Tentang perceraian saya sama Al!” Amarah dilukis Aulya dalam wajah cantiknya, tetapi sikap Zayden tidak berubah.“Saya siap mendengarkan.” Senyuman Zayden semakin hangat.Sejenak, Aulya memandangi sepasang mata Zayden yang hitam legam dan dalam hingga terlihat misterius.“Saya tidak mau bercerai sama Al. Jadi tolong berhenti mengharapkan saya dan bilang sama orangtua kamu, kita tidak akan pernah bercerai!”Aulya pikir Zayden akan terluka dan menunjukan isi hatinya dalam ekspresi seperti yang pernah dilihatnya, tetapi dugaannya salah. Laki-laki ini sangat tegar dan tenang. “Saya akan tetap menunggu kamu. Lagian, bukan saya yang mau kalian bercerai, tapi Mama sama Papa kamu.”“Tapi pasti kamu juga, kan!”Tentu saja Zayden tidak akan mengaku untuk menjaga nama baiknya di hadapan gadis yang diinginkannya. “Jangan nud
Pagi ini raut wajah Aulya sangat cemas setelah membaca chat yang dikirim ibunya semalam. [Papa sudah bicara pada Ustaz tentang perceraian kalian.]Titik-titik keringat dingin bermunculan di puncak dahi Aulya. “Aul tidak mau cerai sama Al ..., tapi kan Aul juga tidak mungkin jadi anak durhaka!”Perasaan gelisah yang menyelimuti hati Aulya semakin tebal tatkala Niana kembali mengirimkan chat setelah tahu putrinya membaca chat semalam. [Jangan lupa misi kamu di sana. Ingat, jangan terbuai oleh apapun yang dilakukan Alvan!]Aulya memperbanyak istigfar yang dilantunkan di dalam hati karena sedang berada di kamar mandi, di depan wastafel.Kedua kelopak matanya tertutup saat Aulya mencoba mencari jalan keluar dari masalah ini hingga akhirnya menemukan solusi yang menurutnya paling mudah. “Saya harus bicara sama Zayden. Saya harus berhasil buat Zayden benci dan akhirnya berhenti menunggu saya cerai sama Al!”Tekadnya sekuat karang di lautan, tetapi ciut seketika saat menatap wajah Alvan karen
Alvan dan Fauzan mengisi waktu dengan mengaji, begitupun dengan Aulya walaupun tempat laki-laki dan perempuan terpisah.“Padahal saya maunya mengaji sama Al, tapi tidak mungkin sih, ini kan masjid walaupun kita suami istri,” gumam Aulya seiring melirik ke kiri dan kanan, memperhatikan para gadis yang mengaji masing-masing.Waktu magrib tiba tanpa terasa. Aulya dapat menyaksikan Alvan yang berdiri di paling depan karena dia ditunjuk menjadi imam walaupun sempat menolak.Senyuman bangga Aulya terlukis begitu saja melihat suaminya yang tampak hebat dalam urusan ilmu agama. Apalagi saat memimpin rumahtangga.Punggung Alvan terlihat kekar, tapi juga lembut di mata Aulya hingga akhirnya satu-persatu laki-laki menutupi Alvan hingga suaminya menghilang dari pandangan, dan Aulya hanya bisa melihat punggung pria lain.Dari shalat magrib, lalu berlanjut ke shalat isha. Aulya mengisi waktu dengan mengaji dan sedikit saling bertukar cerita dengan beberapa gadis di sana.Aulya mendapatkan banyak te