Aku membuka mata dini hari, masih ingin berbaring memanjakan diri di kasur ini. Badan pegal, jika boleh berucap berlebihan rasanya lututku remuk, sisa-sisa kegiatan suci semalam. Lucas is a strong man in the bed, durasi yang cukup lama buatku. Aku bangun, naluri seorang istri di pagi hari memanggil. Dihadapkan pada setumpuk tugas rumah yang mau tidak mau harus tetap berjalan dengan baik.
Sebelum menikah, aku sempat mencoba bekerja di perusahaan. Jujur saja, lebih melelahkan saat berada di rumah, padahal belum punya anak. Akan tetapi, kadang ada kepuasan sendiri seperti di saat tanaman di pekarangan tumbuh indah karena campur tanganku, membuat rumah ini lebih hidup dan bernuansa menenangkan. Atau jika pekerjaan utama sudah selesai, aku bebas berkreasi dengan membuat makanan yang lagi viral di sosmed.
Ibu rumah tangga adalah jantungnya keluarga, benar-benar tidak bisa disepelekan.
Aku menyingkirkan selimut yang menutupi badan, meraih handuk lalu menuju ke kamar mandi yang berada di dalam ruang kamar.
Lucas baru keluar dari kamar mandi. Tampangnya resah. "Cepetan mandinya, waktu subuh mau akhir."
Aku melirik jam di dinding, bodohnya karena leha-leha dan menganggap azan subuh belum berkumandang hanya karena suhu di ruang kamar lebih dingin dari biasanya. Kegiatan semalam terlalu panas, semalam aku mengatur suhu AC 16 derajat Celcius. Tubuh ini merespon lain, menanggap hari belum beranjak siang.
Aku tergesa-gesa keramas, lalu mengguyur seluruh tubuh. Berburu dengan waktu secepatnya mengeringkan badan, memakai pakaian bahan katun rayon yang adem. Setelah semuanya selesai, menghampiri Lucas untuk shalat berjamaah.
***
Salah satu caraku menyayangi Lucas adalah membuat dia lahap saat sarapan. Aku sarapan lebih sedikit, melihat dia menghabiskan masakanku malah cepat membuat perut ini kenyang.
"Aku suka sarapan sehat buatan istriku."
"Ya, aku juga suka suamiku lahap saat makan masakanku."
Lucas tersenyum, meminum teh yang kubuat. Aku membalas senyumannya. Dia menghampiri mengecup puncak kepala ini. "Aku berangkat kerja dulu."
"Ya, hati-hati di jalan. Selamat bertemu dengan tumpukan file dokumen."
"Jangan bilang hal itu sekarang, Flo. Aku malah pusing duluan sebelum sampai ke kantor."
Aku tertawa, aku yakin dia becanda. Lucas bukan type orang yang langsung loyo berhadapan dengan pekerjaan yang banyak. Dia orang yang cekatan dan bisa diandalkan.
Dia pergi, aku mengantar sampai pintu gerbang, aku menatap mobilnya melaju. Tidak aku lepas pandangan ini sebelum mobilnya benar-benar tidak terjangkau oleh mataku.
Aku kembali ke dalam mengerjakan pekerjaan rumah.
***
Lucas pernah memberiku satu buku miliknya, yang berhasil dia cetak. Aku membukanya dulu, akan tetapi hanya selesai baca dua halaman aku berhenti karena tidak mengerti istilah sulit yang dia pakai. Lucu juga kalau setiap paragraf yang aku baca harus disertai kamus bahasa Indonesia untuk membantuku menerjemahkan artinya.
Sekarang buku itu aku genggam, aku buka kembali, berusaha memahami hobby-nya. Walaupun hanya fiksi, harusnya aku tahu karakter dia dari gaya tulisannya.
Awalnya memang aku bingung dengan tema yang dia bahas. Maklumlah aku ini penyuka kisah romance, itu pun nonton televisi bukan membaca. Aku mulai terbiasa dan paham, apalagi sudah berhasil 10 lembar kubaca. Aku mulai jatuh cinta pada karakter ciptaan Lucas, ternyata dia sangat pandai membuat karakter, seolah aku ikut berpetualang bersama dengan tokoh utama mencari bukti pembunuhan temannya si tokoh.
Aku lanjutkan nanti, karena smartphone berbunyi. Ada notifikasi pesan via WhatsApp. Nomernya asing dia mengirim huruf P. Ayolah, apa-apaan ini, apa dia pikir aku remaja labil, yang suka diberondong dengan tulisan P. Aku lihat ada lebih dari 10 P. Aku abaikan nomer itu. Tidak langsung kublokir karena takut orang yang kenal, kalau benar-benar penting paling dia akan chat kembali, nanti.
Daripada menanggapi orang asing mengirim chat tidak penting, aku ke dapur membuat minuman coklat hangat untuk diriku sendiri. Coklat hangat adalah minuman saat me time terampuh untuk menjadikan moodku membaik.
Selang 10 menit setelah itu, smartphone berbunyi kembali. Lagi-lagi notifikasi WhatsApp. Orang yang tadi mengirim dua buah foto. Tidak sopan memang, tidak ada ucapan salam ataupun hallo tapi berani kirim foto, segabut itukah dia?
Kebetulan, aku seting smartphone-ku tidak simpan otomatis foto. Jadi aku harus klik download dulu, supaya foto itu masuk ke galeri. Meskipun dari orang tidak penting aku penasaran juga, dia kirim gambar apa? Aku tidak segan langsung hapus, jika foto tersebut tidak penting sama sekali.
Aku menatap lekat layar smartphone, entah untuk tujuan apa nomer ini mengirim foto memalukan seperti ini. Apakah ini semacam teror? Apapun tujuannya, air mata mengalir tanpa bisa kutahan, saat memastikan orang yang berada di foto ini adalah Lucas, dia sedang mencium seorang wanita selain aku.
Hati ini baru saja membaik, tiba-tiba melihat Lucas seperti ini seolah ada batu yang menindih secara tiba-tiba di dalam hatiku. Aku terisak sendirian di sofa rumah. Padahal, sofa ini saksi bisu kemesraan kami semalam. Di mana kemarin Lucas mencium perutku dan berdoa supaya kami dikaruniai anak.
Kenapa Lucas membuatku melayang tinggi kemudian menjatuhkanku tiba-tiba. Jika ingin mendepakku dari kehidupannya, harusnya dia terang-terangan supaya aku tidak berharap banyak.
Dengan tangan gemetar, aku menghubungi nomer tersebut. Namun yang punya nomer tidak mengangkat, padahal sudah tersambung dari tadi. Kuulangi untuk menghubungi nomer tersebut hingga belasan kali, hasilnya sama saja.
***
Aku menunduk di depan meja rias. Kutatap wajah diri sendiri, terlihat sembab dan pucat. Aku akhirnya memilih merias diri, setelah sebelumnya menatap wajah ini lekat, menepuk pipi dengan bedak, lalu menggunakan lip tint dengan warna cerah. Sedikit membantu, kini wajahku tidak terlalu seperti hantu penunggu pohon beringin.
Lucas muncul dari belakang, aku melihat wajahnya dari pantulan cermin. Malas rasanya sekadar membalikan badan. Seorang penghianat tidak layak mendapat sambutan. Aku pikir kemarin, Lucas hanya mendamba wanita lain, jika seperti itu masih bisa tahan. Akan tetapi lain halnya jika dia sudah berselingkuh, aku tidak bisa terima.
Lucas memelukku dari belakang, lalu mencium bahuku. Dia melihat wajahku dari cermin. "Kamu kenapa lagi, Flo?"
"Aku sedang menahan marah."
"Tolong berhenti jadi stalker akunku. Apa kamu tidak lelah, membongkar masalaluku? Kamu juga punya masa lalu dan aku tidak pernah mengusiknya 'kan?"
Aku terdiam, wajah tegasku tidak berubah, sengaja aku perlihatkan padanya. Aku diam hanya ingin tahu seberapa lama bulannya bisa dia pertahankan.
"Dengar, Flo! Bagi pria, tidak semua hal harus selalu berbagi dengan pasangannya. Ruang privasi tetap ada walaupun sudah menikah. Kalaupun kamu penasaran banget sama masa laluku, kamu bisa tanya langsung daripada jadi penguntit, malah bikin aku ilfil padamu. Istri macam apa itu?"
Ketika dia sedang berbicara panjang lebar tapi isinya sampah itu. Tanganku membuka menu WhatsApp. Akan aku perlihatkan kelakuannya.
"Mas Lucas, lihat ini! Ada nomer yang yang ngirim foto kamu lagi ciuman dengan wanita lain."
Lucas merebut handphone dari tanganku. Dahinya berkerut wajahnya suram. Aku sedikit menjauh, takut dia mencekikku karena wajahnya sangat menakutkan.
"Mas Lucas, aku gak cari-cari informasi masa lalumu di sosmed lagi, kok. Nomer itu kirim fotomu begitu saja tanpa aku minta."
Lucas mendengkus, wajahnya ketus tapi masih bisa tersenyum. Senyum yang pahit tentunya.
"Mas Lucas, kenapa kamu diam? Coba jelaskan padaku. Kenapa kamu bisa-bisanya berlaku keji di belakangku? Apa ini kelakuan asli dirimu? Memalukan."
Aku seakan bermimpi, saat membuka mata di pagi hari, dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok wanita yang kucinta. Dulu, dia mengisi hati ini kemudian pergi dengan membawa luka. Aku tidak bisa mencegahnya walaupun sudah berusaha menahannya. Dia tidak setuju dengan tawaran yang aku berikan. Tawaran untuk berpoligami. Entahlah, aku merasa tidak ada yang salah waktu itu. Hatiku tetap ada untuknya. Lalu sudah aku katakan berulang kali bahwa menikahi wanita lain hanya sebatas alasan yang mendesak. Bukankah pria mempunyai hak jika mampu? Tapi istriku tidak mau peduli dengan apa pun alasannya. Amanda mantanku, dia kembali setelah cukup lama tidak berjumpa. Dia datang dengan tidak berdaya, sakit dan menyedihkan. Dia memintaku untuk melindunginya. Karena katanya, tidak ada satu pria pun yang mencintai wanita lumpuh dengan tulus. Karena akulah penyebab dia kecelakaan. Aku merasa bersalah mendengar kata-katanya. Dia memukul terus kakinya yang pincang, dan ha
Semua mata tertuju padaku bukan karena pernyataan Lucas, tapi karena aku tersedak dengan tiba-tiba. Wajahku pasti terlihat konyol saat ini, aku malu. Lucas memberiku segelas air putih dan aku menandaskannya dengan segera. Saat ada kalimat selamat yang terlontar dari mulut mereka secara bergantian, hatiku belum sepenuhnya sadar. Seakan Lucas sedang membuat konten prank di Chanel YouTube untuk menjahiliku. Tapi saat aku melirik ke arahnya dia nampak serius. Kami pulang. Sepanjang perjalanan pulang Lucas nampak tersenyum. Pria gila itu selalu berhasil mewujudkan keinginannya. Sementara aku mendadak gugup, tak berselera untuk bicara namun jiwaku terasa hangat. Walau caranya membuat aku jengkel, tapi aku suka saat dia meminta aku kembali jadi miliknya. Lucas menerima panggilan telepon, entah dari siapa. Namun raut wajahnya nampak lesu dan risau. "Huh, merepotkan!" umpat Lucas. "Ada apa?" tanyaku ragu-ragu. "Papah masuk rumah sakit, dia pecah pembul
Aku paham, butuh waktu cukup lama untuk seseorang memahami isi hati orang lain. Begitupun bagi Andrean, meskipun Lucas sudah merangkul dan meminta maaf. Dia mematung, tidak ada minat sedikitpun untuk berbicara dengan Lucas. Tak lama dia memilih pulang. Dia hanya pamit kepadaku dan tidak menanggap Lucas ada di dekatnya. Lucas menatap punggung Andrean hingga menghilang. Tertunduk dan melamun, mungkin saja Lucas ingin hubungannya baik seperti dulu kala. Menjalani masa kecil bersama, sekolah dan masuk universitas yang sama dan kini hubungannya retak hanya karena masalah hati. Aku paham pahitnya ditinggalkan sahabat sendiri. Cukup lama aku dan Lucas berada di ruang yang sama namun memilih saling diam dari tadi. Akhirnya Lucas menatap ke arahku dan tersenyum. "Flora, lagi sibuk? Apa bisa minta waktumu sebenar saja buat ikut denganku?" Aku tersenyum, tidak biasanya dia meminta waktuku dengan sesopan itu. Lucas berkata kembal
Aku melempar pakaian Lucas ke lantai di kamar. "Cepat pakai pakaianmu! Memalukan! Mentang-mentang tidak ada Renata, so merasa jadi anak muda? Jangan coba-coba tebar pesona padaku! Tidak akan mempan." "Siapa yang tebar pesona? Terus menurutmu, cara pakai handuk seorang bapak satu anak bagaimana? Apa dililitkan di leher, hah? Atau diikat pada dua kaki seperti orang yang sedang diculik penjahat? Kamu akan lebih menjerit histeris jika melihat aku seperti itu." Ah sialan, kenapa Lucas berkata seperti itu aku malah membayangkan Lucas melilitkan handuk ke leher dan kaki. Aku jadi frustrasi membayangkan visual aneh itu. Sepertinya Lucas melangkah mengambil pakaiannya yang tercecer. Entahlah, setelah dengar ocehannya aku langsung menutup pintu tanpa menatap ke arahnya. Kemudian aku menyeduh macchiato untuk kami berdua. Lucas keluar kamar dengan stelan casual warna denim. Seingatku, pakaian itu aku yang pilihkan, belanja di online shop saat ada diskon dan grati
Lucas menggendong Andrean. "Mau kita buang ke mana pria brengsek ini?"Aku teramat resah, masa iya Lucas mau membuang Andrean seperti barang bekas. Apa mungkin dia akan melempar Andrean ke lapangan yang tandus seperti halnya membuang Amanda kemarin itu?"Jangan becanda, Lucas." Aku mengikuti langkah Lucas yang pelan karena beban di punggungnya."Kamu parkir mobil di mana?" tanya Lucas."Aku gak bawa mobil, mobil ada di parkiran Cofee Shop. By the way, aku hanya berniat membawa Andrean ke pinggir dekat pohon itu. Kita bisa taruh dia di sana saja, lalu pura-pura tidak tahu apa yang terjadi." Aku menunjuk pohon besar yang di depannya terdapat tong sampah."Andrean tidak akan muat jika masuk ke tempat sampah sekecil itu. Kita butuh TPS berukuran besar.""Ayolah, Lucas! Kamu tahu sendiri maksudku adalah taruh Andrean di pinggir pohon, supaya tidak menghalangi jalan. Bukan menaruh Dean di tong sampah."Lucas tersenyum, sambil terus berjalan
Sejenak, aku merasa diri ini kehilangan akal sehat karena membiarkan mantan suami mengecup puncak kepalaku. Dan bisa-bisanya aku memejamkan mata menahan degup jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibir Lucas enggan berpindah selama beberapa menit, mungkin dia keterusan. Aku membuka mata, tersentak saat melihat ada orang yang lewat sehingga tanpa sengaja menyundul kepala Lucas. Menyisir rambut dengan jari, dan merapikan posisi baju yang hampir kusut. Aku hampir melupakan Lucas yang sedang meringis menahan sakit pada bibir. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya, dengan ekspresi bodoh sedang menahan sakit. Lucas menatapku. "Agghh ... dasar cewek preman! Lihat ini! lukaku bertambah lagi di bibir. Apa bedanya kamu dengan scurity di kantor Papah?" Sembarangan, bisa-biaanya Lucas menyamakan aku dengan scurity kantor yang bertubuh besar. "Suruh siapa kamu begitu lancang mencium kepalaku? Lagian kamu pikir kepalaku juga tidak sakit beradu dengan