Hendry telah siuman. Ia menderita sedikit cidera di bagian punggung, tepatnya tulang klafikula kanan yang sedikit retak karena benturan keras dengan anak tangga. Sehingga ia belum bisa banyak bergerak. Selain itu, bagian pelipisnya yang bocor dan telah dijahit tiga juga terasa nyeri.
Dokter meminta Hendry untuk memperbanyak istirahat terlebih dahulu dan membatasi komunikasi dengan orang lain. Dokter menyarankan agar keluarga yang menjaga Hendry tidak lebih dari dua orang saja supaya tidak menganggu pasien.
"Smith...."
Hendry memanggil putri kandungnya yang hendak keluar ruangan setelah dokter pergi dari kamar inap ayahnya.
Sebenarnya Smith sangat ingin berada di sisi ayahnya, tapi di sana juga ada Sinta, Sisil, dan Sheira. Jika hanya ada dua orang yang boleh menjaga ayahnya, tentu harus ada yang keluar. Dan rasa sayangnya yang begitu besar pada sang ayah, yang membuat gadis itu tetap keluar tanpa menoleh pada Hendry.
"Lihatlah kelakuannya! Dia bahkan ti
Smith berdiri di depan pintu. Ia bisa melihat apa yang terjadi di dalam ruangan dari kaca pintu berbentuk persegi panjang yang ada di bagian atas pintu.Di dalam kamar tempat Hendry dirawat, ada seorang pemuda yang tidak asing baginya, yakni Janu Malik.Smith bisa merasakan suka cita yang melingkupi ruangan itu dengan melihat senyum di wajah Sisil dan Sinta. Juga ayahnya.Gadis singa jantan itu seperti sedang melihat sebuah keluarga lengkap yang begitu senang dengan kedatangan seorang menantu idaman.Ironis! Semestinya itu menjadi keluarga bahagia milik Smith. Seharusnya Smith ada di dalam ruangan bersama ayah dan ibunya. Bukan sebagai penonton seperti dulu ketika potret keluarga bahagia ia dapati di taman kota, juga seperti sekarang.Bukan, ini bukan karena Smith cemburu. Ia bahkan tidak memiliki perasaan spesial untuk Janu.Semua ini tentang keluarga impian Smith. Namun kenyataannya, semua kebahagiaan yang ada dalam angan
Smith tidak bisa berhenti mengumpat. Ia sungguh jijik pada dirinya sendiri atas apa yang ia lakukan di rumah sakit."Yang benar saja, buat apa aku memeluknya? Mengapa aku harus mengorbankan diri demi menyayat batin gadis sint*ng itu? Haaah, aku pasti sudah gila."Smith terus menggerutu sambil membaui badannya sendiri. Ia sudah mandi dengan menggunakan sabun lebih dari tiga kali. Smith juga telah menghabiskan satu botol parfum.Tapi gadis itu seolah masih bisa mencium bau badan Janu. Padahal Bibi Ipah sampai bersin berulangkali akibat wangi yang begitu menyengat dari tubuh Smith.Sudah barang tentu Smith tidak bisa menghilangkan bau badan Janu. Sebab bau itu melekat erat dalam pikirannya sendiri.Itu kali pertama Smith memeluk seorang lelaki, selain ayahnya. Dan Smith pun tidak mengerti pada jalan pikirannya sendiri.Smith bahkan selalu kesal pada Janu untuk semua hal yang ada pada diri pemuda itu. Tapi, tadi Smith malah memeluknya, di
Hendry memandang wajah putri kandungnya dengan khidmat. Ia tidak percaya jika putri kecilnya, kini sudah menjadi gadis dewasa yang sangat cantik.Rasanya baru kemarin Smith berada di punggungnya, tertawa renyah saat berada dalam gendongannya.Waktu berjalan tanpa bisa dijeda. Dan segalanya terasa cepat karena ada banyak hal yang terlewat. Lebih tepatnya, ia lewatkan tanpa ada di sisi gadis itu.Hendry tersenyum. Melihat wajah Smith, sudah seperti melihat almarhum istrinya saat masih muda. Keduanya sungguh mirip. Hanya mata Smith yang berbeda. Mata itu sama persis dengan mata Hendry."Ayah senang kau ada di sini," ucap Hendry yang masih belum bisa bergerak bebas akibat cidera di punggungnya."Bagaimana kabarmu? Apa semua baik-baik saja? Maafkan ayah karena sudah merepotkanmu. Terima kasih sudah membawa ayah ke rumah sakit,. Jika tidak, ayah tidak tahu apa yang akan terjadi," kata Hendry lagi dengan senyum haru. Ia tahu, Smith masih sangat pedu
Sisil sungguh tidak tega melihat ayah sambungnya berwajah demikian sedih. Ia benar-benar mengerti betapa besar rasa sayang ayahnya pada Smith. Dan selama bertahun-tahun, Hendry sudah sangat menderita atas sikap Smith yang dingin dan tidak banyak bicara itu."Smith! Apa kau tidak mendengar ayahmu bicara? Ya ampun, aku bisa gila karena gadis keras kepala ini!" sambar Sinta lagi. Kali ini ia sampai berdiri dan berjalan mendekati Smith. Ia menatap tajam putri sambungnya itu.Smith berdiri dengan pandangan yang masih ke bawah. Ia selalu kesulitan untuk menatap mata ayahnya lantaran kebencian yang tidak terkira timbangannya. Membutuhkan kekuatan yang sangat besar untuk melakukan itu."Kau mau kemana, nak? Katakanlah sesuatu tentang keputusan ayah. Kau boleh menolaknya, memarahi ayah, bahkan kalau perlu pukul ayahmu ini.""Tidak, ayah. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Keputusan ayah selalu terjadi. Dan akan terus begitu. Sampai detik ini, bodyguard
"Smith, bagaimana ayahmu? Apa keadaannya sudah membaik?""Aku tidak percaya. Mengapa aku harus satu kelompok denganmu lagi? Menyebalkan sekali," ujar Smith yang duduk di jok belakang pada motor yang dikendarai Janu. Ia sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan Janu.Janu yang mendengar dengan jelas ungkapan kekesalan Smith itu, tidak memberi tanggapan dan hanya tersenyum saja. Senyum yang sangat lebar.Ia juga tidak mengulangi pertanyaannya yang menguap tanpa jawab menyoal Hendry. Janu sangat yakin, Smith mendengarnya. Tapi gadis itu sepertinya memang tidak ingin membicarakan ayahnya.Ring... ring... ring..."Ponselmu berdering," kata Janu singkat, mengingatkan Smith lantaran tidak lekas mengangkat telepon karena masih sibuk menggerutu, meratapi nasibnya yang mesti satu kelompok lagi dengan Janu."Apa kau kira aku t*li? Diam dan fokus saja menyetir! Kau hampir menabrak pembatas tr
Smith memasuki kamar Janu. Ia terkesan dengan kerapiannya. Semua barang tertata dengan apik hingga ruang yang luasnya hanya 3x4 meter persegi itu bisa menampung banyak barang dan tetap terlihat longgar. Tidak berjubel-jubel layaknya penumpang kereta api kelas ekonomi menjelang Lebaran.Kamar kecil Janu juga dilengkapi dengan rak kayu mini yang menempel di dinding. Rak itu dipenuhi buku-buku karya sastra. Ada novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen, juga beberapa naskah drama.Namun dari sekian banyak benda di kamar Janu, mata Smith tertarik pada sebuah pigura kecil yang ada di atas meja dekat tempat tidur.Smith berjalan menghampiri pigura itu. Lantas duduk di atas ranjang, dan mengambil sebuah potret keluarga kecil. Ada ayah, ibu, dan seorang anak lelaki yang usianya mungkin sekitar tiga tahun.Smith mengamati wajah anak kecil itu. Meski foto itu sudah agak buram, Smith bisa melihat ada kemiripan ant
"Tidak, tidak. Kau keliru. Mereka bukan orang tuaku. Itu paman dan bibiku.""Apa? Lalu dimana orang tuamu saat foto ini diambil? Mereka pasti sangat malu punya anak sepertimu, hahaha, sampai untuk berfoto saja tidak mau. Heeem, kasihan sekali mereka."Smith terkekeh, merasa sangat senang bisa menertawakan Janu. Ia sangat yakin, Janu tidak bisa membalas ejekannya kali ini.Dan Janu memang diam saja. Membiarkan Smith menuntaskan tawanya. Janu senang melihat Smith demikian. Itu kali pertama ia melihat Smith tampak begitu bahagia."Kenapa? Kenapa kau menjadi pendiam sekarang?" tanya Smith setelah tidak terbahak-bahak lagi."Sudah aku katakan padamu, ayah dan ibuku meninggal sebelum menjadi orang kaya, hehe."Janu memang sedang bercanda. Tapi Smith bisa melihat ada kesedihan yang disembunyikan Janu dalam mata kucingnya.Maka, raut wajah Smith pun berubah seketika. Kini i
Seperti biasa, pagi di kediaman Smith selalu pecah oleh omelan Sinta yang tiada akhir. Perempuan itu terus berbicara menyoal satu hal, yakni keburukan Smith. Mengeluh ini dan itu."Sudahlah, ma. Apa perlu marah-marah di meja makan?" kata Sisil lembut sambil menyodorkan segelas teh hangat untuk mamanya, supaya lebih tenang."Dimana Smith? Bibi Ipah, apa Smith sudah bangun?" tanya Hendry celingukan."Su....""Tentu saja belum!" sambar Sinta menyela ucapan Bibi Ipah. Membuat pembantu rumah tangga itu menelan ludahnya bersama sisa kata yang belum terucap."Dia saja jam setengah dua belas baru pulang. Sudah pasti sekarang masih molor. Heran, apa yang dilakukannya di luar sana hingga pulang tengah malam," ujar Sinta lagi sambil memotong roti di piringnya dengan penuh penekanan seperti sedang memotong leher seseorang. Kali ini membuat Bibi Ipah mengelus lehernya sendiri."Tidak, Nyonya. No