"Ibu!" Arandita berlari ke arah rumah Bastian melihat Devina dan Furqan berdiri di luar pintu. Wanita itu langsung merentangkan tangan hendak memeluk kedua orang tuanya."Sayang! Jangan lari-larian!" teriak Bastian, khawatir. Arandita selalu saja ceroboh padahal dirinya baru saja keguguran."Hei akhirnya kamu pulang juga," ujar Devina sambil membalas pelukan Arandita. Putrinya langsung beralih memeluk sang ayah."Ibu kapan tiba?" tanya Bastian sambil mengulurkan tangan hendak menyalami kedua mertuanya."Baru saja, kami baru saja meletakkan pakaian dan ingin menyusul kalian ke rumah sakit. Eh ternyata sudah pulang." Furqan yang menjawab. Lalu tatapannya beralih pada putri tunggalnya. "Apa keadaanmu sekarang baik-baik saja, Nak?" Furqan menatap tubuh Arandita dari atas sampai bawah dimana putrinya begitu terlihat kurus. Bastian langsung menunduk melihat mertua Laki-lakinya memindai wajah dan seluruh tubuh Arandita."Nak Bastian apakah selama ini kamu memperlakukan anak kami dengan baik?
"Bob!" Pak Furqan berlari keluar rumah dan mengejar Bobby."Iya Paman?" Bobby menghentikan langkah dan menoleh."Tunggu sebentar!"Kali ini Bobby mengangguk dan menunggu hingga Pak Furqan sampai di sisinya. "Ada apa Paman? Maafkan atas segala kesalahan saya pada putri Paman dan maafkan juga karena saya hubungan Paman hampir renggang dengan Mas Bastian. Jujur saya memberitahukan tentang hubungan Arandita dan abang sebelumnya karena peduli pada Arandita. Tidak ada maksud ingin membuat Paman berselisih ataupun berniat untuk menghancurkan pernikahan mereka.""Saya paham arah pikiran kamu, terima kasih telah peduli pada putri kami dan maafkan kami telah percaya pada fitnah yang pernah Agresia layangkan padamu. Seandainya saat itu kami tidak percaya pasti sekarang kamulah yang menjadi menantu Paman.""Perkara jodoh hanya Tuhan yang tahu Paman. Semua sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Dulu saya pernah ngotot ingin tetap Arandita kembali pada saya, tapi kenyataannya Arandita sudah jatuh terlal
"Iya Yah, kami paham, iya kan Sayang?" Bastian tersenyum ke arah sang istri dan Arandita menjawab dengan anggukan."Aku pamit mandi dulu ya, nggak nyaman ini." Bastian menggerakkan baju atasan."Iya Mas sana!"Bastian mengangguk lalu menunduk kepada ayah dan ibu mertuanya. Setelah itu barulah pria itu menarik handuk dan masuk ke kamar mandi."Ibu dan ayah keluar dulu ya," pamit Devina lalu menarik tangan sang suami agar keluar dari kamar anak dan menantunya. Sungguh ia takut Bastian tidak nyaman di kamarnya sendiri karena ada orang tua Arandita mengingat pria itu sedang mandi."Iya Bu, tapi jangan pulang dulu ya, Aran masih kangen.""Oke, kamu istirahat dulu, ayah sama ibu mau jalan-jalan di luar." Arandita mengangguk dan hanya diam menatap punggung kedua orang tuanya yang berlalu dari kamar."Eh besan mau kemana?" tanya nenek menyambut kedua orang tua Arandita dengan senyuman ramah."Jalan-jalan di luar Nyonya," sahut Devina."Oh boleh-boleh, tapi jangan jauh-jauh ya, nanti kita maka
"Kamu menemui Agresia?" tanya Bastian sambil melirik ke arah sepasang kekasih yang berjalan menjauh. "Ya begitu deh Mas, jadi malas aku gara-gara jawaban dia yang menjengkelkan," sahut Arandita lalu menggandeng tangan Bastian dan membawanya menuju rumah orang tuanya."Memang kamu ngomong apa sama dia?" Bastian mengerutkan kening melihat raut wajah istrinya yang nampak emosi."Aku bilang Annin bersamaku barangkali dia kangen dan ingin melihat putri kandungnya. Eh jawabannya dia bilang kalau aku hanya mau fitnah dirinya di depan pacarnya dan dia sudah menganggap Annin anak haram dan sudah mati. Kurang aja sekali nggak sih?"Kedua orang tua Arandita hanya menggeleng mendengar penjelasan putrinya sedangkan Bastian tersenyum miris."Biarkan saja, nanti kalau dia sudah bosan dengan dunianya dia akan menyesal dan pada saat itu mungkin saja Annin tidak akan mau mengakuinya." Melihat penampilan Agresia yang sangat terbuka dan tidak seperti biasanya Bastian dapat menebak kalau wanita itu menj
Sepanjang perjalanan Bastian hanya diam saja membuat hati Arandita semakin cemas."Mas, kita akan kemana?" Tak tahan dengan keterdiaman mereka akhirnya Arandita buka suara. "Nanti kamu akan tahu sendiri," jawab Bastian tanpa menatap sang istri hingga Arandita mendesah kasar."Kenapa Mas Bastian kembali main rahasia-rahasiaan begini? Apakah Mas tidak tahu kalau jantung Arandita pun tidak sehat karena ini semua?"Bastian terkekeh mendengar ucapan sang istri. Arandita langsung tersenyum dan bernafas lega karena ternyata suaminya tidak marah."Kenapa bisa tidak sehat?""Karena jedug-jedug nggak karuan melihat ekspresi Mas Bastian, sudah gitu nggak ngomong lagi.""Aku lagi konsentrasi nyetir, tahu sendiri kan, keadaan jalanan seperti apa? Ditambah belakangan juga ramai. Aku harus memastikan istriku aman. Kenapa jedag-jedug, bukannya kita sudah terbiasa senam jantung berdua setiap hari?""Cuma takut Mas Bastian marah.""Atas?""Foto-foto Bobby di kamarku."Bastian menatap ke arah Arandita
Matanya pun nampak berkaca-kaca, sungguh Arandita tidak menyangka Bastian memberikan kejutan seperti ini padanya. Baginya ini terlalu istimewa."Mas, terima kasih," ucap Arandita sambil menyeka air mata. Tangis haru mewarnai wajahnya yang cantik.Bastian meraih tisu lalu mengelap pipi dan sudut mata Arandita yang basah. Pria itu menangkup wajah sang istri lalu menatapnya lekat-lekat. "Terima kasih sudah mau melangkah sejauh ini bersama, terima kasih sudah mau menjadi teman hidupku." Bastian tersenyum lalu mendekatkan bibirnya ke wajah sang istri. Saat Bastian mengecup keningnya mata Arandita terpejam, menikmati sentuhan benda kenyal di pelipisnya. Mereka berdua lalu berpelukan erat, untuk sesaat larut dalam irama hati yang senada."Kita ke sana yuk!" ajak Bastian dan Arandita langsung melepaskan pelukan mereka. Bastian menggenggam tangan sang istri dan menuntunnya ke meja. Setelah sampai di sisi meja, Bastian menyingkirkan lilin yang tepat berada di hadapan dan meminta Arandita untuk
Fajar menyingsing, matahari mulai naik dari cakrawala. Sinarnya menciptakan kehangatan di pagi yang indah. Arandita duduk di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang basah sedangkan Bastian masih berkutat di kamar mandi. Sesaat kemudian pria itu keluar dengan tubuh terlilit handuk dengan rambut yang basah pula. Saat memandang sang istri ia tersenyum puas. "Kita kemana hari ini Mas?" Arandita bertanya sambil memandang tubuh gagah suaminya lewat pantulan cermin."Ada request?" Bastian balik bertanya karena memang tidak ada rencana. Hari ini dan beberapa hari ke depan ia hanya ingin menghabiskan waktu berdua bersama sang istri. Bastian melangkah ke arah Arandita dan berdiri di belakangnya.Arandita menggeleng. Wanita itu meletakkan sisir dan bangkit dari duduknya. Tubuhnya berbalik dan menatap wajah Bastian lamat-lamat. "Kamu tidak masuk kerja?""Tidak dulu, saya sudah memberi tahukan pada Rafi."Kali ini Arandita mengangguk. Bastian tersenyum kembali lalu mengucapkan terima kasih."
Arandita lalu menelpon Pak Furqan dan meminta tolong untuk membawa Annin ke rumah sakit tempat Lean dirawat. Sebelum ayahnya datang dia dan Bastian tiba terlebih dahulu. Jadi keduanya menunggu di luar rumah sakit.Saat ada sebuah taksi berhenti di depan rumah sakit Arandita selalu melihat dengan seksama, berharap itu adalah ayah atau ibunya. "Ternyata bukan." Selalu kecewa setiap kali yang keluar dari taksi adalah orang lain."Telepon saja deh Sayang daripada gelisah terus seperti itu!" Bastian terkekeh melihat ekspresi sang istri. Istrinya itu akhir-akhir ini memang sering tidak sabaran. Arandita mengangguk dan Bastian tersenyum.Saat Pak Furqan mendapatkan panggilan dari Arandita. taksi yang baru ditumpanginya sudah tiba di depan rumah sakit. Jadi pria itu memilih mengabaikan telepon dari putrinya sebentar. Ketika kakinya menginjak lantai pria itu melihat Arandita melambaikan tangan dengan antusias. Bibirnya tersenyum lebar."Ada apa sih hingga harus tergesa-gesa membawa Annin ke ru