Cherry menepuk bahuku. Aku terperanjat, dengan tiba-tiba menatap ke arahnya. Alis Cherry bertaut, pasti dia melihat perubahan ekspresiku, mungkin ada sedikit kekhawatiran padanya.
"Kak Flo kenapa?"
"Gak kenapa-napa."
Cherry termenung, sepertinya dia tidak percaya ucapanku.
Aku berusaha mengatur hatiku setenang mungkin. Sejak dulu, memang tidak pernah mau berbagi keluh kesah dengan siapapun. Apalagi masalah rumah tangga. Aku tahu tidak akan mendapat solusi apapun jika bercerita, kecuali rasa malu. Masalahnya mungkin ada pada diriku, bisa jadi orang lain memang benar-benar peduli dan kasihan. Justru itu yang tidak kusukai, aku tidak ingin dikasihani.
"Kalau ada apa-apa cerita, ya! Jangan dipendam sendiri."
Aku tersenyum menghargai kebaikannya. "Iya, tapi sekarang memang gak kenapa-napa."
"Habis Kak Flo wajahnya mendadak pucat, Apa ada masalah sama Kak Lucas?"
Aku menggeleng. "Aku lagi khawatir aja sama Mas Lucas, dia 'kan lagi sakit. Kayanya aku harus pulang sekarang, takut dia butuh bantuanku di rumah."
"Huh, nanti, lah. Kita belum nonton Drakor bareng, loh. Maraton dulu, yuk! Kak Lucas mah gampang, dia bisa jaga diri sendiri."
Aku terkekeh. "Ya, kapan-kapan aja, deh. Lagian udah sore juga."
"Ya, sudah. Nanti giliran aku, deh, ke sana. Sekalian lihat kondisi Kak Lucas."
"Kamu kapan mau ke rumah kami?"
"Belum tahu, tapi gak janji kalau gak lagi mager."
"Oke ... oke, nanti WA aja kalau misal mau ke rumah."
"Sip."
Aku turun dari kasur milik Cherry, kemudian meraih tas yang kusimpan di nakas samping kasur tersebut. "Mau ketemu mamah dulu, mau pamit."
"Iya, mamah ada di kamarnya."
Aku berjalan menuju kamar mamah mertua untuk pamit pulang. "Mah, Flora pulang sekarang, ya!"
"Kok bentar, Flo?"
"Iya, nih, Mah. Gak enak sama Mas Lucas dia lagi sakit malah aku tinggal!"
"Ya, sudah. Kamu bisa ke dapur dulu, sebentar? Di atas meja ada ulu ketan, kamu bawain ya, buat Lucas. Dia suka makan uli."
"Oh, iya. Flo bawa dulu kalau gitu."
"Hati-hati di jalan, ya, Flo."
Aku menutup pintu kamar mertuaku, kemudian pergi ke dapur untuk membawa uli. Sudah terbungkus rapi, pasti mamah sudah menyiapkannya khusus untuk Lucas.
Aku pun menuju halaman di mana mobilku terparkir, menaiki mobil kemudian melaju menuju pulang. Tangan ini gemetar, saat teringat insta story' milik Dean yang membuat penasaran. Aku pulang dari rumah mamah, dengan hati hampa menuju rumah.
***Lucas berbaring di sofa, dan pahaku sebagai bantalnya. Sepulang dari rumah mamah, dia memanggil dan memintaku untuk duduk. Aku sedikit kaget akan tingkahnya yang mendadak manja saat sakit, biasanya tidak seperti ini. Mungkin, jika dulu dia melakukan ini, aku akan senang setengah mati. Tapi sudah terlanjur mengetahui dia menjaga seorang wanita di Rumah Sakit, terlanjur menemukan foto di laci kerja. Sehingga membuat diri ini merasa ditipu.
Aku membelai rambut yang hitam dan lurus milik suamiku. Belum tentu besok atau lusa aku masih mau melakukannya pada pria yang menyimpan rahasia pada teman hidupnya sendiri. Aku juga tidak yakin dia akan menahan, jika sewaktu-waktu aku memilih mengundurkan diri untuk membahagiakan hidupnya, lalu pergi sesuka hati.
Aku malas berdebat, dia akan galak saat ditegur. Aku hanya ingin merasakan sejenak saja dia mengakuiku sebagai istri. Mungkin kisah kami hanya akan berakhir sebagai sejarah, akan tetapi lebih bagus lagi jika tidak ada pertikaian sebelum keputusan resmi kubuat.
"Kenapa, Flo? Kamu kaya gak nyaman gitu?"
Aku menatap wajah Lucas yang berada tepat di bawah wajahku. "Tidak kenapa-napa. Gimana kondisi Mas udah baikan?"
"Ya, aku udah baikan."
"Aku tadi bawa uli bikinan mamah masih mentah. Mas kalau mau bilang, ya. Nanti aku goreng dulu ulinya dadakan."
"Aku masih kenyang. Tadi makan cemilan yang kamu bikin habis tiga."
"Mas suka?"
"Iya, suka, sih. Tapi aku lebih suka yang manis, kaya kalpetart buatanmu. Besok aku kerja buatkan, ya!"
"Oke. Besok siang akan kuantarkan ke tempat kerja kalau Mas suka."
"Makasih."
"Ya."
Lucas masih saja menatapku usai mengakhiri percakapan. Satu hal lagi yang tidak biasa terjadi dalam hidupku secara beruntun. Tadi duduk di paha, sekarang menatap lekat. Dia sebelumnya cuek, dan juga tidak romantis. Ada sesuatu hal yang membuat dia tiba-tiba melakukannya, entah apa. Aku memalingkan wajah, lama tatap-tatapan membuatku seolah berada di dalam adegan klise sebuah sinetron.
"Flo, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu?"
"Apa?"
"Kenapa kamu tidak tersenyum hari ini?"
"Oh, ya? Aku gak ngerasa gitu, kok."
"Kamu gak bahagia hidup sama aku?"
"Jangan dibahas hal kaya gitu."
"Kenapa jangan dibahas?"
"Aku akan membaik dengan sendirinya, nanti."
"Apa hanya karena gagal berlibur kamu terus marah sampai saat ini?"
"Aku bilang jangan dibahas. Aku malas berdebat."
"Kamu memang gak ngajak debat. Tapi wajah kusutmu ngajak ribu, aku tidak suka seorang istri yang kurang senyum pada suaminya."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi. Aku takut kelepasan menggelindingkan kepala suamiku ke sudut ruangan. Padahal dia sendiri masih betah tiduran di pahaku tapi masih saja mendumel.
"Kenapa kamu tarik napas dalam-dalam? Nahan marah? Berani?" tanya Lucas, wajahnya galak.
"Mas Lucas, kayanya aku tarik napas aja bikin kamu marah, ya? Apalagi kalau sampai curhat, ngeluh kaya istri orang lain kebanyakan. Bisa-bisa kamu tuntut aku ke pengadilan gara-gara curhat."
Lucas terdiam. Aku tegang, kupikir dia akan memarahiku gara-gara aku bicara panjang lebar padanya. Dia sudah jinak rupanya.
Aku masih kesal, aku mengusirnya. "Minggir!" Jangan tidur di pahaku, aku mulai kesemutan, minggir!"
Lucas tidak menanggapiku, malah kini terpejam, seolah akan tidur pulas.
"Aku bukan kasur, pergi ke kamar kalau mau tidur. Awas saja kalau mendengkur di pangkuanku."
Lucas masih tidak mendengarkanku, malah membalikan badan ke posisi miring, lalu mencium perutku. Aku merasa geli, karena selain mencium, mulutnya bergerak seolah membisikan sesuatu.
"Mas lagi ngapain?"
"Lagi berdoa, semoga di dalam sini segera ada janinnya."
Hatiku hangat mendengar kata-katanya. Apa benar dia adalah orang yang menikahiku tanpa cinta. Aku dibuat galau oleh ulahnya, dan tanpa sadar tangan ini meremas rambutnya karena terlalu senang atas pernyataan itu.
"Heh, bukannya ikut berdoa malah jambak rambut suami. Istri tidak sopan, ya!"
Aku tertawa, untuk pertama kalinya dalam pernikahan ini, aku menertawakan Lucas saat marah. Asli, biasanya aku takut atau balik sebal. Ternyata, dalam sikapnya yang semena-mena, dia itu bisa manis juga.
Jika seperti ini, apa yang harus aku perbuat? Apa akan aku lanjutkan rencanaku pergi dari hidupnya, membiarkan dia bahagia dengan yang lain. Atau aku harus pertahankan dia. Membantunya move on dari masa lalu?
Entah, kami harus diskusi yang panjang. Harus hati-hati jika bicara dengan Lucas. Pria yang mempunyai harga diri tinggi, tidak mau dibantah. Pria yang menanggap keluh kesah istri sebagai pemberontakan.
***Aku terpejam di kamar saat pukul 23.00, hatiku membaik. Ada kesempatan untukku memperbaiki pernikahan yang sudah satu tahun dibina tapi hampa. Hampir saja mimpi datang mendekap, namun mata urung terpejam saat tangan kekar melingkar di perutku. Tidak sulit ternyata, menerima sentuhan dari Lucas dalam keadaan hati yang senang. Aku tidak menolak ciumannya seperti kemarin-kemarin. Rela berbagi kasih sepanjang malam, beribadah malam bersama Lucas.
Dalam pelukan Lucas yang hangat, ada doa-doa terucap dariku yang mendamba bahagia. Semoga Allah menitipkan amanahnya malam ini pada kami.
***Aku seakan bermimpi, saat membuka mata di pagi hari, dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok wanita yang kucinta. Dulu, dia mengisi hati ini kemudian pergi dengan membawa luka. Aku tidak bisa mencegahnya walaupun sudah berusaha menahannya. Dia tidak setuju dengan tawaran yang aku berikan. Tawaran untuk berpoligami. Entahlah, aku merasa tidak ada yang salah waktu itu. Hatiku tetap ada untuknya. Lalu sudah aku katakan berulang kali bahwa menikahi wanita lain hanya sebatas alasan yang mendesak. Bukankah pria mempunyai hak jika mampu? Tapi istriku tidak mau peduli dengan apa pun alasannya. Amanda mantanku, dia kembali setelah cukup lama tidak berjumpa. Dia datang dengan tidak berdaya, sakit dan menyedihkan. Dia memintaku untuk melindunginya. Karena katanya, tidak ada satu pria pun yang mencintai wanita lumpuh dengan tulus. Karena akulah penyebab dia kecelakaan. Aku merasa bersalah mendengar kata-katanya. Dia memukul terus kakinya yang pincang, dan ha
Semua mata tertuju padaku bukan karena pernyataan Lucas, tapi karena aku tersedak dengan tiba-tiba. Wajahku pasti terlihat konyol saat ini, aku malu. Lucas memberiku segelas air putih dan aku menandaskannya dengan segera. Saat ada kalimat selamat yang terlontar dari mulut mereka secara bergantian, hatiku belum sepenuhnya sadar. Seakan Lucas sedang membuat konten prank di Chanel YouTube untuk menjahiliku. Tapi saat aku melirik ke arahnya dia nampak serius. Kami pulang. Sepanjang perjalanan pulang Lucas nampak tersenyum. Pria gila itu selalu berhasil mewujudkan keinginannya. Sementara aku mendadak gugup, tak berselera untuk bicara namun jiwaku terasa hangat. Walau caranya membuat aku jengkel, tapi aku suka saat dia meminta aku kembali jadi miliknya. Lucas menerima panggilan telepon, entah dari siapa. Namun raut wajahnya nampak lesu dan risau. "Huh, merepotkan!" umpat Lucas. "Ada apa?" tanyaku ragu-ragu. "Papah masuk rumah sakit, dia pecah pembul
Aku paham, butuh waktu cukup lama untuk seseorang memahami isi hati orang lain. Begitupun bagi Andrean, meskipun Lucas sudah merangkul dan meminta maaf. Dia mematung, tidak ada minat sedikitpun untuk berbicara dengan Lucas. Tak lama dia memilih pulang. Dia hanya pamit kepadaku dan tidak menanggap Lucas ada di dekatnya. Lucas menatap punggung Andrean hingga menghilang. Tertunduk dan melamun, mungkin saja Lucas ingin hubungannya baik seperti dulu kala. Menjalani masa kecil bersama, sekolah dan masuk universitas yang sama dan kini hubungannya retak hanya karena masalah hati. Aku paham pahitnya ditinggalkan sahabat sendiri. Cukup lama aku dan Lucas berada di ruang yang sama namun memilih saling diam dari tadi. Akhirnya Lucas menatap ke arahku dan tersenyum. "Flora, lagi sibuk? Apa bisa minta waktumu sebenar saja buat ikut denganku?" Aku tersenyum, tidak biasanya dia meminta waktuku dengan sesopan itu. Lucas berkata kembal
Aku melempar pakaian Lucas ke lantai di kamar. "Cepat pakai pakaianmu! Memalukan! Mentang-mentang tidak ada Renata, so merasa jadi anak muda? Jangan coba-coba tebar pesona padaku! Tidak akan mempan." "Siapa yang tebar pesona? Terus menurutmu, cara pakai handuk seorang bapak satu anak bagaimana? Apa dililitkan di leher, hah? Atau diikat pada dua kaki seperti orang yang sedang diculik penjahat? Kamu akan lebih menjerit histeris jika melihat aku seperti itu." Ah sialan, kenapa Lucas berkata seperti itu aku malah membayangkan Lucas melilitkan handuk ke leher dan kaki. Aku jadi frustrasi membayangkan visual aneh itu. Sepertinya Lucas melangkah mengambil pakaiannya yang tercecer. Entahlah, setelah dengar ocehannya aku langsung menutup pintu tanpa menatap ke arahnya. Kemudian aku menyeduh macchiato untuk kami berdua. Lucas keluar kamar dengan stelan casual warna denim. Seingatku, pakaian itu aku yang pilihkan, belanja di online shop saat ada diskon dan grati
Lucas menggendong Andrean. "Mau kita buang ke mana pria brengsek ini?"Aku teramat resah, masa iya Lucas mau membuang Andrean seperti barang bekas. Apa mungkin dia akan melempar Andrean ke lapangan yang tandus seperti halnya membuang Amanda kemarin itu?"Jangan becanda, Lucas." Aku mengikuti langkah Lucas yang pelan karena beban di punggungnya."Kamu parkir mobil di mana?" tanya Lucas."Aku gak bawa mobil, mobil ada di parkiran Cofee Shop. By the way, aku hanya berniat membawa Andrean ke pinggir dekat pohon itu. Kita bisa taruh dia di sana saja, lalu pura-pura tidak tahu apa yang terjadi." Aku menunjuk pohon besar yang di depannya terdapat tong sampah."Andrean tidak akan muat jika masuk ke tempat sampah sekecil itu. Kita butuh TPS berukuran besar.""Ayolah, Lucas! Kamu tahu sendiri maksudku adalah taruh Andrean di pinggir pohon, supaya tidak menghalangi jalan. Bukan menaruh Dean di tong sampah."Lucas tersenyum, sambil terus berjalan
Sejenak, aku merasa diri ini kehilangan akal sehat karena membiarkan mantan suami mengecup puncak kepalaku. Dan bisa-bisanya aku memejamkan mata menahan degup jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibir Lucas enggan berpindah selama beberapa menit, mungkin dia keterusan. Aku membuka mata, tersentak saat melihat ada orang yang lewat sehingga tanpa sengaja menyundul kepala Lucas. Menyisir rambut dengan jari, dan merapikan posisi baju yang hampir kusut. Aku hampir melupakan Lucas yang sedang meringis menahan sakit pada bibir. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya, dengan ekspresi bodoh sedang menahan sakit. Lucas menatapku. "Agghh ... dasar cewek preman! Lihat ini! lukaku bertambah lagi di bibir. Apa bedanya kamu dengan scurity di kantor Papah?" Sembarangan, bisa-biaanya Lucas menyamakan aku dengan scurity kantor yang bertubuh besar. "Suruh siapa kamu begitu lancang mencium kepalaku? Lagian kamu pikir kepalaku juga tidak sakit beradu dengan