Home / Romansa / Pernikahan Hampa / 9. Amanda Menelepon

Share

9. Amanda Menelepon

Author: Mira Restia
last update Huling Na-update: 2021-03-29 17:48:12

Lucas memarkirkan mobil di area parkir yang lumayan luas. Sudah lama tidak ke tempat makan sebagus ini, membuat aku menjadi minder ketemu banyak orang-orang asing. Aku melirik Lucas, mendadak merasa tidak sepadan dengan dia yang bersinar terang di luar, akan tetapi aku malah meredup.

"Ayo turun, Flo! Kenapa malah lihat ke arahku kaya gitu?"

Lidahku kaku untuk menjawab. "Banyak manusia di sini, Mas."

"Kita juga manusia, Flo. Bukan Alien atau jin."

"Ya, aku bukan manusia aku bidadari." Aku pura-pura becanda karena terlanjur malu dengan sikapku.

Lucas tersenyum. "Ya, kamu secantik bidadari, Flo."

Kami berdua masuk ke dalam restauran. Berjalan berdua dengannya membuat peluhku bercucuran karena tegang. Ada banyak yang aku pikirkan. Lucas sering ke sini tanpa mengajakku, apa aku ini membuat malu dirinya sehingga satu tahun menikah baru diajak ke tempat favoritnya. Aku butuh cermin, penampilanku gak buruk juga 'kan? 

"Kenapa lagi, Flo? Apa kamu gak suka tempatnya?"

"Suka, kok." 

"Tapi wajahmu resah."

"Ah, masa, sih? Perasaan biasa aja, deh."

Sebenarnya aku ingin menarik Lucas, mengajaknya pulang. Orang-orang di sini terlihat fashionable dan juga sosialita, sementara aku tidak. Namun, apa kabar dengan perut suamiku. Sungguh, cacing di perut Lucas memiliki tampang sangar seperti Lucas. Buktinya, Lucas sering marah-marah, jika perutnya telat di isi.

Lucas menggenggam tanganku. Aku kaget atas reaksinya. "Kenapa menuntunku? Aku bukan manula masih bisa berjalan sendiri, kok."

Lucas malah mencium tanganku tanpa menjawab pertanyaanku tadi. Ayo, lah. Ini tempat umum. Aku malu.

Kami memilih meja, dekat dengan jendela. Kami sama-sama suka tempat duduk dekat jendela. Di rumah pun, meja makan posisinya tidak jauh beda.

"Kamu mau makan apa? Tapi jangan bilang terserah. Karena tidak ada menu terserah di sini," kata Lucas, sesaat setelah dia duduk dengan rapi.

"Aku lagi pengen makan Steak daging."

Lucas memesan untuk aku dan dirinya. Kami pun menunggu makanan tersaji. Sambil menunggu, Lucas malah sibuk dengan smartphone, mungkin dia lupa aku berada di hadapannya. Namun, aku malah tidak bisa melepas pandangan darinya. Garis wajahnya lebih terlihat tegas, nampak serius saat memegang benda pipih itu, dari gerakan tangannya, dia pasti sedang mengetik teks yang panjang.

Ulahku menatapnya membuat dia melirik. "Maaf, Flo. Aku hanya mengecek sedikit naskahku yang harus selesai bulan ini. Masih ada bagian yang rancu dan cacat logika."

"Oh iya, gak apa-apa." Aku mengiyakan walau sedikit tidak paham maksudnya.

Lucas menaruh hapenya tanpa diminta. Aku tersenyum, dia sedikit lebih peka dari sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, kalau dia benar-benar sibuk, tidak masalah juga jika dia ingin mengedit naskahnya. 

"Naskah yang mana, Mas? Yang baru? Aku belum baca bukumu yang 'Danger Line' tapi sudah ada cerita baru lagi, ya?"

Alis Lucas bertaut. "Kamu juga baca? Kupikir bukuku yang kukasih waktu itu, sudah dipakai ganjel lemari sama kamu."

"Sebenernya, baru aku buka juga, sih. Baru 10 halaman. Aku agak pusing sama ceritanya, gak paham. Tapi kucoba lanjut baca kemarin, ternyata seru juga."

"Really? Pusing kenapa? Aku gunakan kalimat efektif, kok."

"Banyak istilah yang aku gak paham. Ya, maklum saja aku emang jarang baca. Sekalinya baca, paling buku romantis biasa."

Lucas tersenyum. "Oh, yang itu aku tahu. Aku sempat kepikiran nulis satu gendre romantis biar kamu baca juga. Tapi kayanya aku gak sanggup."

"Jangan, lah. Jangan maksain diri. Sesuai yang kamu minati saja, kalau suka action dan thriller, kenapa harus cape-cape nulis gendre lain."

Aku memberi saran seperti itu karena tidak sanggup membayang seorang yang cuek dan tidak peka seperti Lucas menulis romansa. Bukannya jadi romantis bisa-bisa membuat pembaca jadi geram dan marah.

"Haha ... Iya, juga. Btw buku Danger Line, ada kisah romantisnya juga dikit. Bahkan agak unik menurutku, kisah cinta antara anak korban pembunuhan dan narapidana."

"Oh, ya? Di halaman berapa?"

Lucas menaikan alis. "Baca saja, nanti gak seru kalau banyak spoiler."

Aku mengangguk. Tak lama, makanan kami datang. Lucas menggeser pesananku mendekat padaku. "Makasih, Mas!"

Lucas sangat lahap. Ya, dia sudah lapar sejak tadi. Aku membiarkan dia menikmati makanannya sampai habis. 

***

"Tidur, yuk! Sudah malam, Mas," kataku saat melirik jam dinding di ruang kerja Lucas.

"Tunggu bentar lagi! Kamu juga jangan ke mana-mana dulu, stay with me, please." Lucas menjawab sambil matanya masih saja lekat menatap laptop.

"Tumben minta ditemenin?"

Lucas hanya tersenyum, dan itu tidak menjawab pertanyaan dariku.

"Daripada aku melongo gak jelas. Aku mau sambil mijitin kamu aja, ya!" Aku menghampiri Lucas. Berdiri di belakang kursinya.

"Silakan! Sayang!"

Aku memijat bahu suamiku, sambil sesekali melihat apa yang dia tulis. Gaya bahasanya agak sedikit berbeda dari buku Danger Line. Aku mudah paham dengan apa yang kubaca. Bahkan, majasnya terlalu indah. "Kamu nulis Romance? Kok kalimat-kalimatnya bikin baper."

"Bukan. Hanya menulis kisah hidup. Mungkin kelihatan baper karena tokoh di ceritaku, hampir putus asa karena lumpuh."

"Oh. Masih lama ending-nya?"

"Sudah selesai, aku hanya merevisi beberapa bagian yang kurang pas."

Aku berhenti bertanya. Akan tetapi Lucas tiba-tiba berkata padaku.

"Nanti kamu bantu aku pilihan gambar cover yang bagus, ya, Flo."

"Iya, boleh. Sekarang aja."

Lucas mengklik logo minimize dokumen word, lalu membuka file gambar. Menampilkan desain cover entah buatan siapa, palingan Lucas memesan pada cover shop. Aku hanya diminta memilih.

"Bagus yang mana, Flo?"

Aku menunjuk pada warna Salem karena warnanya yang kalem. Juga sesuai dengan gambar vector seorang wanita berambut panjang yang berada di kursi roda, dengan latar langit senja di pantai.

"Tokohnya cewek?" tanyaku

"Iya."

"Diluar kebiasaan kamu banget, ya? walaupun baru baca kemarin-kemarin. Aku tahu, loh, ceritamu selalu pakai sudut pandang cowok."

"Cuman mau menantang diri sendiri aja, keluar dari zona nyaman."

"Oh."

"By the way makasih buat pilihannya tadi. Fix, Aku pilih sesuai pilihanmu."

"Ya udah, tidur yuk! Besok Mas harus kerja, Mas suka keterusan kalau udah di depan laptop. Kita harus tetap jaga kondisi badan kita, Mas."

Lucas menurut menutup semua lembar kerjanya. "Aku belum shalat isa, nih, kamu duluan ke kamar. Nanti Aku nyusul."

"Oke."

Aku ke kamar duluan, karena sudah shalat duluan dari tadi. Lucas kalau sudah bikin novel suka lupa diri. Shalat pun sudah di akhir waktu, dia malah baru ambil wudhu. 

Aku mematikan lampu kamar, menggantinya dengan lampu tidur yang bersinar redup. Kemudian naik ke atas kasur, berbaring senyaman mungkin. 

Ada cahaya ponsel di tengah kasur, seseorang sedang melakukan panggilan. Pasti ini ulah Lucas yang sembrono menaruh ponsel di atas tempat tidur, untung saja aku tidak menindih benda pipih miliknya. 

Aku tidak berani mengangkat panggilan telepon di ponsel Lucas. Akan tetapi, badan ini menjadi kaku, malam seakan mencekik hingga remuk hatiku. Saat melihat foto profil seorang wanita yang melakukan panggilan ini. Aku pernah melihat wajahnya, sama persis dengan wajah wanita pada foto yang kutemukan di laci meja kerja Lucas. Ini Amanda, aku yakin.

Selama ini aku tidak pernah kepo Lucas menerima panggilan dari siapa saja, kenalan Lucas banyak sekali, baik pria atau wanita, tapi kali ini aku harus berbuat sesuatu. Aku mengangkatnya, sengaja tidak memberi salam terlebih dulu, ingin tahu dia mau bicara apa.

"Hallo, Mas Lucas. Kamu belum tidur? Aku lihat masih online jadi memberanikan diri untuk telepon."

"Kamu Amanda?" tanyaku tanpa basa-basi.

Hening, sepertinya dia kaget aku yang mengangkat. Lucas tidak pernah menaruh Smartphone sembarangan, sebelumnya. Jika saja smartphone Lucas tidak ketinggalan di kamar, mungkin aku tidak pernah tahu si Amanda ini suka menelepon.

"Kamu kenapa tidak jawab?" Lucas memberi nama kontak ini dengan nama Nda. Aku harus buat Nda mengaku bahwa dirinya adalah Amanda.

"Ya, aku Amanda. Ini sama Mbak Flora, ya? Mas Lucasn lagi ke mana, ya?"

Wanita tidak tahu malu, sudah tahu Aku yang angkat telepon. Dia dengan polosnya menanyakan suamiku berada di mana. 

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pernikahan Hampa   EXTRA PART - POV LUCAS

    Aku seakan bermimpi, saat membuka mata di pagi hari, dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok wanita yang kucinta. Dulu, dia mengisi hati ini kemudian pergi dengan membawa luka. Aku tidak bisa mencegahnya walaupun sudah berusaha menahannya. Dia tidak setuju dengan tawaran yang aku berikan. Tawaran untuk berpoligami. Entahlah, aku merasa tidak ada yang salah waktu itu. Hatiku tetap ada untuknya. Lalu sudah aku katakan berulang kali bahwa menikahi wanita lain hanya sebatas alasan yang mendesak. Bukankah pria mempunyai hak jika mampu? Tapi istriku tidak mau peduli dengan apa pun alasannya. Amanda mantanku, dia kembali setelah cukup lama tidak berjumpa. Dia datang dengan tidak berdaya, sakit dan menyedihkan. Dia memintaku untuk melindunginya. Karena katanya, tidak ada satu pria pun yang mencintai wanita lumpuh dengan tulus. Karena akulah penyebab dia kecelakaan. Aku merasa bersalah mendengar kata-katanya. Dia memukul terus kakinya yang pincang, dan ha

  • Pernikahan Hampa   62. TAMAT

    Semua mata tertuju padaku bukan karena pernyataan Lucas, tapi karena aku tersedak dengan tiba-tiba. Wajahku pasti terlihat konyol saat ini, aku malu. Lucas memberiku segelas air putih dan aku menandaskannya dengan segera. Saat ada kalimat selamat yang terlontar dari mulut mereka secara bergantian, hatiku belum sepenuhnya sadar. Seakan Lucas sedang membuat konten prank di Chanel YouTube untuk menjahiliku. Tapi saat aku melirik ke arahnya dia nampak serius. Kami pulang. Sepanjang perjalanan pulang Lucas nampak tersenyum. Pria gila itu selalu berhasil mewujudkan keinginannya. Sementara aku mendadak gugup, tak berselera untuk bicara namun jiwaku terasa hangat. Walau caranya membuat aku jengkel, tapi aku suka saat dia meminta aku kembali jadi miliknya. Lucas menerima panggilan telepon, entah dari siapa. Namun raut wajahnya nampak lesu dan risau. "Huh, merepotkan!" umpat Lucas. "Ada apa?" tanyaku ragu-ragu. "Papah masuk rumah sakit, dia pecah pembul

  • Pernikahan Hampa   61. Lucas Membawaku Bersamanya

    Aku paham, butuh waktu cukup lama untuk seseorang memahami isi hati orang lain. Begitupun bagi Andrean, meskipun Lucas sudah merangkul dan meminta maaf. Dia mematung, tidak ada minat sedikitpun untuk berbicara dengan Lucas. Tak lama dia memilih pulang. Dia hanya pamit kepadaku dan tidak menanggap Lucas ada di dekatnya. Lucas menatap punggung Andrean hingga menghilang. Tertunduk dan melamun, mungkin saja Lucas ingin hubungannya baik seperti dulu kala. Menjalani masa kecil bersama, sekolah dan masuk universitas yang sama dan kini hubungannya retak hanya karena masalah hati. Aku paham pahitnya ditinggalkan sahabat sendiri. Cukup lama aku dan Lucas berada di ruang yang sama namun memilih saling diam dari tadi. Akhirnya Lucas menatap ke arahku dan tersenyum. "Flora, lagi sibuk? Apa bisa minta waktumu sebenar saja buat ikut denganku?" Aku tersenyum, tidak biasanya dia meminta waktuku dengan sesopan itu. Lucas berkata kembal

  • Pernikahan Hampa   60. Membesarkan Anak Sendiri

    Aku melempar pakaian Lucas ke lantai di kamar. "Cepat pakai pakaianmu! Memalukan! Mentang-mentang tidak ada Renata, so merasa jadi anak muda? Jangan coba-coba tebar pesona padaku! Tidak akan mempan." "Siapa yang tebar pesona? Terus menurutmu, cara pakai handuk seorang bapak satu anak bagaimana? Apa dililitkan di leher, hah? Atau diikat pada dua kaki seperti orang yang sedang diculik penjahat? Kamu akan lebih menjerit histeris jika melihat aku seperti itu." Ah sialan, kenapa Lucas berkata seperti itu aku malah membayangkan Lucas melilitkan handuk ke leher dan kaki. Aku jadi frustrasi membayangkan visual aneh itu. Sepertinya Lucas melangkah mengambil pakaiannya yang tercecer. Entahlah, setelah dengar ocehannya aku langsung menutup pintu tanpa menatap ke arahnya. Kemudian aku menyeduh macchiato untuk kami berdua. Lucas keluar kamar dengan stelan casual warna denim. Seingatku, pakaian itu aku yang pilihkan, belanja di online shop saat ada diskon dan grati

  • Pernikahan Hampa   59. Roti Sobek Lucas

    Lucas menggendong Andrean. "Mau kita buang ke mana pria brengsek ini?"Aku teramat resah, masa iya Lucas mau membuang Andrean seperti barang bekas. Apa mungkin dia akan melempar Andrean ke lapangan yang tandus seperti halnya membuang Amanda kemarin itu?"Jangan becanda, Lucas." Aku mengikuti langkah Lucas yang pelan karena beban di punggungnya."Kamu parkir mobil di mana?" tanya Lucas."Aku gak bawa mobil, mobil ada di parkiran Cofee Shop. By the way, aku hanya berniat membawa Andrean ke pinggir dekat pohon itu. Kita bisa taruh dia di sana saja, lalu pura-pura tidak tahu apa yang terjadi." Aku menunjuk pohon besar yang di depannya terdapat tong sampah."Andrean tidak akan muat jika masuk ke tempat sampah sekecil itu. Kita butuh TPS berukuran besar.""Ayolah, Lucas! Kamu tahu sendiri maksudku adalah taruh Andrean di pinggir pohon, supaya tidak menghalangi jalan. Bukan menaruh Dean di tong sampah."Lucas tersenyum, sambil terus berjalan

  • Pernikahan Hampa   58. Mantan Suami Rese

    Sejenak, aku merasa diri ini kehilangan akal sehat karena membiarkan mantan suami mengecup puncak kepalaku. Dan bisa-bisanya aku memejamkan mata menahan degup jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibir Lucas enggan berpindah selama beberapa menit, mungkin dia keterusan. Aku membuka mata, tersentak saat melihat ada orang yang lewat sehingga tanpa sengaja menyundul kepala Lucas. Menyisir rambut dengan jari, dan merapikan posisi baju yang hampir kusut. Aku hampir melupakan Lucas yang sedang meringis menahan sakit pada bibir. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya, dengan ekspresi bodoh sedang menahan sakit. Lucas menatapku. "Agghh ... dasar cewek preman! Lihat ini! lukaku bertambah lagi di bibir. Apa bedanya kamu dengan scurity di kantor Papah?" Sembarangan, bisa-biaanya Lucas menyamakan aku dengan scurity kantor yang bertubuh besar. "Suruh siapa kamu begitu lancang mencium kepalaku? Lagian kamu pikir kepalaku juga tidak sakit beradu dengan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status