“Iya juga, ya. Banyak saudara, berarti kemungkinan untuk dapat anak perempuan juga tinggi. Tapi pasti bakal lebih asyik kalau anak perempuan itu anak sendiri,” kata Chintya terkekeh. “Semua orang pasti sayang sama anak kamu, mending begitu daripada kamu yang sayang sama anak orang lain.” “Benar juga apa yang kamu bilang. Tapi nggak tahu apa aku dan Stefan bisa punya anak perempuan,” ujar Olivia sambil tersenyum. “Zaman sekarang sudah maju, punya anak mau jenis kelamin apa bisa diatur sesuai diet sama pola makan yang sesuai dan bantuan teknologi,” kata Chintya, tetapi mengingat apa yang sebelumnya Sarah katakan, dia pun berkata, “Tapi sudahlah, orang luar lebih baik nggak perlu ikut campur sama urusan keluarga Adhitama. Kalau sampai kejadian lagi … kasihan anaknya.” Mungkin keluarga Adhitama memang sudah ditakdirkan untuk menjadi kuil biarawan, yang khusus menampung laki-laki saja. Jika dipaksakan memiliki anak perempuan dengan bantuan teknologi medis seperti bayi tabung atau semacam
“Jadi, kira-kira kalian mau urus pernikahan sipilnya sebelum pergantian tahun?” “Iya,” angguk Chintya. “Kurang lebih besok jam sembilan pagi berangkat ke kantor catatan sipil untuk urus.” “Selamat, ya, Chintya. Kamu pasti bahagia menikah sama Bram. Nggak perlu khawatir dia berubah. Seumur hidup dia pasti bakal sayang sama kamu seorang,” ujar Olivia dengan bahagia. “Olivia, aku juga percaya itu. Aku paling terharu waktu dia bilang cuma tertarik sama aku saja. Seperti kamu bilang tadi, aku nggak perlu khawatir dia mendua ke cewek lain. Dia nggak mungkin tertarik sama siapa pun selain aku.” Chintya sudah tahu kalau Bram memiliki kelainan, tetapi dia bisa menerima kelainan itu. Ditambah lagi setelah mengenal Bram secara pribadi, mereka berdua sangat akrab. Setiap sisi yang Bram tunjukkan selalu membuat Chintya tertarik kepadanya. Bram adalah suami idaman yang selama ini Chintya harapkan. Semua anggota keluarga Chintya sudah pernah bertemu langsung dengannya. Ayahnya bahkan sampai jauh
Saat Sandy menuntun Russel pergi dan berpamitan dengan Olivia, tidak lupa dia turut menyapa Chintya, “Kak Chintya, aku ajak Russel pergi main dulu, ya.” Olivia mengangguk dan tersenyum, lalu dia berkata kepada Chintya, “Kita ikut ke sana juga, yuk.” Olivia tentu saja tidak bisa ikut bermain permainan yang ada di sana, tetapi setidaknya dia masih bisa melihat Russel bermain. Chintya dengan senang hati menemani. Dia juga memiliki sisi yang senang bermain-main. Maka, mereka berdua pun mengikuti Sandy di belakang. “Kamu rencananya kapan mau urus pernikahan sama Bram?” tanya Olivia.Dengan rona wajah merah tersipu malu, Chintya menjawab, “Bram sih berharap makin cepat makin baik. Sebenarnya aku merasa nggak perlu terlalu buru-buru, toh aku sama dia juga masih muda …. Tapi aku ikut keputusan dia saja. Semua keluargaku suka sama dia.” “Aku juga sudah dengar. Katanya Bram baik banget sama keluarga kamu. Papa Mama kamu juga enak untuk diajak ngobrol. Mereka sudah lama mau punya menantu.” K
Hahaha, rupanya Olivia tamak juga. Dia baru mengandung setelah satu tahun menikah. Dia pun merasakan tekanan untuk segera memiliki anak, tetapi anak pertamanya belum lahir, dia sudah mengharapkan anak kedua. “Sayang, aku mau jalan-jalan keluar sebentar,” kata Olivia. “Aku mau sekalian cek Russel yang lagi main sama Sandy. “Minta Chintya temani saja, tapi jangan lupa nanti malam masuk ke rumah, ya. Begitu langit mulai gelap, angin juga pasti kencang. Kamu bisa kedinginan.” “Iya. Kan di rumah sendiri, ngapain kamu sampai khawatir begitu,” ucap Olivia sambil berjalan keluar dari ruang makan. Stefan yang dulu tidak banyak bicara. Tetapi Stefan yang sekarang jadi seperti ibu-ibu bawel di depan Olivia. Dia selalu saja mengoceh dan suka mengatur semua kegiatan Olivia. Chintya setuju untuk menemani Olivia berjalan-jalan di halaman rumah. Sejak datang ke Vila Permai bersama dengan Bram, Chintya hanya duduk menemani Nenek Sarah mengobrol. Dia belum sempat menikmati suasana musim dingin di v
“Kamu kira aku ini apa bisa makan sebanyak itu. Kamu masaknya kebanyakan. Setiap lauk makan sedikit saja sudah kenyang, belum lagi masih ada sup semangkuk.” Olivia berdiri dan hendak membereskan peralatan makannya. Dia bersikeras tidak mau makan lagi, tetapi Stefan menghentikannya. “Biar aku yang bereskan. Kamu temani Nenek ngobrol saja. Oh ya, nanti malam Reiki dan Junia mau datang makan malam di sini.” “Nah, sup yang kamu bikin untukku dibagi saja untuk Junia juga.” Olivia senang sekali mendengar sahabatnya akan datang untuk makan malam bersama. Dengan begitu ada orang yang membantunya menghabiskan semua makanan itu. Mertua Olivia tidak akan bersikap keras dan suka mengatur-atur seperti kakak sepupunya Reiki. Oh, sekarang kakak sepupunya Reiki sudah tidak terlalu keras terhadap Junia. Perut Junia sedikit lebih besar dari Olivia, dia sudah hamil satu bulan lebih awal. Kakak sepupunya Reiki bilang dengan kandungan sebesar itu, Junia sudah tidak perlu lagi mengonsumsi makanan nutri
“Orang lain kalau lagi mengandung badannya gemuk-gemuk. Coba lihat Olivia, kamu cuma bisa bikin perutnya saja yang besar, tapi badannya kurus begitu.” “... Nenek sendiri yang langsung manggil dia begitu lihat dia turun, kenapa malah jadi aku yang salah.” Sarah adalah contoh sempurna orang yang perbuatan dan ucapannya tidak selaras. “Nek, ini bukan salahnya Stefan. Aku bukannya kurus, kok. Aku cuma nggak terlalu gemuk saja. Lagi pula aku juga nggak mau terlalu gemuk, nanti kalau obesitas malah repot,” ucap Olivia membela suaminya. Olivia selalu teringat dengan kakaknya ketika dia baru melahirkan Russel. Odelina tidak menjaga tubuhnya dengan baik dan menyebabkan dia menderita obesitas. Olivia tidak ingin dirinya menjadi seperti itu, meskipun Stefan tidak akan menceraikan dia seperti apa yang Roni lakukan kepada Odelina. Olivia bukannya tidak percaya dengan Stefan, dia hanya ingin menjadi ibu yang cantik. “Kamu nggak gemuk, kok. Kamu tetap harus makan sebanyak mungkin. Sudah, ayo cep