Share

5. Pernikahan ini hanya pura-pura, bukan?

Melinda melirik Afgan yang tampan dan sedang memegang kemudi, melajukan mobil sport biru tersebut dengan stabil. Ini adalah pertama kalinya bagi Melinda menaiki mobil sport yang mahal.

"Aku minta maaf atas malam itu," ucap Afgan, memecah keheningan di antara mereka.

Melinda mengernyitkan kedua alisnya karena tidak mengerti.

Afgan menghentikan mobilnya di tepi jalan lalu memutar tubuhnya menghadap ke Melinda.

"Kamu mengantar jas milikku dan aku ... Maafkan atas apa yang sudah kulakukan semalam," ucap Afgan lalu meraih tangan Melinda dan mengenggamnya dengan perasaan tulus.

Melinda mulai mengerti tentang keadaan semalam. Kepalanya yang pintar sudah mengerti apa yang dihadapi Adelia dan pria ini, tetapi karena Afgan begitu memukau dan tajir. Melinda tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.

"Aku tak bisa begitu saja memaafkan apa yang Anda lakukan malam itu. Anda tahu 'kan harga diriku hancur?!" Melinda berusaha memasang wajah sedih.

Afgan masih membeku menatapnya. Lalu, setelah dirasa cukup, Melinda menghapus air matanya itu seraya menatap Afgan.

"Kau harus bertanggung jawab, Tuan!" Melinda menatap Afgan dengan serius.

Afgan mengangguk lalu berkata, "Aku akan bertanggung jawab."

Melinda balas menggengam tangan pria kekar itu. Sesaat kemudian  Afgan kembali melajukan mobilnya menuju ke restoran.

"Kita sarapan dulu, aku lapar."

Sementara di hotel, Adelia duduk di meja kerjanya dengan pandangan kosong, mencoba mencari data konsumen yang mungkin memiliki keterkaitan dengan pria misterius dari malam itu.

Pikirannya berputar-putar, mencoba menyusun potongan-potongan cerita dari malam itu menjadi gambaran yang utuh. Hatinya terasa berat, dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban.

"Apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Siapa pria misterius itu? Mengapa aku merasa begitu tertarik padanya? Lalu ...  Afgan, kita harus berceraikah? Dan aku harus membayar utang mahar sebanyak itukah?"

"Arggh!" Adelia menjambak rambutnya dengan kasar. Kepalanya terasa semakin berat.

Dalam keheningan yang menyelimuti ruangan, Adelia menelusuri jejak digital pada CCTV yang ada di hotel, tetapi hasilnya nihil.

***

Cepat sekali waktu berlalu, jam kerja Adelia sudah usai. Dengan langkah malas dia mengisi absensi pulang lalu bergerak keluar dari hotel. Melinda sama sekali tidak kembali ke hotel, wanita itu bahkan tidak mengangkat panggilan dari Adelia.

Adelia memandang layar ponselnya dengan cemburu. Suami yang baru menikah dengannya menghabiskan  waktu dengan wanita lain.

"Dia tersenyum dengan mata berbinar-binar melihat Melinda sementara kebencian ke arahku seolah-olah aku ini sampah di matanya," geram Adelia dalam hati sambil menunggu bus di halte.

Dia membuka pesannya untuk melihat lokasi rumah Afgan. Bagaimanapun dia sudah menikah, mulai hari ini dia harus pulang ke rumah Afgan sebagai seorang istri, suka atau tidak suka.

Sesaat kemudian ...

Adelia berdiri di depan pintu rumah mewah yang mengagumkan, rumah yang kini menjadi tempat kediaman suaminya, Afgan.

Rumah itu terlihat megah dengan kolam renang berkilau di halaman depan, dan jendela-jendela besar yang memantulkan sinar matahari pagi.

"Ini rumah atau istana?" Adelia bertanya dengan mulut terbuka lebar, tidak bisa berhenti kagum.

Taman yang rapi dan berbunga-bunga menciptakan aura elegan di sekelilingnya. Meskipun keindahan rumah itu tak terbantahkan, Adelia merasa sepi dan terasing di hadapannya.

Tiba-tiba Adelia merasa keberadaannya tersudutkan di antara tembok marmer dan kaca, menciptakan distansi yang tak terjangkau meskipun hanya beberapa langkah dari pintu depan.

Dalam kebingungan, dia merenung, "Aku harus apa? Istri yang tidak diinginkan?"

Sekuriti dengan ramah membimbing Adelia melalui pintu masuk yang megah menuju dalam rumah. Mereka melangkah melalui koridor yang didekorasi dengan indah, langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung mewah menciptakan suasana yang hangat dan mengundang.

Para pelayan bergerak dengan anggun, menyambut Adelia dengan senyuman tulus dan membimbing Adelia menuju kamar pengantin.

Saat pintu kamar pengantin terbuka, Adelia tak bisa menyembunyikan kagumnya. Kamar itu seperti dari mimpi, dihiasi dengan sentuhan elegan yang mencerminkan keindahan dan kemewahan.

Tempat tidur berbalut linen sutra lembut, jendela-jendela besar membiarkan cahaya matahari pagi masuk, menghadirkan pemandangan taman yang indah. Segala detailnya dipilih dengan teliti, dari hiasan dinding yang artistik hingga bunga-bunga segar yang memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer romantis yang tak terlupakan.

Adelia terkesima, namun dia tetap berusaha menjaga sikapnya di depan pelayan yang ramah. Dia menyampaikan rasa terima kasih dengan senyuman dan sopan, namun dalam hatinya, dia merasakan kegalauan  yang mendalam. Ini bukan hanya kamar pengantin biasa; ini adalah ruang di mana impian dan cinta sebuah pernikaha dihadirkan dalam bentuk nyata.

Saat Adelia ditinggalkan sendiri, Adelia  berbisik, "Ini luar biasa." Suaranya tergantung dalam kekaguman.

"...tapi ini bukan milikku. Aku hanya akan menumpang sementara tanpa tahu kapan aku akan diusir."

***

Di tengah kegelapan malam, Afgan memasuki rumahnya dengan langkah berat menaiki tangga dan sampai ke kamarnya.

Ketika melihat Adelia tertidur di ranjangnya, kemarahan yang telah merasuki hatinya meledak. Dia mendekati lalu meraih lengan Adelia dengan kasar, menariknya turun dari tempat tidurnya. Adelia terbangun dengan kaget, mata berkaca-kaca ketakutan dan kekecewaan. Lengannya terasa sakit dan dia terduduk di lantai yang dingin dengan pakaian tidurnya yang tipis.

"Pernikahan ini hanya pura-pura bagi kita, bukan?" pekik Afgan dengan nada kasar. "Kamu bahkan tidak pantas tidur di ranjang ini! Kamu hanyalah wanita murahan yang tidak tahu diri!"

Adelia memegang lengannya yang sakit, tetapi tidak tinggal diam. Dia memandang Afgan dengan mata yang berkobar ketidaksetujuan. "Dan kamu, Afgan? Memilih membawa Melinda di hadapanku, bagaimana itu? Apakah itu tindakan seorang suami yang baru menikah?"

Afgan menyindir, "Daripada kamu, Hotelliers? Ternyata kamu lebih dari itu, kan? Kamu menjajakan dirimu pada lelaki lain di luar sana!"

"Jangan berpikir aku tidak tahu latar belakangmu!" teriak Afgan sambil memalingkan wajahnya dengan jijik.

Ledakan kemarahan mencuat dari dalam diri Adelia. "Laki-laki tolol mana yang menikahi wanita murahan seperti aku ini, huh?" balasnya dengan tajam, tanpa mengendurkan pandangan tajamnya.

Pertengkaran mereka memuncak, kata-kata yang menusuk dan menyakitkan terlontar tanpa ampun. Hati mereka hancur oleh ketidakpercayaan dan kebencian. Dalam kilas detik, tanpa menyadarinya, Adelia terdengar mengucapkan kata-kata yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya.

"Dengan ini, aku minta cerai," Adelia berkata dengan suara yang gemetar, keputusan yang keluar begitu saja dari bibirnya seolah-olah tak terduga bahkan baginya sendiri. Adelia berdiri dan bersiap meninggalkan kamar itu dengan mata yang berembun.

Suasana hening menyusul, kata-kata itu menggantung di udara seperti kutukan yang tak bisa ditarik kembali. Wajah Afgan berubah menjadi pucat, terperangkap di antara amarah dan kesedihan. Dia mencoba bicara, tetapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.

"Adelia, tunggu..." namun seruan Afgan hilang ditelan oleh keheningan rumah yang kini terasa penuh dengan kekosongan. Mereka berdua terdiam, menyadari bahwa kata-kata telah melukai lebih dalam daripada luka fisik mana pun yang mungkin mereka alami.

Afgan teringat dengan perkataan sang Ayah di pesta pernikahan mereka.

"Hei! Kamu! Diam di sana!" teriak Afgan dengan nada tinggi, tetapi Adelia terus bergerak menuju ke pintu keluar.

Melihat itu Afgan marah besar, dia menarik tangan Adelia, menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan menekan tubuhnya. Namun, tiba-tiba aroma badan Adelia membawanya kembali pada kejadian malam itu.

"Kamu ... " Afgan membelalakkan kedua matanya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Vivi Wibowo
bagus,boleh lah,lanjuttttt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status