Afgan merasa tersudutkan karena luka di punggungnya. Pria itu mengalami tragedi besar ketika dia masih seorang anak kecil. Dia tumbuh di tengah kesibukan orang tuanya yang jarang ada di rumah. Meskipun diabaikan oleh ayah dan ibunya yang terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri, Afgan menemukan penghiburan dan kasih sayang sejati dari seorang pengasuh paruh baya yang penuh cinta.
"Bik Minah," gumam Afgan dengan suara gemetar, mencoba menutupi rasa sakit yang menghantamnya begitu mendalam. Dia merasakan embun mulai terkumpul di kedua matanya, menandakan bahwa bahkan hatinya yang beku sekalipun tak bisa menahan emosinya.
Afgan melajukan mobilnya lebih kencang. "Seharusnya aku yang meninggal dalam kejadian itu!" pekik Afgan dengan nada tinggi dan masih berusaha menahan amarahnya.
Pengasuh itu adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya, memberinya kasih sayang dan perhatian yang dia butuhkan. Dia menggantikan peran ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di sana untuknya.
Hubungan istimewa ini membuat Afgan sangat mengasihinya. Pengasuh itu mengajarkan padanya nilai-nilai kehidupan, memberinya rasa keamanan, dan membimbingnya melalui masa kecilnya yang sulit.
Namun, nasib tragis menghantam mereka suatu malam. Rumah mereka habis dilalap si jago merah. Saat api melahap rumah mereka, Afgan dan sang pengasuh terjebak di dalamnya.
Afgan kecil berhasil diselamatkan, tetapi tertimpa kayu yang terbakar, sehingga meninggalkan luka bakar yang menganga di punggungnya.
Setiap kali dia melihat luka bakar di punggungnya, dia teringat akan malam itu. Itu adalah luka fisik yang terus-menerus mengingatkannya pada luka emosional yang dalam di dalam hatinya. Amarahnya akan memuncak detik itu juga.
Dari luar, dia tampak kuat dan tak tergoyahkan, tetapi di dalam, dia adalah orang yang hancur dan penuh dengan rasa sakit yang tak terlukiskan.
Baginya, dunia adalah tempat yang dingin dan kejam, dan dia bertekad untuk tidak membiarkan siapa pun mendekat, takut bahwa mereka akan mencuri sepotong kehangatan yang tersisa dalam dirinya.
"Arghh! Hilang seleraku untuk masuk kerja hari ini!" teriak pewaris arogan itu dengan gusar.
Sesaat kemudian, Afgan memutuskan untuk memutar kemudi stirnya menuju ke hotel tempat Melinda bekerja. Perutnya belum terisi makanan dan perasaannya sedang bercampur aduk.
"Lebih baik aku mengajak Melinda untuk sarapan bersama," ujarnya dengan bersemangat.
***
Sesampainya di tempat kerja, Adelia mencoba menyembunyikan perasaan di balik senyuman profesionalnya.
"Selamat pagi, Adelia Sayang," sapa Melinda dengan hangat seperti biasa.
Adelia hanya membalas dengan senyuman singkat, mengisi absensi jari dan kembali melakukan pekerjaannya yang belum selesai.
Merasa heran dengan sikap Adelia, temannya mendekati, menyikut lengan Adelia dengan sikunya dan setengah berbisik di telinga Adelia. "Apa kabar, pengantin baru?"
Adelia tersenyum kecut dan mendorong pelan tubuh Melinda agar menjauh. Melinda tidak tahu menahu mengenai Afgan yang menikah dengan Adelia. Dia bahkan tidak diundang ke pesta pernikahan Adelia karena Adelia sendiri tidak mendapat kartu undangan selembar pun sehingga dia tidak mengundang siapa pun.
Acara Pernikahan Paksa yang dia jalani benar-benar hanya diselenggarakan unutk mengundang kalangan keluarga pihak laki-laki.
"Semua baik-baik saja kah?" tanya Melinda mulai serius.
Adelia mendengkus dengan kesal lalu menjawab, "tidak ada masalah besar. Selesaikan saja tugas kita. Aku masih harus mengunjungi kamar di lantai 5 dan lift sedang rusak. Suasana hatiku belum baik dan aku memilih tidak mengobrol untuk saat ini."
Melinda mengangguk pelan. "Memang begitulah nasib kita bila bekerja di sini. Aku tidak berencana bekerja selamanya."
"Hei, aku akan berpacaran dengan pria kaya dan menjadi istrinya," ucap Melinda dengan mata berbinar-binar sambil menyatukan kedua telapak tangannya.
Adelia melirik Melinda dengan kesal. Dalam hari Adelia bergumam, 'pria kaya yang sedang kamu targetkan itu adalah suami yang baru menikah denganku.'
Tetapi, tentu saja dia tidak berani mengatakannya. Dengan helaan napas berat, Adelia mencoba fokus kembali pada tugas-tugasnya, berusaha mengalihkan pikirannya dari masalah pribadi.
Meskipun sulit, dia memutuskan untuk tidak membiarkan perasaannya menghambat produktivitas. Dia tidak ingin dipecat karena masih membutuhkan gaji bulanan.
"Oh ya, aku sudah menceritakan tentang pria gantengku, belum?" tanya Melinda dengan sengaja sambil menyenggol lengan Adelia menggunakan sikutnya sekali lagi. Wanita itu tidak menyadari bahwa Adelia tidak suka disenggol.
Adelia melirik sekilas dan ingin menjawab, tetapi tiba-tiba pintu hotel terbuka dan terlihat sosok Afgan masuk dengan langkah mantap.
Senyum ramah terukir di wajah ganteng milik pria itu, memanggil Melinda.
"Melinda."
Kedua wanita itu menoleh dengan serentak ke arah Afgan. Melinda segera membalas dengan senyum terindah yang dimilikinya sementara Adelia mengernyitkan alis dan menahan napasnya. "Kita sarapan, yuk," ajak Afgan, memandang Melinda dengan wajah dan kalimat penuh kelembutan. Sangat berbeda dengan cara bicara tadi pagi kepada Adelia. Hanya sekilas Afgan melirik Adelia yang menelan salivanya usai mendengarkan ajakan tersebut, dia tahu bahwa Adelia juga bekerja di hotel tersebut, tetapi dia memutuskan fokus kepada Melinda. Adelia menahan rasa lapar di perutnya, dia sendiri juga belum sarapan, tetapi suaminya mengajak wanita lain untuk sarapan bersama - teman kerjanya, seorang wanita di hadapannya. Adelia mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan amarah yang bergemuruh di dalam dadanya. "Baik, Adelia ... tolong gantikan pekerjaanku ya, Sayang. Kamu baik sekali deh!" Melinda memonyongkan bibirnya membentuk ciuman jauh untuk Adelia lalu mengambil tasnya dan segera melangkah mendek
Afgan melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa-gesa, dia menarik dasinya dengan satu gerakan tepat pada saat melewati ruang makan sebelum menuju ke kamar yang berada di lantai kedua. Afgan menghentikan langkahnya melihat Adelia yang sedang menelan mie. Adelia mematung dan mereka saling tatap tanpa sengaja. Untaian mie yang panjang dari mulut ke mangkuk mie membuat Afgan meringgis melihatnya, pria itu menaikkan sudut bibirnya ke atas dengan pandangan melecehkan. "Makanan itu cocok untukmu. Kamu memang berada di level itu," ucap Afgan sambil lalu menuju tangga tanpa menghiraukan tanggapan Adelia sama sekali. Sluurppp! Adelia menyedot habis mie beserta supnya dengan menaikkan mangkuk. Para pelayan merasa risih dengan sikap dan cara makan Adelia, namun wanita itu terkesan tidak peduli. Dalam hati, Adelia sebenarnya merasa hancur oleh perkataan menyindir dari Afgan, namun dia memilih untuk bertahan. Meskipun hatinya terluka, dia tahu bahwa dia harus menerima bahwa Afgan
Afgan berdiri di depan pintu Melinda, bingung dan hampa. Matanya menatap kosong daun pintu di hadapannya.Hatinya terombang-ambing antara kesenangan akan makan malam romantis dengan Melinda dan kebingungan mengenai perasaannya terhadap Adelia. Dia ingin mengetuk pintu, tetapi keraguan menghantuinya. Di dalam dirinya, Afgan merasa tak nyaman dengan sikapnya kepada Adelia di rumah sebelumnya. Meski begitu, nama Adelia terus saja terpaku dalam pikirannya.Bunga mawar yang dia bawa tadi terasa berat di tangannya, sebagai simbol kebingungannya sendiri. Mengapa dia merasa terikat pada Adelia, tetapi juga merasa harus hadir untuk Melinda?Dalam kehampaannya, Afgan memutuskan untuk mengetuk pintu. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, pintu rumah sudah terbuka dari dalam. Melinda muncul dengan senyum bahagia di wajahnya, matanya bersinar melihat bunga mawar yang dibawa Afgan."Afgan," sapa Melinda dengan senyuman di wajahnya."Bunga ini untukku?" tanya Melinda, lalu tanpa ragu, dia memeluk Af
Saat mereka memasuki ruang pesta, mata Melinda hampir terbelalak melihat kemewahan sekelilingnya. Sebuah ruangan yang dihiasi dengan cahaya gemerlap, tumpukan bunga segar yang harum, dan orkestra yang memainkan musik klasik. Ini adalah pertama kalinya baginya berada di pesta orang-orang kaya. Melihat para tamu yang mengenakan gaun dan jas desainer, tampak sekali mereka bukan kalangan sembarangan, dia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya.Sementara Melinda memperhatikan sekeliling dengan takjub, Afgan meninggalkannya sejenak untuk berbicara dengan koleganya. Melinda merasa canggung di tengah kerumunan orang-orang yang tampak begitu percaya diri dan elegan. Dia merasa seakan terdampar di dunia yang sama sekali baru baginya.Di dalam hatinya, Melinda menggumamkan, "Di sini penuh orang kaya, konglomerat! Sungguh luar biasa!" Dia mencoba mengendalikan kecanggungan, tetapi perasaannya campur aduk. Namun, dia memutuskan untuk tetap bersikap percaya diri dan bersik
Adelia sedang berada di kamarnya, tengah sibuk meneliti pekerjaan yang dibawanya ke rumah, ketika tiba-tiba dia mendengar suara bising yang datang dari lantai bawah. Dengan cepat, dia melangkah keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi.Hatinya hampir berhenti ketika dia melihat petugas sekuriti menggotong tubuh Afgan menuju kamar utama. Matanya membesar dalam kekagetan, dan dia segera berlari mendekati mereka. "Apa yang terjadi? Kenapa Afgan seperti ini?" serunya, suaranya penuh dengan kecemasan dan kekhawatiran.Petugas sekuriti, seorang pria tinggi dengan wajah serius, menoleh ke arah Adelia. "Maafkan kami, Nyonya. Tadi malam, di pesta kalangan elit, Afgan terlihat sangat tidak stabil setelah minum minuman beralkohol. Dia hampir pingsan dan tidak bisa menjaga keseimbangannya. Mr. David meminta kami membawanya kembali ke kamarnya untuk beristirahat."Adelia merasa hatinya berdebar kencang. Dia tidak tahu apa yang harus dia pikirkan atau lakukan. Sejak d
Wajah mereka hanya berselisih beberapa sentimeter, dan meskipun Afgan masih tertidur dalam keadaan mabuk, ekspresi wajahnya terlihat tenang tanpa rasa bersalah sama sekali.Mata Adelia membesar dalam kejutan. Dia merasakan detakan jantungnya melonjak. Pernafasannya terhenti sejenak, terkejut dengan kontak yang tak terduga ini. Wajahnya memerah, dan dia merasa kehangatan merayap dari bibirnya ke seluruh tubuhnya.Adelia teringat dengan sentuhan dari pria misterius di malam naas sebelum hari pernikahannya.Dalam keheningan yang penuh ketegangan, mereka hanya terdiam sejenak, bibir mereka masih bertemu dalam sentuhan yang ringan. Adelia merasa waktu berhenti sejenak, dan dia merasakan getaran aneh dalam dirinya. Mereka berdua tetap berada dalam jarak yang sangat dekat, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang.Namun, ketika Afgan merintih pelan dalam tidurnya, Adelia segera melepaskan pegangan tangannya dan menyentuh bibirnya yang sekarang merasa
Dalam hening malam yang gelap, Afgan terdampar di lorong-lorong ingatannya yang gelap. Dia merasakan kebingungan yang melanda pikirannya, seakan-akan rohnya tersesat di antara kenangan buruk yang terus menghantuinya. Desiran angin malam menerpa wajahnya, menciptakan atmosfer yang mencekam dan menakutkan.Afgan tiba-tiba menemukan dirinya berdiri di depan rumahnya yang terbakar. Kobaran api yang mengamuk melalap segala sesuatu di sekitarnya. Dia merasa nyeri di dada, luka emosional yang dalam kembali menghantamnya. Dalam kegelapan, bayangan-bayangan api menciptakan siluet-siluet menyeramkan, menciptakan tarian kekacauan yang menari di dinding-dinding rumah yang hangus.Dia tidak menyadari bahwa dia sedang berada di alam mimpi. Kondisinya di alam nyata sedang berkeringat dan terlihat kepanikan dalam tidurnya."Mengapa aku ditinggalkan sendiri?" bisik Afgan kepada dirinya sendiri, suaranya gemetar oleh kebingungan dan ketakutan. Namun, tidak ada jawaban yang datang, kecuali suara gemuruh
Melinda merasa bingung dan mematung di tempatnya berdiri."Melinda?" Afgan segera mendekati Melinda sambil memegang pipinya yang terasa nyeri.Melinda masih berusah merakit potongan misteri mengenai hubungan yang ada di antara Adelia dengan Afgan."Aku tidak salah dengan? Kalian ... Kalian suami istri?" tanya Melinda dengan bingung.Afgan meraih tangan Melinda, tetapi wanita itu segera menepisnya dengan kasar. Seolah-olah dia merasa ditipu oleh kedua orang yang menatapnya dengan pemikiran masing-masing."Melinda, dengarkan aku dulu," ucap Afgan dengan lembut, sementara Adelia merasa api cemburu semakin membakar dirinya."Iya, kamu tidak salah dengar! Kami adalah suami istri dan kami baru saja menikah!" seru Adelia dengan mata menantang Melinda."Pria ganteng yang ingin kamu kejar itu adalah suami sahku. Maka kamu adalah pelakor!" seru Adelia sambil keluar dari meja resepsionis. Dia merasa harus memperjuangkan pernikahan ini daripada h