Share

Bab 8

Author: Syanin
last update Last Updated: 2024-06-18 18:06:10

Eva menatap pria yang kini terpejam. Akhir-akhir ini Eva bangun lebih dulu dari Anggara. Andai pria itu mau berbicara baik, sedikit berdiskusi, setidaknya ia bisa berharap kecil sama pernikahan ini. Ada setitik harapan ingin bahwa pernikahan ini adalah sekali dalam seumur hidup, tapi sepertinya hanya mimpinya dulu yang terlalu percaya diri.

Sepertinya memang dirinya berjuang sendiri dan mengakui pernikahan itu sendiri. Eva sadar, kalau selalu berjuang sendiri. Berjuang untuk tidak menyakiti orang tua, almarhum kakek dan tentu Eyang. Semua dikorbankan digantikan dengan rasa sakit hatinya.

Setelah sekian lamanya berstatus istri, setelah kemarin menjalani drama bulan madu baru kali ini Eva melihat detail wajah Anggara dalam jarak dekat. Tidak buruk, secara fisik sempurna dan Anggara pria idaman untuk jadi suami. Sayang sikap dan ucapannya jauh dari nilai baik itu.

Seberapa lama harus bertahan, seperti itu pertanyaan yang sering muncul sejak kedatangan kembali di rumah hadiah pernikahan mereka. Pertanyaan menghantui Eva, apakah ia perlu menyerah sekarang. Apa tidak terlalu dini?

“Singkirkan wajah buruk kamu!” suara serak Anggara terdengar. Membuat Eva tersadar dari apa yang dilakukan. Kemudian posisi pria beralih memunggunginya.

Eva mendengus kesal. Meski sudah tidur satu ranjang tetap tidak ada perubahan yang terjadi, itu tentu terpaksa karena hanya kamar utama yang tersedia ranjang lengkapnya dan tidak ada hasil lebih baik selepas dari honeymoon yang sia-sia itu. Semua sama hanya mungkin lelah aktivitas kantor yang kedua sudah dilakukan sejak kemarin membuat Anggara tidak berdrama.

Eva segera beranjak. Meski kenyataan menampar bahwa tidak diharapkan tetap ia tidak pernah lupa bertugas menjadi istri yang baik. Menyiapkan semua kebutuhan Anggara untuk ke kantor dan bersiap, kegiatan yang menuntut Eva bangun lebih awal.

“Bik, apakah sarapan selalu dimakan oleh Mas Gara?” ucap Eva sedang menyiapkan sarapan untuk dirinya dan mengusahakan satu porsi juga untuk Anggara.

Tidak pernah sekalipun sarapan pagi bersama. Eva akan mendapati Anggara di ruang kerjanya setelah bersiap dan tidak akan bisa diganggu atau mendengarkan kalimat tajamnya yang dihindari Eva untuk menjaga hatinya sendiri.

“Selalu, Bu. Bapak selalu menghabiskan,” jelas Bik Darmi Asisten rumah tangga yang baru Eva dapatkan beberapa hari lalu menjelaskan dengan lancar.

“Apa dia mengatakan sesuatu?” tanya Eva sedikit berharap Anggara memuji masakannya atau sekedar menilai.

Bik Darmi menggeleng. “Tidak, Bapak akan turun selepas mobil ibu keluar gerbang. Memakan dengan cepat sampai habis tanpa berbicara. Kenapa, Bu?”

Bik Darmi merasa aneh. Baru hitungan hari selama bekerja merasa rumah tangga majikan barunya terasa ganjal. Katanya pengantin baru, tapi tingkah keduanya seperti permusuhan, tidak ada kata romantis bahkan saling berbicara belum Bik Darmi lihat. Atau dirinya salah penyimpulan, pasalnya ia hanya membantu sebagian membersihkan selebihnya akan pulang mendekati petang dan semua sebagian masih Eva yang menghendelnya selepas pulang kerja.

Keduanya akan berangkat ke kantor dengan kendaraan berbeda meski arah kantor keduanya satu arah. Eva akan menyelesaikan tugasnya sebagai istri tanpa mengatakan apapun sama Anggara. Begitu ketika berangkat, pernah seketika akan berpamitan Anggara ternyata tidak di tempat dan akan di ruang kerja atau menolak uluran tangannya untuk pamit layaknya tidak ada orangh. Benar sombong entah tangannya terdapat kuman dan membuat Eva mulai malas.

“Tidak hanya penasaran, Mas Gara suka tidak. Hari ini aku akan menunggunya,” ujar Eva tiba-tiba. Ia berencana mengatakan akan pulang telat.

“Sepertinya cocok, Bu. Tidak ada sisa sedikitpun setiap ibu memasaknya.”

Eva mengangguk puas. Tidak lupa selalu berkata jangan katakan pada orang luar apa yang terjadi di rumah tangganya ketika berbicara dengan Art barunya itu. Bahkan dia begitu hati-hati memilih agar keburukan di rumah tidak sampai hingga rumah utama.

“Terima kasih, Bik, infonya.”

Eva menatap jam tangannya. Seharusnya Anggara sudah turun. Biasanya dirinya sudah berangkat untuk kali ini.

Tidak lama terdengar suara langkah kaki terburu-buru. Sekian bersama Eva juga menyimpulkan Anggara selalu tepat waktu. Kecuali pulang kerja, ia tidak tahu kapan pulang dan tidak pula bertanya pada pemilik wajah sombong dan arogan itu .

“Aku menunggu kamu, Mas Gara. Mari kita sarapan bersama,” kata Eva beranjak dari duduknya. Membuka piring Anggara dan mulai menyajikan porsi Anggar seperti sebelumnya.

“Tidak ada yang memintamu menunggu!”

“Aku sendiri yang ingin. Aku mau pamit nanti ke rumah Mama.” Eva sudah duduk kembali. Tersenyum puas melihat hidangan hasil tangannya tertata sempurna di piring terlihat menggoda.

Anggara melirik Eva melalui ekor matanya. Tidak menanggapi apapun, ia memilih segera memulai sarapan di depannya.

Eva berharap cemas menatap sodokan pertama masuk mulut Anggara. Tidak ada kalimat keluar dari mulutnya, lagi-lagi tidak dianggap. Kalaupun dianggap lontaran jawaban menyakitkan akan keluar.

Senyum tipis kembali menguatkan Eva, bahwa Anggara menggunakan setelan baju kerja pilihannya apa yang disiapkan. Kali pertama melihat pasalnya beberapa hari selalu tidak tahu kapan Anggara pulang dan tiba-tiba mendapati sudah di ranjang dengan baju tidurnya.

Keheningan meja makan terjadi, hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar. Kemudian keheningan kembali dipecahkan dengan suara decitan kursi. Siapa lagi kalau bukan Anggara yang lebih dulu selesai.

Masih tanpa sepatah kata Anggara pergi. Selepas menyelesaikan makanan tanpa sisa di piring dengan cepat.

Eva segera meraih gelas airnya dan meneguk hingga tandas. “Tunggu, aku boleh ke rumah Mama?” Eva segera menghampiri Anggara yang jalan sungguh sangat cepat.

“Aku akan melakukan nanti ketika pulang kantor,”. lanjutnya menunggu jawaban dari Anggara yang tidak menghentikan langkahnya sama sekali.

“Kamu mengharapkan apa? kalau mau kesana terserah. Jangan harap aku datang! aku sibuk, waktuku tidak seluang itu!” balas Anggara sebelum membuka pintu mobil.

Sakit, tentu sakit. Memang Eva berharap kedatangan bersama. Bahkan ia tidak keberatan harus menunggu menyesuaikan jadwal Anggara karena ini merupakan kunjungan pertama selepas menikah, tapi semua sirna dengan jawaban menyakitkan itu.

Eva menatap datar mobil merah sudah melaju meninggalkan halaman rumah. Tangannya tanpa sadar meremas tas kerja yang ia pegang. Meski bukan pertama dengar, tapi kali ini sangat sakit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Dingin Dengan CEO Arogan   Bab 77

    “Bagaimana kerja kamu hari ini?” Anggara dengan balutan baju tidur keluar dari kamar mandi. Langkahnya pelan menghampiri Eva yang sibuk dengan ponselnya.Kedua pasangan menginap di rumah Mama Dara tentu Aluna berhenti berdebat karena suara rendah Mama Dara. Entah perempuan muda masih belum menerima kenyataan kakaknya yang disakiti, atau mungkin karena sesama perempuan dengan ego tinggi merasa tidak terima dengan perlakuan Anggara dengan mudah mendapatkan maaf kakaknya.Eva mendongak kepalanya dengan cepat. Beberapa saat aktivitasnya terhenti ketika mendengarkan pertanyaan Anggara. Bukan merasa aneh, lebih tepatnya kenapa Anggara perlu bertanya, merasa tidak biasa.“Kamu tanya?” balas Eva dengan nada malas.Anggara segera duduk di sofa kosong tepat di sebelah Eva. Anggukan kepala Eva lakukan, kemudian membalas tatapan Eva dengan sorot mata menunggu jawaban dari Eva.“Bukannya laporan Sarah tidak telat, bukan?” balas Eva dengan nada sindiran, “kurang kerjaan banget ada Sarah.”“Kamu bis

  • Pernikahan Dingin Dengan CEO Arogan   Bab 76

    “Mama ….” Eva memeluk Mama Dara. Pelukan begitu erat seakan lama tidak bertemu.“Sudah mulai bekerja lagi?” Mama Dara membalas pelukan dengan lembut. Tatapan beralih pada kedatangan putri sulungnya yang tidak sendiri, ada David dan perempuan yang baru ditemuinya.“Baru hari ini, Ma.” Eva melepaskan pelukan dengan pelan.“Kenapa David tidak bercerita?” Kedua mata Mama Dara menatap David, kemudian bergerak cepat beralih menatap Sarah hari ini hanya punya kerjaan satu hari penuh tidak menjauh meninggalkan Eva.“David juga baru tahu, Ma.” David mengatakan tanpa ekspresi seperti biasanya.“Sore, Tante.” Sarah menyadari tatapan Mama Dara segera mengulurkan tangannya. Tersenyum dengan sopan santun.“Sore, Sayang. Ini siapa? Mama baru lihat. Pacar kamu David?” Mama Dara tertawa seraya menatap anak laki-laki dengan gelengan kepala.David nampak terhenyak beberapa saat karena terkejut tuduhan tiba-tiba Mama Dara, sementara Eva sudah duduk di sofa.“Tidak menyangka sekali, ini sangat peningkatan

  • Pernikahan Dingin Dengan CEO Arogan   Bab 75

    Eva menatap bingung dengan kelakuan Anggara. Masih dengan wajah tidak mengerti ucapan terakhirnya, lebih tepatnya di saat ini merasakan jantungnya terpompa lebih cepat karena tindakan Anggara yang menciumnya di depan David. Meski pria terlihat datar tidak peduli tetap Eva tidak merasa biasa.“Ibu ukuran sandalnya berapa?” Sarah bertanya dengan pelan ketika Anggara sepenuhnya tidak terlihat lagi. Suaranya terdengar memburu sepertinya tadi cukup menguras tenaganya membawa barang brand tidak hanya satu, melainkan cukup memenuhi kedua tangannya.Eva segera tertarik dari lamunannya sekilas hanyut jauh menatap Anggara yang keluar ruangannya. Langkahnya begitu nampak terburu-buru, bahkan mengabaikan sekertarisnya Sarah yang masih tertinggal.“Tiga sembilan, kenapa?” kata Eva menatap Sarah mulai mengeluarkan sandal-sandal yang dibawanya.“Syukurlah.” Sarah membuang napasnya lega.“Kenapa?” Eva masih belum mencerna.“Mau minum dulu?" David menyerahkan air mineral. Tidak menunggu Sarah menerim

  • Pernikahan Dingin Dengan CEO Arogan   Bab 74

    “Davit, kapan kamu datang?” Eva tidak kuasa untuk langsung menghamburkan memeluk adiknya.Davit segera membalasnya, memeluk dengan wajah cuek, datar, senyum sekilas tampak sedikit langsung lenyap dalam hitungan beberapa detik.“Apa sekolah kamu selesai? ada agenda apa pulang? kenapa tidak ngabarin?” Eva melepaskan pelukan. Pertanyaan muncul dengan beruntun dan berbicara terdengar sangat cepat.“Dua hari yang lalu. Hampir selesai, doakan segera selesai.” David melenggang menuju sofa. Dimana Anggara yang menyaksikan adegan pelukan itu dengan rasa dongkol dan cemburu karena ia tidak seluassa dan sebebas Davit memeluk Eva yang tampak mesra.Eva segera mengikuti. Masih mengenakan sandal bulu miliknya. “Kenapa tidak ngasih kabar. Kamu baik-baik saja, bukan?”Davit hanya membalas dengan anggukan sekali. Kemudian tatapannya menoleh teralih menatap Anggara. “Kak Angga, aku sudah kirim email. Aplikasi baru milik Kakak luar biasa.”Eva mengerutkan dahinya. Apalagi respon Anggara terlihat mengang

  • Pernikahan Dingin Dengan CEO Arogan   Bab 73

    Eva menatap tampilannya saat ini. Entah sudah tidak terhitung berapa kali dia melihat tampilannya kini, hingga sampai di kantor semakin membuat Eva memelankan langkahnya setelah menyadari tatapan tidak biasa para karyawan sejak keluar mobil.Ekor matanya melirik Anggara tidak melepaskan belitan tangan menggenggam tangannya sejak keluar mobil. Pria yang terkenal, sombong, arogan dan bermulut pedas tanpa ekspresi melangkah satu langkah lebih dulu dari langkahnya.“Ada apa? apa merasakan sakit?” tanyanya sangat jelas terdengar. Semakin membuat suara bisik-bisik dan perhatian karyawan tertuju pada Eva dan Anggara.Eva menggeleng pelan. Merapatkan langkahnya mendekati Anggara. “Tampilanku jelek banget? mereka melihat terus.”“Mereka punya mata.”Anggara mengatakan dengan santai. Menoleh sekilas dan mata mengedarkan ke sekitar menurutnya hal biasa.“Bukan itu,” kesal Eva.“Kamu seksi dan cantik, Sayang. Jangan lupakan kalau suami kamu cukup sangat tampan, jadi biasakan seperti ini.”Eva lant

  • Pernikahan Dingin Dengan CEO Arogan   Bab 72

    “Duduk dulu. Tunggu sebentar.” Anggara datang dengan kursi meja rias. Wajahnya tampak sangat datar tidak terbaca. Suara tidak sekeras sebelumnya, terdengar merendah penuh penekanan seperti menahan amarahnya.Eva masih tidak mengerti menautkan alisnya. Tangan kanan masih memegang handle pintu yang belum terbuka sepenuhnya.“Duduk, jangan kemana-mana.” Anggara mengatakan tegas. Menarik Eva dan mendudukkannya pelan.Eva tidak bisa mengelak banyak. Apalagi gerakan Anggara kali ini. Kemudian nampak pria itu mulai berlari menuju walk in closet dengan langkah cepat terburu-buru.“Apasih? gak jelas.” Eva mengatakan dengan kesal. “Aku tidak tuli,” geramnya mengingat tidak terima atas suara keras Anggara yang terkejut, tapi di terima Eva seperti bentakan perintah.“Ganti sepatu kamu.” Anggara datang dengan sandal rumahan milik Eva. Sandal berbulu imut tanpa hak yang dibelikan Bunda Zia, beberapa waktu lalu. Sandal trepes satu-satunya miliknya.“Apa!” Eva memekik kaget. Menatap sepatu berhak tid

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status