Hari-hari yang semula terasa canggung perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut dan akrab. Hubungan Alya dan Arsen berkembang tanpa perlu banyak kata. Ada kehangatan yang hadir di setiap momen kecil: saat makan bersama, menonton berita di sofa, bahkan saat keduanya diam di ruangan yang sama.Pagi itu, saat hujan turun pelan, Alya memasukkan cucian ke dalam mesin sambil sesekali melirik ke arah Arsen yang sedang menyeduh kopi di dapur. Pria itu mengenakan kaus abu-abu dan celana panjang santai. Matanya sedikit sembab, tapi senyumnya tetap ada."Hari ini kamu ada meeting?" tanya Alya sambil merapikan handuk."Nggak. Aku atur jadwal supaya bisa di rumah," jawab Arsen sambil menyerahkan cangkir kopi kepada Alya."Terima kasih," ucap Alya pelan, jari mereka bersentuhan saat mengambil cangkir, dan untuk sesaat tak ada yang bergerak."Alya," panggil Arsen dengan nada lebih dalam."Hmm?""Aku bisa peluk kamu sekarang?"Pertanyaan itu sederhana, tapi menggetarkan. Alya menatapnya. Mat
Pagi itu terasa berbeda. Alya terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya menembus celah tirai, tapi ia sudah duduk di pinggir ranjang, mengenakan jubah tidur tipis dan menatap kosong ke arah lantai. Hatinya masih menyimpan jejak percakapan malam tadi dengan Arsen. Percakapan yang membuka pintu baru bagi perasaan yang selama ini disangkal.Ia menoleh ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Biasanya, setelah malam yang emosional, ada rasa canggung yang tertinggal. Tapi entah kenapa, pagi ini justru terasa tenang.Setelah mandi dan bersiap, Alya turun ke bawah. Di ruang makan, aroma kopi menyambutnya, dan di sana, Arsen sudah duduk dengan setelan santai, membaca laporan sambil sesekali menyeruput kopi."Pagi," sapa Arsen, kali ini dengan senyuman tipis.Alya hampir tak percaya. Ia tersenyum, meski sedikit kaku. "Pagi.""Mau kopi juga?" tawar Arsen kepada Alya."Boleh. Tapi aku buat sendiri aja." ucap Alya yang langsung pergi ke arah dapur.Arsen mengangguk, lalu kemb
Suasana rumah itu berubah.Bukan karena warna dindingnya yang berganti, atau perabotan yang diganti. Bukan pula karena musim yang perlahan berpindah dari hujan menuju kemarau. Tapi karena sesuatu yang jauh lebih sunyi, keheningan yang baru. Sebuah jarak yang tak terlihat, namun sangat terasa di setiap sudut ruangan.Arsen benar-benar menjaga jarak.Sejak permintaan itu diucapkan Alya di kantor tempo hari, pria itu tak lagi bersikap seperti sebelumnya. Tak ada lagi sapa hangat di pagi hari. Tak ada tanya apakah Alya sudah makan, atau bagaimana harinya di kantor. Bahkan ketika mereka berada di ruangan yang sama di ruang makan atau ruang TV Arsen tetap menjaga batasan. Ia seolah hanya menjadi bayangan dalam rumah, hadir tapi nyaris tak terdengar.Alya tak pernah menyangka, sikap Arsen akan sejauh ini berubah. Ia mengira pria itu akan tetap mencandainya seperti biasa, tetap menunjukkan perhatian meski sedikit tertahan. Tapi kenyataannya... Arsen seperti membekukan dirinya sepenuhnya.Dan
Suasana kantor kembali terasa hambar bagi Alya. Sejak keluar dari ruang Arsen sore itu, pikirannya tidak berhenti berputar. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan seperti riak di permukaan air tenang yang baru saja dijatuhkan batu kecil. Tatapan Arsen tadi siang, nada suaranya, cara pria itu menyembunyikan emosi, semuanya membuat hati Alya terasa lelah dan penuh sesak.Ia duduk di balik layar komputer, tapi laporan yang hendak diselesaikannya masih kosong. Kursor hanya berkedip di layar putih, seolah mengejek betapa kosongnya isi pikirannya saat ini.Alya menghela napas pelan. “Apa sih yang dia rasakan sebenarnya?” gumamnya lirih.---Sore menjelang malam. Jam pulang sudah lewat lima belas menit, dan kantor mulai sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan gedung, menyisakan beberapa orang yang sibuk menyelesaikan pekerjaan mendesak. Alya masih berada di meja, berpura-pura sibuk sambil menunggu waktu yang cukup agar jalanan tak terlalu macet.Ia baru saja mematikan komputer ketik
Pagi itu, langit Jakarta memamerkan awan kelabu yang menggantung rendah. Udara terasa lebih berat dari biasanya. Arsen berdiri di depan mobil dengan pintu terbuka, menunggu Alya yang masih mengancing blazer di dekat pagar rumah.“Biarkan aku naik kendaraan umum saja Pak! Aku tidak ingin berangkat bareng sama Pak Arsen!,” gerak Alya karena dari tadi Arsen membujuknya untuk berangkat barengan.Arsen menatapnya, ekspresi tak berubah. “Aku ingin memastikan kamu aman Alya, Sopir sedang sakit sehingga dia tidak bisa mengantar kamu.”Alya tak menjawab. Ia tahu Arsen tidak mudah diubah pendiriannya saat sudah berkata seperti itu. Maka dari itu dirinya hanya mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam mobil hitam yang mesinnya sudah menyala sejak lima menit lalu.Perjalanan menuju Mahendra Corp berjalan sunyi. Di tengah jalan, Alya sempat melirik Arsen yang sibuk membaca email dari tablet kecil di samping stir mobilnya. Sisi wajah pria itu terlihat begitu tenang dan fokus. Seolah semua desas-desu
Kembalinya Arsen ke Mahendra Corp disambut dengan suasana kantor yang tampak lebih hidup. Meski sebagian pegawai masih menahan diri untuk tidak terlalu mendekat, aura otoritatif pria itu seolah langsung mengambil alih atmosfer ruangan. Ia tak lagi hanya duduk di ruang kerjanya di rumah, tapi kini kembali memimpin langsung dari ruang eksekutifnya di lantai paling atas.Alya melihatnya sekilas saat masuk lift pagi itu. Arsen tampak tenang, mengenakan setelan abu gelap dengan dasi biru dongker. Pandangan mata mereka sempat bertemu sesaat. Senyum kecil terselip di bibir pria itu, membuat jantung Alya berdetak sedikit lebih cepat.Namun momen singkat itu segera digantikan oleh realita terkait tekanan kerja yang kembali menggunung.Di mejanya, Alya sudah mendapati tiga email masuk dari Reline. Satu perintah revisi, satu pengingat deadline, dan satu... undangan rapat besar Mahendra Corp yang akan berlangsung dua hari lagi.“Evaluasi proyek internal dan restrukturisasi alur keuangan,” gumam A