"Beraninya kamu mengatakan kalau aku bajingan?!" Napas James bergemuruh diselimuti amarah sampai matanya yang membulat hampir melompat keluar dari kelopaknya.
"Apa kamu bisa bersikap lebih tidak tahu malu lagi, Ava?! Kamu pikir siapa dirimu? Kamu hanya seorang anak dari penjaga toko yang menggantungkan hidup padaku! Kamu pikir apa yang pantas untuk dibanggakan dari seorang istri pemalas sepertimu yang kerjanya hanya tidur? Kamu dan ibumu sama saja. Kalian menjadikan aku sebagai sapi perah untuk kelangsungan hidup kalian. Apa kamu lupa aku bahkan sudah merenovasi rumah jelek ibumu itu sampai menghabiskan—""Cukup!" Ava meraung marah sampai dia tak tahan ingin balas menampar suaminya.Namun, dia masih berusaha mengendalikan diri dan emosional— meski saat itu juga Ava langsung mati rasa atas perbuatan kejam suaminya. Dengan rahang mengencang Ava berkata, "Kesalahanmu jelas ada di depan mata, tapi kamu justru memutarbalikkan fakta-fakta yang tidak penting sampai mengungkit hal yang tak pernah ibuku minta. Kau tak lebih dari pria sampah yang—""Ava!" tegur James dengan mata melotot. "Kenapa kamu menjadi sangat tak tahu diri? Beginikah sifat aslimu yang tidak—""Sama seperti kamu yang tidak pernah menunjukkan sifat burukmu sedikit pun terhadapku selama kita berumah tangga? Begitu maksudmu, James?" Ava tersenyum dingin.Ava tak menunggu jawaban dari suaminya, dan dia bertekad kalau pria itu tak lama lagi akan menjadi mantan suaminya.Dia buru-buru menambahkan ujar dengan tegas, "Aku tak tahu apa tujuan awalmu menikahiku. Tapi perlu kamu tahu, James. Tak ada alasan bagiku untuk mempertahankan rumah tangga penuh racun dan busuk seperti ini. Jika sebelumnya aku pernah sebegitu ingin memiliki anak darimu, maka sekarang aku sangat bersyukur karena tidak ada hal yang memberatkan aku untuk menuntut perceraian dari—""Menuntut cerai kamu bilang?!" James melotot dengan mata menyala-nyala. "Setelah kamu menguras habis uang yang susah payah aku kumpulkan, apa menurutmu kamu akan mudah untuk bercerai denganku?""Apa maksudmu?" Kemarahan Ava hampir memuncak seperti lahar api yang siap meledak dari puncak gunung Etna. "Apa yang kamu bilang dengan menguras habis uangmu, James?"Belum sempat James menjawab pertanyaan Ava, seorang pramusaji perempuan buru-buru menghampiri sambil berujar, "Mohon maaf, tolong jangan membuat keributan di sini. Jika Anda semua memiliki masalah, tolong diselesaikan di tempat yang lebih pribadi, bukan di tempat umum seperti—""Kamu berani mengusirku?" Scarlett dengan angkuhnya langsung menukas ucapan pramusaji tersebut. Dagu Scarlett terangkat tinggi seakan menunjukkan bahwa dia tak terima dengan pengusiran pramusaji muda itu."Aku hanya bertugas untuk membuat restoran ini tetap tertib agar semua pengunjung merasa nyaman," sahut gadis berseragam merah hitam tersebut dengan lugas. "Dan keributan yang terjadi ini sudah membuat pengunjung restoran kami merasa terganggu sampai ada beberapa yang keluar sebelum menikmati makanan mereka. Mohon Anda semua segera meninggalkan—""Panggil manajermu ke sini!" berang Scarlett ganas."Mohon maaf, manager kami sedang—""Kalau begitu kamu panggil pemilik restoran terkutuk ini!" Scarlett luar biasa murka dan menunjuk-nunjuk gadis itu dengan mata membelalak. "Berani kamu mengusirku, maka akan kubuat kamu kehilangan pekerjaanmu!""Scarlett sayang, kamu tidak perlu marah seperti …""Diam kamu, James!" Scarlett dengan tak senang memotong ucapan calon suaminya, kemudian kembali memusatkan perhatiannya pada si gadis, "Ayo cepat panggil pemilik restoran ini!"Pramusaji tersebut merasa serba salah setelah mendengar ancaman Scarlett. Sekarang posisinya dipertaruhkan gara-gara mencoba melerai keributan yang mereka timbulkan.Pekikan Scarlett yang memarahi pramusaji langsung menarik semua perhatian pengunjung hingga tertuju ke arah meja mereka.Ada yang menatap dengan tak habis pikir karena berani mengatakan restoran mewah itu sebagai tempat terkutuk. Ada pula yang menoleh sepintas lalu dengan acuh tak acuh, lalu tetap melanjutkan makan.Pramusaji muda itu menggigit bibir dan baru saja akan berbalik ketika terdengar detak pantofel yang melangkah dengan tenang ke arah mereka.Seorang pria bertubuh jangkung dengan mata gelap dan bersinar seperti obsidian berdiri di dekat pramusaji.Ava mengernyit heran melihat tatapan asing pria itu, lalu teringat kalau beliau adalah orang yang berpapasan dengannya di pintu masuk.Dihadapkan dengan pria tersebut, si gadis pramusaji langsung menggigit bibir dengan wajah yang agak pucat sambil berkata, "T-tuan R—""Ada apa?" Dengan tenang pria itu menukas."Itu …" Si gadis menelan ludah dengan susah payah saat melirik ke arah Scarlett dan dua orang wanita yang sudah membuat keributan. "Pengunjung ini membuat keributan sampai beberapa pengunjung lain pergi tanpa memakan makanan yang sudah dipesan. Bahkan ada juga yang pergi sebelum membayar makanan yang sudah mereka makan. keributan yang mereka timbulkan sudah membuat pengunjung lain tak nyaman. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai—""Baik, kamu kembali dan urus pekerjaanmu." Pria itu mengedikkan kepala, lalu menatap Ava sekilas. Kemudian dia memindai James dan Scarlett yang tampak tak senang ditatap dengan dingin seperti itu."Oh, apakah kamu manajer di restoran buruk ini?" Scarlett dengan sombong meninggikan dagu membalas tatapan pria itu.Sebelah alis Rick yang tebal agak terangkat, ekspresinya seakan menunjukkan rasa jijik melihat bagaimana cara Scarlett berbicara dengan penuh kesombongan."Bukan," sahut Rick kalem."Jika bukan manajer," timpal Scarlett dengan tatapan meremehkan, "Untuk apa kamu mencampuri urusan kami? Apa kamu pemilik restoran ini?""Tidak juga," Rick menyahut dingin dan merasa tak perlu menjelaskan pada mereka tentang siapa dirinya. "Tapi demi kenyamanan pengunjung lain, silakan Anda pergi dari restoran ini.""Apa kamu tidak tahu siapa aku?" Scarlett yang merasa terhina dengan pengusiran Rick langsung meraung marah, kemudian mengeluarkan kartu emas dan melemparkan di atas meja.Tanpa perlu melirik kartu emas bertuliskan Scarlett Lautner dengan font palatino tersebut, Ava tentu saja tahu kalau keluarga Lautner bukan orang yang bisa disinggung.Rick dengan acuh tak acuh langsung berkata pada Scarlett tanpa ekspresi, "Aku tidak mengenalmu dan tidak merasa perlu harus mengenalmu. Tapi kamu sudah membuat keributan hingga restoran ini mengalami kerugian. Untuk itu, silakan keluar."Scarlett tampak marah luar biasa karena namanya yang populer di kalangan bisnis ternyata tidak menjadikan semua orang mengenalnya.Scarlett mengangkat tangan dan langsung menunjuk pada Ava sambil berujar dengan sengit, "Dialah yang membuat keributan di sini. Dia biang masalahnya sampai kami semua ribut. Harusnya kamu mengusir dia, bukan aku! Aku akan menuntutmu karena sudah berani menyinggungku."Sementara Rick langsung menginterupsi kepala pelayan agar menyelidiki lebih jelas. Sena membawa bukti liontin yang ditemukan di kamar Maria, tentu saja itu membuktikan pelakunya adalah beliau.Hanya saja, Rick percaya masalah ini sama sekali tak ada hubungannya dengan Maria. Akhirnya dia meminta Sena untuk menyelidiki dengan cara lebih spesifik.Satu jam kemudian.Sena datang ke ruang kerja Rick."Tuan, masalah yang terjadi kali ini adalah kelalaian saya. Maaf, membuat hubungan Anda dengan Nyonya Maria menjadi retak," kata Sena, penuh sesal. Dia sudah bertahun-tahun bekerja di bawah naungan Esmee, tetapi masalah kali ini berakibat fatal."Jadi, siapa pelakunya?" Rick berkata dengan dingin."Pelayan yang baru bekerja dua bulan lalu, tetapi karena ketakutan, akhirnya dia menyimpan liontin Nyonya besar di kamar Maria." Sena menunduk menjelaskan dengan terperinci.Rick menyipitkan mata sebelum berkata, "Pergilah, urus kompensasi yang pantas. Jangan biarkan dia bekerja di sini lagi, cari p
Keesokan harinya.Meskipun saat itu adalah akhir pekan, Rick dan Ava tetap bangun lebih awal karena harus bekerja di laboratorium.Ketika turun, Maria sedang berjibaku memasak di dapur."Bu, biar pelayan yang mengurusnya," kata Ava dengan prihatin.Maria tersenyum sebelum menjawab, "Aku tak mungkin diam di sini tanpa melakukan apa pun."Ava menghela napas panjang, tentu saja dia tahu sang ibu tak bisa dilarang, dan dia tahu jelas apa yang ada dalam pikiran Maria."Kita lakukan bersama," kata Ava.Ketika Rick turun, sarapan di meja makan sangat biasa. Hanya pancake caramel polos, salad buah, dan secangkir espresso untuk Rick. Jika dibandingkan sarapan berat Keluarga Martinez, ini terlalu sederhana.Ava melihat wajah Rick, beruntunglah pria itu tak menampakkan ekspresi apa pun. Padahal jelas betul dia tak suka makanan manis. Ava menyiapkan beberapa lembar pancake di atas piring untuk Rick."Suka sarapan ini?" tanya Rick dengan lembut."Tentu, Putriku tak bisa lepas dari makanan manis. A
Satu jam kemudian, mereka tiba di tempat tujuan.Saat keluar dari mobil, Rick tak melepas tangan Ava, menggenggam dengan erat sebelum berkata, "Istriku, tenanglah."Rick menghubungi Felix agar datang dan mengurus kekacauan.Hati Ava bagai tertusuk duri saat melihat Maria duduk tak berdaya di atas tanah. Dia langsung berlari memeluk ibunya yang tersedu-sedu."Putriku, siapa yang sudah tega menghancurkan rumah kita? Rumah kita yang seperti ini bagaimana mungkin mereka bisa menghancurkan hingga seperti ini."Mata Ava terasa panas saat mengusap-usap punggung sang ibu. Ditatapnya kondisi rumah mereka, lebih kacau dari kerusakan yang dibayangkan. Semua jendela hancur, barang biasa dan benda berharga bagai tumpukan sampah, pecah berkeping-keping.Dalam rumah yang tak besar itu dirinya dibesarkan oleh Maria. Detik berikutnya, lutut Ava gemetaran. Dia menggigit bibir dengan erat, tak ingin air mata jatuh di depan Rick dan sang ibu."Bu, tidak apa-apa. Ada aku, putrimu. Kita renovasi dari awal,
‘Kembalikan anakku!’"Tuan James, tolong jangan sembarangan bicara!" Suara Rick tak kalah dingin. Pandangan kedua pria itu sama-sama mencekam."Aku tidak sembarang bicara. Scarlett tidak akan keguguran jika Ava tidak mendorongnya." James bersikeras menekan."Perhatikan ucapan Anda! Sedikit hempasan tidak akan membuat orang terjatuh hingga keguguran," timpal Rick, tegas.Rick jelas tahu betul. Jika benar itu penyebabnya, berarti sudah dipastikan dari awal kehamilannya tidak kuat. Atau, mungkin ibu hamil tidak dalam kondisi yang baik untuk mengandung."Ava, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Bukan kali pertama aku melihatmu berusaha mencelakai Scarlett! Kamu benar-benar manusia berdarah dingin!" James tak puas mencecar Ava."Aku tidak, a-aku tidak pernah mencelakai dia," jawab Ava, terbata-bata. Tak dapat dipungkiri, dia saat ini sangat tertekan."Jangan mengelak lagi, Ava. Aku akan membalas ….""Anda tak punya cukup bukti untuk menuduh istriku. Jaga batasan Anda!" Rick tegas mem
Ava bergegas masuk dan mendorong James sambil berkata, "Apa kalian tidak mengerti Dokter Rick sudah menolak? Tolong hargai keputusannya!"James mendelik tajam menatap Ava. "Orang yang akan mati pun tidak ditolong? Ava, begitukah sifat suamimu?" James bertanya dengan sinis.Ekspresi Ava seketika menggelap. Dia tak terima saat seseorang menjelekkan suaminya."Aku percaya padanya. Dokter Rick memiliki alasan tersendiri, untuk apa kalian masih bersikeras di sini? Seberapa kuat kalian berusaha tetap tidak artinya 'kan?" Ava menegaskan kata-katanya.Rick yang berdiri di belakang Ava, diam-diam tersenyum tipis mendengar bagaimana sang istri membelanya. Ingin sekali rasanya memeluk wanita mungil itu. Hatinya terasa hangat. Ah. Ava sungguh sempurna di mata Rick.Scarlett tiba-tiba meraung. "Jika ada dokter yang bersedia menangani bibiku, aku tak sudi datang memohon padanya!"Ava tersenyum sinis sebelum menjawab, "Nona Scarlett, jika tak ada dokter yang bersedia, itu berarti masalah ada pada di
Kediaman Keluarga Martinez.Ketika selesai makan malam, Ava berencana mengganti perban Rick. Selama suaminya terluka, selalu Rick sendiri yang mengganti karena dia tak tahan melihatnya.Berbeda dengan malam ini. Sejak tadi siang, Avabmempertimbangkan untuk kembali meraih cita-cita sebagai dokter. Dia berpikir sepertinya sekarang harus mulai berani menangani luka bakar di tangan Rick.Saat di universitas dulu, dia tentu sudah belajar tentang perawatan dasar. Jadi cukup mengerti bagaimana menangani luka Rick.Hanya saja, setiap melihat luka di tangan Rick dia merasa tidak sampai hati. Lukanya memang tak besar, tetapi cukup membuat hati Ava terasa sakit."Tidak tega?" Rick mengangkat wajah Ava.Ava mendongak, sinar matanya memancarkan kerapuhan yang menyayat-nyayat hati. Detik selanjutnya, dia menghindari tatapan Rick."Tidak juga," jawab Ava, mengelak.Rick meraih dagu sang istri agar tetap menatapnya sebelum kembali bertanya dengan lembut. "Air mata saat itu bukan menangis untukku, hmm