Ayudhia dan Arlo berada dalam satu mobil yang melaju menuju Atelier. Keheningan begitu terasa di dalam sepanjang perjalanan. Ayudhia duduk kaku, tak berani menoleh sedikit pun pada Arlo yang duduk diam di sampingnya. Pria itu tidak bicara sepatah kata pun sejak sarapan tadi.Ayudhia menunduk dan menghela kecil, kesepuluh jarinya saling meremat, merasa menyesal telah meminjamkan pakaian Arlo pada Elvano tanpa izin pria itu. Ayudhia melirik Arlo, menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan, menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan Arlo memarahinya. Bagaimanapun, Ayudhia harus bertanggung jawab.“Saya minta maaf karena sudah mengambil pakaian Anda tanpa izin,” ucapnya pelan, tangannya mencengkram kuat tas yang ada di pangkuannya. “Saya sudah minta Elvano untuk mengambilnya sendiri, tapi dia menolak dan meminta agar saya yang mengambilkan karena dia juga takut kalau Anda marah.” “Hm.” Hanya sebuah gumaman rendah yang keluar dari mulut Arlo. Ayudhia kembali menundukkan pandanga
Keesokan harinya.Arlo duduk di ujung sofa dengan kaki menyilang dan tangan kirinya bertumpu pada lengan kursi, mengusap salah satu alisnya. Tatapannya kosong tetapi pikirannya kembali pada ucapan gegabah Elvano semalam. Model? Tanpa busana, adiknya bilang?! Memikirkan itu, rahangnya mengeras.Di saat yang sama, pintu kamar mandi terbuka, menarik Arlo dari lamunannya. Arlo mengangkat pandangannya, menatap Ayudhia yang baru saja melangkah keluar.“Sebaiknya kamu tidak melakukan hal-hal aneh.”Suara Arlo yang dalam dan dingin itu membuat langkah Ayudhia terhenti. Dia menoleh, keningnya berkerut samar. “Maksudmu? Melakukan hal-hal aneh apa?”Arlo bangkit, melangkah maju mendekati Ayudhia hingga jarak di antara mereka terkikis habis.Ayudhia refleks mundur selangkah, punggungnya kini menempel pada dinding yang dingin. Dia menelan ludah saat Arlo menatapnya intens dan jarak wajahnya hanya sejengkal dari wajah Ayudhia.“Soal tawaranmu pada Elvano semalam,” desis Arlo, suaranya rendah. “Kamu
“Bicara apa kamu?” Suara Arlo yang dalam dan dingin itu memotong, membuat Ayudhia dan Elvano terkejut secara bersamaan. Elvano menoleh ke belakang punggungnya. Buru-buru dia melepas tangan Ayudhia yang sejak tadi digenggam, lalu melangkahkan kaki dengan cepat berpindah ke belakang Ayudhia. “Tolong aku, Kakak Ipar,” bisik Elvano, tepat di telinga Ayudhia. “Arlo pasti akan menghajarku.” Ayudhia hanya bisa berdiri kaku, bingung, terjebak di antara dua saudara itu. Ayudhia menoleh sedikit, menatap Elvano yang sedikit membungkukkan badan agar bisa bersembunyi di belakang tubuhnya yang lebih mungil. “Suamimu ini selain dingin, dia juga galak dan suka menganiayaku,” lanjut Elvano berbisik. Tatapan Arlo datar. Dia mengambil satu langkah maju, tangannya terkepal, namun Arlo berhenti saat melihat Ayudhia yang berdiri canggung di antara mereka. Merasa harus melakukan sesuatu untuk meredakan suasana yang aneh ini, Ayudhia memutar kepalanya sedikit. Namun, belum sempat Ayudhia mengatakan se
“Jaga ucapanmu.” Suara Arlo tegas dan dalam. “Anak kecil sepertimu tahu apa?” “Kamu bilang aku anak kecil?” Kedua tangan Elvano terangkat di atas pinggang dan matanya melotot ke arah Arlo. “Usiaku hanya selisih lima tahun lebih muda darimu, aku juga sekarang sudah magang di RDJ, kenapa kamu suka sekali mengataiku anak kecil?” Satu sudut bibir Arlo terangkat. “Masih tidak sadar diri.” Bagi Arlo, Elvano masih suka bersikap kekanak-kanakan meski usianya sudah 23 tahun. Sejak kecil, adiknya itu terlalu dimanja oleh orang tua dan keluarga mereka yang lain, membuat Elvano belum bisa bersikap dewasa di usianya sekarang. Elvano menatap Arlo yang diam dengan tatapan serius. Dia diam dan mencoba mengamati ekspresi wajah yang sang kakak tunjukkan. Lalu, Elvano bergerak cepat ke kursi yang ada di depan meja kerja Arlo lalu mendudukkan tubuhnya di sana, kedua tangannya terlipat di atas meja, tatapan matanya kini berubah ingin tahu. “Jadi, benar kalau kalian menikah buru-buru bukan karena dia
Bola mata Elvano membulat sempurna. Rahangnya jatuh. “Tunggu. Apa? Istri?” katanya tak percaya, sebelum tawa keras dan mengejek meledak darinya, menggema di seluruh kamar.“Mana mungkin, aku tidak percaya,” sanggah Elvano sambil berusaha menghentikan tawa dan menggelengkan kepala pelan lalu kedua tangannya berkacak pinggang, “kamu pikir aku bodoh?” Matanya yang tadi geli kini melotot ke arah kakaknya, sebelum telunjuknya kembali teracung pada Ayudhia. “Dia istrimu? Tidak mungkin. Jelas-jelas kamu ini suka main wanita, mau mengelak apa lagi?” Arlo tidak menjawab. Dia mengusap wajahnya dengan satu tangan, gerakan lelah yang menonjolkan garis rahangnya yang tegas. Wajahnya sedingin es, namun ada kilatan kekesalan yang berbahaya di matanya saat mendengar ocehan adiknya yang sembarangan itu.Elvano mengalihkan pandangan pada Ayudhia, dia memperhatikan tubuh Ayudhia dari atas kepala hingga kaki, lalu matanya kembali tertuju pada Arlo. “Sudah berapa puluh wanita yang sudah kamu bawa pulang
Tubuh Ayudhia membeku saat telapak tangan besar itu menyentuh perutnya dan perlahan merabanya. Jantungnya berdegup cepat sampai-sampai Ayudhia meneguk ludah kasar.Tidak bisa, bukan begini juga kesepakatan pernikahan mereka.Bibir Ayudhia bergerak untuk bicara, tetapi telinganya sudah lebih dulu menangkap suara dari arah belakangnya.“Arlo, ke mana otot perutmu? Kamu jadi langsing sekali? Seperti perempuan.”Bola mata Ayudhia membulat sempurna. Suaranya tersekat ketika indera pendengarannya menangkap suara pria lain. Dia menurunkan pandangan dan melihat telunjuk pria itu menusuk-nusuk perutnya perlahan.Kepanikan menyergahnya. Seketika Ayudhia meraih tangan besar itu lalu menghempaskannya dengan kuat ke belakang punggungnya lalu Ayudhia melompat dari ranjang begitu saja dengan jantung yang berdegup cepat.Kulit wajah Ayudhia memucat dengan napas tak beraturan saat memandang ke ranjang. Dia merapat di dinding sambil memperhatikan pria yang ada di atas ranjang kini sedang memandang ke a