Afgan merasakan beban rasa bersalah mencekiknya begitu dia mencium aroma Adelia, merenungkan tindakan bodohnya sehari sebelumnya. Matanya penuh dengan penyesalan, dan hatinya dihantui oleh bayangan perempuan yang telah dia renggut keperawanannya sehari sebelum pernikahannya. Pria itu merasa dia juga tidak becus dalam pernikahan ini.
Afgan mundur, melepaskan cengkramannya ke tangan Adelia lalu terduduk dengan napas yang menderu dan tidak teratur.
"Adelia," panggil Afgan dengan suara patah, mencoba menahan amarah yang hendak meluap.
Adelia menoleh, matanya berkaca-kaca, memancarkan kekecewaan yang dalam. "Apa yang kau inginkan, Afgan?" tanyanya dengan suara yang penuh dengan emosi.
Afgan menelan ludahnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan.
"Bila kamu menginginkan perceraian, maka ... "
Adelia menunggu apa kelanjutan dari perkataan Afgan.
"Kembalikan mahar yang sudah dibayarkan untuk pernikahan paksa ini!"
Mendengar hal itu, Adelia bangkit berdiri, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak bisa percaya bahwa aku menikahi pria sepertimu."
Adelia merasa dunianya hancur. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, bagaimana dia bisa memperbaiki segalanya?
"Aku tidak mempunyai uang sebanyak itu!" pekik Adelia dengan air mata yang tertahan.
Usai berkata demikian, Adelia segera mengambil sebuah bantal dan selimutnya. Dia memutuskan untuk tidur di ruang tamu saja.
"Dasar pria bajingan! Pria sialan!" seru Adelia.
Dengan langkah kasar, Adelia pergi dari kamar itu, meninggalkan Afgan yang terduduk di pinggir tempat tidur dengan hati yang serba salah.
Dia merasa menjadi korban, tetapi dia sendiri menghabiskan waktu bersama perempuan lain di malam sebelum pernikahan.
"Melinda, gadis itu tidak bersalah. Aku harus bertanggung jawab atas apa yang kuperbuat padanya," gumam Afgan dengan kesal lalu menghentakkan pantatnya ke ranjang dan berbaring. Menutup kepalanya dengan bantal untuk menekan kegusaran dalam hatinya.
"Benar-benar mengesalkan!" pekik Afgan dengan marah.
Namun detik demi detik berlalu, Afgan sama sekali tidak dapat menutup matanya dengan tenang. Akhirnya dia terduduk di tepi ranjang dengan wajah yang sudah kusut. Napasnya menderu menahan kekesalan dalam hatinya.
"Wanita murahan itu sudah tidur belum ya?"
Dalam suasana yang hening, Afgan melangkah dengan hati-hati melewati sekat berukiran mewah menuju ruang tamu yang terdapat sofa tempat Adelia tidur. Cahaya redup dari lampu tidur menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan suasana tenang dan damai.
Afgan mendekati sofa dengan langkah pelan, tanpa dia sadari, dia ingin memastikan bahwa Adelia tidur dengan nyenyak dan aman. Dengan lembut, Afgan mengamatinya sejenak, memastikan bahwa dia benar-benar tertidur.
"Astaga, dia bisa tidur se-nyenyak ini." Afgan menggelengkan kepala dan berkacak pinggang.
Setelah yakin bahwa Adelia sedang tidur dengan tenang, dengan penuh kelembutan, Afgan memutuskan untuk menggendong Adelia dari sofa dan membawanya dengan hati-hati ke dalam kamar tidur.
Dia merasa kasihan melihatnya tidur di sofa, dan dia ingin memastikan bahwa Adelia tidur dengan nyaman. Dengan perlahan, dia menggendong Adelia dalam pelukannya, merasakan kehangatan tubuhnya yang tenang dalam tidurnya.
Afgan tersenyum mendengar dengkuran halus dari bibir Adelia yang merona merah. Afgan menelan salivanya dengan cepat.
Afgan membawa Adelia ke dalam kamar tidur, membaringkannya dengan lembut di atas tempat tidur.
"Jangan berpikir bahwa aku perhatian padamu, aku hanya tidak mau kamu sakit lalu merepotkannku," ucap Afgan berdalih.
"Cuih!" Afgan mendesis dengan wajah masih penuh kekesalan.
"Humm."Adelia memutar tubuhnya dan memeluk bantal dengan nyaman.
Afgan memastikan bahwa Adelia terbungkus selimut dengan nyaman sebelum pergi ke kamar sebelah untuk tidur sendiri.
Afgan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Hingga kuku-kukunya hampir melukai telapak tangannya sendiri. Dan menatap sinis pada Adelia.
Sebenarnya dia tidak tega bersikap kasar kepada Adelia, tetapi hatinya sangat sakit melihat Adelia. Apalagi jika teringat perlakuan Adelia sebelum hari pernikahan mereka.
Dalam kamar tidur yang sunyi, Afgan bergumam sendiri, memikirkan pernikahan paksa yang harus dia jalani. Setelah lelah berpikir, dia mempersiapkan diri untuk tidur, menutup mata dengan pikiran yang tenang, dan membiarkan dirinya terlelap dalam tidur yang mendalam.
"Bagaimana pun kita harus bercerai. Aku harus bertanggung jawab kepada wanita yang sudah memberikan kehormatannya kepadaku."
Afgan mengucapkan kata-kata itu dengan suara lembut dan menutup mata, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari pada siapapun.
Dia merasa bahwa menyatakan alasan tersebut adalah cara terbaik untuk menjaga jarak emosional antara dirinya dan Adelia. Meskipun dia mungkin memiliki perasaan yang mendalam terhadap Adelia, dia berusaha untuk tidak membiarkan emosi itu mengganggu hubungan mereka. Di matanya, Adelia adalah wanita yang cantik, imut dan lembut.
"Keadaan pasti berbeda bila dia tidak bukan wanita murahan."
Seiring dia mengucapkan kata-kata itu, dia mencoba menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya, merasa bahwa itu adalah keputusan yang bijaksana meskipun sulit.
Keesokan paginya, Adelia terbangun dengan kebingungan. Dia melihat dirinya berada di kamar tidur, tidak ingat bagaimana dia sampai ke sana.
Adelia duduk dengan buru-buru. Matanya melihat ke arah Afgan yang hanya memakai bathrobe mandi berwarna hitam dari sutra halus berdiri di depan cermin sedang bercukur.
Adelia melihat dirinya sendiri, menyadari bahwa pakaiannya masih utuh, menunjukkan bahwa Afgan tidak menggerayanginya semalam. Adelia memutuskan untuk membuka pembicaraan..
"Afgan," panggil Adelia pelan.
"Hmm." Wajah Afgan tampak dingin dan tidak bersahabat.
"Apa yang terjadi tadi malam?" tanya Adelia, mencoba untuk tidak menunjukkan kecemasan.
"Aku tidak ingin kau tidur di sofa," jawab Afgan tanpa menatapnya, suaranya tajam dan ketus.
"Kalau kamu sakit, itu akan merepotkanku. Aku tidak punya waktu untuk mengurusmu," lanjutnya sambil membuka lemari pakaian dan melepaskan bathrobenya.
"Kamu ... tidak berpakaian," sahut Adelia dengan wajah merona dan buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Hei, aku masih memakai handuk! Cuci isi kepalamu yang kotor itu!" bentak Afgan dengan kasar.
Adelia melirik sekilas, pria itu ternyata masih memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya. Sekilas dia melihat guratan daging di punggung Afgan seperti luka bakar, tetapi Adelia tidak berani melihat dengan jelas.
"Ini kamarku, dan aku tidak ingin diusik. Lemariku ada di sini. Tentu saja, aku berpakaian di sini juga. Jangan mengangguku!" seru Afgan dengan suara ketus lalu begitu saja memakai celananya.
Adelia merasa tersinggung oleh nada suara Afgan, namun dia mencoba tetap tenang. "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu. Aku hanya ingin tahu kenapa aku sampai di sini."
"Aku memindahkanmu ke kamar karena aku tidak ingin terganggu kalau kamu sakit, bukankah tadi sudah kujawab?" Afgan sudah selesai memakai celana, menjawab dengan dingin dan masih tanpa busana menatapnya.
Adelia merasa marah dengan sikap Afgan yang kasar, namun dia memilih untuk menjaga ketenangan. "Aku hanya ingin menjaga privasimu. Aku tidak bermaksud menyusahkanmu, kamu bisa memakai pakaian di kamar mandi," kata Adelia dengan suara mantap.
"Hei, wanita murahan. Kamu dengar ya sekarang, ini kamarku. Aku baru selesai mandi. Lemariku di sini. Pindah saja ke kamar sebelah bila kau merasa terganggu."
"... dan tidak usah sok seperti gadis yang masih polos!"
Adelia merasa terhina oleh kata-kata Afgan. Dia menyadari bahwa Afgan memang memiliki sifat yang dingin dan keras. Namun, dia tidak bisa menahan perasaan kecewa yang muncul dalam dirinya. "Baiklah, aku mengerti," ucapnya dengan nada pahit dan memilih diam.Adelia melayangkan tatapannya ke punggung Afgan pada saat pria itu sedang memakai kemejanya.Adelia menatap luka bakar di punggung Afgan dengan kebingungan. Namun, saat dia menatap lebih lama, gambaran tentang gurat aneh di punggung seorang laki-laki yang pernah menyakitinya terlintas begitu saja di benaknya. Rasa takut dan ketidaknyamanan seketika melanda dirinya.Afgan yang melihat tatapan Adelia dari pantulan cermin di depannya itu merasa terganggu. Dia membentaknya dengan nada tajam, "Apa yang kau lihat? Ini tubuhku dan aku tidak menginginkan pertanyaan apa pun. Jangan bersikap seolah kau memiliki hak atas tubuhku.""Kau hanya istri di atas kertas, paham!"Adelia merasa tertegun oleh reaksi A
Afgan merasa tersudutkan karena luka di punggungnya. Pria itu mengalami tragedi besar ketika dia masih seorang anak kecil. Dia tumbuh di tengah kesibukan orang tuanya yang jarang ada di rumah. Meskipun diabaikan oleh ayah dan ibunya yang terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri, Afgan menemukan penghiburan dan kasih sayang sejati dari seorang pengasuh paruh baya yang penuh cinta."Bik Minah," gumam Afgan dengan suara gemetar, mencoba menutupi rasa sakit yang menghantamnya begitu mendalam. Dia merasakan embun mulai terkumpul di kedua matanya, menandakan bahwa bahkan hatinya yang beku sekalipun tak bisa menahan emosinya.Afgan melajukan mobilnya lebih kencang. "Seharusnya aku yang meninggal dalam kejadian itu!" pekik Afgan dengan nada tinggi dan masih berusaha menahan amarahnya.Pengasuh itu adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya, memberinya kasih sayang dan perhatian yang dia butuhkan. Dia menggantikan peran ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di sana untuknya.Hu
Kedua wanita itu menoleh dengan serentak ke arah Afgan. Melinda segera membalas dengan senyum terindah yang dimilikinya sementara Adelia mengernyitkan alis dan menahan napasnya. "Kita sarapan, yuk," ajak Afgan, memandang Melinda dengan wajah dan kalimat penuh kelembutan. Sangat berbeda dengan cara bicara tadi pagi kepada Adelia. Hanya sekilas Afgan melirik Adelia yang menelan salivanya usai mendengarkan ajakan tersebut, dia tahu bahwa Adelia juga bekerja di hotel tersebut, tetapi dia memutuskan fokus kepada Melinda. Adelia menahan rasa lapar di perutnya, dia sendiri juga belum sarapan, tetapi suaminya mengajak wanita lain untuk sarapan bersama - teman kerjanya, seorang wanita di hadapannya. Adelia mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan amarah yang bergemuruh di dalam dadanya. "Baik, Adelia ... tolong gantikan pekerjaanku ya, Sayang. Kamu baik sekali deh!" Melinda memonyongkan bibirnya membentuk ciuman jauh untuk Adelia lalu mengambil tasnya dan segera melangkah mendek
Afgan melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa-gesa, dia menarik dasinya dengan satu gerakan tepat pada saat melewati ruang makan sebelum menuju ke kamar yang berada di lantai kedua. Afgan menghentikan langkahnya melihat Adelia yang sedang menelan mie. Adelia mematung dan mereka saling tatap tanpa sengaja. Untaian mie yang panjang dari mulut ke mangkuk mie membuat Afgan meringgis melihatnya, pria itu menaikkan sudut bibirnya ke atas dengan pandangan melecehkan. "Makanan itu cocok untukmu. Kamu memang berada di level itu," ucap Afgan sambil lalu menuju tangga tanpa menghiraukan tanggapan Adelia sama sekali. Sluurppp! Adelia menyedot habis mie beserta supnya dengan menaikkan mangkuk. Para pelayan merasa risih dengan sikap dan cara makan Adelia, namun wanita itu terkesan tidak peduli. Dalam hati, Adelia sebenarnya merasa hancur oleh perkataan menyindir dari Afgan, namun dia memilih untuk bertahan. Meskipun hatinya terluka, dia tahu bahwa dia harus menerima bahwa Afgan
Afgan berdiri di depan pintu Melinda, bingung dan hampa. Matanya menatap kosong daun pintu di hadapannya.Hatinya terombang-ambing antara kesenangan akan makan malam romantis dengan Melinda dan kebingungan mengenai perasaannya terhadap Adelia. Dia ingin mengetuk pintu, tetapi keraguan menghantuinya. Di dalam dirinya, Afgan merasa tak nyaman dengan sikapnya kepada Adelia di rumah sebelumnya. Meski begitu, nama Adelia terus saja terpaku dalam pikirannya.Bunga mawar yang dia bawa tadi terasa berat di tangannya, sebagai simbol kebingungannya sendiri. Mengapa dia merasa terikat pada Adelia, tetapi juga merasa harus hadir untuk Melinda?Dalam kehampaannya, Afgan memutuskan untuk mengetuk pintu. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, pintu rumah sudah terbuka dari dalam. Melinda muncul dengan senyum bahagia di wajahnya, matanya bersinar melihat bunga mawar yang dibawa Afgan."Afgan," sapa Melinda dengan senyuman di wajahnya."Bunga ini untukku?" tanya Melinda, lalu tanpa ragu, dia memeluk Af
Saat mereka memasuki ruang pesta, mata Melinda hampir terbelalak melihat kemewahan sekelilingnya. Sebuah ruangan yang dihiasi dengan cahaya gemerlap, tumpukan bunga segar yang harum, dan orkestra yang memainkan musik klasik. Ini adalah pertama kalinya baginya berada di pesta orang-orang kaya. Melihat para tamu yang mengenakan gaun dan jas desainer, tampak sekali mereka bukan kalangan sembarangan, dia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya.Sementara Melinda memperhatikan sekeliling dengan takjub, Afgan meninggalkannya sejenak untuk berbicara dengan koleganya. Melinda merasa canggung di tengah kerumunan orang-orang yang tampak begitu percaya diri dan elegan. Dia merasa seakan terdampar di dunia yang sama sekali baru baginya.Di dalam hatinya, Melinda menggumamkan, "Di sini penuh orang kaya, konglomerat! Sungguh luar biasa!" Dia mencoba mengendalikan kecanggungan, tetapi perasaannya campur aduk. Namun, dia memutuskan untuk tetap bersikap percaya diri dan bersik
Adelia sedang berada di kamarnya, tengah sibuk meneliti pekerjaan yang dibawanya ke rumah, ketika tiba-tiba dia mendengar suara bising yang datang dari lantai bawah. Dengan cepat, dia melangkah keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi.Hatinya hampir berhenti ketika dia melihat petugas sekuriti menggotong tubuh Afgan menuju kamar utama. Matanya membesar dalam kekagetan, dan dia segera berlari mendekati mereka. "Apa yang terjadi? Kenapa Afgan seperti ini?" serunya, suaranya penuh dengan kecemasan dan kekhawatiran.Petugas sekuriti, seorang pria tinggi dengan wajah serius, menoleh ke arah Adelia. "Maafkan kami, Nyonya. Tadi malam, di pesta kalangan elit, Afgan terlihat sangat tidak stabil setelah minum minuman beralkohol. Dia hampir pingsan dan tidak bisa menjaga keseimbangannya. Mr. David meminta kami membawanya kembali ke kamarnya untuk beristirahat."Adelia merasa hatinya berdebar kencang. Dia tidak tahu apa yang harus dia pikirkan atau lakukan. Sejak d
Wajah mereka hanya berselisih beberapa sentimeter, dan meskipun Afgan masih tertidur dalam keadaan mabuk, ekspresi wajahnya terlihat tenang tanpa rasa bersalah sama sekali.Mata Adelia membesar dalam kejutan. Dia merasakan detakan jantungnya melonjak. Pernafasannya terhenti sejenak, terkejut dengan kontak yang tak terduga ini. Wajahnya memerah, dan dia merasa kehangatan merayap dari bibirnya ke seluruh tubuhnya.Adelia teringat dengan sentuhan dari pria misterius di malam naas sebelum hari pernikahannya.Dalam keheningan yang penuh ketegangan, mereka hanya terdiam sejenak, bibir mereka masih bertemu dalam sentuhan yang ringan. Adelia merasa waktu berhenti sejenak, dan dia merasakan getaran aneh dalam dirinya. Mereka berdua tetap berada dalam jarak yang sangat dekat, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang.Namun, ketika Afgan merintih pelan dalam tidurnya, Adelia segera melepaskan pegangan tangannya dan menyentuh bibirnya yang sekarang merasa