"Afgan," bisiknya, mata Achmed berkilat tajam, "Kau tidak boleh membatalkan pernikahan ini. Orangtuamu telah mengambil keputusan, dan kau harus mematuhinya."
Afgan menatap ayahnya dengan mata penuh kemarahan. "Tapi ayah, aku tidak bisa menikahi wanita seperti itu. Aku ... aku merasa terhina."
Achmed menekan lengan putranya lebih erat, "dengarkan aku!"
Achmed menatap tajam, "Jika kau membatalkan pernikahan ini, aku akan mencoret namamu dari warisan keluarga. Kau tidak akan mewarisi apapun dari kami. Kau akan kehilangan segalanya."
Gluck!
Afgan menelan salivanya dengan kasar.
Seusai mengatakan demikian, Achmed kembali berseru kepada para tamu. "Pesta dilanjutkan, silakan menikmati hidangan yang tersedia dan mohon doa restunya untuk kedua mempelai!" seru Achmed lalu kembali duduk di samping kursi pelaminan seolah-olah tidak ada hal besar yang terjadi.
Afgan terduduk dengan perasaan tidak jelas dalam hatinya yang sedang bergemuruh.
Kata-kata dari sang ayah telah menciptakan keheningan mencekam di antara mereka. Afgan merasa dirinya diseret dalam perangkap, terjebak di antara pernikahan yang tidak diinginkan dan harga diri yang tercabik-cabik. Dia merasa terputus asa, merasa seperti ada gunung besar yang menekannya. Dia merenungkan konsekuensi dari tindakan-tindakan yang dia pertimbangkan, terdorong oleh kebencian dan penghinaan yang dirasakannya.
Dalam kerumunan tamu-tamu yang bahagia, Afgan duduk di kursi pelaminan dengan rasa pahit di dalam hatinya. Dia melirik Adelia, wanita yang akan menjadi istrinya, dengan mata penuh kejengkelan.
Tidak ada cahaya kebahagiaan di matanya, hanya pandangan penuh penilaian dan kehinaan. Dia merasa kecewa dan marah karena tidak mengetahui rahasia yang Adelia sembunyikan.
"Apa maksud semua ini?" gumam Afgan dalam kekesalan, suaranya hampir tenggelam di antara riuhnya perayaan. Tidak hanya sekali dia mengertakkan geraham dan mengepalkan tangannya karena merasa kecewa.
Dia merasa terhina, merasa seperti diolok-olok oleh takdirnya yang mengarahkannya kepada seorang wanita yang menurutnya, tidak pantas!
Sementara itu, Adelia merasakan tatapan tajam Afgan menusuk ke dalam jiwanya. Dia tahu bahwa dia telah kehilangan kepercayaan dan hormat dari pria yang akan menjadi suaminya. Perasaan malu merayapi hatinya, tetapi di balik rasa malu itu, tersembunyi kekecewaan dan kesedihan yang mendalam.
Adelia tidak berhenti merutuk diri dan menyesali yang sudah terjadi. Adelia melirik Ayahnya yang sedang duduk di samping kursi pelaminan dan tertawa dengan bahagia. Dia menghela napas dengan lega.
"Biarlah aku menderita, asal Ayah bisa tersenyum bahagia seperti itu," gumam Adelia dalam hati, berusaha menguatkan dirinya yang sedang rapuh.
...
Suasana pernikahan yang gemerlap dan meriah mulai mereda saat para tamu meninggalkan ruangan pesta. Adelia dan Afgan menjalani malam pertama mereka di sebuah kamar VVIP yang sudah dipersiapkan Achmed-Ayah Afgan dalam Hotel Mutiara Internasional, tempat Adelia bekerja.
Dalam ruangan yang dihiasi dengan mawar dan lilin aromaterapi, ketegangan menggantung di udara. Kedua orang tua mereka telah pulang, meninggalkan pasangan muda itu dalam keheningan malam yang gelap.
Saat pintu kamar hotel tertutup rapat, mereka merasa atmosfer tegang memenuhi ruangan. Adelia, yang masih memikul rahasia yang gelap di hatinya, merasa kecemasan merasuki setiap serat tubuhnya.
Afgan, meskipun tertekan oleh perasaan terhina yang belum hilang, memandang Adelia dengan mata yang penuh curiga.
Dalam keheningan, Afgan akhirnya memecah kesunyian, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan dan kemarahan. "Apa yang sebenarnya terjadi, Adelia? Apakah kau bermain-main dengan pria lain sebelum hari pernikahan kita?" tanyanya dengan tajam, matanya menatap tajam ke arah Adelia.
Adelia, terdiam dan kewalahan oleh tuduhan itu, mencoba mencari kata-kata. Namun, rasa bersalah yang mendalam membuatnya membisu. Dia tahu bahwa dia tidak bisa membela diri, bahwa dia harus memikul konsekuensi dari tindakannya yang sembrono.
Wajahnya pucat dan bibirnya gemetar saat dia mencoba menemukan kata-kata.
"A-aku ... "
"Afgan, aku tidak bisa membantahnya," kata Adelia dengan suara lemah dan rapuh. "Aku ... Aku tahu aku salah, tapi aku tidak bisa berbohong padamu."
Kata-kata itu terdengar di dalam keheningan malam, menciptakan kesunyian yang terasa begitu berat. Sesaat, Afgan merasa dunianya hancur, dia merasa seolah-olah dia telah dikhianati oleh wanita yang baru saja menjadi istrinya. Rasa kecewa, kemarahan, dan patah hati bersatu dalam dirinya, menciptakan badai emosi yang tak terkendali.
"Apakah kau pikir itu akan luput begitu saja? Apa yang kau lakukan adalah penghianatan, Adelia! Bagaimana aku bisa percaya padamu setelah semua ini? Kau adalah wanita murahan!"
Adelia menangis terisak mendengar penghinaan oleh suami yang baru saja menikahnya. "Afgan, aku tahu aku salah. Aku menyesalinya, tapi aku tidak bisa kembali dan mengubahnya. Aku harap kau bisa memaafkanku. Berikanlah sebuah kesempatan untukku," ucap Adelia dalam isak tangisnya.
"Kita sudah menjadi sepasang suami istri."
Perkataan Adelia malah membuat Afgan semakin marah.
"Suami istri katamu, huh? Suami istri tidak mempermainkan dan tidak membohongi pasangannya, Adelia. Aku merasa hancur dijodohkan denganmu!"
Adelia berusaha menggapai tangan Afgan, "Afgan, aku janji aku akan mencoba memperbaikinya. Aku janji tidak akan pernah menyakitimu. Tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa berubah."
"Kesempatan? Aku butuh waktu, Adelia. Aku butuh waktu untuk memikirkannya. Tapi saat ini, perasaanku begitu campur aduk. Aku merasa hancur oleh apa yang kau lakukan. Aku bahkan jijik melihat dirimu." Afgan menepis tangan Adelia dengan kasar.
Pertengkaran itu meninggalkan mereka dalam keheningan yang penuh emosi, masing-masing merasa terluka dan tersiksa oleh situasi yang rumit. Rasa kecewa dan kemarahan merajai ruangan, menciptakan kesenjangan yang dalam antara mereka.
"Kau tidak bisa mengharapkan segalanya berubah hanya dengan kata-kata maaf, Adelia. Penghianatan ini membuatku meragukan segala hal tentang pernikahan ini," ucap Afgan.
"Kau bahkan bermalam bersama pria lain di hari sebelum pernikahan kita dan melakukan ... "
Meskipun Adelia berusaha meminta maaf dan Afgan mencoba memahaminya, tetapi rahasia gelap itu telah menciptakan jurang antara mereka yang sulit diatasi.
Adelia menjawab dengan mata berkaca-kaca, "Afgan, aku tahu kata-kata tidak cukup. Aku akan membuktikannya dengan tindakan, aku akan ... "
Afgan melayangkan tatapan tajam dan membuat Adelia tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
" ... katakan padaku apa yang harus aku lakukan, dan aku akan melakukannya," ucap Adelia dengan lirih karena dia tahu bahwa bila Afgan menceraikannya, maka dia harus membayar mahar yang sangat banyak.
Ayahnya sudah menggunakan uang mahar itu untuk menutupi sebagian dari hutang judinya.
"Aku butuh waktu untuk memikirkannya, Adelia. Tapi aku ingin kau tahu, tidak ada janji bahwa aku bisa melupakan ini dengan mudah. Kita harus bekerja bersama-sama untuk mengatasi semua ini, atau pernikahan ini akan hancur sebelum bahkan dimulai."
Adelia mengangguk dengan lemah. "Apa yang harus kulakukan?" tanyanya sambil menghapus air matanya.
"Pertama, hapus air mata buayamu! Aku jijik melihatnya!" seru Afgan dengan ketus lalu mengambil pakaiannya.
"Kedua! Jangan keluar dari kamar ini. Aku tidak ingin orang tuaku tahu bahwa aku menginap di kamar lain karena jijik dengan keadaanmu!"
Bam!
Pintu ditendang Afgan dengan keras sehingga tertutup. Meninggalkan Adelia yang berlutut di lantai karena tubuhnya lemas terhadap kenyataan yang akan dihadapinya di masa depan.
"Dia akan membenciku! Pernikahan seperti apa yang harus kujalani?" tanya Adelia kepada dirinya sambil berteriak dengan histeris di dalam kamar yang luas dan mewah tersebut.
Keesokan harinya, matahari terbit dengan sinar hangat yang menyinari jendela kamar hotel. Sebuah ketegangan masih terasa di udara setelah pertengkaran sengit semalam.Adelia membuka mata dengan perasaan berat di dadanya. Pikirannya dipenuhi oleh ketidakpastian, cemas akan masa depannya dengan Afgan. Namun, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran, dia menolak untuk tenggelam dalam rasa putus asa. Dengan tekad yang kuat, dia memaksa dirinya bangun dari tempat tidur, meski kakinya terasa begitu berat.Terduduk di pinggiran ranjang, Adelia meraih keberanian dari dalam dirinya sendiri. Dia berbicara pada dirinya sendiri, "Aku harus kuat. Aku harus melangkah maju, bahkan jika langkah-langkah itu terasa sulit. Aku tidak boleh membiarkan kesedihan menghentikan hidupku. Aku harus bekerja, membangun masa depanku sendiri."Setelah mengambil napas dalam-dalam, dia bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Air hangat menyiram tubuhnya, mencoba meredakan beban pikirannya. Di bawah pancuran, dia memb
Melinda melirik Afgan yang tampan dan sedang memegang kemudi, melajukan mobil sport biru tersebut dengan stabil. Ini adalah pertama kalinya bagi Melinda menaiki mobil sport yang mahal."Aku minta maaf atas malam itu," ucap Afgan, memecah keheningan di antara mereka.Melinda mengernyitkan kedua alisnya karena tidak mengerti.Afgan menghentikan mobilnya di tepi jalan lalu memutar tubuhnya menghadap ke Melinda."Kamu mengantar jas milikku dan aku ... Maafkan atas apa yang sudah kulakukan semalam," ucap Afgan lalu meraih tangan Melinda dan mengenggamnya dengan perasaan tulus.Melinda mulai mengerti tentang keadaan semalam. Kepalanya yang pintar sudah mengerti apa yang dihadapi Adelia dan pria ini, tetapi karena Afgan begitu memukau dan tajir. Melinda tidak mau menyia-nyiakan kesempatan."Aku tak bisa begitu saja memaafkan apa yang Anda lakukan malam itu. Anda tahu 'kan harga diriku hancur?!" Melinda berusaha memasang wajah sedih.Afgan masih membeku menatapnya. Lalu, setelah dirasa cukup,
Afgan merasakan beban rasa bersalah mencekiknya begitu dia mencium aroma Adelia, merenungkan tindakan bodohnya sehari sebelumnya. Matanya penuh dengan penyesalan, dan hatinya dihantui oleh bayangan perempuan yang telah dia renggut keperawanannya sehari sebelum pernikahannya. Pria itu merasa dia juga tidak becus dalam pernikahan ini.Afgan mundur, melepaskan cengkramannya ke tangan Adelia lalu terduduk dengan napas yang menderu dan tidak teratur. "Adelia," panggil Afgan dengan suara patah, mencoba menahan amarah yang hendak meluap.Adelia menoleh, matanya berkaca-kaca, memancarkan kekecewaan yang dalam. "Apa yang kau inginkan, Afgan?" tanyanya dengan suara yang penuh dengan emosi.Afgan menelan ludahnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan."Bila kamu menginginkan perceraian, maka ... "Adelia menunggu apa kelanjutan dari perkataan Afgan."Kembalikan mahar yang sudah dibayarkan untuk pernikahan paksa ini!"Mendengar hal
Adelia merasa terhina oleh kata-kata Afgan. Dia menyadari bahwa Afgan memang memiliki sifat yang dingin dan keras. Namun, dia tidak bisa menahan perasaan kecewa yang muncul dalam dirinya. "Baiklah, aku mengerti," ucapnya dengan nada pahit dan memilih diam.Adelia melayangkan tatapannya ke punggung Afgan pada saat pria itu sedang memakai kemejanya.Adelia menatap luka bakar di punggung Afgan dengan kebingungan. Namun, saat dia menatap lebih lama, gambaran tentang gurat aneh di punggung seorang laki-laki yang pernah menyakitinya terlintas begitu saja di benaknya. Rasa takut dan ketidaknyamanan seketika melanda dirinya.Afgan yang melihat tatapan Adelia dari pantulan cermin di depannya itu merasa terganggu. Dia membentaknya dengan nada tajam, "Apa yang kau lihat? Ini tubuhku dan aku tidak menginginkan pertanyaan apa pun. Jangan bersikap seolah kau memiliki hak atas tubuhku.""Kau hanya istri di atas kertas, paham!"Adelia merasa tertegun oleh reaksi A
Afgan merasa tersudutkan karena luka di punggungnya. Pria itu mengalami tragedi besar ketika dia masih seorang anak kecil. Dia tumbuh di tengah kesibukan orang tuanya yang jarang ada di rumah. Meskipun diabaikan oleh ayah dan ibunya yang terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri, Afgan menemukan penghiburan dan kasih sayang sejati dari seorang pengasuh paruh baya yang penuh cinta."Bik Minah," gumam Afgan dengan suara gemetar, mencoba menutupi rasa sakit yang menghantamnya begitu mendalam. Dia merasakan embun mulai terkumpul di kedua matanya, menandakan bahwa bahkan hatinya yang beku sekalipun tak bisa menahan emosinya.Afgan melajukan mobilnya lebih kencang. "Seharusnya aku yang meninggal dalam kejadian itu!" pekik Afgan dengan nada tinggi dan masih berusaha menahan amarahnya.Pengasuh itu adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya, memberinya kasih sayang dan perhatian yang dia butuhkan. Dia menggantikan peran ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di sana untuknya.Hu
Kedua wanita itu menoleh dengan serentak ke arah Afgan. Melinda segera membalas dengan senyum terindah yang dimilikinya sementara Adelia mengernyitkan alis dan menahan napasnya. "Kita sarapan, yuk," ajak Afgan, memandang Melinda dengan wajah dan kalimat penuh kelembutan. Sangat berbeda dengan cara bicara tadi pagi kepada Adelia. Hanya sekilas Afgan melirik Adelia yang menelan salivanya usai mendengarkan ajakan tersebut, dia tahu bahwa Adelia juga bekerja di hotel tersebut, tetapi dia memutuskan fokus kepada Melinda. Adelia menahan rasa lapar di perutnya, dia sendiri juga belum sarapan, tetapi suaminya mengajak wanita lain untuk sarapan bersama - teman kerjanya, seorang wanita di hadapannya. Adelia mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan amarah yang bergemuruh di dalam dadanya. "Baik, Adelia ... tolong gantikan pekerjaanku ya, Sayang. Kamu baik sekali deh!" Melinda memonyongkan bibirnya membentuk ciuman jauh untuk Adelia lalu mengambil tasnya dan segera melangkah mendek
Afgan melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa-gesa, dia menarik dasinya dengan satu gerakan tepat pada saat melewati ruang makan sebelum menuju ke kamar yang berada di lantai kedua. Afgan menghentikan langkahnya melihat Adelia yang sedang menelan mie. Adelia mematung dan mereka saling tatap tanpa sengaja. Untaian mie yang panjang dari mulut ke mangkuk mie membuat Afgan meringgis melihatnya, pria itu menaikkan sudut bibirnya ke atas dengan pandangan melecehkan. "Makanan itu cocok untukmu. Kamu memang berada di level itu," ucap Afgan sambil lalu menuju tangga tanpa menghiraukan tanggapan Adelia sama sekali. Sluurppp! Adelia menyedot habis mie beserta supnya dengan menaikkan mangkuk. Para pelayan merasa risih dengan sikap dan cara makan Adelia, namun wanita itu terkesan tidak peduli. Dalam hati, Adelia sebenarnya merasa hancur oleh perkataan menyindir dari Afgan, namun dia memilih untuk bertahan. Meskipun hatinya terluka, dia tahu bahwa dia harus menerima bahwa Afgan
Afgan berdiri di depan pintu Melinda, bingung dan hampa. Matanya menatap kosong daun pintu di hadapannya.Hatinya terombang-ambing antara kesenangan akan makan malam romantis dengan Melinda dan kebingungan mengenai perasaannya terhadap Adelia. Dia ingin mengetuk pintu, tetapi keraguan menghantuinya. Di dalam dirinya, Afgan merasa tak nyaman dengan sikapnya kepada Adelia di rumah sebelumnya. Meski begitu, nama Adelia terus saja terpaku dalam pikirannya.Bunga mawar yang dia bawa tadi terasa berat di tangannya, sebagai simbol kebingungannya sendiri. Mengapa dia merasa terikat pada Adelia, tetapi juga merasa harus hadir untuk Melinda?Dalam kehampaannya, Afgan memutuskan untuk mengetuk pintu. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, pintu rumah sudah terbuka dari dalam. Melinda muncul dengan senyum bahagia di wajahnya, matanya bersinar melihat bunga mawar yang dibawa Afgan."Afgan," sapa Melinda dengan senyuman di wajahnya."Bunga ini untukku?" tanya Melinda, lalu tanpa ragu, dia memeluk Af