Compartir

Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu
Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu
Autor: Emily Hadid

Bab 1

Autor: Emily Hadid
"Clara, sekarang semua media besar lagi heboh bahas Rendra. Wartawan sudah memenuhi pintu masuk hotel, benar-benar nggak ada celah. Maaf merepotkanmu lagi ya."

Pukul 10 malam, di depan meja kerjanya, Clara Suratman mendengarkan suara ibu mertuanya di telepon. Dia menekan pelipisnya, lelah, tidak langsung menjawab.

Tiga tahun menikah, gosip dan skandal Rendra Adresta bersama para wanita silih berganti, tidak pernah ada habisnya.

Setiap kali mereka bertemu, itu hanya untuk membantu mengatasi masalah yang ditinggalkan Rendra.

Clara diam saja. Dari seberang telepon, Delisha menasihatinya dengan nada serius, "Clara, kali ini bukan cuma masalah reputasi perusahaan dan harga saham, tapi juga karena Caroline sudah kembali. Dia berbeda dari wanita lain. Kamu harus pertahankan pernikahanmu dengan Rendra."

Caroline kembali? Clara mengerutkan alisnya, rasa lelah menyelimuti seluruh tubuh.

Setelah hening beberapa saat, dia akhirnya berkata dengan lembut, "Ibu, aku tahu. Aku akan ke sana sekarang."

Telepon ditutup. Clara menatap layar ponselnya lama sekali sebelum akhirnya mengambil kunci mobil dan berdiri.

....

Setengah jam kemudian, saat Clara masuk lewat pintu belakang hotel, Jordi dan Miara sudah menunggunya di sana.

Miara membawa tas belanja berisi pakaian dari merek mewah. Dia berjalan mendekat dan berkata, "Bu Clara, pakaiannya sudah siap."

Itu adalah pakaian yang sama persis dengan yang dikenakan Caroline malam ini, untuk mendukung adegan yang sedang dimainkan Rendra.

Jordi mengetuk pintu kamar. "Tuan Rendra, Nyonya Clara sudah datang."

"Masuk." Suara Rendra terdengar datar dari dalam, seolah-olah semuanya sudah semestinya begitu.

Jordi membuka pintu untuk Clara. Saat itu, Rendra baru saja keluar dari kamar mandi, mengenakan piama abu-abu longgar. Garis otot di dada dan perutnya tampak jelas. Dengan handuk di tangan, dia mengeringkan rambutnya yang masih basah. Kesan malas dan seksi yang alami terpancar begitu saja.

Melihat Clara, Rendra sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah atau canggung, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tiga tahun ini, mereka sudah terbiasa begitu.

Rendra membungkuk, mengambil rokok dan pemantik api dari meja, lalu menyalakan satu batang dan perlahan mengembuskan asap. Dengan nada tidak acuh, dia menyapa, "Kamu sudah datang."

"Ya." Clara mengangguk singkat, nadanya profesional. "Aku ganti baju dulu."

Dia menerima pakaian dari Miara dan berjalan ke kamar. Namun, baru sampai di pintu, Caroline keluar dari dalam sambil menyibakkan rambut di telinganya.

Langkah kaki Clara seketika terhenti. Caroline benar-benar sudah kembali.

Melihatnya, Caroline juga sempat tertegun, tetapi segera tersenyum ramah. "Clara sudah datang."

Kemudian, dia menepuk kepala Clara dengan lembut seperti menenangkan anak kecil. "Terima kasih sudah repot-repot ya."

Clara menggenggam pakaian di tangannya lebih erat, memaksakan senyuman. "Nggak apa-apa, Kak Caroline."

Dia tidak tahu bahwa Caroline adalah cinta pertama Rendra, juga tidak tahu bahwa Rendra masih mencintai Caroline.

Kalau tahu, saat kakek Rendra bertanya apakah dia menyukai Rendra, dia tidak akan mengangguk. Dia tidak akan membuat Rendra menikahinya karena tekanan keluarga. Sekarang ... dia pun tidak akan sejatuh ini.

Rendra selalu bertindak lugas dan rapi. Sejak dia mengambil alih Grup Adresta, perusahaan berkembang pesat. Bahkan para senior di lingkaran bisnis pun harus memberi hormat padanya.

Namun, pria yang begitu hati-hati dalam urusan bisnis, justru memiliki kehidupan pribadi yang begitu berantakan.

Mungkin Rendra sangat tidak puas dengan pernikahan ini, makanya terus mempermalukannya, sebagai bentuk perlawanan terhadap kakeknya, Zafran.

Caroline berjalan melewati Clara, sementara Clara refleks menoleh.

Melihat Caroline keluar, Rendra mengambil jaket dan menyodorkannya padanya dengan lembut. "Pakai ini, nanti masuk angin."

Caroline tersenyum bahagia. "Kamu terlalu perhatian, Rendra."

Melihat interaksi mereka, dada Clara terasa sesak. Dulu Rendra pernah menantang maut demi menyelamatkannya dari kobaran api. Dulu dia begitu baik, begitu lembut padanya. Kenapa mereka bisa menjadi seperti ini?

Menatap keduanya beberapa saat, Clara memeluk pakaiannya dan masuk ke kamar tanpa sepatah kata.

Ketika dia keluar lagi dengan gaun putih yang sama seperti Caroline, Caroline sudah pergi. Jordi dan Miara juga sudah meninggalkan tempat.

Sementara itu, ketukan di pintu bergema keras dari luar.

"Pak Rendra, dengar-dengar Anda mau bercerai, apakah benar?"

"Pak Rendra, apakah Anda dan Nona Caroline sudah kembali bersama?"

Jika benar ada foto-foto mereka berdua semalam, saham Grup Adresta pasti akan kacau besok pagi.

Rendra yang memakai jubah tidur lantas bangkit, meletakkan ponselnya di samping, lalu membuka pintu.

"Pak Rendra, apakah setelah bercerai, Bu Clara masih akan bekerja di Grup Adresta? Berapa harta yang akan didapat Bu Clara setelah perceraian ini?"

"Pak Rendra, dunia luar sedang fokus pada negosiasi perceraian Anda. Apakah Grup Adresta akan memberi saham pada Bu Clara?"

Di pintu kamar, Clara hanya bisa tersenyum miris. Media benar-benar cepat menebak arah angin, langsung menyebut soal perceraian.

Menatap kerumunan di pintu, Clara mengatur suasana hatinya, lalu mendekat ke arah Rendra.

Tangan halusnya melingkari pinggang Rendra dari belakang. Dagunya bertumpu di bahu Rendra. Suaranya lembut dan manja. "Sayang, ada apa?"

Pelukan dan sapaan itu membuat Rendra menoleh menatapnya.

"Bu Clara?"

"Bu Clara?"

"Bukan Caroline, tapi Bu Clara!"

Kehadiran Clara membuat para wartawan kecewa. Mereka mengira akan mendapat berita besar, tetapi ternyata hanya istri sah.

Clara tetap melingkarkan tangannya di pinggang Rendra, sementara Rendra menatap para wartawan dan bertanya dengan nada malas, "Masih perlu aku jelaskan?"

"Maaf, Pak Rendra, Bu Clara."

"Ya, maaf, kami pamit."

Wartawan cepat-cepat pergi.

Begitu pintu tertutup, Rendra berbalik. Clara segera melepaskan pelukannya dan menjelaskan, "Aku cuma mengalihkan perhatian wartawan."

Nada suaranya sopan dan asing.

Rendra tidak menjawab, hanya berjalan menuju gantungan pakaian, lalu melepas jubahnya dengan tenang.

Bahu bidang, pinggang ramping, kulitnya putih bersih, tanpa sedikit pun lemak berlebih. Ini hasil dari rutinitas olahraga bertahun-tahun.

Wajah Clara memerah. Dia tidak berani melihat dan berkata pelan, "Kalau begitu, aku kembali ke kantor dulu."

Rendra menoleh, sementara Clara sudah membuka pintu dan keluar. Tatapan Rendra mengikuti punggungnya lama ... lalu dia kembali berpakaian seperti biasa.

....

Di perjalanan pulang, Clara menggenggam setir erat-erat. Dia merasa lelah. Dadanya terasa sesak.

Beberapa waktu lalu saat pemeriksaan kesehatan, dokter bilang ada benjolan kecil dan menyarankan agar dia jangan stres serta rutin kontrol. Sebelum menikah, tidak pernah ada benjolan seperti ini.

Clara melirik ke kursi penumpang. Surat perjanjian cerai yang baru saja dibawanya ke hotel, kini kembali bersamanya.

Sudah berkali-kali dia ingin menyerah, tetapi setiap kali teringat Rendra yang dulu memeluknya keluar dari api, dia tidak sanggup.

Dia takut jika perjanjian itu diberikan dan Rendra langsung menyetujuinya, semua benar-benar akan berakhir. Jadi, dia terus menunda.

....

Setelah skandal itu dibereskan, semuanya kembali seperti biasa. Namun, saat lewat ruang rapat kecil pagi itu, Clara mendengar suara orang berbicara.

"Hitung ulang lagi? Rendra, aku sudah hitung enam kali!"

"Clara memang beruntung. Cuma karena menikah, kariernya langsung melesat. Dia nggak perlu buat proposal, cuma tanda tangan di proyek besar!"

"Haha, iri ya? Siapa suruh kita nggak secerdik dan sesabar dia? Lihat saja trending topic dua malam lalu. Dia masih mau bantu beresin masalah Rendra, benar-benar sabar banget!"

Setelah dua wanita itu berbicara, seorang pria ikut menyahut, "Rendy, dengar-dengar waktu Clara ke hotel, kamu dan Caroline lagi 'sibuk'? Kejam juga ya. Clara nggak nangis?"

Mendengar itu, Rendra tertawa dan bertanya, "Dari mana dapat gosip itu? Seru juga."

Padahal malam itu, dia dan Caroline hanya makan malam, lalu pelayan menumpahkan jus, jadi mereka naik ke lantai atas untuk mengganti pakaian.

Namun, Rendra tidak merasa perlu menjelaskan. Dia tidak peduli apa kata orang, apalagi apa yang dirasakan Clara.

"Rendra, kamu dan Clara itu 'kan beda level. Mending cepat cerai saja, biar kasih kesempatan buat yang lain."

Di luar pintu, Clara berdiri diam. Melihat Rendra dengan wajah santai, seolah-olah bukan dirinya yang dibicarakan, hatinya terasa hampa.

Proyek yang sedang Rendra tangani adalah proyek pemerintah, dikerjakan bersama beberapa kenalan dekatnya di kalangan bisnis. Dia tidak pernah membiarkan Clara ikut campur.

Bahkan setelah menikah, Rendra tidak pernah membiarkan istrinya ikut campur dalam kehidupannya maupun lingkaran pertemanannya. Hubungan mereka bahkan tidak sebaik sebelum menikah.

Saat ini, Jonas yang bersandar santai di kursinya berkata, "Rendra, jangan dengarin mereka. Di kantor Clara bantu kamu, di rumah juga urus kamu. Kamu di luar senang-senang, dia malah bantu kamu nutupin aib. Di mana ada wanita seperti itu?"

"Kalau 200 tahun lalu, istri sebaik itu pasti sudah dibikinin tugu. Kalau masih nggak puas juga, mau apa lagi?"

Ucapan Jonas tidak diterima oleh seseorang.

"Dia cuma pura-pura sabar. Rendra, aku bisa lebih baik dari dia. Kalau kamu cerai benaran, aku mau sama kamu kok. Aku punya harta sesan yang lebih besar dari Clara."

"Wilona, jangan mimpi. Masih ada Caroline lho!"

Di kursi utama, Rendra tertawa. "Wilona, suruh kakekmu siapkan harta sesannya dulu."

Ruang rapat dipenuhi tawa, sementara Clara berbalik dan melangkah kembali ke kantornya tanpa sepatah kata pun.

Latar belakangnya memang biasa saja. Ibunya guru, meninggal karena sakit saat Clara berumur 8 tahun. Ayahnya polisi, gugur dalam tugas beberapa tahun lalu.

Kakeknya dulu memang tentara, tetapi bukan pejabat tinggi, hanya sopir pribadi Zafran. Jadi, Clara dan Rendra sudah saling mengenal sejak kecil.

Setelah menikah, Zafran menempatkannya sebagai wakil presdir di Grup Adresta, katanya untuk membantu Rendra. Padahal, sebenarnya untuk mengawasi Rendra.

Sayangnya, dia gagal.

Clara membuka laci dan menatap surat perjanjian cerai di dalamnya lama sekali. Dia sudah tahu sejak lama, dia tidak bisa lagi menipu dirinya sendiri. Dia sudah tahu, Rendra tidak akan pernah kembali padanya.

Tiba-tiba, dia merasa lelah. Dia tidak mau lagi menjadi penghalang kebahagiaan orang lain. Jadi, setelah Rendra selesai rapat, dia mendatanginya.

Saat sampai di depan kantornya, pintu terbuka. Rendra keluar, sedikit terkejut melihatnya. "Ada apa?"

Clara tersenyum tipis. "Ada beberapa dokumen yang perlu kamu tanda tangani."

Rendra kembali duduk di meja, mengambil pena.

Setelah menandatangani dokumen pekerjaan, Clara menyerahkan dua lembar surat perjanjian cerai. Suaranya datar saat berkata, "Kalau kamu sempat, mari kita urus perceraian."

Tangan kanan Rendra yang memegang pena membeku di udara. Dia menatap Clara lama tanpa bersuara.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 50

    Clara menatapnya beberapa saat, lalu berkata dengan nada geli, "Aku nggak tahu batas? Aku kelewatan? Aku cuma makan dua kali sama Alain dan bicara sedikit soal pekerjaan, kamu sudah merasa nggak dihargai, merasa nggak nyaman begitu?"Belum sempat Rendra membuka mulut, Clara sudah melanjutkan, "Rendra, selama tiga tahun ini, kamu tahu apa itu batasan? Pernahkah kamu berada di dalam batasan itu? Setiap kali aku harus membereskan urusan perempuanmu di luar sana, pernahkah kamu memikirkan bagaimana perasaanku? Pernahkah kamu memikirkan apakah aku juga nggak nyaman?""Kamu membawa Caroline keluar masuk sesukamu, kamu memperlakukan Caroline seperti istrimu sendiri, tapi pernahkah kamu memikirkan bagaimana perasaanku?"Clara menatap Rendra tanpa berkedip. Saat semua kata itu keluar dari mulutnya, wajah pucatnya memerah karena emosi yang akhirnya tak tertahankan lagi.Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada dingin, "Batasan memang hal yang baik, tapi Rendra, kamu nggak punya itu. Ja

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 49

    Pukul 22.30 malam, Rendra seharusnya masih belum pulang. Namun begitu Clara membuka pintu kamar dengan kartu akses, pandangannya langsung tertuju pada sosok Rendra yang baru keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk putih di pinggangnya.Bagian atas tubuhnya telanjang. Kulitnya masih basah, otot dadanya terlihat jelas, tampak begitu maskulin dan memikat. Clara sontak terpaku di tempat. Pipinya pun memanas seketika.Saat sadar bahwa Rendra juga sedang menatapnya, Clara buru-buru mengalihkan pandangan, berusaha bersikap tenang sambil bertanya, "Kenapa kamu pulang lebih awal hari ini?"Rendra mengeringkan rambutnya dengan handuk, lalu berkata dengan tenang, "Aku memang pulang lebih cepat. Kamu sendiri, habis dari mana bersenang-senang?"Clara meletakkan tasnya, lalu melirik lagi ke arah Rendra. Begitu matanya tanpa sengaja jatuh ke dada bidang itu, dia segera memalingkan wajah dan berkata dengan gugup, "Kamu ... pakai baju dulu, deh."Rendra tertawa pelan. Setelah itu, dia melepas

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 48

    Tak jauh dari meja utama, Caroline sudah lama memperhatikan Clara dan Alain. Melihat keduanya tampak begitu akrab, duduk berduaan di meja besar yang hanya diisi mereka berdua, Caroline pun menepuk lengan Rendra dan menunjuk ke arah mereka."Rendra, itu Clara, 'kan?" katanya. "Yang makan bersamanya itu Alain dari StarTech, ya? Dia juga ikut konferensi ini? Sejak kapan Clara kenal dengannya?"Pertanyaan Caroline datang bertubi-tubi. Mengikuti arah jarinya dan menatap ke sana, Rendra melihat Clara yang terlihat serius mendengarkan penjelasan Alain, matanya bahkan berkilat penuh antusiasme.Melihat pemandangan itu, wajah Rendra langsung menggelap. Dia sama sekali tidak menyangka Clara mengenal Alain, apalagi bisa berbincang sedekat itu dengannya.Dengan tatapan dingin dan datar, Rendra menatap keduanya selama beberapa detik, lalu menarik kembali pandangannya dan melanjutkan percakapan dengan Levin seolah tidak terjadi apa-apa.Sementara itu di sisi lain, Alain dan Clara masih berbincang de

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 47

    Clara tidak mengenalinya. Pria itu tersenyum hangat dan memperkenalkan diri, "Alain."Begitu mendengar namanya, Clara langsung tersadar. Dia buru-buru mengulurkan tangan dan menyapanya sopan, "Halo, Pak Alain." Lalu dengan sedikit canggung, dia menambahkan, "Maaf ya, Pak. Aku belum sempat benar-benar datang wawancara ke perusahaan Bapak, jadi tadi aku nggak mengenali Bapak."Waktu masih kuliah dulu, Clara sudah sering mendengar nama Alain. Namun, Alain hanya membimbing mahasiswa doktoral dan pascasarjana, fokus pada penelitian dan proyeknya sendiri. Dia memang pernah mengadakan dua kelas umum, tapi ketika Clara tahu dan ingin ikut, bahkan di depan pintu saja sudah penuh sesak oleh orang-orang. Jadi, dia memang belum pernah punya kesempatan untuk bertemu langsung dengan Alain.Alain membalas jabat tangannya dengan tenang dan tersenyum, "Nggak apa-apa."Setelah melepaskan tangan, Alain melirik sekeliling dan bertanya, "Sendirian?"Clara mengangguk sambil tersenyum, "Asistenku sedang ada

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 46

    Begitu sampai di ruang rapat, Clara melihat namanya tertera di kursi yang ditempatkan tepat di sebelah Rendra. Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengambil papan nama itu dan memilih duduk di sudut ruangan yang sepi.Seandainya bukan karena Rendra yang menunda pengurusan dokumennya, Clara bahkan tidak perlu datang ke acara pertukaran bisnis ini. Namun, selama semuanya belum selesai, dia tetap harus memainkan perannya dengan baik.Tak lama kemudian, peserta rapat mulai berdatangan. Selain Rendra dan Jonas yang masih muda, para pengusaha senior juga hadir."Rendra, kamu juga datang.""Rendra, soal proyek kedua, nanti setelah rapat kita bicarakan baik-baik.""Baik, Paman.""Ini anak dari Keluarga Winandy, ya? Sudah pulang ke dalam negeri?""Benar, Paman. Mohon bimbingannya ke depannya."Rendra menanggapi dengan sopan sambil tersenyum, sementara Caroline berdiri di sampingnya dengan wajah penuh pesona, seolah-olah dialah istri resmi Rendra.Hanya saja, para pengusaha senior tidak begitu

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 45

    Antusiasme Caroline membuat Clara tersenyum lembut dan memanggil, "Kak Caroline." Caroline menyapanya dengan ramah, barulah orang-orang di sekitar sadar kalau Clara juga datang.Meskipun melihat Clara, mereka tidak menyapanya, melainkan hanya saling berbisik pelan. Sebenarnya, beberapa dari mereka sudah melihat Clara sejak tadi. Hanya saja karena Rendra tidak memedulikannya dan sedang berbicara dengan Caroline, mereka pun ikut mengabaikannya.Bagaimanapun juga, Rendra tidak pernah mengakui Clara dan tidak pernah mengakui pernikahan mereka, bahkan pesta pernikahan pun tidak pernah diadakan. Sikap Rendra terhadap Clara juga menjadi sikap orang-orang terhadapnya.Caroline menggenggam tangan Clara dengan ramah sambil tersenyum, "Clara, kami baru mau sarapan, ikut saja sama kami."Clara tersenyum dan menolak halus, "Kak Caroline, kalian duluan saja. Aku sudah minta Miara ambilkan dokumen, jadi aku harus nunggu dia."Wajah Caroline tampak kecewa. "Begitu ya? Baiklah, kami masuk dulu. Kamu na

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status