Mag-log inDengan nada kesal Ivan membalas, “Maksud kamu aku nggak bisa kerja? Felicia, asal kamu tahu saja. Waktu aku baru masuk ke perusahaan ini, kamu saja masih entah di mana.” “Iya, iya, iya. Kak Ivan jauh lebih dulu bergabung ke perusahaan ii, tapi apa prestasinya? Yang aku maksud di sini prestasi yang kamu dapat dari usaha kamu sendiri, ya. Dari dulu prestasi yang kamu dapat bukan karena kamu sendiri yang kerja. Kamu yang paling tahu usahanya siapa itu, nggak perlu aku sebut lagi. Aku memang belum lama bergabung ke perusahaan ini, tapi lihat saja apa jabatanku sekarang? Kak Ivan, aku sudah tegaskan, kalau mau kerja, kerja yang benar. Yang serius sedikit, jangan selalu membajak pencapaian orang lain.” “Aku cuma ngomong sedikit saja kamu balas sampai panjang lebar begitu. Nggak bisa hormati aku sedikit saja apa? Aku ini lebih tua.” “Kak Ivan mending balik kerja sana. Aku sudah mau siap-siap berangkat.” Felicia malas meladeni kakaknya terus. Ivan pun seketika terdiam. Dia lalu mengambil d
“....” Apakah Ivan separah itu? Dia menganggap kinerjanya sendiri sudah bagus selama ini. Sewaktu masih ada Patricia, Ivan tidak perlu turun tangan sendiri. Dia hanya perlu memberi perintah, dan bawahannya yang akan mengerjakannya. Ivan hanya perlu menunggu pujian diberikan atas jasa yang orang lain lakukan untuknya. Sudah terlalu banyak kejadian seperti itu terjadi, sampai Ivan sungguh mengira kalau dia hebat. Ketika mengetahui bahwa adik kandung dia yang sebenarnya adalah Felicia, tetapi Felicia tumbuh dewasa di kampung dan kelihatan lemah, Ivan menganggap Felicia tidak berguna dan penakut. Ivan pun jadi berambisi menggantikan adiknya menguasai Gatara Group. Tak jarang Ivan mengungkapkan keinginannya itu di hadapan Patricia. Ivan dengan terang-terangan mengatakan ingin menjadi kepala keluarga pria pertama di keluarga Gatara, serta bersedia mengganti marganya menjadi Gatara. Namun sayangnya Patricia tidak pernah setuju dengan itu. Tak peduli seberapa besar cinta Patricia kepada an
Berkali-kali Ivan hendak membantah ucapan Felicia tetapi tidak ada kesempatan untuk itu. Felicia berbicara secepat senapan mesin yang terus menembak tanpa jeda. Ivan hanya bisa memelototi Felicia dengan mata dan wajahnya yang muram. Andaikan tatapan mata dapat membunuh, Felicia sudah mati begitu dia membuka mulutnya. Setelah Felicia selesai bicara panjang lebar, dia menyeruput kopi dari gelasnya dan berkata lagi kepada kakaknya, “Kak Ivan, lihat, aku sudah capek ngomong sampai mulutku kering begini. Ini demi kebaikan kalian juga, sama kayak kalian membujuk aku untuk nggak kasih perusahaan ini ke orang lain. Jujur saja, kalaupun aku nggak kasih perusahaan ini ke mereka, apa kamu pikir aku bisa terus jadi kepala keluarga tanpa diganggu? Anggota keluarga yang lain sudah nggak memihak kita lagi. Mereka mungkin nggak memihak juga ke Odelina, tapi yang pasti mereka nggak mungkin mendukung kita lagi. Dari dulu mereka sudah muak sama kelakuan Mama. Tanpa dukungan dari mereka, kita nggak bisa
“Tapi seiring waktu, kami coba untuk memperlakukan kamu dengan baik. Tapi kamu nggak pernah menganggap kami sebagai kakak. Bahkan kamu juga nggak peduli sama Papa. Kamu baru berapa tahun pulang ke keluarga ini. Walaupun kita nggak dekat, hubungan kita juga nggak sejauh itu. Tapi kamu yang nggak pernah menganggap kami sebagai keluarga. Bukan kami yang memusuhi kami, tapi kamu saja yang nggak bisa berbaur.” Selalu saja ada banyak hal yang ingin Ivan katakan setiap kali dia berhadapan dengan Felicia. Isinya tidak pernah jauh-jauh dari keluhan tentang Felicia yang tidak sepaham dengan jalan pikiran mereka. Seolah tersenyum mengejek, Felicia membalas ucapan Ivan, “Kamu jauh lebih tua dariku, tapi kamu masih belum setua itu. Masa ingatanmu sudah menurun secepat itu? Apa kamu lupa? Kalian sendiri yang menikamku dari belakang. Apa aku perlu kasih tahu semuanya satu per satu? Bukannya aku nggak mau berbaur, tapi kalian yang selalu memusuhi aku. Kalian yang lebih dulu nggak menganggap aku seba
Para pelayan yang bekerja di rumah Ivan sudah lama berpihak kepada Vandi. Setiap kali membutuhkan bantuan mereka, mereka pasti akan melakukannya. Setelah melihat semua bukti itu, Felicia tidak lagi menghabiskan waktunya untuk beristirahat. Dia langsung turun dan masuk ke kamar mandi. Dia keluar setelah membersihkan dirinya sejenak dan membawa ponselnya ke ruang istirahat. Dia membuat segelas kopi hangat dan menikmatinya dengan santai di meja kerjanya. “Tok tok tok ….” terdengar suara pintu diketuk. “Masuk.” Pintu terbuka begitu Felicia usai berbicara, dan yang masuk itu tidak lain adalah Ivan. Sorot mata Felicia mengilat ketika melihat kakaknya masuk, tetapi raut wajahnya tampak datar seolah tak terjadi apa-apa. Dia hanya melihat kakaknya berjalan menghampiri sambil menyeruput kopinya. “Felcia,” sahut Ivan dengan wajah tersenyum. Cara dia memanggil adiknya juga terkesan intim, tidak seperti biasanya. Felicia menaruh gelasnya di atas meja dan menegakkan tubuhnya. “Kak Ivan, jangan
“Kamu baru masuk, makanya nggak tahu. Aku sudah lebih lama kerja di sini, makanya aku bisa tahu.” Bagaimanapun juga itu adalah masalah pribadi keluarga. Dia yang hanya bekerja sebagai satpam tidak akan menyebarkan kisah itu ke semua orang. Hanya kejadian penting yang sampai media tahu saja baru menyebar ke masyarakat. Ivan tidak tahu apa yang kedua satpam itu bicarakan. Dia menganggap dirinya sudah melakukan sandiwara dengan sempurna. Sekarang dia tinggal menunggu rencananya dijalankan malam itu, yakni membunuh Felicia dan membalas dendam Fani serta ibunya, lalu mengambil semua harta pribadi ibunya. Dia tidak akan membiarkan Felicia mendapatkan semuanya seorang diri. Ivan menaruh tanggung jawab kematian Fani dan ibunya ke Felicia. Dia selalu percaya bahwa kematian mereka berdua adalah ulah Fani. Namun sesungguhnya, tanpa kehadiran Felicia pun, Yuna pasti akan datang untuk meminta keadilan bagi ibunya sendiri. Keluarga Gatara akan tetap hancur, dan keturunan Patricia tidak akan bisa







