"Minem! Kenapa kau masih menghadap ke sana? Balikkan badanmu cepat! Tuan Hendry ingin berbicara denganmu!" pekik Sinta yang mengira kalau Hendry kembali untuk melakukan suatu hal yang akan membuat pembantu barunya itu tidak merengek minta dipecat lagi.
Sinta sangat percaya pada kewibawaan suaminya. Juga kuasanya dalam membuat semua orang menerima keputusannya. Kalau Smith si Singa Jantan itu saja dihempaskan oleh Hendry dengan sekali perintah, apalagi ini Minem yang hanya seorang pembantu penakut.
Minem menelan ludah. Lalu memberanikan diri untuk membalikkan badan dan kembali berhadapan dengan sang majikan, tapi tanpa mengangkat kepalanya sedikit pun.
"Iya Tuan," kata Minem dengan suara bergetar.
"Tadi kamu bilang mau berhenti kerja karena takut padaku," kata Hendry masih dengan wajah dingin.
Dengan kepala yang semakin tertunduk, hingga dagunya hampir menempel pada lehernya, Minem menjawab dengan sedikit terbata, "Be-nar Tuan. Maafkan saya."
"Cepatlah ke kelas. Kau bisa telat nanti. Aku akan pergi dulu. Tenang saja, aku sudah izin sakit pada dosen," bisik Janu."Apa?" teriak Smith nyaris copot jantungnya karena kaget. Kedua bola matanya juga hampir ke luar mendengar ucapan suaminya.Smith semakin tidak paham dengan apa yang dilakukan Janu. Bukankah tadi yang seperti orang kebakaran jenggot karena takut terlambat adalah Janu? Tapi sekarang Janu malah membolos, dengan alasan berbohong pula.Jika sebelumnya Smith menilai bahwa sebagai orang sint*ng Janu terlalu waras, kini penilaiannya berbalik arah dengan garis yang menukik tajam ke bawah. Sebagai orang sint*ing, Janu kelewatan sint*ngnya."Nanti kalau ada yang tanya padamu, siapa yang mengantarmu ke kampus, bilang saja teman atau tetangga satu kost Janu. Oke? Aku pergi dulu. Jangan lupa tersenyum!"Janu pergi meninggalkan kedongkolan tingkat puncak di batin Smith, lengkap dengan tanda tanya besar yang memenuhi kepala Smith.
Tut ... tut ... tut ...."Apa? Bangs*t! Berani-beraninya dia mematikan teleponku! Lihat saja, kalau dia berani mematikan teleponku lagi. Cari mati!" umpat Smith sudah ingin menelan suaminya hidup-hidup.Smith kembali menelepon Janu dengan dada panas. Ia sudah menyiapkan segala omelan pedas untuk Janu.Tut ... tut ... tut ...."Apa? Dia mematikan teleponku lagi? Apa dia sudah ingin mati? Awas kau! Jangan dikira aku akan menyerah. Smith tidak akan kalah begitu saja. Aku tidak akan berhenti menelepon kalau dia belum mengangkatnya!"Benar saja, Smith menelepon lagi dengan dada yang semakin panas seperti penuh dengan muntahan magma. Ia memencet ikon ponsel kuat-kuat sambil membayangkan sedang mencolok mata suaminya."Coba kita lihat, pria sint*ing itu akan memutuskan teleponku atau tidak," gerutu Smith ketika menunggu Janu untuk mengangkat panggilan darinya.Tut ... tut ... tut ...."Set*n! Orang ini memang sudah bosan hidup,"
Janu berdiri di depan pintu. Ia diam mematung karena sibuk berkutat dengan pikirannya.Apa yang sebenarnya terjadi pada Smith? Apa mertuanya menemui Smith di kampus? Apa terjadi keributan selama ia meninggalkan istrinya? Dan seterusnya.Janu menghela napas panjang. Berharap semua baik-baik saja. Kemudian mengangkat tangan kanannya yang terkepal untuk mengetuk pintu."Smith ... " panggil Janu dengan suara lebih pelan dari sebelumnya. Selain karena tidak mau menganggu tetangganya, sekarang perasaan Janu juga sudah menjadi lebih tenang dari sebelumnya sebab ia tahu Smith ada di dalam kost.Namun Janu masih heran. Kalau memang Smith ada di dalam, lalu mengapa Smith tidak menyahuti panggilannya?"Apa dia ketiduran, ya?" tanya Janu menduga-duga. Maka, untuk memastikan semuanya, Janu memutuskan untuk menekan gagang pintu dan mendorongnya saja. Siapa tahu pintunya tidak terkunci.Dan ternyata, benar! Pintu yang sedari tadi Janu t
Janu tetap memeluk istrinya tanpa mengatakan apa pun. Ia tidak melepaskan Smith meski beberapa bekas cakaran dari istrinya itu memicu rasa perih. Juga bekas pukulan Smith yang kuat, cukup untuk membuat tubuh Janu terasa sakit.Hingga pada akhirnya Smith menjadi lemas. Ia menangis sejadi-jadinya, tapi lirih saja hingga napasnya tersengal-sengal.Selama dalam pelukan Janu, Smith seperti berperang melawan bayang-bayang masa lalu yang kelam. Semua perlakuan buruk ayahnya pada almarhum ibunya mencuat kembali dan membuatnya menjadi kian marah.Apa lagi jika permintaan sang ayah supaya Janu menceraikannya dan menikah dengan Sisil terngiang lagi. Rasa-rasanya Smith ingin melenyapkan semua makhluk bernama laki-laki dari muka bumi."Duduklah dulu," kata Janu menuntun Smith untuk duduk di atas tempat tidur. Janu mengusap rambut istrinya.Melihat tangisan Smith barusan, Janu menduga bahwa istrinya sedang teringat pada hal buruk yang telah dia
Janu memarkir motornya di depan panti jompo yang letaknya sesuai dengan yang ada di catatan kecil yang diberikan Pak Jono pada Smith. Ia mengelus rambut istrinya untuk mendatangkan tenang.Janu bisa melihat mata Smith yang berkaca-kaca. Ia tahu kalau Smith pasti kaget dengan tulisan besar yang tercantum dalam papan yang tertancap di halaman panti itu "Panti Jombo Kasih".Meski Janu telah memberi tahu Smith bahwa alamat yang diberikan Pak Jono adalah alamat dari sebuah panti jompo, kenyataannya Smith sangat berharap hal itu tidak benar. Akibatnya sekarang baru terasa, Smith mengalami serangan kekecewaan dan kesedihan yang membuatnya sampai ingin menangis."Ayo Smith, kita masuk," ajak Janu menganggandeng tangan Smith. Ia melangkah maju. Tapi langkahnya langsung terhenti lantaran Smith masih berdiri mematung.Smith masih menatap nanar bangunan yang ada di hadapannya. Rasa-rasanya Smith tidak kuat jika harus melihat Bibi Ipah berada di sana.
Smith dan Janu menunggu dengan detak jantung tak karuan. Berharap sang ayah memang mendaftarkan pembantu mereka dengan nama lengkap."Tuhan, jika Bibi Ipah benar-benar ada di sini, aku berjanji padamu akan mencium suamiku. Dia telah bersusah payah ingin mempertemukan aku dengan Bibi Ipah," batin Smith sambil menoleh pada Janu, ketika petugas panti telah memakai kembali kaca matanya.Sesaat kemudian Smith mengutuk dirinya sendiri karena berani berjanji pada Tuhan dengan begitu mudahnya. Menjanjikan hal yang mendekati mustahil untuk ia lakukan."Semoga ... " gumam Janu mengharapkan Bibi Ipah tidak berada di tempat lain. Ia tidak tahu harus mencari Bibi Ipah ke mana jika ternyata beliau tidak ada di sana.Tidak seperti sebelumnya, kali ini petugas panti tidak lagi mengenakan telunjuknya untuk membantu mencari nama yang disebutkan Smith. Seolah dalam ingatannya, petugas itu memang sempat sekelibat melihay nama Saripah pada buku yang masih ada di pangkuannya,
Satu-satunya hal yang membuat Smith menangis adalah kecewa. Kepada siapa? Kepada orang yang sudah sangat ahli dalam menyakiti hatinya. Siapa itu? Siapa lagi kalau bukan Hendry, ayah KANDUNG Smith!Kalau ditanya Smith bahagia atau tidak saat mendapat kepastian bahwa nama Saripah yang ada di buku panti itu adalah Bibi Ipah, sudah barang pasti Smith bahagia. Bukankah ia sampai membuat janji pada Tuhan demi kepastian itu.Smith senang karena ia tidak perlu lagi mencari pembantunya yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri. Dan besok ia sudah bisa menemui Bibi Ipah.Kalau ditanya soal kecewa, kata 'sangat' pun tidak cukup untuk mewakili besaran kekecewaan yang Smith rasakan. Melihat nomor ponsel sang ayah pada buku itu, lagi-lagi menjadi bukti bahwa ayahnya memang tidak pernah berubah. Lelaki paruh baya itu tidak memikirkan perasaan orang lain dan hanya fokus pada balas dendam untuk membuat Smith merasakan sakit kehilangan yang dirasakan putrinya dengan label 'me
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j