Share

6. Kembalikan Mahar !

Afgan merasakan beban rasa bersalah mencekiknya begitu dia mencium aroma Adelia, merenungkan tindakan bodohnya sehari sebelumnya. Matanya penuh dengan penyesalan, dan hatinya dihantui oleh bayangan perempuan yang telah dia renggut keperawanannya sehari sebelum pernikahannya. Pria itu merasa dia juga tidak becus dalam pernikahan ini.

Afgan mundur, melepaskan cengkramannya ke tangan Adelia lalu terduduk dengan  napas yang menderu dan tidak teratur.

 "Adelia," panggil Afgan dengan suara patah, mencoba menahan amarah yang hendak meluap.

Adelia menoleh, matanya berkaca-kaca, memancarkan kekecewaan yang dalam. "Apa yang kau inginkan, Afgan?" tanyanya dengan suara yang penuh dengan emosi.

Afgan menelan ludahnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan.

"Bila kamu menginginkan perceraian, maka ... "

Adelia menunggu apa kelanjutan dari perkataan Afgan.

"Kembalikan mahar yang sudah dibayarkan untuk pernikahan paksa ini!"

Mendengar hal itu, Adelia bangkit berdiri, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak bisa percaya bahwa aku menikahi pria sepertimu."

Adelia merasa dunianya hancur. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, bagaimana dia bisa memperbaiki segalanya?

"Aku tidak mempunyai uang sebanyak itu!" pekik Adelia dengan air mata yang tertahan.

Usai berkata demikian, Adelia segera mengambil sebuah bantal dan selimutnya. Dia memutuskan untuk tidur di ruang tamu saja.

"Dasar pria bajingan! Pria sialan!" seru Adelia.

Dengan langkah kasar, Adelia pergi dari kamar itu, meninggalkan Afgan yang terduduk di pinggir tempat tidur dengan hati yang serba salah.

Dia merasa menjadi korban, tetapi dia sendiri menghabiskan waktu bersama perempuan lain di malam sebelum pernikahan.

"Melinda, gadis itu tidak bersalah. Aku harus bertanggung jawab atas apa yang kuperbuat padanya," gumam Afgan dengan kesal lalu menghentakkan pantatnya ke ranjang dan berbaring. Menutup kepalanya dengan bantal untuk menekan kegusaran dalam hatinya.

"Benar-benar mengesalkan!" pekik Afgan dengan marah.

Namun detik demi detik berlalu, Afgan sama sekali tidak dapat menutup matanya dengan tenang. Akhirnya dia terduduk di tepi ranjang dengan wajah yang sudah kusut. Napasnya menderu menahan kekesalan dalam hatinya.

"Wanita murahan itu sudah tidur belum ya?"

Dalam suasana yang hening, Afgan melangkah dengan hati-hati melewati sekat berukiran mewah menuju ruang tamu yang terdapat sofa tempat Adelia tidur. Cahaya redup dari lampu tidur menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan suasana tenang dan damai.

Afgan mendekati sofa dengan langkah pelan, tanpa dia sadari, dia ingin memastikan bahwa Adelia tidur dengan nyenyak dan aman. Dengan lembut, Afgan mengamatinya sejenak, memastikan bahwa dia benar-benar tertidur.

"Astaga, dia bisa tidur se-nyenyak ini." Afgan menggelengkan kepala dan berkacak pinggang.

Setelah yakin bahwa Adelia sedang tidur dengan tenang, dengan penuh kelembutan, Afgan memutuskan untuk menggendong Adelia dari sofa dan membawanya dengan hati-hati ke dalam kamar tidur.

Dia merasa kasihan melihatnya tidur di sofa, dan dia ingin memastikan bahwa Adelia tidur dengan nyaman. Dengan perlahan, dia menggendong Adelia dalam pelukannya, merasakan kehangatan tubuhnya yang tenang dalam tidurnya.

Afgan tersenyum mendengar dengkuran halus dari bibir Adelia yang merona merah. Afgan menelan salivanya dengan cepat.

Afgan membawa Adelia ke dalam kamar tidur, membaringkannya dengan lembut di atas tempat tidur.

"Jangan berpikir bahwa aku perhatian padamu, aku hanya tidak mau kamu sakit lalu merepotkannku," ucap Afgan berdalih.

"Cuih!" Afgan mendesis dengan wajah masih penuh kekesalan.

"Humm."Adelia memutar tubuhnya dan memeluk bantal dengan nyaman.

Afgan memastikan bahwa Adelia terbungkus selimut dengan nyaman sebelum pergi ke kamar sebelah untuk tidur sendiri.

Afgan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Hingga kuku-kukunya hampir melukai telapak tangannya sendiri. Dan menatap sinis pada Adelia.

Sebenarnya dia tidak tega bersikap kasar kepada Adelia, tetapi hatinya sangat sakit melihat Adelia. Apalagi jika teringat perlakuan Adelia sebelum hari pernikahan mereka.

Dalam kamar tidur yang sunyi, Afgan bergumam sendiri, memikirkan pernikahan paksa yang harus dia jalani. Setelah lelah berpikir, dia mempersiapkan diri untuk tidur, menutup mata dengan pikiran yang tenang, dan membiarkan dirinya terlelap dalam tidur yang mendalam.

"Bagaimana pun kita harus bercerai. Aku harus bertanggung jawab kepada wanita yang sudah memberikan kehormatannya kepadaku."

Afgan mengucapkan kata-kata itu dengan suara lembut dan menutup mata, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari pada siapapun.

Dia merasa bahwa menyatakan alasan tersebut adalah cara terbaik untuk menjaga jarak emosional antara dirinya dan Adelia. Meskipun dia mungkin memiliki perasaan yang mendalam terhadap Adelia, dia berusaha untuk tidak membiarkan emosi itu mengganggu hubungan mereka. Di matanya, Adelia adalah wanita yang cantik, imut dan lembut.

"Keadaan pasti berbeda bila dia tidak bukan wanita murahan."

Seiring dia mengucapkan kata-kata itu, dia mencoba menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya, merasa bahwa itu adalah keputusan yang bijaksana meskipun sulit.

Keesokan paginya, Adelia terbangun dengan kebingungan. Dia melihat dirinya berada di kamar tidur, tidak ingat bagaimana dia sampai ke sana.

Adelia duduk dengan buru-buru. Matanya melihat ke arah Afgan yang hanya memakai bathrobe mandi berwarna hitam dari sutra halus berdiri di depan cermin sedang bercukur.

Adelia melihat dirinya sendiri, menyadari bahwa pakaiannya masih utuh, menunjukkan bahwa Afgan tidak menggerayanginya semalam. Adelia memutuskan untuk membuka pembicaraan..

"Afgan," panggil Adelia pelan.

"Hmm." Wajah Afgan tampak dingin dan tidak bersahabat.

"Apa yang terjadi tadi malam?" tanya Adelia, mencoba untuk tidak menunjukkan kecemasan.

"Aku tidak ingin kau tidur di sofa," jawab Afgan tanpa menatapnya, suaranya tajam dan ketus.

"Kalau kamu sakit, itu akan merepotkanku. Aku tidak punya waktu untuk mengurusmu," lanjutnya sambil membuka lemari pakaian dan melepaskan bathrobenya.

"Kamu ... tidak berpakaian," sahut Adelia dengan wajah merona dan buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Hei, aku masih memakai handuk! Cuci isi kepalamu yang kotor itu!" bentak Afgan dengan kasar.

Adelia melirik sekilas, pria itu ternyata masih memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya. Sekilas dia melihat guratan daging di punggung Afgan seperti luka bakar, tetapi Adelia tidak berani melihat dengan jelas.

 "Ini kamarku, dan aku tidak ingin diusik. Lemariku ada di sini. Tentu saja, aku berpakaian di sini juga. Jangan mengangguku!" seru Afgan dengan suara ketus lalu begitu saja memakai celananya.

Adelia merasa tersinggung oleh nada suara Afgan, namun dia mencoba tetap tenang. "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu. Aku hanya ingin tahu kenapa aku sampai di sini."

"Aku memindahkanmu ke kamar karena aku tidak ingin terganggu kalau kamu sakit, bukankah tadi sudah kujawab?" Afgan sudah selesai memakai celana, menjawab dengan dingin dan masih tanpa busana menatapnya.

Adelia merasa marah dengan sikap Afgan yang kasar, namun dia memilih untuk menjaga ketenangan. "Aku hanya ingin menjaga privasimu. Aku tidak bermaksud menyusahkanmu, kamu bisa memakai pakaian di kamar mandi," kata Adelia dengan suara mantap.

"Hei, wanita murahan. Kamu dengar ya sekarang, ini kamarku. Aku baru selesai mandi. Lemariku di sini. Pindah saja ke kamar sebelah bila kau merasa terganggu."

"... dan tidak usah sok seperti gadis yang masih polos!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Vivi Wibowo
bagus ceritanya,bolehlah untuk trs bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status