[Suamimu selingkuh. Datanglah ke Fisherman's resto di Mapo Gu Street pukul 10.30]
Ava mengernyit ketika tiba-tiba saja ponselnya berdenting dan muncul sebuah pesan dari nomor asing."Nomor telepon yang anda tuju tidak terdaftar, mohon periksa—""Aneh!" Alis Ava yang samar saling bertautan dan langsung menutup panggilan tersebut. Dia bukan menelpon suaminya, tetapi menghubungi nomor yang mengirim pesan dan memberitahu Ava bahwa suaminya berselingkuh.Itu bukan pertama kalinya Ava menerima pesan dari nomor asing. Kalau dipikir-pikir lagi, sejak suaminya menjadi manajer, setiap bulan Ava selalu menerima pesan dari nomor asing yang berbeda-beda.Lalu, ketika dia mencoba menghubungi nomor tersebut, operator mengatakan kalau nomor tidak terdaftar atau berada di luar jangkauan.Padahal, jelas-jelas Ava menerima pesan masuk dari nomor tersebut dua menit lalu. Namun, faktanya nomor-nomor yang mengirimi pesan tidak bisa dihubungi. Jadi, Ava berpikir kalau pengirim pesan hanya orang iseng.Pesan itu mengabarkan kalau Ava disuruh datang ke restoran pukul 10.30. Sekarang waktu menunjukkan pukul 10.05, dan baru dua jam Ava berada di tempatnya bekerja.Ava agak ragu-ragu untuk memercayai pesan dari pengirim yang tak jelas, tetapi dia tidak sungkan untuk menelpon sang suami dan memastikan pria itu pasti sedang sibuk."Hallo, James—""Kenapa, Ava?" tukas James dari seberang panggilan, suaranya berupa bisikan kasar dan dingin, diiringi gema suara pria yang tampaknya sedang memimpin rapat di sebuah ruangan. "Aku sedang rapat, ini baru dimulai lima menit lalu. Kamu kalau ada keperluan mendesak, telepon aku dua jam lagi, bosku sedang memimpin rapat.""Oh, tidak ada hal mendesak," sahut Ava sambil menggosok tengkuk dan menggigit bibir. "Aku hanya rindu mendengar suaramu.""Sekarang sudah mendengarnya?" timpal James sinis. "Apa kamu mau aku ditegur bos karena menerima panggilan saat rapat sedang berlangsung?""Ya, aku sudah mendengar suaramu," kata Ava kakul. "Kamu jangan lupa makan siang. Aku mencintaimu, James.""Ya. Aku tutup teleponnya sekarang."Ava mengembuskan napas lega. Seharusnya dia tak perlu menghiraukan pesan misterius itu karena sudah bisa menduga kalau suaminya pasti sibuk sampai tak ada waktu untuk berselingkuh.Si pengirim pesan memang hanya orang iseng, Ava memutuskan untuk kembali memusatkan perhatiannya pada pekerjaan dan mengetik laporan penjualan obat untuk diserahkan pada Sarah, atasan sekaligus sahabatnya.Saat waktu menunjukkan detik-detik menjelang pukul 10.30, mendadak Ava tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan karena memikirkan isi pesan.Padahal, sudah jelas-jelas James mengatakan dirinya sedang rapat yang akan berlangsung selama dua jam ke depan.Biasanya, Ava tidak menggubris dan segera menepikan pikiran buruk tentang James. Namun, kali ini Ava tak tahu mengapa dia tidak bisa mengendalikan pikiran itu.Terlebih lagi, semalam James menolak untuk berhubungan intim saat perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang pertama.Memikirkan hal itu membuat Ava didorong rasa penasaran hingga nekat meninggalkan pekerjaan untuk segera pergi ke Mapo Gu Street.___Waktu menunjukkan pukul 11.20 ketika Ava baru saja turun dari taksi di depan restoran yang disebutkan si pengirim pesan misterius.Dia terlebih dahulu mengedarkan pandangan ke sekeliling parkiran mobil— memastikan adanya kemungkinan mobil James terparkir di sana. Bahkan, dia menyempatkan diri untuk berjalan mendekati BMW hitam yang serupa dengan milik James, tetapi ternyata mobil itu bukan milik suaminya.Nomor plat kendaraan itu berbeda, pikir Ava sambil meninggalkan pelataran parkir dan berjalan menuju restoran.Ketika Ava akan masuk, di saat bersamaan dari dalam restoran seorang pria berpakaian parlente menarik pintu kaca hingga terbuka. Lalu, kemudian pria itu terdiam sejenak di ambang pintu. Tubuhnya yang tinggi menjulang agak sedikit menghalangi Ava saat akan berjalan masuk. Mau tak mau Ava mendongak dan mendapati wajah pria bermata gelap menatapnya sepintas lalu.Pria itu menahan pintu dan memberi jalan bagi Ava, kemudian pergi begitu saja.Ava berjalan masuk sambil mengedarkan pandangan ke seantero restoran yang lumayan ramai.Sekarang memang sudah mendekati waktu makan siang. Tak heran jika tempat yang menyajikan berbagai hidangan seafood itu tampak disesaki pengunjung.Belum jauh mata Ava berkeliling, dia sudah bisa melihat sesosok punggung pria yang tak asing. Dia tak tahu tadi pagi suaminya memakai pakaian apa karena James sudah pergi sebelum dia bangun.Akan tetapi, pria berambut hitam cepak yang duduk berdampingan dengan seorang perempuan berambut pirang seakan menunjukkan siluet James.Untuk beberapa saat, jantung Ava terasa berhenti berdegup sewaktu tatapannya tertuju pada pemilik rambut pirang bergelombang di samping pria itu.Rasa-rasanya dia merasa akrab dengan wanita tersebut, meski belum melihat wajahnya.Tanpa bisa dicegah, kaki Ava bergerak melangkah mendekati meja mereka, lalu mendengar suara James yang begitu mesra saat berbicara pada perempuan di sampingnya."Kamu sudah yakin akan memilih tema pernikahan kita dengan suasana outdoor, Scarlett?"Ada rasa sakit yang tiba-tiba menghantam ulu hati Ava ketika mendengar bagaimana cara James berbicara yang terkesan sangat memanjakan. Nada bicara yang sudah lama tidak Ava dengar.Namun, bukan hanya itu saja yang membuat Ava merasa terguncang, tetapi nama perempuan yang disebutkan suaminya seakan langsung menusuk palung hati Ava.Benarkah wanita itu adalah Scarlett, sahabat kuliah Ava yang bahkan empat bulan lalu mengundang Ava hadir ke acara ulang tahunnya yang ke 24?"Tentu saja. Sudah kukatakan kalau tema yang kupilih adalah pernikahan impianku, James. Dan ayahku tak akan memedulikan semahal apapun biaya yang diperlukan untuk melangsungkan pesta pernikahan kita.""Tapi, Scarlett, bagaimana mungkin kita akan menyelenggarakan pesta mewah jika Ava—""Ayolah, James," tukas Scarlett serius. "Kita bukan satu atau dua kali membahas ini. Aku adalah Scarlett Lautner, anak dari seorang Erik Lautner. Ayahku hanya cukup menjentikkan jari untuk mengabulkan apa yang menjadi keinginanku. Sudah kubilang kalau pesta pernikahan kita akhir tahun nanti akan digelar di Maldives dan hanya orang-orang tertentu saja yang diundang, juga dilakukan sangat tertutup. Penjagaan pasti berjalan ketat karena aku tak ingin tamu-tamu yang hadir mengambil foto pernikahan kita tanpa izin. Untuk itulah aku ingin ada catatan khusus dalam undangan kita agar para tamu tidak membawa ponselnya. Lagi pula, mereka tidak akan diizinkan masuk jika tidak mengikuti prosedur yang berlaku."Sesak dada Ava mendengar penjabaran yang diucapkan Scarlett dengan penuh antusias. Lebih sesak lagi ketika dia melihat James merangkul bahu Scarlett ke dalam pelukan dan mencium puncak kepalanya."Oh, James, aku tak sabar lagi menunggu momen itu tiba," kata Scarlett sambil meletakkan kepala di pundak James, suaranya terdengar begitu manja dibuat-buat."Anak kita akan lahir tujuh bulan lagi. Saat dia lahir, aku ingin kita sudah berstatus sebagai suami istri. Dan Maldives adalah pilihan yang tepat untuk menjadi tempat tinggal aku dan anakku saat kamu bersama Ava—""Kenapa harus bersembunyi di Maldives?" Ava tak tahan lagi dan segera menghampiri mereka dengan wajah merah padam, sedangkan napasnya memburu dikuasai amarah.James dan Scarlett seketika berdiri serentak dan menoleh ke arah suara.Keterkejutan luar biasa tampak jelas tergambar dari wajah James saat berkata dengan kasar, "Ava? Kenapa kamu ada di—""Pengkhianat! Manusia busuk!" serang Ava dari balik giginya yang bergemeretak.Mata Ava berkilat-kilat saat menatap tajam pada suaminya.Selama hidup berumah tangga dengan James, Ava tak pernah sebegitu marah seperti sekarang. Namun, dia juga tak ingin menjadi pusat perhatian para pengunjung restoran dan mengganggu kenyamanan mereka.Tatapan Ava beralih pada Scarlett yang kini menyunggingkan senyum mengejek kepadanya sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada."Kenapa harus bersembunyi di Maldives, Scarlett?" Ava mengulangi pertanyaannya dengan serius. "Kamu takut padaku karena sudah menjadi wanita simpanan dari suami sahabatmu sendiri?"Sementara Rick langsung menginterupsi kepala pelayan agar menyelidiki lebih jelas. Sena membawa bukti liontin yang ditemukan di kamar Maria, tentu saja itu membuktikan pelakunya adalah beliau.Hanya saja, Rick percaya masalah ini sama sekali tak ada hubungannya dengan Maria. Akhirnya dia meminta Sena untuk menyelidiki dengan cara lebih spesifik.Satu jam kemudian.Sena datang ke ruang kerja Rick."Tuan, masalah yang terjadi kali ini adalah kelalaian saya. Maaf, membuat hubungan Anda dengan Nyonya Maria menjadi retak," kata Sena, penuh sesal. Dia sudah bertahun-tahun bekerja di bawah naungan Esmee, tetapi masalah kali ini berakibat fatal."Jadi, siapa pelakunya?" Rick berkata dengan dingin."Pelayan yang baru bekerja dua bulan lalu, tetapi karena ketakutan, akhirnya dia menyimpan liontin Nyonya besar di kamar Maria." Sena menunduk menjelaskan dengan terperinci.Rick menyipitkan mata sebelum berkata, "Pergilah, urus kompensasi yang pantas. Jangan biarkan dia bekerja di sini lagi, cari p
Keesokan harinya.Meskipun saat itu adalah akhir pekan, Rick dan Ava tetap bangun lebih awal karena harus bekerja di laboratorium.Ketika turun, Maria sedang berjibaku memasak di dapur."Bu, biar pelayan yang mengurusnya," kata Ava dengan prihatin.Maria tersenyum sebelum menjawab, "Aku tak mungkin diam di sini tanpa melakukan apa pun."Ava menghela napas panjang, tentu saja dia tahu sang ibu tak bisa dilarang, dan dia tahu jelas apa yang ada dalam pikiran Maria."Kita lakukan bersama," kata Ava.Ketika Rick turun, sarapan di meja makan sangat biasa. Hanya pancake caramel polos, salad buah, dan secangkir espresso untuk Rick. Jika dibandingkan sarapan berat Keluarga Martinez, ini terlalu sederhana.Ava melihat wajah Rick, beruntunglah pria itu tak menampakkan ekspresi apa pun. Padahal jelas betul dia tak suka makanan manis. Ava menyiapkan beberapa lembar pancake di atas piring untuk Rick."Suka sarapan ini?" tanya Rick dengan lembut."Tentu, Putriku tak bisa lepas dari makanan manis. A
Satu jam kemudian, mereka tiba di tempat tujuan.Saat keluar dari mobil, Rick tak melepas tangan Ava, menggenggam dengan erat sebelum berkata, "Istriku, tenanglah."Rick menghubungi Felix agar datang dan mengurus kekacauan.Hati Ava bagai tertusuk duri saat melihat Maria duduk tak berdaya di atas tanah. Dia langsung berlari memeluk ibunya yang tersedu-sedu."Putriku, siapa yang sudah tega menghancurkan rumah kita? Rumah kita yang seperti ini bagaimana mungkin mereka bisa menghancurkan hingga seperti ini."Mata Ava terasa panas saat mengusap-usap punggung sang ibu. Ditatapnya kondisi rumah mereka, lebih kacau dari kerusakan yang dibayangkan. Semua jendela hancur, barang biasa dan benda berharga bagai tumpukan sampah, pecah berkeping-keping.Dalam rumah yang tak besar itu dirinya dibesarkan oleh Maria. Detik berikutnya, lutut Ava gemetaran. Dia menggigit bibir dengan erat, tak ingin air mata jatuh di depan Rick dan sang ibu."Bu, tidak apa-apa. Ada aku, putrimu. Kita renovasi dari awal,
‘Kembalikan anakku!’"Tuan James, tolong jangan sembarangan bicara!" Suara Rick tak kalah dingin. Pandangan kedua pria itu sama-sama mencekam."Aku tidak sembarang bicara. Scarlett tidak akan keguguran jika Ava tidak mendorongnya." James bersikeras menekan."Perhatikan ucapan Anda! Sedikit hempasan tidak akan membuat orang terjatuh hingga keguguran," timpal Rick, tegas.Rick jelas tahu betul. Jika benar itu penyebabnya, berarti sudah dipastikan dari awal kehamilannya tidak kuat. Atau, mungkin ibu hamil tidak dalam kondisi yang baik untuk mengandung."Ava, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Bukan kali pertama aku melihatmu berusaha mencelakai Scarlett! Kamu benar-benar manusia berdarah dingin!" James tak puas mencecar Ava."Aku tidak, a-aku tidak pernah mencelakai dia," jawab Ava, terbata-bata. Tak dapat dipungkiri, dia saat ini sangat tertekan."Jangan mengelak lagi, Ava. Aku akan membalas ….""Anda tak punya cukup bukti untuk menuduh istriku. Jaga batasan Anda!" Rick tegas mem
Ava bergegas masuk dan mendorong James sambil berkata, "Apa kalian tidak mengerti Dokter Rick sudah menolak? Tolong hargai keputusannya!"James mendelik tajam menatap Ava. "Orang yang akan mati pun tidak ditolong? Ava, begitukah sifat suamimu?" James bertanya dengan sinis.Ekspresi Ava seketika menggelap. Dia tak terima saat seseorang menjelekkan suaminya."Aku percaya padanya. Dokter Rick memiliki alasan tersendiri, untuk apa kalian masih bersikeras di sini? Seberapa kuat kalian berusaha tetap tidak artinya 'kan?" Ava menegaskan kata-katanya.Rick yang berdiri di belakang Ava, diam-diam tersenyum tipis mendengar bagaimana sang istri membelanya. Ingin sekali rasanya memeluk wanita mungil itu. Hatinya terasa hangat. Ah. Ava sungguh sempurna di mata Rick.Scarlett tiba-tiba meraung. "Jika ada dokter yang bersedia menangani bibiku, aku tak sudi datang memohon padanya!"Ava tersenyum sinis sebelum menjawab, "Nona Scarlett, jika tak ada dokter yang bersedia, itu berarti masalah ada pada di
Kediaman Keluarga Martinez.Ketika selesai makan malam, Ava berencana mengganti perban Rick. Selama suaminya terluka, selalu Rick sendiri yang mengganti karena dia tak tahan melihatnya.Berbeda dengan malam ini. Sejak tadi siang, Avabmempertimbangkan untuk kembali meraih cita-cita sebagai dokter. Dia berpikir sepertinya sekarang harus mulai berani menangani luka bakar di tangan Rick.Saat di universitas dulu, dia tentu sudah belajar tentang perawatan dasar. Jadi cukup mengerti bagaimana menangani luka Rick.Hanya saja, setiap melihat luka di tangan Rick dia merasa tidak sampai hati. Lukanya memang tak besar, tetapi cukup membuat hati Ava terasa sakit."Tidak tega?" Rick mengangkat wajah Ava.Ava mendongak, sinar matanya memancarkan kerapuhan yang menyayat-nyayat hati. Detik selanjutnya, dia menghindari tatapan Rick."Tidak juga," jawab Ava, mengelak.Rick meraih dagu sang istri agar tetap menatapnya sebelum kembali bertanya dengan lembut. "Air mata saat itu bukan menangis untukku, hmm