Alya, mahasiswi ekonomi semester akhir yang hidup pas-pasan dan memiliki ibu yang sakit parah, terdesak oleh keadaan. Saat hidupnya semakin terpuruk, datang tawaran tak terduga dari Arsen, dosen muda yang kaya raya namun dingin bak es kutub. Namun tiba-tiba Arsen menawarkan pernikahan kontrak selama setahun dengan imbalan uang dan jaminan pengobatan ibunya. Alya terjebak antara logika dan rasa, antara kebutuhan dan harga diri. Mampukah cinta tumbuh di balik pernikahan yang semula hanya kesepakatan?
View MoreBAB 1: Musim Gugur dan Musibah Tak Berujung
Suara alarm dari ponsel tua yang retak layarnya meraung pelan. Alya membuka mata dengan berat, tubuhnya terasa pegal karena semalam ia tertidur di lantai, beralaskan karpet tipis dan selimut usang. Ia menatap langit-langit kosan yang sudah penuh bercak hitam, lalu menghela napas panjang. Satu lagi hari yang harus dijalani. Satu lagi kenyataan yang tak berubah. Ia melirik ibunya yang terbaring di ranjang kecil di sudut ruangan. Perempuan paruh baya itu tertidur dengan napas tersengal, tubuhnya kurus dan pucat. Sejak penyakit lambungnya kambuh beberapa bulan lalu, ibunya tidak bisa lagi membantu banyak hal. Alya tahu, ibunya menahan sakit, berusaha tersenyum tiap hari hanya demi dirinya. Alya bangkit perlahan, menarik sweater lusuhnya dan berjalan ke dapur yang hanya terdiri dari kompor portable dan galon air. Ia menjerang air untuk membuat teh celup. Itu saja yang bisa ia sajikan pagi ini. “Kamu nggak kuliah, Ly?” tanya sang ibu dengan suara serak, membuka matanya perlahan. “Nanti, Bu. Aku ada kelas jam sembilan,” jawab Alya sambil menyuguhkan teh. “Ibu minum ini dulu, ya.” Ibunya mengangguk pelan. Alya duduk sebentar di sisi tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin. “Bu, aku udah lulus mata kuliah proposal. Tinggal skripsi aja.” Wajah ibunya yang letih itu berpendar sedikit. “Alhamdulillah. Ibu bangga banget sama kamu.” Alya tersenyum getir. Ia tahu, perjuangannya belum selesai. Meskipun beasiswa menutupi biaya kuliah, kebutuhan hidup sehari-hari tetap menjadi beban yang besar. Ia bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko buku dari sore sampai malam, sementara siangnya dipenuhi kelas dan kegiatan akademik. Pukul delapan, Alya berangkat kuliah dengan sepeda tua warisan almarhum ayahnya. Angin pagi menusuk kulitnya yang hanya tertutup sweater tipis. Setiba di kampus, ia langsung menuju Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Sebuah pengumuman besar terpampang di mading: Selamat datang kepada dosen baru, Bapak Arsen Mahendra, SE, M.M. Bisik-bisik terdengar dari para mahasiswa yang membaca pengumuman itu. “Katanya beliau itu alumni luar negeri, pernah jadi direktur muda perusahaan multinasional,” ucap salah satu mahasiswi. “Iya, dan dia masih muda banget. Tapi katanya galak dan dingin kayak es batu.” Alya tak terlalu menggubris. Ia lebih fokus memikirkan presentasi yang harus ia sampaikan hari ini. Namun, saat memasuki ruang kuliah, suasana tiba-tiba senyap. Seorang pria berdiri di depan kelas, mengenakan kemeja putih yang rapi dan celana bahan gelap. Posturnya tinggi, wajahnya tegas dan nyaris tanpa ekspresi. Sorot matanya tajam seperti pisau yang diasah sempurna. “Selamat pagi,” ucap pria itu. Suaranya berat dan tenang. “Saya Arsen Mahendra, dosen pengganti untuk mata kuliah Manajemen Strategik. Mari kita mulai kelas hari ini.” Tak ada basa-basi, tak ada senyum. Ia langsung membuka materi di layar dan mulai menjelaskan. Gaya mengajarnya cepat, padat, dan penuh tekanan. Ia kerap melemparkan pertanyaan mendadak ke mahasiswa secara acak. Beberapa mahasiswa gugup dan salah menjawab, dan Arsen hanya menatap mereka tanpa emosi, lalu lanjut berbicara seolah tak terjadi apa-apa. Saat giliran Alya mendapat pertanyaan, ia sempat terdiam sejenak. Jantungnya berdebar. “Sebutkan tiga elemen utama dalam analisis SWOT dan berikan contohnya secara aplikatif,” tanya Arsen. Alya menarik napas. “Strength, Weakness, Opportunity, Threat. Misalnya, sebuah startup teknologi yang punya keunggulan pada tim IT yang solid adalah strength. Weakness-nya bisa jadi keterbatasan modal. Opportunity-nya adalah meningkatnya tren digitalisasi, dan threat-nya adalah kompetitor besar yang sudah punya pasar.” Arsen mengangguk pelan. “Good. Lanjut.” Meski hanya satu kata, bagi Alya itu seperti validasi langka. Setelah kelas usai, para mahasiswa langsung keluar sambil mengeluh. “Serem banget sih dosen baru itu.” “Kayak robot. Nggak senyum sama sekali!” Alya tak banyak komentar. Ia menutup buku catatannya dan berdiri, lalu tak sengaja bertatapan mata dengan Arsen yang sedang merapikan dokumennya. Mata pria itu seolah membekukan ruang, dan Alya cepat-cepat memalingkan wajah. Ada sesuatu yang aneh pada dirinya seperti tekanan udara berubah ketika ia berada di dekat pria itu. Beberapa hari berikutnya, Alya menjalani rutinitasnya seperti biasa. Pagi kuliah, siang ke perpustakaan, sore bekerja. Di toko buku tempatnya bekerja, pelanggan datang dan pergi tanpa wajah yang dikenali, sampai suatu hari, seseorang masuk dan membuat semua staf terdiam. Arsen. Dengan kemeja hitam dan ekspresi tak berubah, ia melangkah pelan menyusuri rak-rak buku. Alya yang sedang menyusun buku di sudut ruangan langsung menunduk. Namun, takdir tampaknya sedang iseng. “Maaf, bagian buku manajemen bisnis di sebelah mana?” tanya suara itu. Alya mendongak perlahan. “Di rak C, Pak. Sisi kanan.” Arsen mengangguk. “Terima kasih.” Tak ada yang istimewa dari percakapan itu, kecuali kenyataan bahwa Arsen datang ke toko tempatnya bekerja. Alya hanya bisa berdoa agar dosennya itu tidak terlalu memperhatikan wajahnya. Namun keesokan harinya, saat di kelas, Arsen menyebut nama Alya lebih sering dari biasanya. “Alya, menurut kamu strategi itu cocok diterapkan di pasar yang bagaimana?” “Alya, bagaimana pandanganmu tentang adaptasi bisnis dalam era disrupsi?” Alya tak punya pilihan selain menjawab sebaik mungkin. Ia merasa sedang diuji. Atau mungkin... dia sedang diperhatikan? Sementara itu, keadaan ibunya semakin memburuk. Alya berkali-kali harus pulang cepat dari toko karena ibunya mengalami mual hebat atau pingsan sebentar. Ia membawa ibunya ke puskesmas dengan dana yang pas-pasan. Dokter menyarankan perawatan lebih lanjut di rumah sakit, namun Alya hanya bisa mengangguk tanpa janji. “Uangnya dari mana?” bisik hatinya. Ia tidak punya asuransi. Tidak punya tabungan. Tidak punya siapapun. Hingga suatu malam, saat ia baru selesai bekerja dan berjalan pulang, hujan turun deras. Di tengah perjalanan, ban sepeda bocor. Alya menyeret sepedanya melewati jalan setapak gelap. Lututnya sakit, pakaiannya basah kuyup. Lalu, sebuah mobil hitam berhenti tak jauh darinya. Jendela kaca turun perlahan, memperlihatkan wajah yang tak asing. “Naiklah,” ucap Arsen. Alya menatap pria itu dengan terkejut. “Pak? Anda…kenapa ada di sini?” “Aku sering lewat jalan ini. Ini bukan tempat aman untuk jalan kaki malam-malam, apalagi hujan begini.” Alya ragu. Tapi tubuhnya sudah menggigil dan ia terlalu lelah untuk berdebat. Ia menaikkan sepedanya ke bagasi mobil, lalu duduk di kursi penumpang. Sepanjang perjalanan, tak ada yang banyak bicara. Arsen hanya sesekali melirik ke arahnya. “Kamu kelihatan sangat kelelahan,” katanya akhirnya. Alya menunduk. “Saya... hanya sedikit sibuk, Pak.” “Lebih dari sedikit, sepertinya.” Mobil berhenti di depan kosan. Alya menunduk sopan. “Terima kasih, Pak Arsen.” Namun sebelum ia keluar, pria itu berbicara lagi. “Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu bicara. Saya bukan hanya dosen.” Alya menoleh. “Maksud Bapak?” Arsen hanya menatapnya, lalu menjawab pelan. “Aku tahu kamu berjuang keras. Kadang, orang butuh peluang kedua untuk hidup lebih baik.” Ucapan itu menggantung di udara, seperti teka-teki yang belum bisa Alya pahami. Malam itu, ia sulit tidur. Bukan karena tubuhnya sakit. Tapi karena kata-kata Arsen terus terngiang. Ia tak tahu apa maksud dari semua ini. Tapi satu hal pasti, hidupnya yang biasa-biasa saja, kini mulai terguncang perlahan. Dan Arsen, dosen dingin tak tersentuh itu, tampaknya menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak.Hari-hari yang semula terasa canggung perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut dan akrab. Hubungan Alya dan Arsen berkembang tanpa perlu banyak kata. Ada kehangatan yang hadir di setiap momen kecil: saat makan bersama, menonton berita di sofa, bahkan saat keduanya diam di ruangan yang sama.Pagi itu, saat hujan turun pelan, Alya memasukkan cucian ke dalam mesin sambil sesekali melirik ke arah Arsen yang sedang menyeduh kopi di dapur. Pria itu mengenakan kaus abu-abu dan celana panjang santai. Matanya sedikit sembab, tapi senyumnya tetap ada."Hari ini kamu ada meeting?" tanya Alya sambil merapikan handuk."Nggak. Aku atur jadwal supaya bisa di rumah," jawab Arsen sambil menyerahkan cangkir kopi kepada Alya."Terima kasih," ucap Alya pelan, jari mereka bersentuhan saat mengambil cangkir, dan untuk sesaat tak ada yang bergerak."Alya," panggil Arsen dengan nada lebih dalam."Hmm?""Aku bisa peluk kamu sekarang?"Pertanyaan itu sederhana, tapi menggetarkan. Alya menatapnya. Mat
Pagi itu terasa berbeda. Alya terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya menembus celah tirai, tapi ia sudah duduk di pinggir ranjang, mengenakan jubah tidur tipis dan menatap kosong ke arah lantai. Hatinya masih menyimpan jejak percakapan malam tadi dengan Arsen. Percakapan yang membuka pintu baru bagi perasaan yang selama ini disangkal.Ia menoleh ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Biasanya, setelah malam yang emosional, ada rasa canggung yang tertinggal. Tapi entah kenapa, pagi ini justru terasa tenang.Setelah mandi dan bersiap, Alya turun ke bawah. Di ruang makan, aroma kopi menyambutnya, dan di sana, Arsen sudah duduk dengan setelan santai, membaca laporan sambil sesekali menyeruput kopi."Pagi," sapa Arsen, kali ini dengan senyuman tipis.Alya hampir tak percaya. Ia tersenyum, meski sedikit kaku. "Pagi.""Mau kopi juga?" tawar Arsen kepada Alya."Boleh. Tapi aku buat sendiri aja." ucap Alya yang langsung pergi ke arah dapur.Arsen mengangguk, lalu kemb
Suasana rumah itu berubah.Bukan karena warna dindingnya yang berganti, atau perabotan yang diganti. Bukan pula karena musim yang perlahan berpindah dari hujan menuju kemarau. Tapi karena sesuatu yang jauh lebih sunyi, keheningan yang baru. Sebuah jarak yang tak terlihat, namun sangat terasa di setiap sudut ruangan.Arsen benar-benar menjaga jarak.Sejak permintaan itu diucapkan Alya di kantor tempo hari, pria itu tak lagi bersikap seperti sebelumnya. Tak ada lagi sapa hangat di pagi hari. Tak ada tanya apakah Alya sudah makan, atau bagaimana harinya di kantor. Bahkan ketika mereka berada di ruangan yang sama di ruang makan atau ruang TV Arsen tetap menjaga batasan. Ia seolah hanya menjadi bayangan dalam rumah, hadir tapi nyaris tak terdengar.Alya tak pernah menyangka, sikap Arsen akan sejauh ini berubah. Ia mengira pria itu akan tetap mencandainya seperti biasa, tetap menunjukkan perhatian meski sedikit tertahan. Tapi kenyataannya... Arsen seperti membekukan dirinya sepenuhnya.Dan
Suasana kantor kembali terasa hambar bagi Alya. Sejak keluar dari ruang Arsen sore itu, pikirannya tidak berhenti berputar. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan seperti riak di permukaan air tenang yang baru saja dijatuhkan batu kecil. Tatapan Arsen tadi siang, nada suaranya, cara pria itu menyembunyikan emosi, semuanya membuat hati Alya terasa lelah dan penuh sesak.Ia duduk di balik layar komputer, tapi laporan yang hendak diselesaikannya masih kosong. Kursor hanya berkedip di layar putih, seolah mengejek betapa kosongnya isi pikirannya saat ini.Alya menghela napas pelan. “Apa sih yang dia rasakan sebenarnya?” gumamnya lirih.---Sore menjelang malam. Jam pulang sudah lewat lima belas menit, dan kantor mulai sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan gedung, menyisakan beberapa orang yang sibuk menyelesaikan pekerjaan mendesak. Alya masih berada di meja, berpura-pura sibuk sambil menunggu waktu yang cukup agar jalanan tak terlalu macet.Ia baru saja mematikan komputer ketik
Pagi itu, langit Jakarta memamerkan awan kelabu yang menggantung rendah. Udara terasa lebih berat dari biasanya. Arsen berdiri di depan mobil dengan pintu terbuka, menunggu Alya yang masih mengancing blazer di dekat pagar rumah.“Biarkan aku naik kendaraan umum saja Pak! Aku tidak ingin berangkat bareng sama Pak Arsen!,” gerak Alya karena dari tadi Arsen membujuknya untuk berangkat barengan.Arsen menatapnya, ekspresi tak berubah. “Aku ingin memastikan kamu aman Alya, Sopir sedang sakit sehingga dia tidak bisa mengantar kamu.”Alya tak menjawab. Ia tahu Arsen tidak mudah diubah pendiriannya saat sudah berkata seperti itu. Maka dari itu dirinya hanya mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam mobil hitam yang mesinnya sudah menyala sejak lima menit lalu.Perjalanan menuju Mahendra Corp berjalan sunyi. Di tengah jalan, Alya sempat melirik Arsen yang sibuk membaca email dari tablet kecil di samping stir mobilnya. Sisi wajah pria itu terlihat begitu tenang dan fokus. Seolah semua desas-desu
Kembalinya Arsen ke Mahendra Corp disambut dengan suasana kantor yang tampak lebih hidup. Meski sebagian pegawai masih menahan diri untuk tidak terlalu mendekat, aura otoritatif pria itu seolah langsung mengambil alih atmosfer ruangan. Ia tak lagi hanya duduk di ruang kerjanya di rumah, tapi kini kembali memimpin langsung dari ruang eksekutifnya di lantai paling atas.Alya melihatnya sekilas saat masuk lift pagi itu. Arsen tampak tenang, mengenakan setelan abu gelap dengan dasi biru dongker. Pandangan mata mereka sempat bertemu sesaat. Senyum kecil terselip di bibir pria itu, membuat jantung Alya berdetak sedikit lebih cepat.Namun momen singkat itu segera digantikan oleh realita terkait tekanan kerja yang kembali menggunung.Di mejanya, Alya sudah mendapati tiga email masuk dari Reline. Satu perintah revisi, satu pengingat deadline, dan satu... undangan rapat besar Mahendra Corp yang akan berlangsung dua hari lagi.“Evaluasi proyek internal dan restrukturisasi alur keuangan,” gumam A
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments