"Kami sudah bicara dengan pihak administrasi rumah sakit mbak. Kalau dalam waktu satu Minggu ke depan mbak tidak melunasi tunggakan biaya perawatan, kami terpaksa menghentikan semua hal yang berkaitan dengan perawatan ayah mbak."
Amora menatap kertas tagihan rumah sakit di tangannya dengan tatapan kosong. Angka-angka besar yang tertera di sana seolah menekan dadanya hingga sulit bernapas. Ia bahkan masih bisa mengingat dengan jelas apa yang petugas administrasi itu katakan padanya. Ayahnya masih terbaring koma, bergantung pada alat-alat medis yang biayanya terus membengkak setiap hari. Sudah tidak ada lagi yang bisa dijual, tidak ada keluarga yang bisa diandalkan, dan penghasilannya sebagai karyawan pemasaran bahkan tidak cukup untuk membayar seperempat dari total tagihan itu. Ingin meminjam pada kantornya, sangat tidak mungkin. karena dirinya juga baru saja bekerja sejak dua bulan yang lalu. kantor mana yang mau meminjamkan uang sebanyak ini pada karyawan yang baru bekerja dua bulan. Amora menggigit bibir, pikirannya kacau, bingung harus mencari pinjaman dari mana lagi. Waktu terus berjalan, dan ancaman penghentian pengobatan ayahnya semakin mendekat. Amora menjambak rambutnya. Entah sudah yang keberapa kali ia melakukan itu. Bahkan helaian rambutnya yang tercabut masih melilit di jemarinya. Ia kembali meremas kertas tagihan itu dengan tangan gemetar, kepalanya tertunduk dalam kebingungan. Namun, di tengah kegalauannya, sebuah nama melintas di benaknya—Dirga. Bosnya di kantor, pria yang dulu pernah menjadi sosok yang diam-diam ia kagumi semasa SMA. Sekarang, Dirga adalah CEO sukses dengan kekuasaan dan kekayaan yang tak terbatas. Tapi, Amora tahu betul seperti apa Dirga—dingin, tak tersentuh, dan selalu menjaga jarak dari semua orang, termasuk dirinya. Tapi ia tak ada pilihan lain. Hanya Dirga yang bisa ia andalkan saat ini. Dan dalam doanya ia berharap, Dirga mau membantunya. __ Amora berdiri di depan pintu apartemen Dirga, jantungnya berdegup kencang. Wajahnya sudah tidak asing, tetapi hatinya tetap bergemuruh. Dirga—pria yang dulu menjadi pusat perhatiannya saat SMA, meski perasaannya tak pernah dibalas. Kini, mereka bertemu lagi, namun dalam situasi yang sangat berbeda. Dirga bukan hanya pria yang dulu ia kagumi, tetapi juga bosnya di kantor, meskipun untuk saat ini, mereka berdua bukan berada dalam konteks pekerjaan. Pintu terbuka, dan Dirga muncul. Tak ada senyuman, hanya tatapan datar yang langsung menyapu Amora. Dia mengenakan pakaian santai, tetapi aura dinginnya tetap terasa. "Ada apa?" Tanya Dirga datar. Amora menelan ludah, merasa seolah ada jarak yang tak bisa ia jembatani meski mereka pernah mengenal satu sama lain. "Maaf, aku tahu ini mungkin tidak tepat, tapi... aku butuh bantuanmu," ujarnya, berusaha menyembunyikan kecemasannya. Dirga mengerutkan kening, tetapi tidak ada perubahan signifikan pada ekspresinya. "Bantuan?" tanyanya singkat, seolah tidak terlalu tertarik dengan penjelasan lebih lanjut. Amora merasakan ketegangan di udara. "Ayahku koma di rumah sakit... dan aku... aku tidak bisa membayar biaya pengobatannya. Mereka bilang, jika tidak segera dilunasi, mereka akan menghentikan perawatan." Suaranya mulai tercekat. "Aku tidak tahu harus pergi ke siapa lagi, Dirga. Aku... aku butuh bantuanmu." Dirga tetap terdiam sejenak, menilai Amora dengan tatapan kosong, Amora merasakan panas di wajahnya, tidak tahu harus menjelaskan apa lagi. "Aku... tidak tahu siapa lagi yang bisa aku minta tolong. Aku hanya... butuh bantuanmu sekarang." Dirga menghela napas pelan, lalu melangkah mundur, membuka pintu sedikit lebih lebar. "Masuk." Titahnya. Amora melangkah masuk ke dalam apartemen Dirga, terkesan dengan kemewahan yang mengelilinginya. Ruangan luas, dengan lantai marmer mengkilap dan lampu gantung kristal yang memberikan kesan dingin dan elegan. Setiap detilnya terasa begitu terjaga, sama seperti Dirga—pria yang kini menjadi bosnya, namun di sini, mereka hanya dua orang yang terikat kenangan masa lalu yang jauh berbeda. Dirga melangkah lebih dulu dan mengisyaratkan Amora untuk duduk di sofa kulit hitam yang terletak di tengah ruang tamu. Amora duduk dengan gugup, menahan perasaan cemas yang semakin menggerogoti dirinya. Dirga duduk di sofa yang ada di seberang meja yang masih berhadapan dengan Amora, tatapannya tajam dan dingin, seperti seorang bos yang tidak terpengaruh oleh apa pun. "Jadi, kamu datang ke sini untuk meminta bantuan?" suaranya terdengar datar, tanpa sedikit pun ekspresi. Amora menunduk, mencoba mengumpulkan keberanian. Amora mengangguk takut. "Aku sungguh tak tahu lagi harus meminta bantuan siapa Dirga." Ucapnya. Dirga mendengus, ekspresinya tak berubah. "Kamu pikir aku akan membantu hanya karena kita pernah satu sekolah?" katanya dengan nada meremehkan. "Aku menerima kamu bekerja bukan karena kita kenal dulu, Amora. Jangan coba memanfaatkan momen ini." Amora merasa tubuhnya kaku, setiap kata Dirga seolah menusuk, membuatnya merasa kecil. "Aku hanya... butuh bantuan, Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini jika ayahku meninggal Dirga." Ucapnya lirih, suaranya tenggelam dalam keheningan yang berat. "Dan Kamu pikir aku peduli dengan kondisimu saat ini? Sekarang Kamu bawahanku Amora, bukan teman satu sekolah lagi." Jawaban Dirga membuat Amora semakin terpuruk. Hidup sendiri tanpa ayahnya saat ini menjadi momok paling menakutkan baginya. Ia tak mau itu terjadi dalam hidupnya. Amora kembali menatap Dirga. Namun saat ia ingin buka suara Kembali, geraknya dihentikan karena ponsel Dirga yang tiba-tiba berbunyi. Dirga langsung berdiri dari duduknya dan beranjak sedikit menjauh dari Amora. Amora melirik ke arah Dirga. Kenangan bagaimana ia dulu menyukai Dirga secara diam-diam kembali terkenang di memorinya. Dan menerima kenyataan jika sekarang posisi Dirga adalah bosnya di kantor membuat Amora merasa kecil. Perasaan yang dulu ia punya untuk Dirga seketika memilih untuk bersembunyi dan mengunci diri di sudut hatinya yang paling dalam. Semuanya akan terasa sulit jika perasaan itu saat ini masih ada. Amora menghela nafas panjang. Ia mencoba meyakinkan dirinya jika keberadaannya di sini hanya demi pengobatan ayahnya. Dirga kembali ke ruang tamu setelah menerima telepon, langkahnya tenang namun berwibawa. Dia duduk di sofa di hadapan Amora, menyilangkan kaki dengan sikap santai, namun tatapannya tetap tajam dan tak terbaca. Suasana ruangan itu terasa semakin dingin, seolah memantulkan sikap Dirga yang tak terjangkau. Amora menatapnya dengan penuh harap, meski ketegangan menggantung di udara. Napasnya sedikit tertahan ketika Dirga membuka mulut untuk berbicara. "Aku akan membayar semua tunggakan biaya rumah sakit ayahmu," kata Dirga dengan nada datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi. Mata Amora melebar. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Benarkah? Dirga, ini bukan sebuah lelucon kan? Ini, Dirga, terima kasih banyak, aku—" "Tapi," potong Dirga cepat, suaranya lebih rendah namun tetap penuh otoritas, "ada satu syarat." Amora terdiam, merasa sesuatu yang besar akan segera terjadi. Jantungnya berdegup lebih kencang. "Syarat apa?" tanyanya dengan suara bergetar. Dirga menatap lurus ke arahnya, matanya seperti berlian yang dingin dan tajam. "menikahlah denganku dan lahirkan seorang anak untukku." *****Kehamilan Silva berjalan lancar, meski seperti kebanyakan wanita hamil, ia juga mengalami morning sickness yang cukup parah. Setiap pagi, Ryan selalu membantu istrinya menghadapi mual dan muntah yang tidak bisa dihindari. Ia memastikan Silva tetap terhidrasi dengan memberikan air jahe hangat yang bisa membantu meredakan rasa mualnya. Namun, hal yang paling membuat Ryan pusing adalah ketika Silva mulai mengidam. Keinginan Silva seringkali datang tiba-tiba, dan bukan hal yang biasa. Mulai dari rujak pedas tengah malam hingga kue-kue tradisional yang sulit ditemukan, semua itu harus Ryan usahakan demi membahagiakan istrinya.Suatu malam, Silva tiba-tiba membangunkan Ryan yang sedang tertidur lelap. Dengan wajah memelas, ia berkata, "Sayang, aku pengen makan durian." Ryan yang setengah sadar hanya bisa mengernyitkan dahi. "Durian? Sekarang? Sayang, ini sudah hampir tengah malam," jawabnya sambil melirik jam di meja. Tapi melihat wajah Silva yang tampak begitu menginginkan hal itu, Ryan
Dua bulan setelah pernikahan mereka, kehidupan Ryan dan Silva berjalan begitu tenang dan bahagia. Tidak ada lagi bayangan Adrian yang mengusik, dan masalah-masalah yang dulu sempat menghantui mereka kini hanya menjadi kenangan buruk yang semakin memantapkan hubungan mereka. Pagi itu, Silva bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya—mual ringan dan rasa lelah yang tidak biasa. Selain itu, ia menyadari bahwa siklus bulanannya terlambat beberapa hari. Rasa penasaran langsung menggelitik pikirannya.Setelah memastikan Ryan masih tertidur lelap di kamar, Silva memutuskan untuk memeriksa hal itu sendiri. Ia mengambil tes kehamilan yang sudah ia simpan sejak satu bulan yang lalu. Tangannya sedikit gemetar saat mencelupkan alat itu ke dalam sampel yang ia ambil. Beberapa menit menunggu terasa seperti seabad baginya. Ketika hasil akhirnya keluar, dua garis merah muncul di alat itu, jelas dan nyata. Silva terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kenyataan
Pagi itu, Tuan Wijaya melangkah masuk ke ruang kerja Dirga dengan langkah yang terasa berat. Pria paruh baya itu membawa beban yang begitu besar di pundaknya. Wajahnya yang biasanya penuh dengan wibawa kini tampak suram. Dirga yang sedang memeriksa dokumen di mejanya itu dibuat terganggu dengan kehadiran sekretarisnya yang memberi kabar jika ada tamu yang ingin bertemu dengan Dirga di luar. Awalnya Dirga sedikit ragu namun akhirnya ia mengizinkan tamu tersebut untuk masuk.Saat suara ketukan pintu terdengar Dirga pun langsung mengangkat kepala ketika melihat tamunya. "Tuan Wijaya?" tanyanya, setengah terkejut. Tamu ini adalah seseorang yang jarang sekali mau menemui orang lain terlebih dahulu. "Silakan duduk," sambung Dirga sembari mengisyaratkan kursi di depannya. Tuan Wijaya tersenyum tipis, lebih seperti usaha untuk menyembunyikan rasa malunya.Setelah duduk, Tuan Wijaya langsung membuka pembicaraan tanpa basa-basi. "Dirga, aku datang ke sini bukan hanya sebagai pemimpin perusaha
Adrian duduk di kursi kantornya dengan wajah yang penuh emosi. Berkas-berkas laporan keuangan yang berserakan di mejanya menjadi bukti nyata kehancuran yang tengah melanda perusahaannya. Sementara itu, Tuan Wijaya, ayah Adrian, tampak berdiri di depan jendela besar ruangan tersebut dengan wajah penuh kekhawatiran. “Adrian, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa para investor kita tiba-tiba menarik diri tanpa alasan yang jelas?” tanyanya dengan nada tajam. Adrian hanya menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. “Aku sedang mencoba mencari tahu, Ayah. Tapi ini semua terjadi begitu cepat. Aku yakin ini bukan kebetulan,” jawabnya dengan suara rendah namun penuh amarah.Adrian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perusahaan mereka, yang selama ini berdiri kokoh, kini berada di ambang kehancuran. Salah satu manajer keuangan masuk ke ruangan dengan raut wajah cemas, membawa kabar yang semakin memperburuk suasana. “Pak Adrian, maaf mengganggu. Kami baru saja menerima kabar bahwa bebera
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan suasana pesta perlahan mereda, Ryan dan Silva akhirnya masuk ke kamar yang telah disiapkan khusus untuk mereka. Kamar itu begitu hangat, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan bunga mawar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Silva berjalan pelan, matanya menyapu setiap sudut kamar dengan ragu-ragu. Gaun pengantinnya masih dikenakan, membuatnya terlihat seperti sosok putri di negeri dongeng. Sementara itu, Ryan berdiri di dekat pintu, memandangi istrinya dengan senyum kecil yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," bisik Ryan, membuat wajah Silva memerah.Silva memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Kamu terlalu sering memujiku hari ini," jawabnya pelan. Ryan melangkah mendekat, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi dekat tempat tidur. "Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat," balasnya sambil menatap Silva dengan lembut. Malam itu terasa begitu berbeda, ada kehangatan yang me
Pagi itu, udara terasa segar di villa yang terletak di daerah pegunungan. Silva sedang duduk di depan meja rias dengan wajah yang dihiasi senyum tipis. Di belakangnya, seorang perias sedang sibuk menyempurnakan make-up-nya. Gaun pengantin berwarna putih dengan detail renda yang indah tergantung di dekat jendela, memantulkan sinar matahari pagi. Silva menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Nona, Sepertinya kau terlihat sangat gugup. Cobalah untuk menenangkan diri. Sebuah pernikahan itu memang mendebarkan." Ucapnya.Silva tersenyum kikuk. "Aku tak tahu rasanya akan sungguh segugup ini. Supercar dari kebun kupu-kupu yang saat ini berterbangan dalam perutku." Jawabnya yang langsung membuat penata rias tersebut tertawa. "Dulu saat aku menikah, aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang gak nona rasakan. Jantungku bahkan berdegup tak karuan, tubuhku panas dingin dan keringat dingin keluar dari pori-pori wajahku. Tapi satu hal yang membuatku ban