“Kak Calin juga bawa Kak Rosalina dan Jordan ke sini. Sekarang mereka lagi ngumpul di halaman.” Olivia mengiyakan. Dia kemudian menutup pintu kamar Russel dan berkata kepada Samuel, “Kamu nggak mau Stefan tahu, ya? Kalau begitu kita ngobrol dia ruang kerjanya saja.” “Bukan begitu juga. Kak Stefan tahu atau nggak tahu terserah. Tadi aku sudah ngomong sama dia, tapi dia nggak menggubris. Aku juga coba ngomong ke Bram, tapi Bram bilang dia lagi sibuk. Besok dia sudah mau menikah sama Kak Chintya. Padahal aku cuma mau minta bantuan sedikit saja, bukannya minta dia melakukannya sendiri.” Samuel mengeluh Bram tidak memandangnya. Padahal Bram sudah cukup memandang mereka. Kalau bukan karena Stefan teman baiknya Reiki, Bram tidak akan sedekat ini dengan Stefan. Di antara keluarga Adhitama, orang yang paling dihormati oleh anggota keluarga Ardaba adalah Sarah. Tentu saja jika ada urusan penting, keluarga Ardaba pasti akan dengan senang hati membantu jika diminta. Yang jadi masalah, Bram men
“Akhir-akhir ini aku lagi nggak begitu suka makan camilan,” kata Olivia. “Apa karena buatan rumah nggak sesuai sama selera kamu?” Biasanya Olivia paling suka menyantap kudapan yang dibuat oleh koki rumah. Begitu Olivia bilang tidak ingin makan, Stefan jadi berpikir apa kemampuan koki rumahnya mengalami penurunan sehingga Olivia jadi tidak suka lagi. “Bukan, aku memang lagi nggak nafsu makan saja. Aku rasa mungkin anak kita sama kayak kamu, nggak suka makanan manis.” “Bagus, dong, kalau dia mirip kayak aku. Berarti dia bakal jadi cowok yang stabil. Nanti ada aku dan anak kita yang selalu menjaga kamu.” Andaikan anak mereka adalah anak perempuan, Stefan berharap akan jadi seperti Olivia. Stefan mengakui sifatnya bukanlah sifat yang mudah untuk disukai oleh orang lain. Dia ingin anak perempuannya menjadi orang yang mudah disukai oleh orang lain. “Aku nggak perlu dijaga sama kalian. Aku bisa jaga diri sendiri.” “Sayang, jangan begitu, dong. Aku kan suami kamu, kamu harus kasih aku k
“Aku juga bisa perhatian begitu ke kamu,” sahut Bram dengan spontan. Mendengar itu, Chintya terkekeh dan berkata, “Aku nggak ada maksud apa-apa. Kamu nggak perlu membandingkan diri sendiri sama Stefan.” “Kamu iri sama Olivia, ya. Aku nggak mau kamu iri sama siapa pun, aku mau orang lain yang justru iri sama kamu.” Ah, kata-kata itu juga pernah diucapkan keluar dari mulut Stefan. Terkadang, Bram tampaknya benar-benar menjadikan Stefan sebagai contoh pria yang idaman. Chintya merasa sangat tersentuh mendengar ucapan Bram. Dia pun merangkul lengan Bram dan berkata dengan suara pelan, “Aku sudah jadi target iri orang lain, kok. Lagi pula aku nggak iri sama Olivia, aku cuma ngomong saja. Semua orang bilang Olivia beruntung punya suami yang begitu memanjakan dia, akhirnya aku lihat sendiri secara langsung dan percaya, makanya tadi aku spontan ngomong. Aku sendiri juga beruntung ada kamu yang baik sama aku. Aku bersyukur banget dan nggak perlu merasa iri sama orang lain.” Sementara itu S
“Iya, dua hari lagi Sandy sudah harus kerjain tugasnya. Hari ujian masuk universitas makin dekat, dia nggak bisa terlalu santai-santai.” “Nilainya Sandy cukup bagus dan stabil. Seharusnya nggak susah bagi dia untuk masuk ke universitas unggulan. Nggak perlu kasih dia terlalu banyak tekanan, toh dia nggak harus masuk ke universitas kalian dulu,” kata Olivia. Olivia masih ingat, tekanan yang dia alami sewaktu di SMA tidak separah apa yang Sandy rasakan sekarang. Odelina hanya menuntut Olivia untuk berusaha semampunya saja. Tidak peduli berapa pun nilai ujiannya, Odelina akan tetap menerimanya. Tentu akan lebih baik jika Olivia bisa diterima di universitas negeri terbaik, tetapi kalau tidak bisa, universitas negeri biasa atau universitas swasta juga tidak masalah. Odelina selalu bilang yang terpenting adalah kesehatan. Bisa lulus sampai kelas SMA 3 saja sudah melampaui sebagian besar orang. Tidak sedikit siswa-siswi yang mengalami depresi akibat tekanan yang terlalu berat. Tidak sediki
Stefan tidak akan melakukan hal seperti itu. “Ini pertama kali aku menikah. Aku masih belum punya pengalaman, jadi nggak ada salahnya tanya-tanya supaya aku ada gambaran,” kata Bram tersenyum. Stefan menoleh ke arahnya dan tersenyum balik. “Memangnya kamu mau menikah berapa kali? Waktu itu aku juga belum ada pengalaman apa-apa, baru pertama kali aku ke kantor catatan sipil. Waktu itu aku sama Olivia juga menikahnya kilat. Aku dan dia masih belum saling kenal, dan setelah menikah, aku bahkan lupa kalau sudah menikah sama dia. Kamu masih mending dari aku, setidaknya kalian berdua sudah saling suka, jadi hubungan kalian punya fondasi yang kuat.” Bram terekeh. Dia menyusul Stefan dari belakang dan merangkulnya. Sembari berjalan dia berkata, “Kan kamu sudah duluan, aku bisa jadikan pengalaman kamu sebagai pelajaran biar nggak melakukan kesalahan yang sama.” “....” “Sekarang kan kamu dan Olivia kelihatannya bahagia banget sampai orang lain iri sama kalian. Aku mau meniru kamu, supaya or
Stefan dan Bram baru saja keluar dari rumah, dan di belakang mereka diikuti oleh dua orang pelayan rumah. Setiap pelayan itu membawa nampan besar yang berisikan berbagai macam makanan. Penglihatan mereka berdua sangat tajam. Hanya dalam sekejap saja mereka sudah melihat istri mereka masing-masing yang sedang duduk di kejauhan sana. Tak perlu ditanya, Stefan pasti sudah menduga Olivia lelah karena sudah berjalan cukup jauh. Dulu Stefan memiliki seorang karyawan perempuan yang sedang mengandung. Usia kehamilannya sudah cukup tua, dan dengan perut yang besar itu pun dia tetap datang bekerja. Tugasnya juga hanya diberi keringanan sedikit saja. Karena melihat karyawan itu tetap bekerja dengan gigih meski sedang mengandung, Stefan mengira kalau mengandung anak itu adalah sesuatu yang mudah. Stefan tidak pernah menempatkan dirinya sebagai karyawan tersebut. Karyawan itu tetap bekerja karena jika dia mengambil cuti hamil, bisa saja pekerjaannya akan diambil alih oleh orang lain, dan dia akan