Share

Bab 2

Author: Emily Hadid
Menatap Clara cukup lama, Rendra membuka mulut dengan senyuman samar. "Kamu kira bisa nikah dan cerai sesuka hatimu? Clara, kamu benar-benar seenaknya."

Clara masih menyodorkan surat perjanjian cerai. "Aku sudah memikirkannya lama. Aku merasa kita memang nggak cocok. Lagi pula, waktu itu aku nggak tahu hubunganmu dengan Kak Caroline. Aku juga nggak tahu kalau ...."

Belum sempat Clara menyelesaikan kalimatnya, Rendra langsung menyela, "Clara, Caroline memang sudah pulang, tapi kamu jangan berlebihan. Trik jual mahal kayak begitu nggak bakal berhasil."

Dari dulu orang selalu bilang dia mengincar kekuasaan Keluarga Adresta, dia yang membujuk Zafran sampai akhirnya bisa menikah dengan Rendra. Siapa pun boleh ingin bercerai, tetapi kalau Clara? Dia pasti bukan orang yang mau cerai. Sok jual mahal?

Atas tuduhan Rendra itu, Clara benar-benar tak bisa membela diri. Pandangan Rendra terhadap dirinya sama sekali tidak bisa diubah.

Dia memang tidak tahu. Dulu dia benar-benar tidak tahu kalau Rendra menyukai Caroline, juga tidak tahu kalau Rendra sebenarnya begitu tidak menyukainya.

Tangannya menggenggam erat dokumen itu. Urat biru di punggung tangannya tampak menonjol. Namun, dia tetap harus menjaga sikap. Dengan tenang, dia berkata, "Rendra, mau aku ini bertingkah manja atau sok jual mahal, kamu tandatangani saja suratnya. Nanti setelah ke pengadilan negeri, kamu bakal tahu jawabannya."

Clara berkeras ingin membuktikan dirinya. Rendra menatapnya sejenak, lalu berkata dengan dingin, "Baiklah, aku setuju buat cerai."

Namun, kemudian dia bertanya lagi, "Cuma, apa kakekmu sudah setuju? Kamu sudah ambil kartu keluarga? Kakekku sudah kasih izin?"

"Kalau kamu benar-benar mau cerai, bicarakan dulu dengan orang tua, baru bicara lagi sama aku. Kalau nggak, jangan buang-buang waktu dan tenaga."

Beberapa kalimat dingin dari Rendra membuat Clara terdiam. Benar juga, urusan perceraian mereka tidak sesederhana itu. Pernikahan tidak pernah hanya soal dua orang, tetapi soal dua keluarga besar.

Wajah Clara memucat. Dia menatap Rendra tanpa berbicara.

Rendra berdiri, nada suaranya tetap datar saat berkata, "Kalau memang nggak berniat begitu, ya sudah. Jalankan peranmu sebagai wakil presdir dan Nyonya Kedua Keluarga Adresta dengan baik."

Tangan kanan Clara menggantung di udara sambil memegang dokumen. Dia ingin menjelaskan, tetapi berkali-kali terhenti. Akhirnya, dia hanya berkata, "Aku kurang mempertimbangkan dengan matang. Aku akan segera bicara dengan para senior."

Rendra tidak menanggapinya lagi. Dia melangkah keluar dari balik meja kerja, lalu membuka pintu ruangannya dan pergi dengan tangan di saku celana.

Clara ingin bercerai? Mustahil! Kegembiraan Clara saat dulu mereka menerima akta nikah, masih Rendra ingat dengan jelas sampai sekarang.

Pintu tertutup. Clara menyentuh keningnya, lalu menghela napas panjang.

....

Setelah kembali ke kantor, Clara menceritakan semuanya kepada Renata. Renata adalah adik kandung Rendra, juga bekerja di perusahaan. Usia mereka sama dan sejak kecil mereka sangat akrab. Beberapa hari ini, Renata sedang dinas luar kota.

Di ujung telepon, setelah mendengar penuturan Clara, Renata langsung berkata dengan lantang, "Akhirnya kamu sadar juga!"

"Tenang saja, aku pasti di pihakmu. Sekarang yang perlu kamu lakukan adalah pulang, minta kartu keluarga dari kakekmu. Asal kakekmu setuju, setengah urusan sudah beres. Soal pihak keluarga kami, biar nanti aku bantu pikirkan caranya."

"Renata, terima kasih."

"Jangan sungkan begitu sama aku."

Kalau bukan karena kakaknya terlalu berengsek, mana mungkin dia mau membantu kakak iparnya untuk bercerai.

Dengan dukungan Renata, Clara menjadi lebih berani. Menjelang sore saat jam pulang kantor, dia langsung pulang.

Rumah lama Keluarga Suratman adalah rumah empat sisi bergaya kuno di sebuah gang tua di pusat kota. Bangunannya dua lantai. Sudah beberapa kali direnovasi, tetapi tetap mempertahankan nuansa tradisional bercampur modern.

Gang itu sunyi. Bunga mawar merah menjalar keluar dari tembok halaman. Setelah memarkir mobil di pinggir jalan, Clara membawa kue kesukaan kakeknya dan masuk ke rumah.

"Nona sudah pulang ya."

"Bi Ponirah."

Setelah menyapa pembantu rumah, Clara langsung mencari kakeknya.

Gadis berusia 23 tahun biasanya tampil cerah dan modis, tetapi Clara justru berpenampilan lembut dan sederhana. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya jarang tersenyum. Dia adalah wakil presdir, juga Nyonya Kedua Keluarga Adresta. Dia harus menjaga citra itu.

Setelah menemukan Sutan, Clara menemani sang kakek melihat bunga dan bermain dengan burung. Sampai selesai makan malam, ketika mereka sedang bermain catur, Sutan baru berkata, "Keningmu berkerut sejak tadi. Katakan saja, apa yang mau kamu minta kali ini?"

Dengan bidak catur di tangan, Clara mendongak menatap Sutan untuk waktu yang lama. Kemudian, dia akhirnya berkata, "Kakek, aku nggak mau sama Rendra lagi. Aku mau cerai."

Keputusan itu bukan dibuat tiba-tiba. Dia sudah memikirkannya lama, dengan sungguh-sungguh.

Mendengar ucapan Clara, wajah Sutan langsung menjadi masam. Dia terdiam lama. Setelah sekian lama, dia berdiri, masuk ke kamar tanpa suara, lalu keluar lagi dengan ekspresi berat.

"Aku sudah tanya dulu waktu itu, kamu yakin? Kamu bilang yakin." Sutan malas melanjutkan, jadi hanya berkata tanpa daya, "Sudahlah, dalam pernikahan ini kamu juga sudah berusaha. Kalau kamu ke sini mau ambil kartu keluarga, ambil saja. Kalau sudah nggak mau lanjut, selesaikan. Lepaskan dirimu sendiri, juga lepaskan Rendra."

Sambil berkata begitu, Sutan menyerahkan kartu keluarga itu ke Clara. Dia memang tidak mengikuti berita di internet, tetapi sudah cukup sering mendengar tentang Rendra. Kalau memang tidak cocok, ya sudah. Keluarga mereka tidak akan memaksa.

Melihat kartu keluarga di tangan kakeknya, mata Clara memerah. "Kakek, maafkan aku."

Pernikahannya dengan Rendra bukan hanya membuat dirinya menjadi bahan tertawaan, tetapi juga membuat kakeknya malu.

Sutan meletakkan kartu keluarga itu di tangan Clara, lalu duduk sambil berkata, "Kamu nggak salah sama siapa pun. Yang penting, jangan sampai menyakiti dirimu sendiri. Itu yang paling penting."

Clara mengangguk pelan sambil menggenggam kartu keluarga itu. Hatinya terasa sesak, tetapi dia pun tidak tahu kenapa.

Sekitar pukul 9 malam, Clara meninggalkan rumah lama sambil membawa kartu keluarga. Dia mengirim pesan ke Renata, satu foto dan satu kalimat.

[ Renata, aku sudah dapat kartu keluarganya. ]

Melihat pesan itu, Renata membalas dengan pesan suara 60 detik, memberi saran untuk langkah selanjutnya.

....

Di bar, Rendra sedang minum bersama Jonas dan Levin. Lampu berkelap-kelip, suasana bising dan berwarna. Kehidupan Rendra jauh lebih berwarna daripada Clara.

Beberapa perempuan berusaha mendekatinya, tetapi Rendra tidak menanggapi.

Dengan gaya santai, Jonas bersandar di sofa, lalu menatap Rendra sambil berkata, "Dengar-dengar, Clara minta cerai sama kamu?"

Rendra mengambil rokok dan pemantik api di meja, lalu menyalakannya. Asap tipis keluar dari bibirnya. Dia menepuk abu rokok, lalu tersenyum. "Cepat juga kamu dapat kabarnya. Lagi bantu Renata cari kabar ya?"

Jonas mengangkat alis, menasihati, "Sudahlah, kendalikan diri sedikit. Clara itu sudah cukup sabar jadi istrimu. Main boleh, tapi sesekali pulang dan hibur dia."

"Hibur dia?" Rendra tertawa kecil. Bahkan asap yang dia embuskan seakan-akan berisi ejekan. Dia menghibur Clara? Mustahil. Bahkan di kehidupan selanjutnya pun tidak akan terjadi.

Selesai tertawa, ponselnya yang tergeletak di meja tiba-tiba menyala. Pesan dari Renata.

[ Kak, laporan sedikit tentang progres perceraianmu. Clara sudah dapat kartu keluarga. ]

Pesan itu disertai foto kartu keluarga Clara. Rendra cukup terkejut. Clara benar-benar serius? Dia benar-benar sudah mengambilnya?

Rendra memperbesar foto itu, memeriksa dengan saksama. Sampai puntung rokok membakar jarinya, barulah dia tersentak dan membuangnya.

Saat itu, ponselnya kembali berdering. Panggilan dari ibunya. Begitu diangkat, suara Delisha langsung terdengar dari seberang. "Rendra, kamu di mana lagi malam ini? Kamu nggak bisa bikin ibumu tenang sedikit? Pulanglah, tinggal di rumah dua malam saja. Kamu tega membiarkan Clara sendirian terus di rumah?"

Rendra mengernyit. "Kalian semua benar-benar sudah tersihir olehnya. Ya sudah, aku pulang."

Zafran menyukai Clara, Renata membelanya, bahkan kedua orang tuanya pun memihak Clara. Apa hebatnya Clara sampai semua orang bisa dibujuknya seperti itu?

Setelah menutup telepon, Rendra berdiri, mengambil jasnya, dan berkata kepada Jonas dan Levin, "Ada urusan, aku pergi dulu."

Jonas sedikit menegakkan tubuhnya, lalu menaikkan alis. "Baru mulai juga, sudah mau pergi?"

Rendra tak menjawab, hanya melambaikan tangan dan langsung pergi.

Di mobil, jendela pengemudi terbuka. Rendra memegang setir dengan tangan kanan, rokok di tangan kiri, lengan bersandar di jendela. Musik dari speaker terdengar pelan.

Dia masih belum bisa memahami, apa istimewanya Clara sampai seluruh Keluarga Adresta bisa begitu menyayanginya? Dulu mungkin dia sendiri juga sempat kehilangan akal, sampai akhirnya menyetujui pernikahan itu.

Dia mengisap rokok dalam-dalam, meniupkan asap, lalu menambah kecepatan mobil di jalanan sepi malam itu.

....

Di kamar mereka, Clara baru saja keluar dari kamar mandi. Dia membawa sabun mandi dan produk perawatan kulit di pelukannya. Saat hendak membuka pintu kamar, pintu tiba-tiba didorong dari luar.

Clara menatap ke arah pintu dan langsung terpaku. Rendra! Kenapa dia pulang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 100

    Makanya, dia mengeluarkan uang untuk menyebarkan trending topic itu.Dia membuat Clara merasa bahwa kehangatan Rendra kemarin hanya untuk memanfaatkannya, bahwa dia tetap sedang mengendalikan opini publik.Clara juga tidak akan curiga, karena itu memang cara yang biasa digunakan Rendra. Dia selalu sengaja membuatnya menangani urusan-urusan setelah skandalnya.Namun, dia tak menyangka Rendra ternyata mempermasalahkannya. Bagaimanapun, dia hanya meneruskan cara yang biasa Rendra gunakan. Dia sedang mencemaskan Rendra.Menatap Rendra tanpa mengalihkan pandangan cukup lama, Caroline mencoba tersenyum, lalu bertanya, "Rendra, kudengar kamu mentransfer 10% saham ke Clara, itu benar nggak?"Rendra menjawab, "Benar."Kedua tangan Rendra masih memegang pisau dan garpu. Caroline langsung terpaku mendengar ucapan Rendra.Setelah menatap Rendra cukup lama, melihat dia masih makan dengan tenang seperti biasa, dia tersenyum kaku dan bertanya, "Rendra, terus kamu dan Clara masih mau cerai nggak? Jang

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 99

    Hanya saja, ini pertama kalinya Rendra tidak memberi tahu Clara sebelumnya. Semuanya dia sutradarai dan mainkan sendiri.Rendra sudah terbiasa memanfaatkannya. Dia sudah sangat terbiasa, bahkan sangat mahir.Setelah makan siang, Clara merapikan meja, lalu pergi ke laboratorium kawasan pengembangan industri teknologi tinggi bersama Hans dan yang lainnya.Ada sebuah proyek dengan pihak militer yang akan melakukan uji latihan bulan depan, jadi mereka harus pergi menyiapkan semuanya.Kesibukan itu berlangsung terus sampai lewat pukul 8 malam. Mereka masih terus mengatur data dan melakukan uji simulasi.Hingga lebih dari pukul 9 malam, barulah semua berhenti bekerja dan pulang. Clara mengemudi pulang. Saat sampai di rumah, waktu sudah lewat pukul 10 malam.Setelah menyantap sedikit makanan yang disiapkan Kinara, Clara naik ke lantai atas.Rendra belum pulang. Dia seharusnya sedang bersama Caroline. Mereka janjian bertemu hari ini setelah berbicara di telepon semalam.Clara tidak terlalu mem

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 98

    Rendra terus menatap computer. Dia bertanya dengan santai, "Aku benaran nggak nyaman lho. Kamu nggak kasihan sama aku? Peluk juga nggak boleh?"Clara menatap Rendra, tidak tahu harus bilang apa. Dia sadar, Rendra kadang bisa bersikap manja, lumayan pandai memanfaatkan momen.Mendapati Clara terus menatapnya, Rendra juga menoleh padanya. Tatapan mereka bertemu. Melihat Rendra sama sekali tidak merasa memeluknya itu tidak pantas, Clara menatap matanya dan bertanya, "Kalau begitu, nanti aku harus menghiburmu di atas kasur juga?"Clara jarang bercanda seperti itu. Rendra langsung tertawa kecil. "Kalau kamu benar ada niat itu, aku jelas lebih bersedia.""Hehe." Clara mentertawakan Rendra dua kali. "Jangan mimpi deh."Ketika Clara memegang kedua lengan Rendra dan hendak melepaskan tangan yang melingkari pinggangnya, ponsel Rendra yang tergeletak di samping berbunyi.Rendra menoleh melihat ponsel. Clara pun refleks ikut melirik. Caroline. Nama Caroline terpampang di layar.Sekejap, senyuman d

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 97

    Mendengar godaan Rendra. Clara berkata dengan jijik, "Dasar gila."Masih menggenggam tangan Clara, Rendra berjalan santai. Suaranya terdengar malas saat berkata, "Clara, aku baru 26, lagi masa-masa kuatnya. Kamu setiap hari baru baring sudah tidur, itu namanya menyiksaku."Kalimat itu ... sepertinya ada benarnya juga.Clara menoleh melirik Rendra, melihat wajahnya yang rileks dan suasana hatinya yang juga lumayan bagus.Clara lalu melihat ke bunga-bunga dan tanaman di samping, tidak berbicara lagi. Ya sudahlah, dia juga sudah tersiksa selama tiga tahun.Melihat Clara terdiam, Rendra melepaskan genggaman tangan mereka, lalu menaruh lengannya di bahu Clara dan mencubit dagunya. "Bicara."Selesai berbicara, dia kembali memegang lehernya dengan lembut, penuh godaan.Ketika tangannya mulai nakal, menggesek tulang selangka, bahkan ingin turun lebih jauh, Clara langsung menangkap tangannya dan mengingatkan dengan serius, "Rendra, jangan gila. Di halaman ada CCTV."Melihat ekspresi serius Clar

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 96

    Rendra bertanya, "Di StarTech sudah terbiasa belum?"Begitu Rendra berbicara, perhatian Clara langsung teralihkan. Dia menjawab, "Sudah terbiasa. Alain orangnya sangat baik, Hans dan yang lainnya juga baik. Aku sendiri juga sangat suka pekerjaan ini."Setiap kali membicarakan pekerjaan barunya, Clara seakan-akan berubah menjadi orang lain. Sangat cerah dan bersemangat.Melihat Clara begitu senang, Rendra tersenyum tipis, tidak melanjutkan pembicaraan.Mereka sudah lama tidak berjalan bersama seperti ini. Dulu saat masih sekolah, mereka masih sering pulang bersama. Terutama setelah Clara naik kelas lebih cepat, mereka pernah pulang berdua berkali-kali.Suasana tiba-tiba berubah hening. Clara hanya merasa tangan Rendra sangat kuat, meskipun sebenarnya Rendra tidak menggenggamnya dengan erat.Di halaman terdengar suara serangga dan katak. Mengingat saham Grup Adresta yang bergejolak hari ini, Clara merasa semuanya seperti mimpi, karena ketenangan Rendra membuatnya merasa seolah-olah kejad

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 95

    Melihat sikap Rendra yang tidak tulus itu, tatapan Renata padanya dipenuhi rasa jijik.Di sisi lain, Clara hanya makan, tidak mengatakan apa pun.Selesai makan, Zafran memanggil Rendra ke ruang kerja untuk menasihatinya, sementara Clara dan Renata menemani Miskah di lantai bawah.Namun saat ini, Miskah sebenarnya tidak butuh ditemani. Dia memakai kacamatanya sendiri, duduk di ruang tamu sambil menonton drama pendek.Setiap kali melihat pemeran wanita jahat muncul, Miskah langsung menggertakkan gigi dengan marah, merasa Caroline mirip dengan tokoh wanita jahat itu, sedangkan cucunya adalah tokoh pria bodoh yang tertipu wanita jahat.Karena itu, dia membawa ponselnya dan mencari Clara serta Renata, meminta mereka mengajarinya cara mengirim drama pendek itu ke Rendra.Melihat keseriusan Miskah, Clara dan Renata sampai tidak bisa menahan tawa. Namun, mereka tetap mengajari Miskah membagikan drama pendek itu kepada Rendra.Renata bahkan mengatur aplikasi Miskah menjadi kumpulan video anti p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status