Share

Bab 125. Tamat

Author: Cahaya Asa
last update Last Updated: 2025-09-25 14:23:48

Pagi itu, Cahaya Laut berseri dengan cara yang berbeda. Bukan karena laut lebih tenang atau langit lebih biru, melainkan karena senyum di wajah setiap orang yang melangkah ke balai desa. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, mereka berkumpul bukan karena ancaman, bukan karena kabar buruk, melainkan untuk merayakan sesuatu yang lahir dari keberanian mereka sendiri.

Di tengah halaman, panggung bambu sederhana berdiri. Di atasnya terbentang kain putih yang dilukis tangan anak-anak sekolah: gambar laut, ikan, dan matahari besar dengan senyum ceria. Warga duduk di tikar, ibu-ibu membawa tampah berisi kue basah, sementara bapak-bapak sibuk menyalakan tungku untuk memasak ikan bakar.

“Seperti pesta laut, ya,” bisik Joni sambil mengangkat karung terakhir dari gudang.

“Bedanya, kali ini bukan pesta adat, tapi pesta kita,” sahut Karjo, wajahnya cerah meski peluh membasahi dahi.

Pak Wira berdiri di tepi panggung, mengenakan baju lurik rapi. Tangannya bergetar sedikit, tapi bukan karena cemas—
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 125. Tamat

    Pagi itu, Cahaya Laut berseri dengan cara yang berbeda. Bukan karena laut lebih tenang atau langit lebih biru, melainkan karena senyum di wajah setiap orang yang melangkah ke balai desa. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, mereka berkumpul bukan karena ancaman, bukan karena kabar buruk, melainkan untuk merayakan sesuatu yang lahir dari keberanian mereka sendiri.Di tengah halaman, panggung bambu sederhana berdiri. Di atasnya terbentang kain putih yang dilukis tangan anak-anak sekolah: gambar laut, ikan, dan matahari besar dengan senyum ceria. Warga duduk di tikar, ibu-ibu membawa tampah berisi kue basah, sementara bapak-bapak sibuk menyalakan tungku untuk memasak ikan bakar.“Seperti pesta laut, ya,” bisik Joni sambil mengangkat karung terakhir dari gudang.“Bedanya, kali ini bukan pesta adat, tapi pesta kita,” sahut Karjo, wajahnya cerah meski peluh membasahi dahi.Pak Wira berdiri di tepi panggung, mengenakan baju lurik rapi. Tangannya bergetar sedikit, tapi bukan karena cemas—

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 124. Bertahan

    Kabut pagi mulai menipis, sinar matahari perlahan menembus permukaan laut. Perahu-perahu kecil Cahaya Laut terombang-ambing di hadapan kapal patroli yang menghalangi jalan. Suasana tegang menahan napas; dayung berhenti, ombak memukul lambung kayu.“Turunkan barang kalian sekarang juga!” suara dari pengeras kapal kembali menggema, kali ini lebih tegas.Arga berdiri tegak di perahu paling depan. Bajunya basah oleh cipratan ombak, tapi sorot matanya tidak bergeser sedikit pun. “Kami tidak mencuri, kami tidak melanggar hukum. Kami hanya membawa hasil laut kami sendiri. Kami punya hak untuk hidup!” teriaknya lantang, suaranya mengalahkan deru mesin.Pemuda di perahu belakang saling pandang. Joni menelan ludah, tangannya bergetar memegang dayung. “Mas… kalau mereka paksa, bagaimana?” bisiknya.Arga menoleh sekilas, lalu kembali menatap kapal besar. “Kalau kita mundur hari ini, kita akan mundur selamanya.”Naya berdiri di sampingnya. Wajahnya pucat, tapi tatapannya kuat. Ia menambahkan, suar

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 123. Terguncang

    Pagi di Cahaya Laut tidak lagi setenang biasanya. Ombak memang tetap datang silih berganti, burung camar tetap berputar di udara, tapi udara terasa berat. Seakan angin membawa kabar yang tak enak.Sejak dini hari, desas-desus menyebar di antara warga. Ada yang mengatakan pejabat dari Jakarta membawa surat larangan, ada yang bilang kapal bantuan sengaja ditarik kembali, bahkan ada kabar burung bahwa sekolah desa bisa ditutup. Suasana riuh, penuh bisik-bisik cemas.Di halaman rumah kepala desa, warga sudah berkumpul. Ibu-ibu membawa anak kecil, para pemuda berdiri dengan wajah tegang, sementara bapak-bapak menatap lantai tanah dengan dahi berkerut.Pak Wira berdiri di beranda, memegang secarik kertas resmi berstempel kementerian. Tangannya bergetar, suaranya berusaha tegas.“Saudara-saudara, ini surat yang tadi malam disampaikan. Intinya jelas: semua kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana pusat harus dihentikan. Kalau kita melanggar, ada sanksi—baik administrasi maupun hukum.”Suara

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 122. Berusaha Mandiri

    Pagi itu, udara di balai desa masih mengandung sisa asin dari laut. Angin membawa bau garam yang menusuk, bercampur dengan debu kapur dari papan tulis yang semalam penuh coretan strategi. Arga berdiri di depan, menatap deretan pemuda yang duduk di kursi bambu. Sebagian wajah mereka masih kantuk, sebagian lain tegang, tapi ada juga yang bersinar dengan semangat.“Kalau kita menunggu program dari pusat saja, kita akan terus jalan di tempat,” suara Arga memecah hening. Ia menuliskan satu kata besar di papan tulis: Mandiri. “Cahaya Laut harus bisa berdiri sendiri. Kita bisa menerima bantuan dari luar, tapi fondasinya harus dari kita sendiri.”Pemuda-pemuda itu saling pandang. Ada yang mengangguk, ada yang masih ragu. Lalu tangan Karjo terangkat pelan. Pemuda dengan tubuh kekar itu menatap Arga dengan keraguan bercampur tekad.“Kalau kita mandiri, apa tidak berbahaya, Mas? Maksud saya… pemerintah bisa saja marah. Apalagi kemarin waktu rapat di Jakarta, kita jelas-jelas menentang usulan dar

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 121. Tak Kenal Lelah

    Matahari pagi menyorot tajam ke pantai Cahaya Laut, tapi semangat warga tidak kalah panas. Gudang ikan kembali penuh, kincir angin sudah tegak meski sederhana, dan toples abon dengan label emas berjajar rapi di meja panjang balai desa. Semua tampak siap menuju pameran UMKM di Surabaya.Namun Arga tahu, perjalanan tidak akan mulus. Dua kali sabotase sudah jadi peringatan: ada yang tidak rela Cahaya Laut bersinar.“Ga,” bisik Naya saat mereka menata dokumen pengiriman, “kita harus hati-hati. Musuh kita bukan cuma iri hati. Ada uang, ada kekuasaan di baliknya.”Arga menatap wajah Naya, lalu mengangguk. “Aku sudah menduga. Karena itu, kita tidak hanya menyiapkan produk. Kita juga harus menyiapkan cerita.”“Cerita?” Naya mengerutkan kening.“Ya. Produk bisa dibajak, modal bisa diganggu, tapi kalau cerita kita sampai ke hati orang, itu tidak bisa dicuri.”Siang itu, Arga mengumpulkan para pemuda dan ibu-ibu di balai desa. Meja penuh dengan contoh produk: abon, kerupuk, sambal, dan serundeng

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 120. Iri Pada Perkembangan Desa

    Sore itu, Cahaya Laut seperti hidup dua kali lipat dari biasanya. Di balai desa, meja-meja penuh dengan toples abon, kerupuk ikan, dan botol sambal hasil olahan. Suara tawa terdengar di antara pemuda yang sedang mengepak produk. Di luar, kincir angin kecil terus berputar, lampunya menyala walau matahari sudah condong ke barat.Namun, di sudut gelap dekat pohon kelapa tua, sepasang mata memandangi semua itu. Tatapannya bukan kagum, melainkan penuh iri. Lelaki itu bernama Darma—bekas nelayan yang sejak lama merasa tersisih dari lingkaran baru Arga. Dulu ia sering jadi pemimpin kelompok melaut, tapi semenjak Arga datang dengan ide sekolah, koperasi, dan olahan ikan, namanya makin tenggelam.“Apa mereka pikir Cahaya Laut jadi besar tanpa aku?” gumamnya, mengepalkan tangan.Keesokan paginya, Arga berdiri di beranda sekolah. Anak-anak duduk rapi menunggu pelajaran. Pemuda desa juga berkumpul, membawa catatan tentang produksi abon semalam. Naya menata kertas di tangannya, bersiap membahas re

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status