Share

4. Kamu keterlaluan!

Keesokan harinya, matahari terbit dengan sinar hangat yang menyinari jendela kamar hotel. Sebuah ketegangan masih terasa di udara setelah pertengkaran sengit semalam.

Adelia membuka mata dengan perasaan berat di dadanya. Pikirannya dipenuhi oleh ketidakpastian, cemas akan masa depannya dengan Afgan. Namun, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran, dia menolak untuk tenggelam dalam rasa putus asa. Dengan tekad yang kuat, dia memaksa dirinya bangun dari tempat tidur, meski kakinya terasa begitu berat.

Terduduk di pinggiran ranjang, Adelia meraih keberanian dari dalam dirinya sendiri. Dia berbicara pada dirinya sendiri, "Aku harus kuat. Aku harus melangkah maju, bahkan jika langkah-langkah itu terasa sulit. Aku tidak boleh membiarkan kesedihan menghentikan hidupku. Aku harus bekerja, membangun masa depanku sendiri."

Setelah mengambil napas dalam-dalam, dia bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Air hangat menyiram tubuhnya, mencoba meredakan beban pikirannya. Di bawah pancuran, dia membiarkan air mengalir di atas kepalanya, mencoba membasuh segala kekhawatiran dan ketidakpastiannya.

Setelah mandi, Adelia mengeringkan tubuhnya dengan hati-hati, merawat dirinya dengan penuh perhatian meski hatinya hancur. Dia mengenakan pakaian kerjanya dengan mantap, mencoba menampilkan rasa percaya diri yang mungkin dia tidak rasakan saat ini.

Ketika dia menatap cermin, dia melihat mata sendu dan wajah lelah. Namun, di balik kelelahan itu, ada keteguhan yang baru ditemukan. Dia berbicara pada dirinya sendiri lagi, kali ini dengan suara yang lebih kuat, "Aku bisa melalui ini. Aku adalah perempuan kuat, dan aku tidak akan membiarkan keadaan mengalahkanku."

Dengan semangat yang baru ditemukan, Adelia segera keluar dari kamar hotel yang menjadi kamar malam pengantin semu.

Meskipun hatinya masih penuh dengan ketidakpastian, dia tahu bahwa dia harus menghadapi hari itu dengan keberanian dan tekad. Langkah pertamanya menuju masa depan yang tidak diketahui mungkin berat, tapi dia siap menghadapinya.

Dengan langkah mantap, dia keluar dari pintu rumahnya, siap menghadapi dunia luar dengan tekad yang baru ditemukannya.

Sementara Afgan, dengan perasaan marah dan kecewa bangun dengan kepala berat. Semalam dia memutuskan untuk meninggalkan kamar tidur yang seharusnya menjadi malam pengantin bagi mereka.

Keberuntungan berkata lain ketika Adelia tahu bahwa kamar pengantin mereka berada di hotel tempat dia bekerja.

"Aku tidak perlu buru-buru. Hanya turun ke bawah," gumam Adelia sambil menuruni tangga.

Saat dia tiba di tempat kerja, hatinya masih berdebar-debar. Dia tak tahu bagaimana harus bersikap ketika bertemu dengan Afgan. Kekhawatirannya bertambah ketika dia melihat Afgan turun dari tangga menuju lobi hotel. Wajahnya tegang, mata yang sebelumnya penuh kecemasan, sekarang terlihat dingin dan penuh dengan kebencian.

Mereka bertemu di anak tangga, di tengah-tengah gemerlapnya pagi yang cerah. Namun, kesan cerah itu sirna begitu melihat ekspresi Afgan yang keras dan penuh amarah.

Adelia mencoba tersenyum, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengucapkan, namun Afgan hanya melewatkannya begitu saja. Dia melangkah pergi, tanpa menyapa, tanpa sepatah kata pun. Kepergiannya meninggalkan Adelia dengan hati yang terasa hancur dan mata yang mulai berkaca-kaca.

Dalam ruangan kerjanya, Adelia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, mencoba melupakan pertemuan pahit itu. Namun, pikirannya terus mengembara ke saat-saat terakhir pertengkaran mereka, ketika kata-kata tajam terucap dengan penuh amarah dan sakit hati. Dia bertanya-tanya di mana hal itu salah, mengapa hidupnya bisa berubah begitu cepat menjadi kebencian yang begitu tajam.

Sementara dia sibuk memikirkan itu semua, Melinda, rekan kerjanya yang penuh perhatian, mendekati Adelia. Melihat ekspresi wajah Adelia yang suram, Melinda bertanya dengan lembut, "Apa yang terjadi, Adelia? Kamu terlihat sangat terganggu."

"Apakah kamu mengantarkan jas pengantin itu dengan benar? Adakah sesuatu yang terjadi?"

Adelia menatap Melinda, mencoba menahan air matanya. Dengan suara lirih, dia ingin bercerita tentang pertengkaran mereka semalam dan pertemuan pahit di lobi hotel, tetapi Adelia mengurungkan niatnya karena hal itu adalah aib.

Melinda memadangnya dengan penuh perhatian, menawarkan pundaknya sebagai sandaran bagi Adelia yang sedang hancur.

"Bisakah kau ceritakan tentang apa yang terjadi, Sayang?" Melinda bertanya, mencoba memahami situasinya lebih baik.

Adelia menghela nafas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menceritakan kisahnya. Namun, tidak ada sebuah kata pun yang keluar.

"Tidak ... , tidak ada masalah, hanya ... ini tentang hutang Ayahku," sahut Adelia mencoba berbohong.

"Melinda, aku harus tetap bekerja di sini. Aku harus membayar jumlah yang sangat banyak," Adelia berkata dengan suara serak, coba mencerna semua yang telah terjadi.

Melinda meraih tangan Adelia dengan penuh empati. "Utang memang bisa rumit, Adelia. Tapi aku akan membiarkanmu mengambil shift malam lebih banyak untuk menggantikanku."

Melinda mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Adelia, "aku akan punya pekerjaan lain."

Adelia mengangguk, mencoba meredakan gejolak emosinya. Dia tahu bahwa Melinda selalu mendukungnya. Setelah itu, Adelia pergi untuk mengantar tamu hotel yang baru datang ke kamar bersama dengan Melinda.

Sementara itu, Afgan mendekati meja resepsionis untuk menanyakan siapa yang bertugas di malam sebelumnya.

"Ya? Ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas hotel yang sedang bertugas di meja resepsionis.

"Aku mau tahu siapa yang bekerja kemarin malam, dia mengantarkan jas pengantinku," kata Afgan.

"Ada masalah dengan jasnya?"

"Oh, tidak. Aku hanya lupa berterimakasih."

Petugas hotel yang lain memeriksa data shift sesaat sebelum menjawab, "Baik, hotelier yang bertugas saat itu bernama Melinda. Apakah Anda ingin kamu menghubunginya?"

"Oh tidak, berikan nomor ponselnya. Aku sendiri yang akan menghubunginya."

Baru saja petugas hotel hendak memberikan nomor ponsel Melinda, Adelia sudah turun dari tangga. Melinda berada di sampingnya dan masih berusaha menghibur temannya tersebut.

Kedua netra mereka bertemu dan ada sirat kebencian di sana.

"Ah, ini adalah Melinda. Tamu ini sedang mencarimu," ujar petugas hotel tadi.

Afgan memandang Melinda dengan perasaan bersalah yang teramat menyiksanya, sosok Melinda sama seperti yang dia bayangkan, cantik, ayu dan mempersona dengan kedua bola mata yang bersinar indah.

Afgan sama sekali tidak melirik ke arah Adelia yang berada di sebelah Melinda. Ketiga orang itu mematung di depan meja resepsionis dan terjadi keheningan sesaat.

"Ada apa mencariku?" tanya Melinda dengan heran.

Adelia memandang Afgan dengan kecemburan yang tinggi karena kedua mata suaminya menatap Melinda tanpa berkedip.

"Aku punya beberapa pertanyaan untukmu, mari kita berbicara," ucap Afgan lalu menarik tangan Melinda untuk mengikutinya.

"Eh, ini ...  Lia," sahut Melinda dengan bingung sambil menoleh ke arah Adelia yang memandang mereka dengan wajah yang sudah merah padam.

Suami yang baru saja menikah dengannya semalam memilih tidur di kamar lain dan pagi ini menarik tangan teman kerjanya. Bagaimana dia tidak semakin senewen.

 "Ganti ya!" teriak Melinda sambil lalu.

Adelia menelan saliva dengan susah payah, dia seharusnya hanya mengisi absensi hari ini dan mengambil cuti karena menukar jatah bekerja dengan Melinda, tetapi temannya itu malah berpergian dengan suaminya dan dia yang harus mengisi jadwal kerjanya lagi.

"Ada apa antara dia dengan Melinda?" tanya Adelia dalam hati dengan penasaran sambil menatap bayangan kedua orang itu yang sudah semakin menjauh dan menuju keluar dari hotel.

Adelia masih menjulurkan kepalanya dan melihat bagaimana Afgan membuka pintu mobil sport biru dan mempersilakan Melinda masuk dengan merentangkan sebelah tangannya.

"Afgan ... kamu keterlaluan!"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Vivi Wibowo
semakin penadaran aq,lanjut baca
goodnovel comment avatar
D N
jadi gak semangat bacanya,krn kisah seperti ini sering aku baca dinovel ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status