Embun pagi masih menggantung di udara saat Naya berdiri di dermaga tua yang menghadap ke laut lepas. Deburan ombak memecah karang dengan suara menenangkan, namun dalam dada Naya, badai justru mulai menggeliat. Di belakangnya, Arga tengah berbicara dengan Bram dan Karina yang baru saja tiba membawa kabar penting.
“Pulau itu bukan pulau sembarangan,” ujar Bram sambil membuka tablet dan memperlihatkan peta satelit. “Dulu digunakan sebagai lokasi pelatihan militer rahasia. Tapi lima tahun lalu, seluruh catatannya dihapus. Tidak ada akses dari jalur umum. Sinyal terakhir Ravka berasal dari sini, sebelum semuanya—hilang.”“Kenapa tempat seperti itu bisa berhubungan dengan dia?” tanya Arga.Karina menyambung, “Karena pulau itu dulunya disebut: Pulau Prakarsa. Salah satu tempat awal pengembangan proyek AULIA sebelum laboratorium Arunika dibangun.”Naya menyentuh liontin rusaknya. Meski benda itu tak lagi aktif, ia menggantungnya di leher sebagai pengingat: tentang keberanianLangkah Naya cepat dan penuh keyakinan. Masker hitamnya menutupi sebagian wajah, jaket hitam pembungkus tubuhnya yang langsing. Di tangannya, sebuah kartu akses dengan logo VARUNA bergetar dalam genggaman. Kartu itu bukan miliknya—melainkan milik seseorang yang ia temui semalam: seorang teknisi muda yang tanpa sadar membuka jalan masuk… lewat mimpi.Naya menatap layar ponselnya. Titik merah di peta bergerak semakin dekat ke gedung utama VARUNA di pusat kota. Ia sudah tahu ke mana harus pergi. Atau lebih tepatnya, sistem tahu… dan membisikkan arahnya ke dalam pikirannya. Meski Naya adalah seorang manusia sejati, sejak sistem kembali diaktifkan. Dia seperti manusia setengah robot. Terkadang ada hal-hal yang di luar kendalinya. Bahkan dia bisa bergerak seperti saat ini dengan petunjuk dari sistem yang ada dalam tubuhnya. Chif yang masih aktif itu seperti menyimpan banyak informasi yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Da itu membuat Naya terkadang harus sekuat tenaga mengendal
Gemuruh kota tak pernah berhenti. Namun dalam beberapa hari terakhir, semuanya terasa… berbeda. Bukan hanya karena gangguan sinyal dan pesan-pesan aneh yang terus muncul dari perangkat elektronik masyarakat. Tapi juga karena sesuatu yang tak bisa dijelaskan—perasaan gelisah, cemas, bahkan sedih… yang seolah datang entah dari mana. Dan semua itu dirasakan oleh semua orang.“Kayak... perasaan orang lain masuk ke kepala aku,” keluh salah satu mahasiswa Naya saat sesi bimbingan. "Kenapa rasanya jadi aneh begini?"Naya tersenyum kaku. “Mungkin kamu kurang tidur,” katanya, walau ia tahu, ini bukan soal jam tidur. Dialah pusat dari semua pemikiran itu. Namun dia sendiri untuk saat ini hanya bisa diam sambil menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Duduk di ruang seminar kecil itu, Naya menatap layar laptop-nya yang memantulkan wajahnya sendiri. Pucat. Letih. Seperti memikul beban yang tak kelihatan. Ia tahu—VARUNA semakin berkembang. Dan perlahan… menjalar ke kepala s
Langit kota tampak biasa. Orang-orang masih berlalu lalang. Lalu lintas tetap ramai. Iklan LED di gedung-gedung tinggi memutar promosi terbaru produk teknologi wearable: VARUNA SyncTech. Tak ada yang menyadari bahwa di balik semua itu, sistem yang semula dikira telah dimatikan… kini hidup kembali—dalam wujud baru yang lebih halus, lebih cerdas, dan lebih berbahaya.Dan semuanya... bermula dari satu nama.Naya Aulia.Pagi itu, Naya duduk di ruang dosen Fakultas MIPA, menunggu Arga yang tengah mengoreksi tugas. Matanya masih terpaku pada flashdisk miliknya—yang kini disimpan dalam kotak logam berlapis pelindung elektromagnetik.Setelah kejadian semalam, ia tahu satu hal pasti: sistem AULIA belum mati. Dan dia... kemungkinan masih bisa terhubung meski menolak. Karena, ibarat virus... sistem dalam dirinya hanya dormant. 1Bahkan, mungkin tidak akan pernah mati. Selamanya.“Mas,” panggil Naya pelan.Arga mendongak dari tumpukan kertas. “Hm?”“Kamu pernah d
Tiga bulan telah berlalu sejak Naya menyelesaikan sidang skripsinya. Hidup berjalan kembali ke ritme semula. Kampus sibuk dengan tahun ajaran baru, mahasiswa baru mulai mondar-mandir mencari kelas, dan dosen killer kembali menebar horor lewat tugas dan kuis dadakan.Namun bagi Naya, hari-harinya lebih tenang. Kini ia tengah magang di pusat riset kampus sebagai asisten peneliti, sambil menunggu jadwal wisuda. Hidupnya… akhirnya terasa “normal”.Setiap pagi, ia dan Arga sarapan di dapur mungil mereka—Naya dengan roti gandum dan selai kacang, Arga dengan kopi hitam dan berita pagi di tablet yang tidak pernah absen.Semua terasa damai. Terlalu damai. Bahkan kehidupan rumah tangga mereka juga terlalu manis. Tidak ada pertengkaran kecil. Karena keduanya sama-sama menjaga. Saling mengasihi dan saling percaya. Atau mungkin ujian pernikahan mereka memang belum ada. Namun baik Naya maupun Arga selalu berharap mereka tetap bersama apapun keadaannya.Sore itu, Naya menerima emai
Musim berganti. Udara kota kini lebih hangat, meski aroma hujan masih samar tersisa di sela trotoar yang basah. Bangunan kampus berdiri kokoh seperti biasa, tak menunjukkan tanda bahwa beberapa penghuninya pernah terlibat dalam kisah yang nyaris membuat sejarah dunia berubah.Di lantai tiga Fakultas MIPA, suasana kelas seperti biasanya: tegang, hening, dan penuh tekanan. Bahkan udara seolah enggan beredar di sana.“Silakan jawab soal di slide dua dalam waktu lima menit. Jika tidak selesai, anggap saja kalian bukan bagian dari kelas ini.”Nada suara itu datar, tapi tajam. Tatapan pria tinggi berkacamata itu menyapu seluruh kelas dengan dingin. Beberapa mahasiswa mencatat dengan tangan gemetar, lainnya menunduk berdoa dalam hati.Dosen Killer itu telah kembali. Arga Pratama, dalam balutan kemeja hitam dan jas abu-abu gelap, kembali ke posisinya sebagai dosen Biologi terapan—penuh wibawa, keras kepala, dan tak kenal kompromi. Setelah apa yang dia lalui, petualangan
Saat Naya dan Ravka saling menggenggam tangan, ruangan itu mulai bergetar pelan. Lampu-lampu menyala satu per satu. Di layar besar, puluhan wajah Subjek bermunculan—anak-anak dari seluruh dunia, sistem yang belum aktif, menunggu perintah terakhir.Naya memejamkan mata. Keringat dingin masih membasahi tubuhnya. Seluruh energi Naya seolah terkuras habis. Lalu tubuhnya lemas. Dan berbisik, “Selesai sudah.”Cahaya menyilaukan memenuhi ruangan.Lalu... gelap. Dua tubuh itu ambruk ke lantai yang dingin. Terkulai lemas tak bergerak. Kesunyian mendominasi ruangan itu. Semua menunggu. Bahkan untuk beberapa detik Arga dan Karina menahan nafas menanti akhir dari proses itu.Lalu untuk beberapa saat, tidak ada yang terdengar kecuali suara napas yang berat dan gema listrik yang padam. Semuanya menjadi gelap. Udara seolah tersedot ke atas lantai logam itu hingga membuat pengap.Lalu, perlahan, satu suara memecah kegelapan.“Naya?” suara Arga lirih, penuh kecemasa