Adelia sampai di ruang istirahat para staff hotel. Dengan napas menderu, Adelia berusaha mengontrol dirinya dan tubuhnya yang masih gemetar.
"Aku harus membeli pil kontrasepsi," gumam Adelia sambil mengganti pakaian dengan baju ganti yang dibawanya.
Selesai berbenah diri, Adelia segera berlari keluar tanpa mengisi absensi jari pada mesin absensi di samping pintu.
Dengan terburu-buru, Adelia berlari kecil menuju ke klinik tidak jauh dari Hotel.
"Aku tidak boleh hamil! Aku akan menikah dengan calon suami yang sudah dijodohkan oleh Ayah atau harus mengembalikan mahar," gumam Adelia sambil bergerak buru-buru.
Sampai di klinik tersebut, Adelia mengertakkan geraham dengan kecewa karena masih harus mengantri.
"Aku akan terlambat ke acara pernikahan," sungut Adelia sambil berdiri di barisan menghitung jumlah orang yang sedang mengantri.
Jam yang tergantung di dinding klinik tersebut sudah menunjukkan pukul tujuh.
...
Afgan Al Futtaim, pria pewaris tunggal dari group Futtaim-bisnis retail terbesar di Dubai, saat ini berumur 35 tahun. Pria berperawakan ganteng dan tubuh kekar berotot setinggi 180 cm itu terbangun dengan kepala yang berat dari ranjang hotel yang sudah berantakan.
Dalam kegelapan kamar yang remang-remang dan cahaya matahari yang mengintip lewat sela-sela tirai jendela hotel, Afgan merasa detak jantungnya memukul keras.
"Arrgh!" pekiknya sambil berusaha duduk di ranjang.
Kepalanya terasa berat, dan nyeri merambat di seluruh tubuhnya yang terasa kaku. Dia membuka matanya perlahan, tergagap mencoba merangkai memori-memori buram semalam.
Alkohol yang telah ia minum, mengantarkannya ke dalam alam tidak sadar, menghadirkan bayangan-bayangan buram tentang pertemuan dan perbuatannya semalam.
"Aku bersama seorang wanita!" Afgan terkejut lalu menoleh ke ranjang di sampingnya, bercak merah tertinggal di sprei yang menjadi saksi bisu perbuatannya.
"A-apa yang sudah kulakukan!" pekik Afgan sambil menjambak rambutnya sendiri, berusaha mengingat segalanya.
Tetapi hari ini, nyatanya, adalah hari yang tidak bisa dihindari - hari pernikahan dengan wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya.
"Aku harus menghadiri pernikahan hari ini! Argh! Kepalaku sakit sekali!"
Afgan segera mengambil jas pengantin yang diantarkan seseorang semalam sambil bergumam, "gadis itu ... yang mengantar jas pengantinku!"
Meskipun penuh ketidaksetujuan dan penolakan, Afgan tahu dia harus tunduk pada takdir yang telah diaturkan untuknya.
Keluar dari ranjang dengan langkah gontai, dia mengenakan pakaian yang telah dipersiapkan dengan cermat, meskipun detak jantungnya masih berdentum-dentum di kepalanya yang terasa hancur.
Pada saat itulah, dalam keputusasaan dan ketidakpastian, Afgan meraih botol obat pereda sakit kepala yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. "Kosong!"
"Argh! Tidak ada yang becus hari ini!"
Dengan setiap langkah menuju pintu keluar, ia merasa seakan-akan beban dunia ada di atas pundaknya. Tapi bahkan dalam keadaan seperti ini, tekad untuk memenuhi kewajiban sebagai anak tidak terelakkan.
Dia mengunci pintu kamar dengan langkah-langkah gemetar dan melangkah ke koridor hotel yang sepi, mengarahkan langkahnya ke klinik terdekat untuk membeli obat pereda nyeri kepala.
Ketika ia mencapai pintu klinik, aroma antiseptik menyambutnya membuat perutnya terasa mual. Namun, tiba-tiba seorang gadis yang berjalan terburu-buru menabraknya.
"Hei! Perhatikan jalanmu!" Afgan memegang dadanya yang ditabrak kepala Adelia.
Obat yang dipegang Adelia berjatuhan di lantai. "Ma-maaf," ucap Adelia sambil menundukkan kepala lalu memungut obat yang berjatuhan miliknya.
Afgan berjongkok dan mengambil botol obat yang jatuh di samping kakinya lalu membaca sekilas, "Pil kontrasepsi." Afgan menyerahkan botol obat tersebut kepada gadis itu dengan sedikit heran dan memperhatikan wajahnya lebih detail.
"Maaf ... terima kasih," ucap Adelia sambil merebut botol obat tersebut dengan wajah merah dan malu lalu buru-buru meninggalkan Afgan tanpa perkataan apa pun.
Afgan segera menuju ke meja klinik dengan menerobos antrian. "Berikan obat pereda sakit kepala untukku!" perintahnya kepada apoteker yang bertugas.
"Hei, ikuti antrian, jangan memotong! Klinik ini bukan milikmu!" tegur seorang pria dalam antrian.
Afgan memutar kepalanya dan melayangkan tatapan tajam ke arah pria itu lalu berkata, "Aku akan menikah satu jam lagi dengan wanita yang dijodohkan keluargaku tanpa pernah melihat wajahnya dan sekarang kepalaku sakit sekali!"
Usai berkata, Afgan memutar tubuhnya lalu menyodorkan selembar uang berwarna merah.
"Obat sakit kepala dan air mineral!" ucapnya dengan nada tinggi.
Apoteker segera memberikan obat tersebut dan sebotol air mineral. Afgan langsung menelan obat dan meneguk air mineral dengan terburu-buru lalu melangkah keluar dari klinik itu.
Pria tadi yang meneriakinya hanya menepuk bahu Afgan yang lewat di sampingnya dengan lembut lalu berkata, "Sabar ya. Semua akan indah pada waktunya."
Afgan menaikkan sudut bibirnya lalu menuju ke mobil sport kesayangannya yang terparkir di depan hotel. Memacu dengan kecepatan tinggi menuju ke lokasi pesta yang tidak jauh dari hotel.
...
Di balik gemerlap lampu dan hiasan pernikahan yang memukau, Adelia berdiri di pelaminan dengan gaun putih yang mempesona. Dia merasa campur aduk antara kegugupan dan kecemasan. Hari ini adalah hari di mana dia akan dijodohkan dengan seorang pria yang tidak pernah dia kenal sebelumnya. Meskipun ia mencoba menyembunyikan rasa takutnya, matanya mengungkapkan ketidakpastian dan keraguan yang mendalam.
"Aku harus bisa melupakan malam naas itu. Tidak ada yang tahu." Adelia berusaha tegar dan memberi semangat kepada dirinya sendiri karena dia sudah memakan pil anti hamil.
Saat pintu besar aula pernikahan terbuka, suara langkah kaki yang tenang dan mantap menggema di sepanjang lorong. Pandangan Adelia tertuju pada seorang pria muda dengan Jas pengantin putih, memasuki ruangan dengan kehadiran yang memikat. Dalam sekejap, ia merasakan detakan jantungnya melambat dan membuatnya hampir pingsan ketika menyadari bahwa laki-laki itu adalah sosok yang menabraknya di klinik tempatnya membeli pil kontrasepsi.
Afgan, demikian nama pria itu tercatat di undangan pernikahan dan dia adalah laki-laki yang telah menyaksikan rahasia paling dalam dalam hidupnya karena membeli pil kontrasepsi.
"D-dia ... " bibir Adelia bergetar.
Sementara itu, Afgan juga terkejut melihat Adelia, gadis yang baru saja dia lihat membeli pil kontrasepsi di klinik tadi pagi.
Kilatan pengenalan melintas di matanya. Kehadiran Adelia sebagai calon mempelai sangat mengguncangnya, membuka kenangan akan pertemuan yang tidak sengaja itu di klinik.
Dalam beberapa detik, dunia mereka bertabrakan di tengah-tengah pernikahan yang diatur dengan cermat, menciptakan ketegangan yang terabaikan di antara tamu-tamu yang riuh.
Mata Adelia bertemu dengan mata Afgan, menciptakan ikatan diam yang tak terduga antara mereka.
Di dalam tatapan itu terkandung kebingungan, penasaran, dan juga keraguan dengan degup jantung yang tidak beraturan.
Keduanya merasa terseret ke dalam aliran waktu yang membawa mereka kembali ke saat-saat pertemuan pertama mereka, di klinik yang ramai itu.
"Wanita ini ... dia membeli pil kontrasepsi tadi!" rutuk Afgan dalam hati lalu melayangkan pandangan tajam ke arah kedua orang tuanya yang memandangnya dengan heran.
"Aku .. aku ingin membatalkan pernikahan!" seru Afgan di tengah riuhnya tamu yang hadir.
Achmed Al Futtaim- Ayah Afgan segera berdiri dari kursi samping pelaminan dan merentangkan kedua tangannya, menghadap ke arah tamu-tamu yang masih menyaksikan kejadian tersebut.
"Tunggu sebentar. Ada sedikit kesalahpahaman di sini," ucapnya dengan suara lantang.
Achmed lalu mendekati Afgan, putranya dan membisikkan sesuatu di telinganya.
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel