Gimanaaa para wargaaaa, sudah pada siaappp? XD
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
“Ahh, nikmat sekali, Sean!” Yuna baru saja melangkah ke dalam kamar hotelnya dan samar-samar mendengar suara seorang wanita. Terdengar juga deru napas yang beradu dari balik dinding di depannya. Gadis itu mengerutkan alis. Seingatnya, baru Sean, kekasihnya, yang tiba di kamar ini. Mengapa bisa ada seorang wanita?Yuna memberanikan diri melangkah lebih jauh. DegJantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat Sean bersama seorang wanita. Keduanya tidak mengenakan busana apa pun dan asyik bermain di atas ranjang. Begitu larut dalam permainan hingga tidak menyadari kehadiran Yuna di sana. “Kau benar-benar seksi, Sayang.” Sean memuji wanita yang berada di bawahnya. Wanita yang ia kenal sebagai Aubrey, atasan Sean, itu terkikik malu. “Tentu saja. Aku lebih baik daripada pacarmu yang culun itu, 'kan?” tanya wanita itu dengan percaya diri. “Sudah pasti.” Sean menjawab dan kembali melabuhkan kecupan manja pada bahu Aubrey yang terbuka. Hati Yuna seakan tersayat mendengar pengkhianata
Mata Yuna mengerjap terbuka saat secercah cahaya matahari memasuki kamar itu. Ia beringsut membalikkan tubuhnya dan samar-samar melihat siluet orang lain. Lebih tepatnya, siluet seorang pria. “Apakah kau menikmati permainan semalam, Nona?” tanya suara serak itu. Mata Yuna seketika membelalak terbuka. Ia benar-benar mendapati seorang pria di sisinya. Tanpa busana. Ia pun menunduk pada tubuhnya sendiri yang juga tanpa busana. Seketika Yuna berteriak kencang. Morgan memicingkan mata dengan risi. “Berisik sekali. Mengapa kau berteriak? Aku sudah melihat semuanya tadi malam,” tutur pria itu. Ucapannya membuat Yuna semakin panik. “Kau—pria berengsek!” sergahnya. “Pergi! Pergi dari kamarku!” Yuna mulai memukuli tubuh atletis Morgan dengan bantal. Memaksa pria itu untuk ikut bangun.“Kamarmu? Ini adalah kamarku!” bantah pria itu. Yuna seketika terdiam. Sekali lagi, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Kamar yang ia tempati memang terlihat sangat mewah. Bahkan ranjangnya pun king size
Dua bulan kemudian …. Dua garis merah. Yuna membelalakkan mata. Tangannya refleks menutup bibirnya dengan syok. Seluruh kekuatannya seakan hilang dan Yuna jatuh terduduk di atas toilet duduk di kamar mandinya. Sudah lebih dari dua bulan Yuna telat datang bulan. Awalnya, gadis itu berpikir mungkin karena stress setelah ditinggal Sean. Namun pagi ini, Yuna iseng mengeceknya dan tahu-tahu mendapat hasil yang mengejutkan. “Tidak mungkin!” gumam wanita itu dengan panik. Ia membasuh peluh di pelipisnya, kemudian cepat-cepat membuka kemasan alat tes kehamilan lainnya. Entah kebetulan atau apa, saat di apotek, Yuna memiliki firasat harus membeli dua. Cepat-cepat gadis itu kembali mengeceknya. Wajah Yuna menjadi pucat saat mendapatkan hasil dua garis merah yang sama. Tamatlah riwayatnya. Dok dok dok “Yuna! Apa yang kau lakukan di dalam?! Ibu mau ke kamar mandi!” Terdengar suara sang ibu dari luar. Wajah Yuna bertambah pucat. Ibunya pasti akan menghabisi Yuna di tempat jika mengetahu
Tuut tuut tuut “Halo? Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Suara itu tak terdengar seperti Morgan, melainkan sekretarisnya. Yuna seketika menjadi gelagapan. Tak tahu bagaimana harus merangkai kata-kata. “A—aku Yuna,” jawabnya, “Aku memiliki hal penting untuk dibicarakan dengan Morgan Lew … Morgan Lew—” Yuna tampak kesulitan mengeja nama itu. “Morgan Lewis Spencer.” “Tuan Morgan mengalami kecelakaan mobil parah tiga minggu lalu. Semua urusan yang berkaitan dengannya akan diserahkan kepada sekretarisnya untuk sementara.” Benny mengumumkan. ******Yuna pikir, masalah itu bukan hal yang seharusnya diserahkan kepada sekretaris Morgan, sekalipun dia adalah sekretaris pribadi. Yuna bersikeras untuk bicara kepada Morgan. Awalnya, Benny menolak. Namun, begitu mendengar nama Yuna, Morgan setuju untuk bicara. Dengan syarat gadis itu harus datang langsung menemuinya.Yuna pun menyanggupi. Kini, gadis itu ternganga di depan kediaman Morgan. Sejak awal, ia tahu Morgan adalah orang kaya.
“Kau yakin?” Morgan bertanya. Dia tidak terlihat goyah setelah mendengar kata-kata ‘menggugurkan’. Iris hitamnya masih memandang Yuna dengan dingin seolah janin dalam kandungannya bukanlah manusia yang harus dipertahankan. Justru Benny yang terlihat cemas. Tampaknya, sekretaris itu lebih bisa memahami makna nilai-nilai moral daripada bosnya. “Ya.” Yuna menjawab meski hatinya seakan tersayat saat membayangkannya. “Itu yang Anda inginkan, bukan?” “Kau—” Perkataan Morgan terhenti saat tiba-tiba terdengar dering ponsel menguar di ruangan. Benny cepat-cepat mengecek ponselnya dan berjalan ke sudut untuk menjawab. “Baik. Terima kasih,” tutur pria itu. Dan, panggilan telepon diakhiri. “Ada apa?” Morgan kembali bertanya. Dia melirik ke arah Yuna sekilas. Seolah ragu apakah hendak mengatakannya di depan gadis itu. “Nona Aubrey datang, Tuan, dan dia membawa seorang pria bersamanya.” Benny memberitahu. Yuna tak berkutik. Ia yakin Aubrey adalah tunangan Morgan. Alis Morgan berkerut pen