“Panas!” Alvan mengeluhkan tubuhnya. Dia berdiri di bawah shower, tetapi sama sekali tidak membuatnya betah maka pemuda ini segera kembali ke dalam kamar setelah tiga menit yang lalu berpamitan ke kamar mandi.
Tatapan Alvan segera mengarah pada Aulya yang sudah melepaskan baju pengantinnya digantikan baju dinas malam, kado pemberian tantenya Alvan. “Ini baju apa sih, saya malu memakainya ....” Selimut sudah menguburnya hingga ke bagian dada, Aulya sedang terduduk di atas ranjang seiring memasang wajah semerah tomat. Samar, Alvan melihat bahu yang mulus hingga dirinya menyeringai sangat genit. “Tidak apa, pakai saja.” Segera, dia mengunjungi Aulya yang seolah sudah menyodorkan diri tanpa harus dipaksa. “Saya sudah panas,” aku Alvan bersama suara berat hingga malam ini dirinya melakukannya sangat binal akibat dorongan obat perangsang yang lumayan berdosis tinggi. Alvan tidak tahu jika minuman pemberian kawan-kawannya mengandung obat perangsang. Namun, tentu saja hal ini kurang membuat Aulya nyaman karena ternyata dirinya masih suci terbukti dari bercak darah yang berceceran mewarnai seprai putih yang awalnya sangat bersih. Pada pagi harinya Alvan baru saja melihat banyak bercak merah, dari semalam dirinya sudah dapat merasakan jika Aulya adalah seorang perawan karena yang dibacanya dari internet sama dengan pengalamannya semalam. “Kamu belum pernah menikah dan tidak mungkin punya anak.” Senyuman bangga dibetuk laki-laki ini seiring menatap wajah tidur istrinya. Malam tadi sangat melelahkan untuk Aulya karena tidak disangka jika malam pertama seperti malam penyiksaan akibat dewa jalang yang mengubur akal sehat Alvan. Kecupan kembali mendarat di permukaan bibir dan dahi Aulya, Alvan memperlakukan istrinya sangat lembut. “Sayang, ayo bangun, kita harus mandi besar. Kita harus beribadah,” tutur lembut Alvan di daun telinga Aulya hingga si gadis membuka matanya perlahan, tatapannya begitu sayu. Pipi Aulya segera memerah. “Kenapa melihat saya?” “Saya sedang mencoba membangunkan kamu.” Senyuman teduh Alvan menjadi satu-satunya lukisan di wajahnya, diiringi tatapan cinta yang tidak pernah musnah dari pelupuk matanya. “Ini jam berapa?” Aulya mengerang saat menggerakan sedikit tubuhnya, sekujur tubuhnya terasa hampir remuk. “Pukul empat pagi, Sayang. Sebentar lagi adzan subuh.” “Saya akan menyusul. Badan saya sakit ....” Kalimat Aulya diiringi erangan meringis hingga membuat Alvan tidak tega. “Sesakit itu, Sayang?” “Iya ...,” rintih Aulya. “Apa saya terlalu kasar melakukannya?” cemas Alvan karena ternyata malam luar biasa tadi sekarang membuat Aulya tidak nyaman. “Iya, kamu tidak mau diam walau saya sudah merintih,” aku Aulya yang baru bisa disampaikannya. “Saya minta maaf. Saya juga tidak tahu kenapa malam tadi seperti orang hiper sex!” bingung Alvan yang masih belum mendapatkan jawaban. “Mungkin karena pengalaman pertama,” tebak Aulya yang juga tidak apapun. “Mungkin.” Maka, Alvan membiarkan istrinya terbaring sebentar, sedangkan dirinya segera membersihkan diri. Hawa panas yang dirasakannya telah hilang, maka dia merasa kembali menemukan jati dirinya. Hari ini Alvan mengambil cuti kuliah karena ini adalah detik-detik bulan madu. “Kalian mau pergi kemana, hm?” goda Ibrahim bersama kekeh. “Tidak tahu Abi, lagian kata Aulya cuma mau rebahan.” Alvan menyesap kopi yang disediakan Aisyah. “Apa sakit kepalanya kambuh?” cemas Aisyah. “Tidak Umi. Itu karena-eu-semalam, Umi,” ragu Alvan saat mengatakannya bersama wajah hampir memerah. Aisyah dan Ibrahim segera saling pandang selama beberapa detik, kemudian terkekeh kegelian karena tidak bisa menahannya. Pria ini kembali menggoda, “Makannya, jangan langsung dicoblos sekaligus!” “Mana bisa Alvan menahan untuk tidak melakukannya.” Seringai lebarnya. Aisyah menyajikan martabak manis sebagai teman kopi panas ada juga bakwan yang baru saja diangkat dari penggorengan. “Alhamdulillah karena ternyata Aul seorang perawan. Umi yakin, masa lalunya baik-baik saja.” Wanita ini menyimpulkan dari jawaban putranya. “Iya, Umi. Alhamdulillah, tapi bagaimanapun juga Alvan tetap akan mencari tahu jati diri Aulya.” Ibrahim segera memberikan nasihat, “Keputusan ada pada kamu, tapi jangan dipaksakan, jalani saja kehidupan kalian sekarang." Jarum jam sudah berhenti di angka sembilan, tetapi Aulya masih berada di dalam kamar maka Aisyah memeriksa. “Sayang ... sedang apa, Nak?” Suara lembutnya seiring dengan ketukan lembut di daun pintu. “Silakan masuk, Umi. Aul sedang beres-beres.” Suara lembut seorang gadis yang sudah berubah status. Maka atas seizin pemilik kamar, Aisyah menjamah kamar pengantin. Tampak, Aulya sedang mengganti seprai. “Seprai kotornya masukan saja ke mesin cuci.” Aiyah hendak meraih seprai yang berserakan di lantai, tetapi Aulya mendahului mertuanya. “Iya Umi, biar Aul yang masukan.” Suara malu-malunya, “eu-tapi Umi.” Kalimatnya dijeda seiring memandangi Aisyah. “Ada apa, Sayang ....” “Begini Umi, di seprainya banyak darah Aul. Apa bisa hilang cuma pakai mesin cuci?” Wajahnya semerah kepiting rebus, sedangkan Aisyah terkekeh kecil. “Inyaallah hilang.” Namun, kenyataannya Aisyah membersihkan noda merah itu tanpa sepengetahuan Aulya maupun Alvan. Dengan penuh rasa syukur dan tulus wanita ini melakukannya. Hari ini Alvan tidak keluar rumah, dia hanya menjamah teras, itu sudah paling berani karena jika berkeliaran pasti para pemuda menggoda dan menanyakan malam pertamanya. Sama halnya dengan Aulya yang tidak ingin kemanapun karena satu alasan, tubuhnya sakit. Di sisi lain, team basket sedang menantikan kehadiran Alvan. Maka, pelatih mencoba meminta pengertian anak-anak didiknya. “Tidak lama lagi kalian akan menghadapi pertandingan, tapi hari ini kalian harus berlatih tanpa Alvan, beri teman kalian waktu bulan madu,” kekehnya. Zayden menyeringai di dalam hatinya. ‘Silakan kamu ambil gadis bekas saya!’ Laki-laki ini memiliki masa lalu dengan Aulya. Nama asli gadis itu jelas tidak diketahui siapapun selain dirinya. Bersambung ...Zayden dan Alvan bertemu di lapangan basket. Keduanya saling memandang dengan sengit. “Saya yang akan menang!” ucap Zayden dengan memasang wajah angkuh.Alvan menyahut datar, tetapi tatapannya penuh ambisi dan keyakinan. “Mungkin saya masih bisa mengalah dalam permainan, tapi kalau tentang pernikahan, saya akan memperjuangkan Aul sampai akhir!”Tatapan Zayden semakin mengiris, tetapi suaranya tenang. “Perjuangkan saja Aulya sampai kamu menyerah karena Aulya tetap Venus, punya saya.” Seringainya berkibar.Penat, itu yang dirasakan Alvan. Maka, dia memulai permainan tunggal ini. Pertandingan satu lawan satu hanya dirinya dan Zayden.Kedua lelaki yang memperebutkan skor adalah idol kampus, jadi dengan cepat mengundang penonton kaum hawa maupun kaum adam, begitupun dengan Aulya.“Al!” cemas mengambang di hati dan pikiran Aulya. “Al, kenapa harus main basket, kenapa juga harus lawan Zayden. Gimana kondisi kamu ..., saya takut Zayden menyerang kelemahan kamu ....”‘Mata’ itu adalah kelemaha
Hari berikutnya tiba, maka hari ini Aulya mendapatkan telepon dari Niana. Nada suaranya menekan. “Sayang, kamu ini bagaimana. Mama sama Papa sudah bilang, jangan lupa misi kamu di sana, tapi kenapa sekarang Abinya Alvan jadi tahu dan mengundang kami datang!”“Jangan salahkan Venus ...,” rengeknya.“Mama bukan menyalahkan kamu. Tapi sekarang masalah ini jadi melebar. Mama sama Papa tidak ingin masalah ini berkepanjangan.”“Yang namanya perceraian pasti melibatkan orangtua kan, jadi wajar dong, Ma. Tapi ....” Aulya ragu mengatakan keputusannya.Namun, Niana tidak peduli pada kata setelah ‘Tapi.’ Dia hanya peduli pada perceraian Aulya dan Alvan. “Iya, tapi rencana Mama sama Papa jadi berantakan karena orangtua Alvan tahu lebih awal. Tadinya kami akan datang dan langsung menyelesaikan perceraian. Bukan bicara panjang lebar untuk mempertahankan pernikahan.”Suara Aulya diliputi kekhawatiran, tetapi juga bahagia karena keputusanya mempertahan pernikahan mendapat dukungan dari mertua serta s
Hari ini berbeda dari biasanya karena terjadi pertemuan penting antara Ibrahim dan Aisyah bersama Alvan dan Aulya.Suara Ibrahim menjadi yang pertama mengisi ruangan dan terdengar menggema di telinga Alvan dan Aulya. “Kenapa kalian baru pulang?”Alvan menatap ayahnya saat menjawab walaupun sebelumnya wajahnya sedikit menunduk, “Kami minta maaf, Abi. Kemarin kita pergi mendadak dan mendadak tidak pulang. Kemarin kami menginap.”“Kenapa harus menginap?”Lagi, atmosfer ruangan terasa sangat aneh, dingin. Walaupun saat ini Alvan dan Aulya belum mengetahui maksud Ibrahim mengundang mereka ke ruangan ini. Apa karena kemarin mereka tidak pulang? Tapi harusnya ini sudah bukan hal baru.Lagi, Alvan yang menjawab, “Kalau pulang mungkin akan terlalu malam.”“Terlalu malam atau kalian sengaja menghindari kami, orangtua kalian!” Volume suara Ibrahim bertambah, termasuk ketegasannya hingga membuat Alvan dan Aulya yakin jika saat ini terdapat sesuatu yang belum mereka ketahui.Alvan menyahut santun
“Zayden, kita harus bicara!” ucap tegas Aulya tanpa senyuman, justru raut wajahnya sangat dingin.Zayden menyahut dengan suara lembut disertai senyuman hangat, “Bicara apa?”“Tentang perceraian saya sama Al!” Amarah dilukis Aulya dalam wajah cantiknya, tetapi sikap Zayden tidak berubah.“Saya siap mendengarkan.” Senyuman Zayden semakin hangat.Sejenak, Aulya memandangi sepasang mata Zayden yang hitam legam dan dalam hingga terlihat misterius.“Saya tidak mau bercerai sama Al. Jadi tolong berhenti mengharapkan saya dan bilang sama orangtua kamu, kita tidak akan pernah bercerai!”Aulya pikir Zayden akan terluka dan menunjukan isi hatinya dalam ekspresi seperti yang pernah dilihatnya, tetapi dugaannya salah. Laki-laki ini sangat tegar dan tenang. “Saya akan tetap menunggu kamu. Lagian, bukan saya yang mau kalian bercerai, tapi Mama sama Papa kamu.”“Tapi pasti kamu juga, kan!”Tentu saja Zayden tidak akan mengaku untuk menjaga nama baiknya di hadapan gadis yang diinginkannya. “Jangan nud
Pagi ini raut wajah Aulya sangat cemas setelah membaca chat yang dikirim ibunya semalam. [Papa sudah bicara pada Ustaz tentang perceraian kalian.]Titik-titik keringat dingin bermunculan di puncak dahi Aulya. “Aul tidak mau cerai sama Al ..., tapi kan Aul juga tidak mungkin jadi anak durhaka!”Perasaan gelisah yang menyelimuti hati Aulya semakin tebal tatkala Niana kembali mengirimkan chat setelah tahu putrinya membaca chat semalam. [Jangan lupa misi kamu di sana. Ingat, jangan terbuai oleh apapun yang dilakukan Alvan!]Aulya memperbanyak istigfar yang dilantunkan di dalam hati karena sedang berada di kamar mandi, di depan wastafel.Kedua kelopak matanya tertutup saat Aulya mencoba mencari jalan keluar dari masalah ini hingga akhirnya menemukan solusi yang menurutnya paling mudah. “Saya harus bicara sama Zayden. Saya harus berhasil buat Zayden benci dan akhirnya berhenti menunggu saya cerai sama Al!”Tekadnya sekuat karang di lautan, tetapi ciut seketika saat menatap wajah Alvan karen
Alvan dan Fauzan mengisi waktu dengan mengaji, begitupun dengan Aulya walaupun tempat laki-laki dan perempuan terpisah.“Padahal saya maunya mengaji sama Al, tapi tidak mungkin sih, ini kan masjid walaupun kita suami istri,” gumam Aulya seiring melirik ke kiri dan kanan, memperhatikan para gadis yang mengaji masing-masing.Waktu magrib tiba tanpa terasa. Aulya dapat menyaksikan Alvan yang berdiri di paling depan karena dia ditunjuk menjadi imam walaupun sempat menolak.Senyuman bangga Aulya terlukis begitu saja melihat suaminya yang tampak hebat dalam urusan ilmu agama. Apalagi saat memimpin rumahtangga.Punggung Alvan terlihat kekar, tapi juga lembut di mata Aulya hingga akhirnya satu-persatu laki-laki menutupi Alvan hingga suaminya menghilang dari pandangan, dan Aulya hanya bisa melihat punggung pria lain.Dari shalat magrib, lalu berlanjut ke shalat isha. Aulya mengisi waktu dengan mengaji dan sedikit saling bertukar cerita dengan beberapa gadis di sana.Aulya mendapatkan banyak te